29 September 2014

Selamat Ulang Tahun untuk yang selalu terasa jauh

Di tengah batuk dan pilek yang menyikasaku, gadis bodoh ini tak ingin mengungkapkan banyak hal, walaupun sebisa mungkin aku berusaha tidak menulis banyak hal tentangmu, tapi kuyakin tulisan ini akan terdiri dari beberapa paragraf. Yang isinya, tentu saja tak akan pernah terbaca olehmu.

Selamat ulang tahun, semoga tidak terlambat. Aku hanya ingin di umurmu yang semakin bertambah, kamu semakin tumbuh jadi pribadi yang menurut pada perkataan orangtua, mencintai adik perempuan,mu mengemban tanggung jawabmu sebagai seorang kakak, dan mampu menjaga hati perempuan yang sedang bersamamu saat ini.

Dua setengah tahun perkenalan kita, Tuan, dan selama itu pun aku tak pernah berani untuk mengungkapkan yang sebenarnya kurasakan selama ini. Ada rasa sesak yang selalu menghantui, rasa takut kehilangan yang tak pernah kupahami. Tuh, kan, setiap membicarakanmu pasti aku galau lagi.

Aku tidak tahu, Tuan, dua setengah tahun ini, kamu menjelma jadi apapun yang kutakutkan. Setiap melihatmu, ada bayang-bayang masa lalu yang selalu berusaha kulawan. Namun, semakin aku berlari menjauh, semakin sosokmu terasa dekat dan nyata. Mungkin, ini salahku yang jatuh cinta padamu, yang tak bisa menerima kenyataan bahwa kita memang tak bisa bersatu. 

Sejak bertemu denganmu, Tuan, aku tak meminta banyak hal selain bisa terus dekat denganmu, meskipun harus jadi bayangan ataupun angin yang menyentuh rambut tebalmu. Aku bukan perempuan yang pandai menceritakan perasaanku padamu karena saat bertemu denganmu, aku layaknya patung yang tidak bisa menggerakan seluruh organ tubuhku, entah mengapa; kamu selalu tampak memesona meskipun kaumungkin tidak menyadari bahwa gadis ini telah mencintaimu dengan sangat berani.

Sungguh, Tuan, aku hanyalah perempuan yang takut kegelapan. Sementara dirimu adalah cahaya di ujung terowongan, yang sulit kugapai karena merasa kamu terlalu jauh. Kita pernah begitu dekat, namun kedekatan yang kupikir akan berlanjut itu berakhir seperti asap rokokmu, yang mengepul di udara, menghilang tanpa jejak, bergegas pergi tanpa pamit. Sosokmu adalah asap rokokmu yang hanya sesaat terlihat, lalu pergi tak membekas. 

Selamat ulang tahun, Teman, pria yang sebenarnya ingin kuanggap lebih dari teman. Sudah dua setengah tahun, dan aku tak punya alasan yang masuk akal untuk melupakanmu. 

Sudah dua setengah tahun, dan aku masih sangat mencintaimu, sedalam dulu, ketika pertama kali; kausebut namamu.


untuk yang selalu berkata
hal yang tak mungkin
hanyalah memakan kepala sendiri.

25 September 2014

Buku "Jodoh Akan Bertemu"


Penulis: Dwitasari dan Lana Azim
Tahun Terbit: November, 2013
Penerbit: Loveable (Ufuk Publishing)
Harga: Rp49.900,-

“Meskipun melibatkan ragu saat menjemput rasa, tapi percayalah, ragu yang terjawab itu namanya cinta” 

Nia, istri siriku, fotomodel terkenal di Jepang. Engkau itu cantik, galak, aku cinta mati sama kamu. Ayumi, sahabat wanita Jepangku yang paling baik. Walaupun dia rela mengikhlaskan seluruh hati, pikiran, dan tubuhnya pada diriku, tapi aku yakin bahwa dia bukanlah tulang rusukku yang hilang itu. Dan Nurma, wanita berjilbab, hafal Qur`an, seorang dokter di kampung, adalah jodoh dari ayahku.


Sekarang, aku bingung, Nia. Harus bagaimana? Perlahan panasku mulai tinggi. Gema takbir pada malam penuh kemenangan ini samar-samar mulai tak terdengar lagi. “Nia, bismillah. Dengan ini aku nyatakan kamu aku cerai, talak satu. Maafkan aku. Maaf,” ucapku sekuat tenaga. Napasku masih tersengal berat mengucapkannya. 

Nia diam. Suaranya tak terdengar lagi kecuali air mata yang menderai membasahi tubuhku yang kurasa. Dia masih memelukku erat, menggoncang-goncang tubuhku. Kupejamkan mataku dan tidur lemas dipelukannya. Dia mencengkeram kuat tubuhku. 

Buku "Cerita Horor Kota"


Penulis: Dwitasari, dkk
Penerbit: Plotpoint (Bentang Pustaka)
Tahun Terbit: 2013
Harga: Rp47.500,-

Rasa takut tak harus membuat ciut. Cerita-cerita horor dalam buku ini justru merekatkan hubungan antarpenghuni sebuah kota. Simak bersama, nikmati di tengah kehangatan. Sebab, cerita horor, seperti halnya cerita cinta, adalah bagian tak terpisahkan dari denyut nadi sebuah kota.

Simak sebelas cerita dari sembilan kota di Indonesia ini: penyamaran di sebuah museum, kehilangan teman-teman dalam sebuah pendakian, pembalasan dendam yang kebablasan, hujan panas yang memancing keluarnya makhluk bukan manusia, pembuatan vaksin yang berujung dengan pembunuhan berantai, pekerjaan kelompok hingga petang di sekolah, penyerangan terhadap seorang penjaga makam, kunjungan pewaris takhta perusahaan ke daerah pelosok, imbalan sebuah ilmu pesugihan, desa gaib di tengah hutan, dan kebun anggrek cantik, namun misterius, yang butuh perawatan.

Ini adalah kisah dari sepuluh penulis pemenang kompetisi #CeritaHororKota bersama penulis buku bestseller Raksasa dari Jogja Dwitasari. Peringatan: Sebaiknya kamu tidak membacanya sendirian.

***

10 Penulis buku Cerita Horor Kota adalah para pemenang kompetisi menulis cerita horror yang dilaksanakan PlotPoint pada bulan Mei dan juga Dwitasari penulis buku bestseller Raksasa dari Jogja.

Anastasye, Dwitasari, Faisal Oddang, Mardian Sagiant, MB Winata, Mitha SBU, Muhamad Rivai, Putra Zaman, Rexy, Rina Kartomisastro, Susi Retno Juwita.

Buku "Cerita Cinta Kota"


Penulis: Dwitasari, dkk
Penerbit: Plotpoint (Bentang Pustaka)
Tahun terbit: 2013
Harga: Rp44.000,-

Sebuah kota selalu menyimpan cerita cinta, entah suka atau duka, entah bahagia atau penuh air mata. Kamu menyimpan kisah dan kenanganmu pada setiap sudut kota yang pernah kamu lewati bersamanya, pada setiap meter jalan yang kau pijaki bersamanya, dan pada setiap tempat yang kamu kunjungi bersamanya.

Kisah ini mungkin tentangmu, tentang kau dan dia, tentang cerita orang lain, tentang apapun yang sebenarnya ingin kamu lupakan. Namun, tak ada salahnya mengingat yang pernah terjadi, walaupun kamu tak berharap semua terulang. Bacalah kisah dalam buku ini, temukan dirimu dalam setiap ceritanya.

07 September 2014

Saling Melukai

Aku duduk di sini tanpa persetujuanmu, tanpa izinmu tentunya, karena aku rindu kamu, dan ingin bertemu kamu; rasanya alasan itu sudah cukup untuk menjelaskan semua. Kamu melarangku datang, dengan alibi tak ingin materimu berantakan karena ada seseorang yang menyaksikanmu. Ah, kauini, bisa saja membuatku semakin bersemangat untuk melanjutkan hubungan ini dan menumbuhkan perasaanku padamu. Ya, karena hubungan kita terlalu naif jika disebut teman dan terlalu berlebihan disebut kekasih. Kita terjebak dalam hubungan yang entah dinamakan apa.

Atas nama hari kita lalui banyak hal dan peristiwa yang sebenarnya masih tak bisa kukira dan kucerna. Aku bisa dekat denganmu dan ini seperti mimpi wahai Pangeran Medok-ku. Beberapa bulan yang lalu, saat mengantarmu ke bandara siang itu, rasanya masih kurasakan getaran hebat yang tak bisa kupahami dengan akal sehatku. Saat barisan rapi gigimu yang terpasang behel itu, saat kulit hitam manismu menyentuh lenganku, saat asap rokokmu mengepul di udara, dan kita bercerita banyak mimpi yang segera kita wujudkan bersama di Jakarta. 

Aku tidak merangkul apalagi memelukmu, aku tak ingin seluruh mata tertuju pada kita apalagi kaubukan orang biasa. Di balik jaket kulit itu ada tubuh yang sebenarnya sangat ingin kurangkul, kupeluk sampai sulit bernapas, dan kudekap sampai aku lupa pada kesepian. Sayangnya, ah, kamu terlalu tinggi untukku, aku yang hanya penulis biasa, tidak mungkin selevel dengan artis serba bisa sepertimu. Aku hanya perempuan sederhana, yang hanya bisa berkhayal dan bermimpi. Tenang saja, aku selalu sadar diri, bahwa emas sepertimu tak pantas mencintai pasir kali sepertiku.

Aku menghela napas bahagia ketika mengingat hari itu. Si gadis biasa ini punya kesempatan untuk mengisi hari-hari sibukmu. Setelah hari itu pun, percakapan kita masih berlanjut. Tahukah kamu, saat kautak ada di sini, hanya video-video Youtube-mu yang jadi obat rinduku. Hanya alunan suara biolamu yang mengantarkan tidurku. Kita tak dapat bercengkrama lagi via suara karena di kota sana kauterlalu sibuk dan aku tak punya banyak ruang untuk mendengar suara beratmu yang selalu melahap habis ngantukku.

Pentas sudah dimulai dan kamu seperti biasa, dengan gaya sederhanamu, dengan biola ajaibmu, menghipnotis penonton. Berhasil membuat para wanita histeris dalam hati. Ya, kauselalu berhasil soal membuat siapapun merasa jatuh cinta padamu dan aku adalah salah satu orang yang terjebak dalam perasaan itu. Seusai gema tawa itu, kamu kembali ke belakang panggung. Aku penasaran apa yang kaulakukan di sana hingga aku berencana diam-diam menyusulmu.

Aku memperhatikan sosokmu di sana bersama seseorang yang tak kukenal. Kau merangkul mesra gadis seorang gadis yang kukenali. Gadis yang beberapa waktu lalu mengajak aku berkenalan dan menginterogasi semua mengenai hubungan kita. Gadis yang terpaksa kubohongi karena kau memberiku isyarat agar tak bercerita apapun tentang hubungan kita. Gadis yang entah mengapa terlihat sangat bahagia dan puas ketika aku berbohong bahwa aku dan kamu tak memiliki kedekatan apapun.

Gadis itu membasuh keringatmu. Saking mesranya, kautak tahu aku, yang selalu mendengar ucapan "I love you" dari bibirmu ini sedang melihat peristiwa yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kalian tertawa dan di situ-- aku hening seketika. Ternyata ini alasanmu melarangku hadir dalam setiap penampilanmu? Kamu berhasil membuatku remuk. Kamu menang, Mas.

Mataku sudah mulai panas dan aku segera menelepon seorang pria yang juga kaukenali.

"Ada apa? Kamu di mana? Masih di sana?" sapa pria itu dengan lembut seperti biasa.

Aku mengatur napasku yang memburu, sebelum menjawab pertanyaan pria itu, "Di belakang panggung, kamu katanya mau...."

"Oh, iya, sebentar." suara itu langsung menggema di belakangku, pria yang tadi tersambung denganku lewat telepon itu sudah berada di sampingku. "Aku nggak nyangka kamu mau datang."

Aku mengangguk senang, sesenang mungkin agar dia tak membaca kesedihanku.

"Kamu suka penampilan aku kan? Mau datang untuk aku kan?"

Sekali lagi aku mengangguk.

"Oh, iya, aku janji mau ngenalin kamu ke Mas itu, ya?" dia menggenggam tanganku dan membawaku berjalan dengan langkah ringan menuju kamu dan gadis itu.

"Mas, tadi keren banget, lho. Materinya pecah!" ucap pria yang menggenggam erat jemariku.

Kamu tidak memperhatikan wajah pria itu, kamu malah memperhatikanku yang menundak dan tak memperhatikan matamu.

"Oh, ya, makasih. Kamu juga lucu, ketawa penonton lebih besar waktu act out-mu, kok." pandanganmu bergantian ke arahku lalu ke arah pria di sampingku.

"Beneran, Mas?" pria di sampingku tertawa geli, "Ini, lho, Mas, pacarku. Penulis, lho. Yang suka ngegalau di Twitter itu."

Aku berusaha mengangkat kepalaku dengan tegar, semakin tegar ketika kulihat jemarimu menggenggam erat jemari gadis itu. Dan, kautak melepaskannya barang sedetikpun. Aku memasang senyum paling bahagia meskipun matamu menatapku dengan tajam, setajam tatapanmu waktu pertama kali kita bertemu di bandara, "Halo, Mas. Tadi bagus banget. Saya pasti beruntung karena ini pertama kalinya saya lihat Mas tampil. Biasanya cuma lihat di Youtube."

Kamu berusaha tertawa dan kurasakan nada terpaksa dalam tawamu. Sikap dingin itu terasa membekukan hatiku. Aku hanya diam ketika kau berbincang dengan pria yang sejak tadi masih menggenggam jemariku. Lalu, kita berpisah dan aku meninggalkanmu. Kali ini, entah mengapa, aku merasa juga jadi pemenang.

Terima kasih, hari ini, kita telah; saling melukai.