Aku tidak pernah seberdebar ini menunggu seseorang bangun untuk shalat subuh. Aku tidak pernah merasa setakut ini hanya untuk mendengar suaramu di ujung telepon. Kamu hadir dalam bulan-bulan ketika aku berusaha melupakan seseorang, dan saat ini aku masih bertanya-tanya siapa dirimu yang sebenarnya? Aku tidak sepenuhnya yakin kamu adalah jawaban Tuhan atas semua doaku. Aku juga tidak terlalu yakin bahwa kamu adalah malaikat tanpa sayap yang dikirim langsung dari surga untuk menenangkanku sesaat. Kamu terlalu jauh untuk kutatap dan kugenggam, dan semua pertanyaan ini perlahan membuat dadaku sesak dan sekarat.
Dua bulan terakhir, kamu hadir dalam hidupku. Menjelma menjadi seorang pria sederhana yang cara bicaranya begitu tertata. Kita bertukar sapa hingga larut malam, hingga sunyinya jangkrik berubah jadi gema azan subuh. Setelah menunggumu menyapa Tuhan, kita kembali membicarakan berbagai hal absurd yang entah mengapa segalanya begitu menyenangkan bagiku. Aku pernah lupa rasanya bertanya-tanya dalam hati seperti ini. Aku pernah lupa rasanya begitu bahagia hanya mendengar suara seseorang. Aku pernah lupa rasanya tersenyum diam-diam ketika bisa bercakap dengan seseorang yang mengerti duniaku-- dunia yang tak pernah dimengerti siapapun.
Aku menyukaimu. Aku mohon maaf jika ini terlalu lancang. Tapi, adakah yang bisa menahan diri jika telah lama kamu menunggu seseorang yang sangat kauinginkan, lalu dia datang disaat kausendiri, disaat kaubutuhkan dia dalam hari-harimu, dan disaat hatinya hampir sekarat karena terlalu sering patah. Ya, kamulah sosok itu. Pria yang hadir dalam dinginnya malam-malamku, pria yang hadir dalam gelapnya duniaku, dan pria yang tiba-tiba muncul dari rinainya hujan kemudian dengan segera memberikan payung untukku.
Saat pertama mengenalmu, aku tidak pernah tahu bahwa kita akan sedekat ini. Pertengkaran kita, dua bulan lalu, seakan mendekatkan kita. Saat itu, semesta telah berkonspirasi untuk mempertemukan aku dan kamu. Tidak pernah aku merasakan senyaman ini berbagi cerita bersama seorang pria. Pria yang mengerti leluconku, pria yang begitu menghargai isi otakku, pria yang mengerti imajinasiku, pria yang memahami apa mauku, pria yang mencoba mengalah untukku-- pria yang segalanya dia lakukan; selalu berhasil membuatku bahagia.
Kini, kamu adalah duniaku, meskipun percakapan kita hanya sebatas chat dan suara, namun aku merasa kita adalah kawan lama yang dipertemukan kembali oleh Tuhan; entah untuk tujuan apa. Dua bulan ini, aku bertahan pada jauhnya jarak kita, dan hanya bisa membayangkan betapa nyamannya bisa benar-benar mendengar suaramu hanya dalam jarak beberapa sentimeter. Setiap berjam-jam kita bercakap di ujung telepon, aku berharap bisa menarik tanganmu dari ponselku, berharap bisa merasakan hangatnya genggaman tanganmu. Saat melihat fotomu, aku berharap bisa benar-benar menatap matamu, melihat wajahmu, dan berhenti untuk membayangkan bagaimana manisnya senyum tipismu. Egoiskah jika aku lelah pada semua ini? Dilarangkah jika aku mulai ingin kamu menjadi milikku satu-satunya?
Mungkin, kita berdua tahu, ini memang cinta, walaupun belum pernah ada tatapan mata sebelumnya. Tapi, aku selalu bertanya-tanya, sampai kapan aku harus terus menunggu? Sampai kapan aku harus terus membayangkan hangatnya pelukmu, bagaimana lebarnya lenganmu, bagaimana menyenangkannya dikecup keningku olehmu, bagaimana, bagaimana, dan bagaimana? Sampai kapankah kamu membiarkanku terus bertanya-tanya dan berharap?
Salahkah jika aku ingin kita lebih dari ini? Semua panggilan sayang itu, semua kata cinta itu, dan semua perasaan aneh yang selalu membebaniku ini selalu membuatku mulai merasa berat menjalani hari-hari. Aku selalu merindukanmu, selalu ingin melihatmu, selalu ingin kita segera bertemu, tapi ternyata untuk saat ini-- semesta belum mengizinkan kita bersama. Aku tidak bisa lagi menyangkal bahwa aku sedang dalam keadaan sangat mencintaimu, tidak ingin kehilangan kamu, ingin memilikimu, dan ingin mengusir semua perempuan yang berusaha mendekatimu, atau yang mungkin berusaha kamu dekati.
Aku ingin merasakan hangatnya genggaman jemarimu. Aku mau merasakan menyenangkannya berada di pelukmu. Aku menunggu kebahagiaan itu datang, menunggu saat kita duduk berdua, sibuk menonton film Amerika, atau film Thailand, atau film Korea, atau film apapun-- asal bersamamu. Aku ingin melihat matahari terbit dan tenggelam; bersamamu. Aku ingin kita ke Malang, ke Yogya, ke Surabaya, ke Bandung, ke Jakarta, ke Dufan, ke manapun; yang penting bersamamu. Aku ingin jadi perempuan paling bahagia karena bisa memilikimu seutuhnya. Aku tidak sabar untuk bersikap posesif padamu, menanyakan setiap wanita jahil yang berusaha menggodamu. Aku sangat ingin jadi prioritasmu. Egoiskah aku jika aku menginginkan kamu sebagai penyebab kebahagiaanku?
Aku ingin kita berhenti saja sampai sini. Menghentikan semua drama yang melelahkan ini. Aku terlalu lelah menunggu, terlalu sabar menanti, dan terlalu sakit untuk diajak berjalan lagi. Aku ingin kita bertemu di satu titik, titik yang membuat memacu kita untuk berlari makin cepat, agar semua ini tidak akan pernah berubah jadi terlambat.
Aku ingin kita memulai semua dari awal lagi, sebagai pasangan yang benar-benar pasangan. Sebagai pasangan yang dimabuk cinta karena pertemuan nyata, bukan karena gombalan dan rayuan dari ujung telepon semata. Saat itu terjadi, kita akan mulai berjalan lagi, dengan langkah yang tertata rapi, dengan saling bergenggaman tangan juga.
Aku tidak mampu berbohong lagi, bahwa aku sangat ingin kita segera bertemu, bahwa aku ingin kita segera bersama, bahwa aku ingin kita normal seperti pasangan lainnya. Meskipun orang-orang di luar sana pasti sibuk bertanya, "Memangnya kamu mau lagi jatuh cinta dengan yang beda agama?"