Baca Sebelumnya: Empat puluh dua hari tanpamu
Kemarin adalah tanggal jadianku bersama dengan perempuan yang kini telah menjadi kekasihku, namun empat hari yang lalu adalah tanggal jadian kita, tanggal dua puluh. Aku tahu bahwa lima bulan kebersamaan kita tidak akan pernah jadi bagian yang harus dirayakan. Sehabis memberi kejutan untuk kekasih baruku, aku langsung mengarahkan sepeda motorku menuju rumahmu. Pukul satu dini hari, suara sepeda motor Honda CBR-ku yang sangat berisik itu ternyata tidak membuatmu seketika berada di depan pagar rumah. Ah, padahal dulu kamulah gadis yang selalu aku jumpai di depan pagar rumah ketika baru beberapa detik aku mematikan mesin sepeda motorku. Kamulah gadis yang paling hapal suara sepeda motorku, berbeda dengan kekasih baruku yang bahkan tak pernah menyadari kehadiranku jika aku berada di depan rumahnya.
Aku sangat tahu bahwa kamu tidak akan membaca ini, begitupun aku segera tahu bahwa kamu tak akan peduli pada pria yang merokok di dekat pos siskamling rumahmu, entah menunggu siapa, entah menanti apa. Aku hanya melihat mobilmu terparkir di teras dan itu sudah cukup membuatku merasa damai. Beberapa menit setelah tiga batang rokok habis, ternyata gadis yang aku rindukan berbulan-bulan itu tidak kunjung muncul di depan pagar rumah. Aku memutuskan pergi dengan perasaan hampa sambil memegangi kuat-kuat bekal sahur yang diberikan kekasih baruku.
Aku tidak tahu, menjelang sahur seperti ini, entah mengapa jalanan di Depok terasa lebih dingin, mungkinkah ini karena hatiku kembali patah berkali-kali? Tak bisa kupahami, mengapa setiap mengingatmu, rasa bersalah itu kembali merasuki. Ingin rasanya aku memutar ulang kejadian beberapa bulan yang lalu, saat aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Harusnya, aku tidak melakukan itu semua dan emosi sesaat itu bisa kupendam senormal mungkin.
Nyatanya, aku kalah. Mungkin, gadis baik sepertimu tidak pantas berada di tangan penjahat sepertiku. Dan, aku biarkan kamu pergi tanpa tahu alasan dan penjelasan dariku. Kamu pun juga pergi tanpa mengemis penjelasan dan alasan dariku. Mengapa kautidak meminta, setidaknya bertanya? Memberi aku waktu untuk menjelaskan segalanya ataukah mungkin kamu sudah mulai merasakan bahwa kejadian seperti kemarin pada akhirnya akan terjadi, sehingga kamu tidak kaget, dan tidak butuh waktu lama untuk melupakanku? Kalau kauingin tahu, hal paling dingin di dunia ini bukanlah salju, tapi ketika aku merasa dilupakan oleh sosok yang sebenarnya aku cintai, namun dengan sangat terpaksa harus aku lepaskan. Mungkin, selama ini yang kautahu aku melepaskanmu karena juga menjalin hubungan dengan kekasih baruku yang sekarang, itupun benar-- tapi sesungguhnya aku melepaskanmu karena terpaksa. Ya, kamu tidak akan memahami ini semua, aku saja tidak mampu memahami keputusanku, apalagi kamu.
Kurasa, dunia ini sudah gila, semenjak tanpamu; hidupku makin berantakan. Begitu juga kuliahku, hatiku, perasaanku, dan pikiranku. Aku tidak pernah menyangka bahwa patah hati bisa sesakit ini, sementara sebagai pria yang ditutut agar tak menangis; aku harus menyembunyikan air mata dan aku tak tahu kapan semua ini akan berakhir. Kaca helmku semakin buram karena berkali-kali aku menghela napas, pikiranku kacau, dan laju sepeda motorku tak beraturan.
Aku rindu pelukanmu yang duduk di belakang jok sepeda motorku. Aku rindu teriakan kecilmu ketika aku ngebut di jalanan Depok yang ramai. Aku rindu amarahmu ketika aku menerobos lampu merah kemudian kabur dari polisi yang telah melambaikan tangannya memanggil aku dan sepeda motorku. Aku rindu caramu yang kagok menaiki sepeda motorku yang tingginya lebih dari satu meter itu. Aku rindu suara kecilmu menyanyikan lagu Taylor Swift ketika bosan menunggu lampu merah berganti hijau.
Aku rindu mata bulatmu yang tajam dan penuh arti, mata indah yang kupandangi dengan mencuri bayangmu di kaca spion, ketika kamu membuka kaca helm karena kepanasan. Aku rindu mengantarmu sampai depan rumah. Aku rindu menjemputmu di kampusmu tercinta. Aku rindu menemanimu makan sate dan kebab. Aku rindu menjemputmu di stasiun kereta. Aku rindu kesederhanaanmu. Aku rindu suaramu. Aku rindu setiap inci tubuhmu yang dulu bisa aku pandangi kapanpun aku mau. Aku rindu rambutmu, hidung mancungmu, bibir tipismu, dan rahang tegasmu.
Aku rindu jemari kecilmu, jemari yang telah menghasilkan ratusan tulisan. Aku rindu tawamu. Aku rindu caramu menjelaskan apapun yang aku pertanyakan. Aku rindu amarahmu. Aku rindu pesan singkat, chat-mu, dan teleponmu. Aku rindu saat-saat kebersamaan kita. Aku rindu pelukmu. Aku rindu kecupmu. Aku rindu menemanimu menulis di MCD Cibinong. Aku rindu memakan ice cream sundae di sampingmu dan seperti biasa kamu merelakan sisa ice cream-mu untukku.
Aku rindu mata bulatmu yang tajam dan penuh arti, mata indah yang kupandangi dengan mencuri bayangmu di kaca spion, ketika kamu membuka kaca helm karena kepanasan. Aku rindu mengantarmu sampai depan rumah. Aku rindu menjemputmu di kampusmu tercinta. Aku rindu menemanimu makan sate dan kebab. Aku rindu menjemputmu di stasiun kereta. Aku rindu kesederhanaanmu. Aku rindu suaramu. Aku rindu setiap inci tubuhmu yang dulu bisa aku pandangi kapanpun aku mau. Aku rindu rambutmu, hidung mancungmu, bibir tipismu, dan rahang tegasmu.
Aku rindu jemari kecilmu, jemari yang telah menghasilkan ratusan tulisan. Aku rindu tawamu. Aku rindu caramu menjelaskan apapun yang aku pertanyakan. Aku rindu amarahmu. Aku rindu pesan singkat, chat-mu, dan teleponmu. Aku rindu saat-saat kebersamaan kita. Aku rindu pelukmu. Aku rindu kecupmu. Aku rindu menemanimu menulis di MCD Cibinong. Aku rindu memakan ice cream sundae di sampingmu dan seperti biasa kamu merelakan sisa ice cream-mu untukku.
Aku rindu menatapmu dari kaca spion, menatap gadis yang masih menunggu sepeda motorku hilang dari pandangan. Aku rindu caramu berterimakasih karena telah mengantarkanmu sampai depan rumah. Aku rindu apapun tentangmu dan aku tak tahu mengapa enam puluh hari tanpamu rasanya masih seneraka ketika pertama kali aku berusaha untuk membiarkanmu pergi.
Gadisku, aku pernah berpikir bahwa dengan membebaskanmu, maka itu bisa membuatmu bahagia; kalau boleh aku bertanya, apakah hidupmu kali ini sungguh bahagia? Biar aku tebak, tentu kamu sudah mendapatkan pria yang lebih baik dari aku. Pria yang tidak menggunakan sepeda motor Honda CBR, tetapi menggunakan mobil Honda Jazz. Pria yang berkuliah di universitas negeri terbaik, bukan pria bodoh sepertiku yang terjerembab di universitas swasta. Pria seagama yang bisa mengantarmu sampai depan gereja atau bahkan ikut memasuki gereja, bukan pria penuh bualan seperti aku yang mengaku nasrani hanya karena tak ingin kamu pergi. Hidupmu tentu bahagia, novelmu mungkin sudah masuk buku kesembilan, dan kamu sudah berhasil melupakanku. Wahai gadisku, jika kamu memang sudah bahagia, bisakah kamu ajarkan caranya bahagia tanpa pernah merasa menyesal karena telah melepaskan milikku yang terbaik? Karena kamu yang terbaik, aku tak pernah tega untuk merusakmu. Dan, biarlah kita tetap sejauh ini, biarkan aku tidak bahagia dengan kekasih baruku, asalkan aku tahu kamu telah bahagia dengan kekasih barumu. Bukankah itu pengorbanan tertinggi dari cinta? Tapi, tahi kucing dengan pengorbaban yang bikin aku kesakitan ini!
Kini, aku sudah sampai di kamar kosku. Waktu sahur telah tiba. Aku mengganti baju, mencuci tangan, dan memakan bekal yang diberikan kekasih baruku. Setelah itu, aku meminum kopi kemudian kembali membakar satu batang rokok. Asap rokok yang aku masukkan ke dalam tenggorokan dan paru-paru memang tak begitu banyak, namun banyak kenangan tentangmu yang berputar di otakku, lalu aku embuskan asap rokok dengan embusan berat; seakan berusaha keras terlepas dari sisa-sisa luka.
Aku tak perlu merasa heran lagi, ketika kali ini aku kembali memutar lagu-lagu Taylor Swift, hanya untuk membuatku merasakan kehadiranmu. Aku membayangkan suara Taylor Swift kali ini adalah suaramu, kamu sedang berbisik di telingaku, dan berkata bahwa kamu ingin memelukku sampai matahari lupa caranya terbit.
dari pria yang selalu merasa;
bahwa kehilangan kamu adalah dosa,
yang selalu berhasil membuat dia;