13 August 2014

Dua Hari Ini

Ketika dua hari kau menghilang dan tidak ada kabar, aku menyimpan rinduku dalam-dalam dan menunggu kamu menghubungi lebih dulu. Nyatanya, kamu tak sepeka itu, kamu entah sibuk dengan apa dan siapa, hingga begitu mudah menggeser aku dari hari-harimu. Aku tahu aku bukan siapa-siapa, mungkin aku hanya temanmu, sahabat karibmu, kawan berceritamu. Dan, jika memang betul kautak menganggap aku serius, bisakah kauberhenti memelukku ketika kita bertemu? Bisakah kauberhenti merangkulku dan berbisik rindu di telingaku? Bisakah kamu tak lagi datang dan pergi seperti ini sehingga menambah luka baru dalam dadaku?

Dua hari ketika kamu tak di sini, diam-diam aku menyimpan air mata yang tak kauketahui. Dengan alasan kausedang sibuk dengan pekerjaanmu, aku menerima kekalahanku yang pasti tidak akan terlihat penting di matamu. Seperti biasa, aku berlanjut menunggumu, hingga aku lupa rasanya bosan. Karena semua luka dan perih seketika terhapus ketika kausapa aku dengan secuil "hai" dan sejumput "kangen". Tak lupa kauselipkan sedikit kecupan dalam tulisanmu untuk membiarkanku membayangkan bagaimana rasanya dicium saat sedang dilanda rindu, walaupun kecupan itu hanya berupa tulisan. Itulah hari-hari yang kita jalani selama ini. Hubungan yang sebenarnya tak sehat tapi masih tetap kuperjuangkan. Detik-detik yang kita lewati tanpa kepastian, seakan kautak tahu perempuan ini mengharapkanmu memberi sedikit ruang untuk bernapas agar aku tak kesesakan dalam hubungan serba tak pasti ini.

Dua hari selama kamu pergi, aku menyimpan rindu yang tak kaupahami. Entah mengapa, kaubegitu mudah mengabaikanku, sementara aku sangat sulit untuk tidak peduli padamu. Tetap kukirimkan kabar meskipun kutahu tak semua kabar itu akan berujung balas darimu. Tetap kuluapkan kalimat penyemangat, lewat video dengan suara yang kubuat semerdu mungkin, agar kautak mendengar sesenggukan tangisku dan tetap bisa melewati harimu tanpa memikirkan kesedihanku selama ini.

Dua hari ini kamu adalah sosok yang membuatku seringkali mengigil dan ketakutan. Aku menemukan fotomu dengan mantan kekasihmu, yang begitu mesra dan membuatku semakin iri. Mengapa aku tidak bisa memamerkanmu sedahsyat itu di dunia nyata? Apa aku dilarang untuk bangga karena dekat dengan seorang pria tampan, bermarga Situmorang? Apa kauyang memang belum siap memamerkan perempuan Jawa yang pendiam ini pada lingkup sosialisasimu? Apa karena aku bukan wanita Batak makanya aku tidak berhak atas semua hak yang begitu istimewa? Atau karena kita tak punya status apa-apa maka aku dilarang untuk memelukmu di depan umum, merangkulmu di semua tempat, dan tak berhak berbangga hati karena dekat denganmu. Aku ini.... tolol akut. Bisa-bisanya aku rela disembunyikan dalam status yang demikian rumit, yang bahkan tak membuatku kunjung memahami semua. Aku sadar, aku hanya kaujadikan tempat sampah, namun mengapa untuk berhenti selangkah saja, rasanya aku selalu takut tidak akan lagi menemukan pria yang seperti kamu?

Dua hari ini, pengabaianmu juara nomor satu. Dan kamu berhasil membuatku takut, membuatku gelisah, membuatku aku bertanya-tanya. Sebenarnya kauanggap aku ini siapa? Jika memang kau menjalani ini bukan karena cinta, lalu apa maksud dari semua kedekatan kita yang terjalin beberapa bulan ini? 

Jika memang ini bukan cinta, lalu apa arti genggaman tanganmu, yang tak ingin melepaskanku, ketika aku mengundurkan diri; untuk memperjuangkanmu.

dari Dwita-mu
yang mabuk
karena hadirmu.
 
***
 
Seharusnya, kamu bisa mengikhlaskan dia, namun mengapa luka ini makin hari makin membesar juga? Tolong, jangan KLIK TULISAN INI kalau kamu nggak siap patah hati lagi! :(

05 August 2014

Selamat Ulang Tahun, Cinta Pertama (4)

Selamat datang di umur dua puluh, Sayang. Saat kamu harus melepas sikap kekanak-kanakanmu dan siap menyapa dunia baru, dunia orang dewasa, yang katanya tak ada lagi dongeng yang meninabobokan tangis semalaman. Tapi, di mataku, kamu tak pernah terlihat kanak-kanak.

Apa kabar kamu? Aku sudah lama tak mengikuti beritamu, tak lagi sibuk mencarimu, ataupun diam-diam mencuri kabarmu dari akun sosial media. Beberapa lama ini, aku sengaja tak memusingkan semua tentangmu, berusaha tak lagi candu akan kehadiranmu, dan tidak ingin tahu dengan siapa kamu menghabiskan sisa umurmu. Tapi, ya, seperti surat-suratku beberapa tahun yang lalu, kamu selalu berlabuh pada hati yang lain, yang tentu saja bukan aku sebagai dermaga pilihanmu.

Ini surat keempat dariku. Surat yang setiap tahun kubuat saat ulang tahunmu. Surat yang sebenarnya jika kutulis hanya menambah luka baru, rasa-rasa pahit yang entah mengapa sekarang telah bisa membuatku tersenyum setiap kali aku mengingatmu; mengingat kita. Surat ini kubuat di antara rasa lelahku ketika harus berjibaku dengan beberapa tokoh novel dalam tulisanku. Tulisan sederhana ini kuketik ketika mataku telah terantuk dan harusnya aku sudah meringkuk di atas kasurku. Tapi, demimu, aku rela melakukan apapun, meskipun tanpa sepengetahuanmu.

Mungkin surat ini tak akan kaubaca, tapi izinkan teman kecilmu ini kembali mengingat dirimu yang pernah begitu sempurna di kacamatanya. Beri aku sedikit ruang untuk bernapas setelah sekian lama dibikin sesak oleh kepergianmu. Malam ini, hanya bunyi laptop-ku dan ketikan jemari di keyboard-kulah yang menemaniku untuk mengingat ketololan dan kebodohan kita.

Aku mundur pada peristiwa dua belas tahun lalu. Kamu masuk di semester dua, anak baru yang tak tahu malu, dan selalu peringkat satu. Aku, gadis lugu yang belum lancar membaca dan menghitung di umur delapan tahun itu tak pernah mengerti mengapa saat melihatmu, semua pelajaran yang menurutku susah; terasa lebih indah jika dikerjakan. Aku mengingat semua detail itu, deretan peristiwa yang membuatku kebingungan. Aku tak tahu apa arti senyummu ketika kamu mengajariku metematika. Aku tak tahu apa arti rangkulanmu ketika kamu dengan tawa dan canda mengajariku Ilmu Pengetahuan Sosial. Aku tak mengerti apa arti tatapanmu saat kamu dengan sabar membimbingku memahami Ilmu Pengetahuan Alam. Aku tak paham apa maksud dari jemarimu yang membasuh keringatku seusai kita main kasti di lapangan belakang, tempat bus-bus besar parkir. Kamu membuatku bertanya-tanya, bertahun-tahun selalu bertanya-tanya, namun aku senang bisa terus menggali semua mimpi bersamamu. Aku senang melihat bening matamu, merasakan sentuhan jemarimu yang berisi dan gemuk. Menikmati setiap inci keringat yang bergelayut di rambut keritingmu. Bertahun-tahun aku masih bertanya-tanya, hingga pada saat kita naik kelas; aku semakin merasa gila karena pertanyaanku.

Di balik seragam putih birumu, tersimpan sosok tangguh yang entah mengapa membuatku selalu ingin berada di dekatmu. Saat kelas enam dan selama bertahun-tahun Tuhan mengizinkan kita sekelas lagi, semakin hari aku merasakan keganjilan yang luar biasa. Aku mulai senang menulis tentangmu, mendengarkan lagu-lagu cinta, dan lagu Peterpan yang membahana tahun itu benar-benar membantuku menyuarakan isi hati. Aku tak menyadari apa yang kurasakan selama ini, yang kutahu, aku merasa nyaman bersamamu ketika kita saling membagi makanan saat istiharat. Yang aku rasakan, aku merasa senang ketika saat Paskah tiba, kamu selalu berada di dekatku untuk membantuku menghias kelas bersama. Aku juga bahagia ketika saat Natal dan kita harus menyanyi paduan suara, matamu yang tajam itu seringkali mencuri pandang ke arahku. Dan, saat mata kita tiba-tiba bertemu, rasanya aku semakin sulit bernapas. 

Aku masih bertanya-tanya, selama bertahun-tahun, apa maksud dari semua ini? Ketika kau menggodaku dari belakang barisan, sehingga membuatku kagok menjadi dirigen pemimpin lagu Indonesia Raya. Kamu memuji suaraku yang katamu merdu, setiap selesai upacara, sambil melepas topi merahmu, sehingga menimbulkan butir-butir keringat di keningmu. Ah, aku suka itu, dan aku membalas dengan rasa canggung, duduk malu-malu di bangkuku, dan diam-diam kembali menulis puisi baru lagi untukmu. 

Aku masih bertanya-tanya, penasaran apa arti dari semua ini. Ketika kauceritakan mimpimu ingin menjadi seorang pilot dan aku membalas ceritamu dengan bercita-cita ingin jadi seorang insinyur seperti ayahku, aku mulai merasakan ada getaran lain yang menyelinap, sorot matamu yang teduh dan lembut itu, membuat aku semakin takut menghadapi saat-saat kelulusan. Mungkin kita akan berpisah, kauentah berada di sekolah menengah pertama di mana dan aku entah berada di sekolah mana. 

Namun, Tuhan masih berbaik hati, sekali lagi. Kita satu sekolah, sayangnya hal itu tak kunjung membuat kita sedekat dulu. Aku merasa kamu jauh dan kita hanya bertemu setiap perayaan Paskah dan Natal. Selama enam  tahun, aku masih bertanya-tanya, sayangnya jawabannya justru kutemukan di ujung perpisahan kita. Saat aku dengan sangat cantik mengenakan kebaya dan kamu dengan sangat tampan mengenakan jas hitam. Siang itu kamu terlihat sangat gagah, rasanya aku ingin memelukmu, dan mengatakan semua pertanyaan yang membuatku bertahan untuk membuat ratusan puisi untukmu. Kamu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat. Aku, dengan sangat terpaksa, membalas senyummu dengan senyuman seakan baik-baik saja. Kamu membuka suara

"SMA di mana, Dwit?" matamu tak mau melepaskanku dan tatapanmu membuat mataku sedikit berair.

Sebelum menjawab, aku menghela napas untuk mengumpulkan kekuatan, "Mau coba di SMA 1, kalau nggak dapet, ya, di SMA negeri yang lain. Kamu di mana?"

"Di Jakarta. Depok sumpek." jawabmu enteng.

"Tapi, masih sering balik ke Depok kan?"

"Kalau harus, pasti balik." 

Itu kata-kata terakhirmu lalu kita saling bercengkrama seakan hari itu tak terjadi perpisahan apapun. Kamu kembali pada teman-temanmu, aku kembali pada teman-temanku. Setelah itu, kita tak bertemu lagi hingga saat ini. Aku tak tahu bagaimana rupamu saat ini. Apa hidungmu masih seperti tomat ketika sedang marah? Apa masih ada butir keringat yang menggelayut manja di helai rambutmu? Apa kamu masih tinggi? Masih berisi? Masih ingat aku?

Ah, seandainya dulu kukatakan saja perasaanku, pasti semua tak akan berakhir setolol ini. Lagipula, untuk apa diingat-ingat? Ini hari ulang tahunmu, senang-senang dululah! Ayo, sini duduk di sampingku, sedekat ketika kamu membagi makananmu untukku. Ceritakan apapun yang selama ini kulewati tentangmu, ceritakan saja semua, aku tak peduli entah itu tentang sakura di Jepang, atau tentang pertukaran pelajar yang sedang kaulaksanakan, ceritakan apa saja; pasti kudengar, Sayang.

Kalau kamu mau dengar ceritaku, kamu pasti tercengang. Aku tidak jadi insinyur, sekarang aku jadi penulis. Senjataku hanya imajinasi dan mimpi, selebihnya kepercayaanku pada cinta sejati yang menuntunku betah menulis hingga saat ini. Aku masih begini, masih suka menunggu yang tak pasti, meloncat dari satu hubungan ke hubungan lain. Entahlah, mungkin aku sedang mencari sosok sepertimu, seorang pria yang lebih tertarik pada kampus teknologi di Surabaya dan berubah menjadi pria Batak yang paham betul menggunakan kata "Cuk" dan "Asu". Semakin hari, kamu semakin humoris dan lucu.

Ngomong-ngomong selamat ulang tahun sekali lagi, maaf jika surat ini isinya hanya ingatan-ingatan bodoh yang mungkin telah kaulupakan. Aku cuma ingin kaupaham, gadis ini belum melupakanmu barang secuil pun. Kamu tetap yang pertama. Selalu yang pertama.

Selamat ulang tahun, pria yang pernah dan selalu ada. Aku masih bertanya-tanya, jika benar ini cinta, apakah kaujuga merasakan getaran yang sama?

dari Dwita-mu
yang diam-diam;
mencintaimu.