22 February 2013

Setiap Hujan


                Hujan rintik-rintik kala itu. Tangis gerimis dari awan yang menaungi kota Depok jatuh satu-satu. Nino buru-buru berlari menuju tempat berteduh. Sambil memeluk tubuhnya sendiri yang mulai kedinginan, ia menengadahkan kepala agar bisa menatap hujan dan awan mendung. Tempat berteduh tak begitu ramai, hanya ada seorang pria berambut ikal yang membiarkan rambutnya agak basah karena terkena hujan. Nino dan pria itu berdiri sejajar. Mereka sama-sama sibuk menatap hujan dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
                Jalanan di dekat jembatan Margocity-Detos mengalirkan air yang deras karena hujan. Nino masih berteduh di sana, sesekali ia mencuri pandang ke arah pria itu, pria yang sejak tadi juga berteduh dan juga memeluk kedinginan tubuhnya sendiri. Ia terlalu serius sampai-sampai ia lupa telah membawa payung kecil yang diletakkan di tasnya. Nino menertawakan dirinya sendiri, dengan senyum tipis yang hanya dimengerti olehnya sendiri. Ia membuka payung, memegang payung dengan erat dan siap-siap berjalan.
                Wajah pria itu disaring oleh ingatannya. Wajah itu bukan wajah yang asing. Terlalu asik memikirkan masa lalu. Menyadari pria itu bukanlah pria yang asing, Nino seakan tak perlu terlalu gugup. Ia juga tak ingin mengingatkan pria itu pada masa-masa yang dulu pernah mereka lewati.
                “Kamu mau masuk ke Margocity juga?” ucap Nino dengan suara tipis.
    Pria itu tak segera menjawab. Mungkin suara Nino teredam oleh derasnya suara hujan.
                Merasa diabaikan, Nino kembali mengulang ucapannya, “Mau bareng? Aku ke Margocity juga.”
                Mata pria berambut ikal itu membulat. Ia menoleh dan mulai membuka suara, “Boleh.”
                Dan, mereka berjalan lambat-lambat. Rapat-rapat.
                “Tadi bukannya kita berteduh bareng? Kenapa payungnya nggak segera kamu buka?”
                “Aku juga lupa kalau ternyata aku bawa payung.”
                Mereka tersenyum bersama, tak ada tawa yang begitu meledak. Alas kaki mereka sama-sama basah. Baju mereka juga agak basah. Pria itu masih memeluk tubuhnya sendiri, menghangatkan dadanya dengan melipat tangan di depan dada. Itulah gerakan yang paling Nino ingat. Gerakan yang selalu pria itu lakukan beberapa tahun yang lalu. Nino tidak akan pernah lupa. Tidak akan.
                Selama berbicara, sungguh Nino tak pernah berani menatap mata itu. Mata yang bertahun-tahun membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Ia tak ingin tahu warna mata itu, mata yang sinaran dan tatapannya berusaha Nino hindari sebisa mungkin.
                Langkah mereka santai memasuki lobby Marocity, sambil melipat payung, pria itu pamit meninggalkan Nino. Tak lupa, ia juga mengucapkan terima kasih.
                Percakapan terhenti, tak ada yang ingin memulai pembicaraan lagi. Hening mengitari mereka. Rasanya hujan kali ini tak sedingin hujan seperti kemarin. Menderasnya hujan tak membekukan hati Nino, kali ini ia malah merasakan ada yang bergerak pelan-pelan di hatinya, perasaan hangat yang dulu sekian lama ia diamkan dan ia abaikan.
                Nino menatap bahu itu. Mulai menjauh. Ia membiarkan sosok itu pergi, tanpa berbicara lebih jauh dan lebih dalam.
Sekarang, penyesalan membuncah dengan liar. Penyesalan yang juga dulu ia rasakan. Ingin mengejar, tapi seperti ada rantai yang menahan langkahnya.
Sungguh, ia tak ingin penyesalan itu terulang lagi.
Ia tidak ingin kesedihan yang sama terjadi lagi. Tidak!

***

 Nino tak heran jika pemandangan yang ia lihat beberapa hari ini selalu sama. Setiap pulang kuliah, ia selalu pergi ke tempat itu. Tempat ia bertemu dengan pria berambut ikal yang mulai sering masuk ke dalam pikirannya. Nino selalu membawa payung. Untuk berjaga-jaga, kalau-kalau pria itu muncul dan melahirkan kejutan baru saat hujan datang. Tapi... pria itu tak pernah datang, Nino juga tak lagi melihat sosok itu.
 Seminggu terlewati, pria itu tak kunjung memunculkan batang hidungnya. Dalam kesabarannya, ia masih terus berharap. Ia ingin suasana seperti kemarin terulang lagi, saat hujan datang dan Nino bisa merasakan lengan pria itu menempel di lengannya.
“Kembalilah, jangan buat aku menunggu untuk yang kedua kalinya.” bisik Nino perlahan.
Apakah Tuhan mendengar bisikannya? Apakah pria itu mengetahui isi hatinya?
 Hujan turun tiba-tiba, deras sekali. Kali ini, baru kali ini, Nino lupa membawa payung. Ia menatap hujan sambil memeluk dirinya sendiri. Ia hanya berteduh sendirian. Dalam lirihnya, cipratan air secara sontak mengenai bajunya. Semakin kesal Nino kali ini.
  Ia jadi menyesal, mengapa ia harus menunggu seseorang yang belum tentu datang? Nino memaki dirinya sendiri.
 “Sendirian?”
  Suara yang tak asing itu terdengar mengagetkan bagi Nino. Nino menoleh cepat.
 “Ngagetin ya? Kamu nggak bawa payung?”
 “Ketinggalan.”
 “Aku bawa payung, kamu mau masuk ke Margocity juga?”
 Nino mengangguk malu-malu. Pria itu, pria yang ia temui seminggu yang lalu kini berada di depannya. Menawarkan diri untuk memayunginya.
 Mereka berjalan rapat-rapat, walaupun hujan semakin deras, dan angin semakin kencang; rasanya segala halangan itu tak memupus harapan Nino untuk membangun percakapan.
Kali ini ia yang harus memulai, tak ingin lagi ia menunggu. Tak ingin lagi ia kehilangan seseorang untuk yang kedua kalinya. Tidak!
 “Bagaimana di sana? Menyenangkan?”
 “Di sana mana?”
 “Di Boston. Sudah dapat gelar? Kok sudah pulang?”
 Pria manis bergidik, seakan ia buronan yang tertangkap basah, “Aku pulang karena ingin menemui seseorang.”
 Tatapan Nino menyelidik, “Siapa?”
 “Kamu.”
 Nino terdiam, ia tak melanjutkan langkahnya. Pandangannya lurus, mulai berani menatap mata pria itu. Hitam kecoklatan, itulah warna bola mata yang akhirnya Nino ketahui setelah bertahun-tahun ia tak pernah berani menatap mata itu. Hidungnya, bibirnya, matanya, dan lekuk pipinya tak begitu berubah. Dia tetap jadi seseorang yang cukup Nino kenal, dan paling sering ia rindukan, walaupun Nino tak berani melakukan banyak hal selain menatap dari kejauhan dan mencoba menyusun percakapan basa-basi. Itu dulu, ketika mereka masih bersama, ketika perpisahan belum jadi pemeran antagonis yang memisahkan mereka.
 Sontak, Nino memeluk rapat tubuh pria itu. Pria yang menghilang selama bertahun-tahun tanpa ucap pisah. Pria yang dari sikapnya seakan tak menganggap Nino wanita yang spesial. Tidak akan ia lepaskan lagi. Tidak akan ia sia-siakan lagi.
 “Sudah jangan pergi lagi.”
 “Ini baru pulang, masa mau pergi lagi?”
 Hujan semakin deras, dan rengkuh peluk mereka seakan tak terlepas.

17 February 2013

Yang aku perjuangkan, Yang kauabaikan.

Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Dalam kisahnya, ia harus berjuang, berdiam dan menunggu  pun juga adalah bagian dari perjuangan. Menunggu. Itulah yang selama ini kulakukan, sebagai wujud dari perasaanku yang entah mengapa masih ingin memperjuangkanmu.

Aku tahu, setiap malamku selalu kuisi dengan kenangan dan ingatan. Kenyataan yang harus kuterima, kautak ada di sampingku, entah untuk menenangkan sedihku dan merangkul kesepianku. Dengan sikapmu yang tidak peka seperti itu, mengapa aku masih ingin memperjuangmu? Aku tak tahu, jadi jangan tanyakan padaku mengapa aku juga bisa mencintaimu dengan cinta yang tak benar-benar kupahami.

Ketika suaramu mengalir di ujung telepon, ada perasaan rindu yang tidak benar-benar aku ungkapkan. Rindu yang kudiamkan, terlalu sibuk dalam penantian hingga berakhir pada air mata. Apakah kautahu hal itu? Tentu tidak, kautidak memedulikanku sedalam aku memedulikanmu. Tak ada cinta di matamu, sedalam cinta yang kupunya. Tapi, dengan kebutaan dan kebisuan yang kupunya, aku masih ingin mempertahankan "kita" yang sebenarnya membuahkan sakit bagiku.

Kekhawatiranku, yang tak pernah kuceritakan padamu, tentu tak pernah kaupikirkan. Doaku yang kusebutkan tentu tak seperti doa yang selalu kamu ucapkan. Perbedaan ini sungguh membuatku seakan tak mengerti apa-apa. Ketakutanku membungkam segalanya. Apakah kamu pantas diperjuangkan sejauh ini? Akankah kebersamaan kita punya akhir bahagia?

Aku takut.... aku takut dengan banyak hal yang diam-diam menyerang kita dari belakang. Kebersamaan kita, yang memang tak berjalan dengan mudah ini cukup membuatku lelah. Aku ingin berhenti memperjuangkanmu. Aku lelah dihantui kabut hitam yang menodai pencarianku selama ini. Aku inginkan matahari, bukan mendung seperti ini.

Di mana kamu ketika aku inginkan kamu di sini? Ke mana larinya kamu ketika aku berjuang untuk satu-satunya mahluk yang kupikir bisa memberiku kebahagiaan nyata? Seringkali kumaafkan ketidakhadiranmu, seringkali kumaklumi kesalahanmu, dan selalu kuberikan senyum terbaik ketika sesungguhnya aku ingin menangis.

Ini semua perjuangaku untuk mempertahanmu, apakah sudah cukup menghilangkan ketidakpekaanmu? Inilah perjuanganku, yang selama ini selalu kauabaikan. Apakah hatimu sedikit tersentuh, hingga kauingin datang dan membawaku pulang?