19 September 2013

Untuk Kamu, yang tak benar-benar pergi.


Untuk yang selalu mengira, saya tak lagi mencintainya.... 

Pertama kali melihatmu di taman yang disinari matahari terik itu, aku tak pernah menyangka bahwa kita bisa berada sampai titik ini. Perkenalan mahasiswa baru, september, dua ribu dua belas, aku percaya tentang dunia yang berkonspirasi hanya untuk mempertemukan dua orang yang saling tak tahu dan tiba-tiba bisa punya perasaan rindu. Aku menyadari itu, namun aku tak pernah tahu apakah hatimu sama membiru.

Kamu ucapkan namamu dengan logat Betawi yang terdengar unik di telingaku. Sambil merapikan rambut gondrongmu, kamu menatap teman-teman barumu, termasuk aku, dan mencoba memperkenalkan diri. Sejak saat itu, aku sering diam-diam menatapmu, dari sudut yang tak pernah kautahu. Tuhan kembali merahasikan kehendakNya, ketika entah dengan kekuatan apa, kita sering bertukar berita melalui BBM. Dan, aku sungguh sangat membenci hal itu, mengapa saat itu kugubris semua candaanmu? Mengapa saat itu kubiarkan kamu mengetuk pintu hatiku?

Aku pun juga tak tahu, apa ini cinta atau hanya rasa nyaman yang terlalu berlebihan? Apa ini mabuk kepayang atau hanya ketertarikan sesaat? Tapi, kalau kauingin tahu, akan aku bisikkan sesuatu. Setiap malam ketika kita membicarakan Sudjiwo Tedjo, setiap kausapa aku lebih dulu, dan setiap jengkal detik yang kita gunakan untuk tertawa walau tanpa suara; aku sungguh menghargai saat-saat itu. Sejak kamu masuk dalam daftar orang yang kusebut dalam doa, kamu sudah berada di sana, di hatiku; yang dulu kuyakini tak akan lagi dihuni pria pendiam seperti kamu.

Kuterima diammu dengan cuma-cuma, kubalas sikap dinginmu tanpa banyak suara. Kuhargai semua bisumu yang hanya bisa munculkan tanya. Aku ingin tahu, apa sesungguhnya yang ada dalam hatimu? September setahun lalu, aku masih ingat kita pernah begitu hangat. Tak ada panggilan sayang, tak akan panggilan cinta, dan tak ada ungkapkan perasaan. Tapi, kupikir semua itu tak kita butuhkan, aku dan kamu sudah begitu asik dengan yang kita jaga selama ini. Sebentar, sebentar, kita jaga? Apakah memang benar-benar kita jaga? Ataukah hanya aku yang berjuang menjaga “kita” sendirian? Dan, enggan berhenti sebelum kesakitan?

Aku ingat percakapan kita kala itu, kata-kata di dalamnya tak pernah kulupa. Kalau aku bisa minta pada Tuhan untuk menyimpan semua dengan sangat rapi dan bisa mengulang peristiwa manis itu untuk kesekian kali, aku tak segan-segan berkorban apapun; asal kita bisa seperti dulu lagi. Tidak menjauh seperti ini.
Ingat apa yang kulakukan ketika ulang tahunmu di akhir bulan September? Itulah hal yang kusesali selama ini, aku masih terlalu takut untuk bertemu denganmu, dan mengucapkan doaku di depanmu. Lalu, kulakukan hal sederhana yang bisa kulakukan. Aku tak tidur hingga larut malam, pukul 12 segera kukirimi kaupesan singkat, pesan yang kaubalas seadanya, sekenanya, biasa saja. Aku merasa bersalah, sungguh. Kalau aku cukup berani mengatakan semua, kalau aku tak berada jauh darimu, kalau kita punya status lebih dari teman—sudah tentu kubawa kaudalam pelukan. Kubiarkan kaudengar detak jantungku, helaan napasku, dan desir aneh yang kurasakan ketika aku berada di dekatmu.

Tapi, sekarang bukan lagi seperti dulu. Kamu tiba-tiba menjauh tanpa alasan yang tak kupahami. Aku ingat, sekitar bulan Januari, dua ribu tiga belas, kita tak ada lagi komunikasi. Kabarmu hanya kucuri-curi dari akun Twitter, beritamu hanya kudengar dari hasil bertanya ke sana dan ke sini. Jujur, kalau kaumau tahu, aku tersiksa beberapa bulan ini. Terutama ketika bertemu denganmu, ketika menerima kenyataan bahwa kita telah berbeda. Kita bertemu setiap hari, setiap hari juga kulihat sosokmu yang tak bisa kusentuh, setiap hari juga aku terus bisu—berusaha tak bertanya soal perubahan sikapmu yang membuatku hampir meledak karena tak kunjung mengerti pikiranmu.

Apa yang bisa kulakukan agar aku tetap bertahan? Kularikan rasa rinduku ke dalam tulisan. Di sana aku bisa menangis pilu tanpa membuat tuli telingamu. Aku rindu kamu dan kamu nampaknya tak pernah tahu betapa selama sembilan bulan ini, aku tak bisa berbuat banyak selain menunggu kamu bicara lebih dulu. Aku selalu kuat membisu, meskipun rasanya ini bodoh, entah mengapa aku tak ingin melupakanmu.

Kalau aku punya keberanian lebih, rasanya aku ingin bertanya sesuatu padamu. Seberapa butakah matamu sehingga kautak melihat perhatianku? Seberapa matinya perasaanmu hingga kautak sadar ada seseorang yang berjuang untukmu? Mengapa kaumudah mengakhiri yang kupikir bisa berjalan lebih lama dari ini? 

Kamu ini tega sekali, kamu tahu tidak rasanya jadinya perempuan yang memikul beban karena cintanya bertepuk sebelah tangan? Apa kamu tahu rasanya jadi aku, yang terus bertanya-tanya soal perasaanmu?

Apa kautahu rasanya bertemu dengan orang yang kaucintai, setiap hari, namun kauharus bertingkah seakan tak ada rasa, seakan kausudah lupa, seakan semua tak pernah terjadi? Kualami rasa sakit itu setiap hari, setiap kulihat kaumasuk kelas, setiap kaumenggandeng tangan dia—kekasihmu saat ini.


dari perempuan

yang  kauanggap perhatiannya hanya mainan

yang kaupikir cintanya hanya bualan.