16 April 2012

Kamu penuh magis

Aku tidak bermaksud untuk mengusikmu ataupun mengganggu rutinitasmu. Seperti hal-hal sederhana yang selalu kamu ceritakan padaku. Kamu selau sibuk mengurus putera altar di gerejamu, lalu membagi waktumu untuk belajar di kampus, kemudian dalam langkah gontai kamu memasuki rumah, senyummu yang tersisa masih kautunjukkan untuk keluarga tercinta. Padahal, aku yakin otakmu masih terbagi untuk teater dan liturgi misa. Aku kagum padamu. Si sulung yang berusaha jadi segalanya untuk keluarganya. Pria dengan senyum memukau yang menyediakan waktunya untuk orang yang ia cintai. Satu hal yang selalu membuatku terharu, bahkan dalam kesibukanmu, kamu selalu merapal namaku dalam doa.

Jadi, apa kabarmu hari ini? Setelah sekian lama kita tak saling berkabar, nampaknya ada banyak yang berubah, dan mungkin saja ada banyak hal baru yang tidak kuketahui. Tapi, aku berharap agar dirimu tak pernah berubah, meskipun kita memang tak terlalu sering bertatapan mata. Kalau mengingat pertemuan awal kita, aku jadi ingat shelter De Britto. Ternyata, butuh perjuangan keras hanya untuk menatap matamu. Sekaligus merayakan lebaran di sana, kita menyempatkan diri untuk bertemu, ingat berapa menit? Sekitar 10 menit, dan selama rentan waktu itu, debaran jantungku mengamit resah. Semua perasaan tolol itu terjadi hanya karena aku menatap matamu. Dan... sepertinya ada pergolakan berbeda dalam tubuhmu, kamu seperti patung es yang enggan meleleh, dingin tapi kokoh. Kamu fantastis! Sepuluh menit penuh magis!

Aku dan kamu selalu menyakinkan diri kita masing-masing, bahwa ini bukan cinta. Kita selalu yakin kalau ini bukan cinta, bukankah kita hanya teman yang saling menguatkan satu sama lain? Bukankah semua kebersamaan nyata dan maya ini adalah wujud perhatian sederhana? Tapi... ternyata ada pergerakan di hati yang lajunya tak kita sadari. Memang tak ada candu, tapi kita tak mampu saling menyangkal diri kalau ada sosok nyata yang disebut rindu. Tak ada panggilan sayang ataupun sepotong percakapan yang dilakukan secara intensif, tapi hal itu tak menghalangi kita untuk saling mendoakan. Mungkin, inilah definisi perhatian yang sebenarnya. Tak perlu dilebih-lebihkan, tak perlu terlalu ditunjukan. Perhatian menunjukkan tubuhnya sendiri, walau tak terikat status, walau terpisah jarak ratusan kilometer.

Ceritakan padaku tentang rencana masa depanmu. Kita terlalu jarang berbicara tentang itu. Ceritakan padaku tentang apa yang selama ini kamu rasakan. Aku dan kamu selalu takut untuk mengetahui kenyataan. Di sinilah batas keteguhan hati kita diuji, seberapa besar kekuatan doamu dan doaku saling menyentuh dan menghangatkan satu sama lain. Inilah kerterbatasan kita sebagai manusia yang tidak utuh. Walau tak ada tatapan mata, tapi hati terus berkata-kata. Selama ini kita terlalu rela dibunuh oleh jarak. Selama ini kita terlalu rapuh dipermainkan oleh waktu. Akankah ini saatnya untuk menyadarkan diri? Bahwa tak ada apa-apa di antara kita. Bahwa tak ada kembang api atau kupu-kupu yang menari indah di dalam perut kita.

Namun... semakin aku memaksakan diri untuk mengetahui, semakin aku merasa tak mengerti. Ada semesta rumit yang mengorbit dalam peredaran napas kita. Tercipta semacam negeri antah berantah yang menjadikan kita sebagai penduduk yang hidup di dalamnya. Aku kebingungan, mungkin juga kamu. Apakah setiap kali seorang pria menyentuh tatapan mata seorang wanita, selalu tercipta negeri berbeda di dalamnya? Seperti kita...

Ah... bagaimanapun rumitnya permasalahan kita, aku dan kamu tetap saja senang menyangkal diri. Kita belum siap direpotkan oleh perasaan aneh yang meletup-letup walau dalam kebisuannya itu. Aku dan kamu masih menikmati masa-masa ini. Kita masih ingin Tuhan merahasikan rencanaNya. Bukankah aku dan kamu senang pada hal-hal yang tak pasti? Iya... seperti apa yang kita jalani selama ini, karena sesuatu yang tak pasti menyembunyikan banyak tantangan tersendiri.

Masih banyak perasaan yang bergenderang namun tak terdengar oleh telinga kita. Masih banyak mimpi yang belum kita capai. Salah satunya, seperti yang dulu kita bicarakan.

Suatu saat aku dan kamu akan bertemu lagi. Rembulan di langit Jogjakarta, di bawah sinaran lampu templok dan lilin yang meredup. Di sebuah angkringan yang tak terlalu ramai, hanya terdengar deru kendaraan bermotor yang sesekali melintas, lalu desah napasku dan desah napasmu memburu dalam kesunyian. Mata minusmu terlihat bening di balik kacamata yang kamu pakai. Kala itu... kamu begitu memesona.

dari...
 entah harus disebut siapa
yang jelas
aku selalu mendoakan kebahagiaanmu

11 April 2012

Jika Kebohonganmu Membayangi Langkahku

Aku takut untuk mengetahui kenyataan yang ada, walau tatapan mata itu, seruan kelu bibirmu, dan janji manismu hanyalah dongeng yang enggan menyentuh cerita akhir. Aku tahu hari-hari bergulir begitu jahat, hingga sentuhanmu yang sebenarnya lembut terasa begitu kasar oleh indraku. Tak ada kebahagiaan yang mengamit relungku, ketika kulitmu bersentuhan dengan kulitku. Tak ada senyuman, hanya ada tatapan heran.

Kenapa harus aku?

Sungguh, aku sempat memercayai retorika yang melekat dalam pertemuan kita. Jiwaku mengalir bersama kehadiranmu yang perlahan-lahan mengisi lalu meluap. Ada decak bahagia kala itu. Ketika kepolosan wajahmu memunculkan perhatianku. Ada kejujuran yang mengatur setiap pertemuan kita. Sungguh tak ada rekayasa. Sungguh tak ada kebohongan.

Tapi, mengapa sekarang semua terasa berbeda?

Namun, seiring berjalannya waktu, entah mengapa kautelah mengubah diriku menjadi seseorang yang bahkan tidak kukenal. Bahkan perasaanku seakan kaupasangi sensor pengatur, agar aku bisa kausakiti, agar aku bisa kaulukai. Kejujuran itu berubah menjadi rasa sakit yang lukanya tak terjamah olehmu. Kebahagiaan awal pertemuan kita seakan-akan telah hilang dan takkan pernah terulang.

Mengapa harus aku? Lagi dan lagi.

Rasanya aku tak berdaya ketika tanganmu membekas merah di pipiku. Seperti lidahku di gondol kucing, ketika amarahmu memecahkan beberapa piring. Aku terdiam saat kebencianmu menghambur lewat bibirmu. Aku seperti patung yang bahkan tak mampu menggerakan tubuhnya. Aku hanya merindukan kamu yang dulu. Dan... kenyataan pahit yang harus kuterima, bahwa dirimu yang dulu tak akan pernah kembali.

Kebohonganmu, terlihat biasa di mataku. Arogansimu adalah makanan sehari-hariku. Kaulatih aku menjadi wanita buta rasa, yang bahkan tak bisa membandingkan mana luka dan mana bahagia. Tak ada bahagia dalam semestamu, tapi entah mengapa aku tak dapat lepas dari jerat itu. Aku terlampau lumrah dengan arogansimu. Aku terlalu menganggap sederhana tamparan dan makianmu itu.

Aku terlalu sering disakiti, mungkin itulah sebabnya perasaanku mati. Bahkan aku hanya mampu berdiam diri, ketika kutahu kau telah membagi hati, untuk seseorang (yang menurutmu) lebih baik dariku. 

Betapapun kamu tak mengerti, bahwa aku membunuh diriku sendiri hanya untuk membuatmu hidup dan bernapas.