29 April 2015

Empat Hari Tanpamu

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Tiga Hari Tanpamu

Hari keempat tanpamu masih menyisakan pedih di dadaku. Hari-hariku masih terasa kosong tanpamu. Ponselku tak lagi asik kulihat karena tak ada pesan singkat darimu, tidak ada panggilan telepon darimu, dan tidak ada sapaan-sapaan hangat darimu. Kupaksa diriku untuk terbiasa menjalani hari tanpamu, karena hidupku harus tetap berjalan, karena aku tetap harus membahagiakan orangtuaku dengan prestasiku di kampus, karena aku harus tetap menulis untuk para sahabat pembacaku. Hidup memang tetap harus berjalan meskipun berkali-kali aku masih sering mengingatmu. 

Pagi tadi, aku mengawali hari, mencoba membiasakan diri agar tidak mengecek ponsel seusai bangun tidur. Aku tersenyum memandang langit-langit seakan membalas senyum Tuhan yang memberiku napas kehidupan. Aku berterima kasih karena hari-hariku masih menyenangkan untuk dijalani, meskipun tanpamu, rasanya memang semua berbeda. Mungkin, memang salahku yang beberapa saat melupakan Dia ketika sibuk denganmu. Mungkin, aku terlalu sibuk menghitung air mataku tanpa menghitung berapa peluk yang sebenarnya telah Dia berikan padaku. Jemari lembutNya tentu mengulur dari surga, sayangnya aku terlalu tolol untuk memahami kasih tak berbatas itu.

Siang tadi, aku melewati jalan yang dulu sering kita lewati. Sesak di dadaku masih sama, aku masih membayangkan duduk di sepeda motormu, memelukmu, tertawa bersamamu, dan kita sama-sama menyanyikan lagu Taylor Swift seperti orang kesetanan. Kamu teman paling menyenangkan untuk melakukan banyak tindakan "kriminal". Kriminal maksudku adalah perbuatan-perbuatan bodoh yang selalu berhasil membuat aku dan kamu tertawa. Ingatkah kamu saat kamu menggoda seorang pria dengan membunyikan suara knalpot sepeda motormu hingga pria itu hampir jatuh dari sepeda motornya? Kita tertawa seperti bocah kecil yang selalu bahagia, lalu dengan dialek Melayu Bengkulu yang keluar dari bibirmu, kamu meneriaki pria itu. Lalu, saat kita makan sate di bilangan Margonda, Depok. Kencan pertama kita dihiasi dengan seorang banci yang menyanyikan lagu All About That Bass yang dinyanyikan Meghan Trainor, kamu bernyanyi seperti anak kecil sambil berjoged dengan banci tersebut, tanpa merasa ketakutan. Setiap mendengar lagu itu lagi, lagu yang sebenarnya berirama menghentak, entah mengapa di dadaku terasa begitu sesak.

Sore tadi, selesai kelas, aku tak langsung meninggalkan kampus kuning. Beberapa puluh menit aku menatap trotoar tempat biasa kamu menungguku, aku berharap kamu ada di situ; membawa dua helm dan siap mengantarku pulang. Namun, nyatanya semua sia-sia, kamu tidak akan datang, dan harapan itu untuk saat-saat ini adalah harapan yang terlalu tinggi. Entah mengapa kamu yang dulu sangat mudah aku temui, sekarang begitu sulit untuk aku pandangi. Sosokmu tak bisa lagi kucari, kamu pergi begitu saja, menghilang, seperti ditelan bumi. Aku memutuskan untuk berhenti berharap kamu akan datang, aku berjalan menuju Danau UI, dan melangkah ke kampusmu di dekat Stasiun Pondok Cina. Lama sekali aku berdiam di sana, dengan pikiran kosong, dan kembali aku berhenti memutuskan untuk mengingatmu agar aku tidak menyiksa diriku sendiri.

Ada banyak kenangan yang tidak bisa aku lupakan. Kamu telah menjadi bagian diriku dan sangat munafik jika aku mengaku tidak kehilangan kamu. Kamu humoris, menyenangkan, meneduhkan, dan hal sederhana itu selalu berhasil membuatku jatuh cinta berkali-kali. Pelukmu dan rangkulanmu adalah tempat paling sederhana yang selalu ingin aku kunjungi, sayangnya aku tak diizinkan lagi masuk ke dalam duniamu. Sekarang, kita adalah dua orang yang berjauhan, yang berakting seakan tak saling kenal, dan menjalani hari seakan dulu kita tak punya perasaan apapun. Bukankah berpura-pura seakan semua tak pernah terjadi adalah hal yang paling menyakitkan untuk dilewati?

Aku rindu kamu dan selalu ingin tahu kabarmu, tapi aku berusaha melawan perasaan itu, agar aku bisa cepat melupakanmu, kemudian menjalani hari-hariku senormal mungkin. Tiga bulan lamanya, kita pernah bersama, mungkin di mata banyak orang terlalu sebentar, namun hanya aku dan kamu yang tahu bagaimana kita punya kedekatan emosional yang tak pernah orang lain pahami. Aku berterima kasih padamu untuk tiga bulan yang ajaib bagiku. Kamu mengajakku makan sate, kamu mengantarkanku sampai depan rumah meskipun aku tahu naik sepeda motor kopling itu pegalnya bukan main, kamu pernah ada di depan rumah hanya untuk menunjukan ketampananmu saat memakai kemeja, kamu pernah tiba-tiba ada di depan pagar rumah dan berkata betapa kamu sangat mencintaiku, kamu memberiku coklat di hari Valentine, kamu memperkenalkanku pada budaya Melayu Bengkulu, kamu memperkenalkanku dengan anime Jepang kesukaanmu, kamu mengenalkanku dengan band Jepang favoritmu, kamu menemaniku menulis meskipun aku tak memperhatikanmu ketika aku sibuk dengan laptopku, kamu pinjamkan bahumu saat aku menangis, kamu membuatku tertawa tanpa sebab, dan kamu membuatku percaya bahwa cinta sejati itu selalu ada.

Aku tak tahu apakah semua yang kamu rasakan benar cinta atau hanya iseng belaka. Yang jelas, kamu berhasil membuatku jatuh cinta, dan berhasil membuatku menangis seharian ketika kamu mengakhiri hubungan ini tanpa penjelasan. Kalau pun kamu tak ingin menemuiku lagi, kalau pun kita tak akan pernah seperti dulu lagi, aku hanya punya satu permintaan. Tolonglah tetap membawa namaku dalam salat lima waktumu sesering ketika aku selalu menyebut namamu seusai membaca Alkitabku.

Oh, ya, beberapa hari ini aku menghabiskan waktu di Bali. Hitung-hitung, obat patah hati. Kamu tahu apa janjimu dulu? Kita akan ke Bali berdua, tapi nyatanya aku ke Bali sendiri, itu pun agar aku bisa melupakan pedihnya ditinggalkan olehmu. Kalau kamu jadi merasa tak enak, tepati saja janjimu yang paling sederhana. Mengajakku ke Dunia Fantasi, Jakarta, mudah bukan?



Dari Sagittariusmu,
yang mudah menangis.


28 April 2015

Tiga Hari Tanpamu

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Dua hari tanpamu

Ini tidak pernah semudah yang aku bayangkan. Tiga hari tanpamu rasanya masih seneraka ketika pertama kali kamu bilang ingin mengakhiri semua. Hingga detik ini, aku masih belum bisa menerima kepergianmu yang tiba-tiba. Yang masih bisa aku lakukan sampai saat ini hanyalah berdoa, berharap semua luka ini segera berakhir dan aku bisa menjalani hidupku senormal dulu lagi.

Aku masih rajin memeriksa ponselku, berharap masih ada sisa perhatianmu untukku, berharap kamu menyapaku dan menghubungiku lebih dulu. Nyatanya, hanya anganku saja yang menetap, kamu tidak mengabariku, dan aku sudah bisa menebak bahwa mungkin saat ini kamu tidak merasakan yang aku rasakan. Tiga hari ini, aku masih merasa semua berantakan dan kalut. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana hidupku, yang jelas aku remuk. Aku di sini seperti orang yang kehilangan arah dan tak tahu ingin melangkah ke mana. Kamu terlanjur mengajakku melangkah terlalu jauh hingga aku lupa cara untuk berbalik ke arah yang seharusnya sejak dahulu aku tuju-- dan tak perlu mengikutimu.

Aku tak tahu apa daya magismu hingga apapun yang aku lihat dan aku rasa selalu tertuju padamu. Sebelum senja tiba, aku duduk di dekat danau UI, merasakan embusan angin dan menatap tenangnya air danau. Aku tak pernah merasa sesedih ini, perasaan ini membuat aku selalu ingin menyendiri, dan saat aku sendiri seringkali juga aku memikirkanmu. Hanya dentingan lembut sepeda kuning yang terdengar, aku masih terdiam dan tak bersuara. Dari pinggir Danau UI, bisa kulihat bangunan baru yang megah di dekat Stasiun Pondok Cina, di sanalah kampusmu, dan mungkin saat itu kamu sedang di sana, entah melakukan apa. Tapi, hidupmu sekarang pasti tak seburuk dan seberantakan hidupku yang sekarang. Aku tahu kamu tentu dengan mudah bisa melupakanku, kamu bisa kembali normal menjalankan hidupmu, dan kamu pasti tak merasa kehilangan apapun.

Sore tadi, aku menghabiskan waktu sendirian di dekat Danau UI, hingga azan magrib menyapa; aku memutuskan untuk pulang. Aku berjalan pelan-pelan, menahan air mata agar tidak jatuh perlahan. Sampai duduk di kendaraan umum, aku hanya menatap jalanan yang dulu sering kita lewati. Tiba-tiba aku benci seluruh sudut kota ini. Jalanan masih begitu macet. Dulu, kita menunggu kemacetan usai sampil bercanda. Kamu bercerita dengan dialek Bengkulu Melayu yang selalu berhasil membuatku tertawa geli. Aku benci semua lampu merah yang aku lewati. Aku jadi ingat setiap detik saat menunggu lampu hijau, aku memijati tubuhmu, dan kamu memegangi tanganku dengan lembut. Aku benci apapun tentang kota ini, aku benci setiap sudut jalan yang selalu membuatku mengingatmu.

Aku sebenarnya heran dengan diriku sendiri. Aku duduk di angkutan umum, bukan di sepeda motormu yang knalpotnya berisik tak karuan, tapi masih tetap bisa membuatku nyaman ketika aku memelukmu dari belakang. Rasanya semua berbeda dan aneh. Aku tidak mendengar suara berisik dari knalpot sepeda motormu, yang aku dengar hanya klakson kendaraan bermotor yang berlomba melewati jalan dengan cepat. Aku tidak duduk di motor gedemu, yang tingginya mungkin hampir satu meter. Aku malah duduk di angkutan umum dan tidak memeluk siapapun. Aku harus terbiasa dengan seluruh keanehan ini, dengan hal-hal yang harus aku lewati tanpamu.

Turun dari angkutan umum, ojeg mengantarku dari depan gang hingga masuk perumahan. Polisi tidur di jalanan perumahan terlewati dengan sangat mulus, padahal dulu, ketika masih bersamamu, aku harus memelukmu kuat-kuat agar tidak membuat sepada motormu berguncang hebat. Kenangan sederhana yang belum aku lupakan, setiap inci tentangmu selalu penting di mataku. Sesampainya di depan rumah, aku turun dan membayar ongkos, langsung kubuka pagar rumah, kemudian berjalan memasuki rumahku. Ah, padahal beberapa minggu yang lalu, aku masih ingat kamu menyisakan sedikit saja waktu untuk sekadar mencium kening dan pipiku, mencuri pelukan, kemudian pamit pulang. Aku pun tak langsung masuk rumah, aku menatapmu yang pergi, membiarkan punggungmu menghilang dari pandangan, dan baru tenang memasuki rumah. Aku rindu hal-hal sederhana itu, yang mungkin tak penting bagimu, tetapi sungguh melekat bagiku.

Sudah beberapa hari ini, tak aku dengar suara berisik dari knalpot sepeda motormu. Seringkali ketika sedang sunyi menyelesaikan tulisan, samar-samar kudengar ada suara knalpot yang mirip dengan suara sepeda motormu. Kutahu itu bukan kamu walaupun jauh di lubuk hati terdalam, aku sangat ingin bisa bertemu denganmu lagi, meskipun hanya sesaat. Sekarang, aku merasa seperti orang bodoh yang tetap memencet ban ketika tahu ban itu sudah kempes. Aku masih menatap ponselku, padahal aku tahu kamu tak akan pernah sms. 

Aku masih sering menunggu di depan rumah, berharap bisa mendengar sepeda motormu yang berknalpot berisik itu. Aku masih sering tiba-tiba keluar rumah dan berdiam di depan pagar, berharap masih bisa menyaksikan punggungmu yang pergi menjauh, menatap sepeda motormu yang meninggalkan rumahku-- untuk terakhir kalinya.


Dari sosok yang mungkin hanya kamu anggap adik,
yang selalu merasa tidak pernah mampu membahagiakanmu.


27 April 2015

Dua Hari Tanpamu

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Satu hari tanpamu

Semua masih seneraka hari pertama. Aku masih sesak ketika mengingat tentangmu, tentang cerita kita yang telah menjadi abu, yang kaubakar dengan begitu saja di depan mataku. Dan, aku yang terlanjur rapuh ini hanya bisa diam, menatapmu pergi, seakan tak punya kesempatan untuk meminta semua agar kembali padaku. Kamu pergi begitu saja, tanpa pesan ataupun berita, semua itu makin membuatku tersiksa serta mati rasa.

Di mataku, kamu sempurna, sesempurna pertemuan kita yang ternyata membawa perasaan yang berbeda. Aku tak bisa menebak bahwa semua ini cinta, tapi apakah namanya jika aku berkali-kali  menangisimu; saat kamu bilang ingin mengakhiri semua? Aku tak yakin, apakah kebersamaan kita selama tiga bulan itu telah menimbulkan perasaan kasih sayang dan takut kehilangan, namun apakah namanya jika aku merasa sendiri ketika kamu tak melengkapiku? Hari-hariku betapa sepi tanpamu dan anehnya aku begitu mudah menangis setiap melihat fotomu. Mengapa kamu malah makin tampan justru ketika kita tak lagi bersama dan tak lagi menjalani cinta? Aku rindu hidungmu, rindu rambutmu, rindu lekuk senyuman dari bibirmu, rindu tawamu, dan rindu banyak hal yang dulu masih bisa kita lewati berdua.

Hari ini, aku banyak terdiam. Berkali-kali aku menatap ponselku, berharap kamu berubah pikiran, berharap semua ini hanya candaan. Nyatanya, ini sungguh terjadi dan bukan candaan. Biasanya kamu menyapaku entah melalui pesan singkat, melalui percakapan kita di ponsel, dan meneleponku dengan suaramu yang khas itu. Rasanya semua ini makin aneh ketika aku mencoba untuk menganggap tak ada bedanya hari-hari tanpamu dan hari-hari ketika bersamamu. Semakin aku memaksakan diri terlihat baik-baik saja, semakin aku mendapati diriku yang tak lagi "bernyawa". Aku kehilangan kamu, separuh diriku yang pergi tanpa bilang-bilang. Ditinggalkan tanpa penjelasan membuatku makin tersiksa. 

Di depan laptopku yang hanya bisa menimbulkan suara jentikan, aku menatap diriku sendiri dalam tulisan. Sebenarnya, harapanku sederhana saja, kamu memberiku sebuah pelukan hangat dan berjanji tidak akan meninggalkanku. Dan, kenyataan yang harus kuterima dengan akal sehatku bahwa semua yang aku harapkan hanya mimpi belaka, aku harus berjalan sendirian lagi, meskipun sebenarnya aku merasa semua akan lebih baik jika aku menjalani hari-hariku denganmu. Kadang, harapan memang hanya akan berakhir dengan harapan, dan kehilangan kamu adalah sebuah kesedihan yang selanjutnya akan menghasilkan tangisan.

Dua hari ini, yang aku pikirkan hanya satu hal. Mengapa semua ini bisa terjadi justru ketika aku yakin ingin mempertahankanmu? Mengapa kamu pergi justru ketika aku masih ingin menyelami dirimu? Mimpi-mimpi yang telah aku buat seketika ambruk hanya karena dua kata darimu. "Kita putus." 

Terlalu mudah bagimu untuk mencampakan gadis bodoh sepertiku, gadis yang setia mencintaimu tanpa menghitung apa saja yang telah dia berikan padamu, gadis yang tak menghitung seberapa banyak darahnya mengalir hanya untuk mempertahankan kamu, gadis yang tak meminta balasan apapun darimu selain peluk hangat dan kecup di jidat. Ah, ya, memang aku yang tolol, karena tak bisa membedakan apakah di matamu sungguh ada cinta atau hanya dramamu belaka. Namun, tiga bulan bersamamu sungguh membuatku terlena, mabuk kepayang, dan bahkan sakit hati sendirian.

Dua hari ini, tak banyak yang aku lakukan. Aku masih kesesakan dengan tangisku sendiri, aku masih tidak bisa berdiri dengan tegak karena merasa seluruh tulangku tak lagi punya daya dan upaya untuk bangkit. Aku seperti manusia yang badannya sakit di segala sisi, yang tidak ingin melakukan hal lain-- selain menangisimu.

Dari perempuan,
yang terus menangisimu.



26 April 2015

Satu Hari Tanpamu

#SerialTanpamu

Pagi tadi, aku membuka mata dengan perasaan kosong. Kutatap langit-langit kamar yang terasa makin kosong dan dinginnya pendingin ruangan menambah bekunya suasana saat itu. Ponselku berdering dan kuperiksa semua pesan di sana, tak ada pesan darimu. Sudah lima belas jam sejak kaubilang ingin mengakhiri hubungan dan belasan jam lalu aku menangisimu semalam suntuk. Dengan mengumpulkan tenaga, aku berusaha bercermin. Lihatlah wajah lusuh ini, mata sembab, rambut berantakan tak karuan, dan tatapan kosong yang terpantul di cermin.

Aku tidak yakin bisa melewati ini semua. Sejak kamu bilang lebih baik aku bebas dengan hidupku dan kamu bebas dengan hidupmu, rasanya aku tidak lagi punya upaya untuk menjalani hari-hariku. Memang ini terkesan bodoh, setiap orang yang sedang bersedih dan patah hati pasti merasa bahwa dirinya adalah sosok paling sedih sedunia. Dan aku merasakan itu semua. Perasaan ini membuat aku berantakan dan tak lagi punya daya untuk menata kembali hidupku. Semalam, aku menangis sejadi-jadinya, sekeras yang aku bisa. Ini benar-benar tidak adil buatku, buat sosok yang selalu mencintai dan memperhatikanmu.

Dengan enteng, dua minggu lebih kamu menghilang dan tak ada kabar. Aku mencarimu ke mana-mana, diam-diam memperhatikanmu dari sosial media. Ah, meskipun aku tak menemukan jawaban apapun, setidaknya dengan tetap mencarimu dan menganggap bahwa hubungan kita masih dalam keadaan baik-baik saja; cukup membuat aku tenang dan lega. Selama dua minggu, aku tidak mendapatkan jawaban apapun. Kamu bagai asap rokok yang menggantung di udara, terlihat sesaat kemudian pergi entah ke mana. Sosokmu menjauh tanpa bisa aku memprediksi ke mana kamu pergi.

Sekarang, aku masih duduk di sini, di depan laptopku yang pendiam namun tetap menjadi pendengar yang baik. Aku tidak bisa menghitung berapa kali aku menangis seharian ini, dengan sisa air mata yang tidak tahu harus berhenti terjatuh kapan. Dalam pikiranku masih ada bayang-bayangmu dan kenangan-kenangan kita yang tercipta meskipun bagimu mungkin hubungan ini tak berarti apa-apa. Memang salahku yang terlalu menganggapmu berarti sementara kamu tak peduli setengah mati. Salahku yang mati-matian menganggap hubungan kita pantas untuk diperjuangkan, meskipun selama ini kamu tidak menunjukan keseriusan apapun.

Entah mengapa, sampai hari ini, aku tak pernah menyesal pernah memulai semua denganmu, yang aku sesali mengapa kamu meninggalkanku tanpa penjelasan apapun. Kamu tidak akan pernah tahu sakitnya ditinggalkan ketika aku dalam keadaan sangat mencintaimu. Kamu tidak akan pernah paham betapa aku ingin mempertahankanmu meskipun aku tahu kita berbeda dalam banyak hal. Aku selalu menganggapmu yang terbaik meskipun banyak pria berusaha mendekati dan merebut hatiku darimu. Aku meninggalkan mereka, demi kamu-- karena aku percaya bahwa pria biasa sepertimu pun punya kesempatan yang sama untuk membahagiakanku.

Aku hanyut terlalu jauh, pertemuan kita benar-benar membuat aku percaya bahwa ini cinta. Aku percaya padamu, percaya pada jemari yang membawaku pergi dan menari. Kamulah yang berhasil membawaku terbang terlalu jauh, lalu menjatuhkanku ketika kamu mungkin tak lagi penasaran dengan sosokku, ketika kamu bosan dengan gadis yang mungkin tak lagi terlihat berharga di matamu. Aku tak pernah tahu apakah cinta yang terucap dari bibirmu sungguhlah cinta atau hanya sandiwara yang kamu perankan dengan sangat baik. Aku tak mengerti apakah rindu yang seringkali terucap dari matamu hanyalah drama yang kamu pentaskan dengan sangat lihai.

Aku tak tahu siapakah sosok yang sebenarnya sungguh aku cintai ini, apakah kamu adalah orang baik-baik yang memang tulus mencintaiku atau hanya orang yang senang meloncat dari satu hubungan ke hubungan lain untuk kepuasannya sendiri? Aku tak tahu siapa dirimu yang sekarang, kamu berubah jadi orang yang paling tidak aku kenal. Kamu berubah jadi sosok yang berbeda dari pertemuan awal kita.

Aku kehilangan dirimu yang dulu. Aku menangis dan berdoa, memohon pada Tuhan agar segera mengembalikan sosokmu yang dulu pernah sangat aku kenal. Aku masih menangis dan berantakan, aku kalut dan mengaku kalah.


dari gadis yang berhasil kaubuat;
menangis.



Lanjutan: Dua hari tanpamu

20 April 2015

Lukaku sekarang, sesalmu kemudian

Di depanku hanya ada wajah-wajah lesu yang seharian mengais upah layak di Jakarta. Mereka kembali ke tempat tinggal mereka untuk kembali memeluk saudara dan keluarga. Aku duduk di samping ibu-ibu yang tertidur kelelahan, sementara di depanku ada seorang pria yang sejak tadi memperhatikan wajahku yang aneh. Inilah wajah orang yang sedang patah hati; kosong dan tak bercahaya. 

Aku sudah tiga kali berpindah kereta, dari Stasiun Pondok Cina, aku berdiam diri hingga Stasiun Bogor. Dari Stasiun Bogor, aku berdiam diri sampai Stasiun Jakarta Kota. Dari Stasiun Jakarta Kota tadi, sekarang aku berusaha menyadarkan diri, waktu sudah pukul sebelas malam, dan kalau harus berdiam diri hingga ke Stasiun Bogor lagi, sama saja menyiksa diriku sendiri. Aku masih menunggu kereta ini agar sampai di Stasiun UI, namun masih dengan pikiran yang kosong; aku kembali melamun.

Tadi siang, seusai kelas di kampus, aku langsung kembali mengurus meeting penerbit di daerah Jakarta Selatan. Hari ini, tepat tanggal 20 April 2015, tepat hari jadi kita yang ketiga bulan. Aneh, ya, masih seumur jagung saja dirayakan, tapi ini bagian dari janji kita bukan? Semua berusaha kita rayakan sebagai peringatan bahwa hubungan kita cukup mengandung keseriusan. Itulah yang aku kira selama ini. Kamu begitu manis dan sempurna di mataku, itulah mengapa aku mengabaikan banyak pria hanya demi memperjuangkanmu. Kamu tawarkan banyak hal yang aku inginkan, perhatian, rasa cinta, rasa dihargai, dan rasa menyenangkan dicemburui olehmu. Awalnya, semua sangat sempurna, meskipun satu bulan kita terlewati karena kamu harus menyelesaikan sesuatu dengan temanmu, dua bulan hari jadi kita juga batal karena aku sibuk menandatangani buku pre order-ku. Harapanku sangat tinggi bahwa di hari jadi kita yang ketiga bulan ini, kita bisa melakukan hal yang sama.

Siang itu, kamu janji untuk datang. Aku sudah duduk di sana, ditempat yang kita janjikan dengan napas yang ngos-ngosan. Aku mengejar waktu, tak ingin membuatmu menunggu. Di jemariku, ada dua tiket dan ada dua popcorn serta soft drink. Aku yakin kamu akan datang. Film sudah diputar, aku berkali-kali menatap bangku di sampingku, dengan keyakinan penuh, aku selalu berkata, "Pasti datang. Dia pasti datang. Semenit lagi pasti datang, lima menit lagi pasti datang, tiga puluh menit lagi pasti datang, satu jam lagi pasti datang." Dan, bahkan sampai film usai, aku menonoton sendirian.

Aku terdiam. Sekali lagi hanya bisa diam. Aku makan di tempat kesukaan kita, duduk sendirian, kemudian menatap banyak pasangan kekasih yang terlihat nampak bahagia. Rasa-rasanya aku ingin bertanya padamu, mengapa kita tak pernah sebahagia mereka? Aku tak tahu apa yang mengubahmu jadi seperti ini, mengubah sosokmu jadi pria yang tak lagi semanis dan seelegan dulu. Kamu yang sekarang adalah kamu yang kasar, tidak peduli, tidak perhatian, tidak pernah menghubungiku duluan, dan selalu menganggap hubungan kita seperti permainan yang sesuka hati kaubisa akhiri.

Aku makan sendirian, sesering yang aku bisa juga terus menatap ponsel. Berharap kamu mengabariku dan ada secercah penyesalan yang kau titipkan dalam chat-mu. Berjam-jam aku menunggu dan ternyata semua harapan itu berakhir hanya menjadi harapan. Kamu tidak datang, menghilang, tanpa kabar. Ini bukan yang pertama, aku tahu sebenarnya saat ini mungkin aku tidak lagi penting bagimu. Mungkin, selam aini aku terlihat seperti gadis pengganggu yang selalu ingin tahu kabarmu, tapi sadarkah kamu di balik gadis bodoh ini tersimpan sosok perempuan yang tak ingin kamu sakit? Sadarkah kamu bahwa dalam diriku yang mungkin tak pernah berarti apapun bagimu ini ada seorang perempuan yang sedang menjaga cintanya hanya untukmu satu-satunya? Sadarkah kamu bahwa dalam rumitnya sikapku, tersembunyi seorang perempuan yang ingin kamu seperhatian dulu lagi. 

Aku benar-benar kehilangan manisnya dirimu. Aku kehilangan kita yang dulu. Aku tidak menangisi pelukmu yang tiba-tiba tak ada, aku tidak meratapi kecupmu yang tak pernah lagi kau berikan, aku hanya menyesali mengapa semua berubah jadi seperti ini ketika aku sedang nyaman-nyamannya denganmu?

Aku masih terdiam di stasiun kereta dan betapa patah hati ini sungguh membuatku tersiksa. Kamu menghilang dan tak ada kabar, tidak mempedulikan aku yang menunggumu sejak siang tadi. Aku seperti terlempar ke negeri asing, negeri penuh kesepian dan sakit hati, dan dalam negeri itu-- aku tak menemukan sosokmu. Yang aku tahu, intinya kamu memang tidak punya niat untuk bertemu, dan memang sudah saatnya aku tak perlu lagi memaksakan perasaan dan cinta ini.

Selama ini kamu terus diam, sehingga aku merasa hubungan kita baik-baik saja. Meskipun selama ini selalu, selalu, dan selalu aku yang terluka. Aku masih menganggap ini baik-baik saja dan aku masih memperhatikanmu, masih mencintaimu, masih mengagumimu seperti biasa; meskipun aku tahu sepertinya hubungan kita yang aku perjuangan setengah mati ini akan segera berakhir hanya dalam hitungan hari.

Aku hanya ingin berpesan, jangan pernah menyesal karena kamu memperlakukan aku seperti ini. Aku tidak akan menyumpahi, berdoa pada Tuhan agar Dia mengutukmu, tapi satu hal yang kautahu; tak akan ada cinta yang sama, tak ada perhatian sekuat yang aku punya, tak akan ada perempuan yang mau merendahkan dirinya, hanya demi mencintai pria biasa. Tak akan ada sosok yang mencintaimu dengan sangat sabar, kecuali aku.

Dan, saat kamu menyia-nyiakan itu semua, kamu akan tahu, betapa selama ini kamu melakukan kebodohan nomor satu. Dalam hitungan hari, laki-laki memang anti sakit hati, tapi liat nanti. Di bulan kedua, di bulan ketiga, di bulan keempat, sesakmu justru akan lebih parah dari sesakku. Di bulan-bulan penuh kesesakanmu itu, tentu aku sedang giat-giatnya berbahagia karena novelku tentang sakit hati ditinggalkan olehmu telah terbit dan saat itu tentu aku sedang sangat bahagia bersama pria yang lebih baik darimu, tentunya dia berlian, bukan sampah sepertimu.

11 April 2015

Hujan yang mengobati kemaraumu

Aku mencintaimu dan hal itu bisa kaubaca dari mataku, mata yang tiga tahun lalu menatapmu. Saat itu, aku masih berumur tujuh belas tahun, di mata gadis seusiaku, kamu adalah pria sempurna. Lihatlah kacamatamu, lensa tidak terlalu tebal dengan frame berwarna hitam. Matamu sipit, tapi itu bukan kekurangan bagiku, mataku juga sipit, ya, mata kita sama. Hidungmu mancung dan rasanya aku ingin mendekatkan hidungku dengan hidungmu agar bisa kurasakan hela lembut napasmu. Pipimu tidak tirus, pas dengan rahang yang juga tak terlalu tegas. Bibirmu tipis, sempurna untuk menjatuhkan ciuman pertama.

Aku mencintaimu dan hal itu masih bisa kaubaca hingga saat ini. Saat kita duduk berdua, menatap ramainya Jalan Raya Bogor malam ini. Pada akhirnya, aku bertemu lagi denganmu, pria yang kucari bertahun-tahun lamanya. Mungkin, wajahku terlihat lebih segar karena aku menyembunyikan jutaan peluh, ribuan keringat, ketika terseok-seok kelelahan mencari keberadaan dirimu. Sekarang, kita ada di sini, kamu di kursi kemudi, aku duduk di sebelah kiri, membicarakan masa lalu yang tidak pernah mati.

Aku mencintaimu dan kamu tak akan pernah tahu sosokmu selalu ada dalam novelku. Malam ini, kita bercerita banyak hal, kamu bertanya soal karya-karyaku dan aku berusaha memahami semua pekerjaanmu. Berkali-kali aku melirik ke arahmu, kacamatamu yang memantulkan cahaya lampu jalanan, mengingatkanku pada sosokmu tiga tahun lalu. Waktu kita bertemu di bus menuju Yogyakarta. Cara bicaramu, tawamu, helaan napasmu benar-benar tak berubah. Aku merasakan detak yang sama, kecanggung yang sama, seperti tiga tahun lalu ketika pertama kali aku bertemu denganmu.

Aku mencintaimu dan pembicaraan antara gadis usia 20 tahun dan pria dewasa berusia 27 tahun ini membuatku semakin tak mengerti, apakah kamu juga merasakan hal yang sama? Sekali lagi aku menatap wajahmu, kamu terlalu tampan untuk gadis bodoh sepertiku, gadis yang menghabiskan tiga tahunnya hanya untuk menunggu pria yang tak akan pernah jatuh cinta padanya. Aku menghela napas berat, pertemuan kita kali ini bisa saja bukan karena cinta, mungkin hanya rasa penasaranmu yang ingin tahu apakah aku masih sekanak-kanak dulu, atau lebih menyakitkan lagi mungkin kamu hanya ingin memastikan apakah aku masih ingin dan masih sabar untuk menunggumu?

Aku mencintaimu dan dekat denganmu seperti ini, membuatku semakin sulit untuk bernapas, napasku tersengal seakan ingin tertawa tapi sebenarnya aku menangis. Aku sekarang duduk di samping pria, yang seharusnya aku bisa melakukan hal yang lebih dari sekadar duduk. Harusnya aku sudah berteriak sejak tadi, menangis, bertanya, meminta penjelasan mengapa dia pergi dengan begitu mudah? Mengapa dia pergi tanpa lambaian tangan? Bayangkan saja, gadis tolol ini telah menunggumu selama bertahun-tahun dan kamu tak membiarkan dia menjelaskan apa yang menjadi endapan dalam hatinya.

Aku mencintaimu, sayangnya kamu memperlakukanku seperti gadis bodoh yang jemarinya seakan sudah berada dalam genggamanmu. Kita duduk berdua, di dalam komidi putar yang siap memutar nasib kita. Kamu tertawa kegirangan, sementara aku berpegangan ketakutan-- kebingungan. Saat komidi putar kita berada di atas, aku dan kamu melihat keindahan yang sama, tawa kita mengalahkan seluruh tawa yang paling keras. Lalu, komidi putar kita berangsur bergerak ke bawah. Kamu tiba-tiba keluar, menutup, kemudian mengunci pintu komidi putarku. Kamu pergi begitu saja, tidak memberiku pesan atau nasihat jika aku ketakutan menghadapi putaran permainan ini sendirian. Langkahmu berangsur menjauh dan komidi putar yang awalnya kita naiki berdua, kembali berputar lagi. Aku sendirian di sana, menatap punggungmu yang jauh, dan semakin jauh.

Aku mencintaimu lalu sekarang apa arti pertemuan kita kali ini jika hanya ingin menimbulkan luka di hatiku? Aku tahu gadis itu! Aku tahu siapa saja yang ada dalam percakapan di ponselmu! Jadi, apa maumu menemuiku untuk yang kedua kalinya? Ingin mengajakku bermain komidi putar lagi, menunggu sampai putaran terbawah, lalu meninggalkanku sendirian lagi? Tidak, Tuan, kali ini aku tidak akan membiarkanmu turun dan mengunci pintu komidi putar kita. Saat sampai di putaran terbawah, aku akan memegang lenganmu hingga kamu tak akan sempat kabur. Biarkan komidi putar ini terus berputar, terus berjalan. Biarkan aku pusing dan sempoyongan, selama bersamamu; aku rela untuk mabuk.

Aku mencintaimu dan karena sekarang aku bukan lagi gadis kecil berusia tujuh belas tahun, maka aku siap untuk diajak masuk ke dalam permainanmu. Aku mencintaimu dan karena sekarang aku adalah gadis berusia dua puluh tahun, maka aku akan memberanikan diri menahanmu agar tak lagi pergi. Aku tak peduli siapa perempuan yang lain yang kau dekati, aku tak ingin tahu apakah kamu juga mencintaiku atau tidak, aku tak ingin memahami apa arti peluk dan rangkulmu kali ini, yang jelas aku tak ingin kehilangan kamu untuk yang kedua kali.

Aku mencintaimu dan rasanya tiga tahun menunggumu sudah sangat cukup bagiku. Lihatlah gadis polos ini, gadis yang diam-diam mengagumimu meskipun mungkin kamu hanya hidup dalam angannya. Arahkanlah pandanganmu padaku, aku tahu aku ini hanyalah bumi yang merindukan langit teduh sepertimu, tapi izinkan aku menjadi hujan yang selalu siap mengobati kemaraumu.