Di kamarku yang sepi, sambil mendengarkan rintik hujan malam ini, aku hanya bisa diam dan merenung. Mungkin, aku perempuan paling tolol yang pernah ada, perempuan yang selalu mencintaimu tanpa banyak menuntut dan meminta. Ketika wanita jalang itu mengaku kekasihmu, aku hanya tersenyum sinis dan tertawa. Dalam pikiranku, dialah yang mendekatimu, dialah yang diam-diam masuk dalam hubungan kita, dan dialah yang memurahkan diri untuk melahap habis perhatianmu.
Saat mencintaimu, aku tak ingin percaya pendapat siapapun. Aku tak ingin percaya pada bisikan sahabatku bahwa kamu adalah rubah dengan wajah domba, serigala dengan tatapan kucing manja, dan kelalawar bertaring ompong. Ya, aku tak ingin percaya apa kata mereka, yang aku tahu; kamu mencintaiku dan aku sangat menggilaimu setulus hati.
Kamu menawarkan banyak mimpi padaku, sebagai perempuan yang masih meraba-raba apa itu cinta; aku tak menolak untuk masuk ke dalam dunia khayalmu. Kau tidak memaksaku masuk ke dalam hujan dan badai, kau sediakan pelangimu sendiri, pelangi kita, yang ternyata-- semu.
Aku ingat bagaimana pertemuan awal kita adalah pertemuan terbodoh yang pernah terjadi dalam hidupku. Kaudiam dan aku diam. Kau sebutkan nama dan aku memulai cerita. Kau suguhkan perkenalan dan aku menerima perkenalan itu dengan senyum bahagia. Bahagia. Karena aku sudah mencintaimu bahkan saat pertama kali kamu menyapaku lewat chat kita. Aku sudah memilihmu bahkan sebelum kita bertemu.
Aku ingat bagaimana saat jemarimu menggenggam erat jemariku. Bagaimana mata itu menatap mataku dengan tatapan rindu. Bagaimana senyummu berhasil membuat aku tak ingin jauh dari ponsel, karena tak ingin berhenti menatap fotomu. Bagaimana bibirmu yang selalu terlihat tertawa ketika bersamaku memaksa aku untuk terus menceritakan hal-hal lucu, agar sekali lagi bisa aku rasakan keteduhan yang tak bisa dijelaskan; dari percakapan bodoh kita yang terjalin semalaman.
Enam bulan ini, kamulah satu-satunya, meskipun kamu selalu menuduhku bersama pria yang lain. Beberapa bulan ini, walaupun hanya beberapa, namun sosokmu telah melekat sangat dalam. Kamu berhasil membuatku lupa pada masa laluku, lupa bahwa aku pernah punya luka, dan aku lupa bahwa kita memang belum terikat status apa-apa. Kamulah yang terbaik, pikirku, dan aku tak peduli apa kata orang tentangmu. Yang jelas, aku mencintaimu, dan itu tak akan berubah meskipun wanita jalang itu mengaku bahwa kalian telah tiga bulan bersama, mengaku bahwa kaujuga memanggil dia dengan panggilan yang sama; panggilan yang kau berikan padaku juga.
Aku tidak peduli dan menutup telinga pada apapun yang membuatku sebenarnya tersiksa. Aku jatuh cinta padamu dan aku sangat mempercayaimu. Aku percaya kautidak akan menyakitiku karena aku masih yakin kamu adalah kamu, kamu yang kukenal, kamu yang tanpa topeng, dan kamu yang seutuhnya dirimu. Itulah caraku menilaimu, meskipun dunia melarang kita untuk bersama, tapi bagiku tak ada alasan untuk berhenti mempertahankanmu. Namun, mereka tetap menilaiku bodoh, tolol, tidak punya otak; benarkah memang aku yang melakukan kesalahan selama ini?
Sore tadi, puncak dari semua pertanyaanku terjawab sudah, suara beratmu cukup menjawab.
"Dek, aku di Polresta Depok." kamu mengawali pembicaraan diikuti dengan embusan napas berat.
"Ngapain di sana?" aku tidak panik, kujawab pernyataanmu dengan anggapan positif.
"Ganja. Satu linting."
Aku diam. Menghela napas. Menghela lagi. Sekali lagi. "Maksudnya? Kok, aku nggak tahu kamu selama ini...."
"Karena aku sayang sama kamu."
Aku terdiam mendengar jawabanmu. "Itu bukan jawaban, Tuan Kriminal."
Dan, kututup panggilan ponselku. Kuhapus nomormu dan aku menangis sekuat yang aku bisa. Rasanya tidak adil kalau aku mencintai orang yang sebenarnya tak pernah aku kenal. Rasanya tidak adil jika aku mencintai kamu yang kurasa sempurna, namun sebenarnya penuh dusta. Rasanya tak adil jika semua ini harus terjadi padaku sementara aku merasa telah sepenuh hati untuk melakukan banyak kebaikan untukmu. Rasanya ini tak adil jika pada akhirnya aku tahu; kamu tak pantas diperjuangkan sedalam itu.
Seharusnya dulu, kudengar ucapan sahabatku. Seharusnya dulu, tak perlu aku mengulurkan tangan ketika kau tawarkan perkenalan. Seharusnya memang, aku tak perlu sedalam ini mencintaimu.
26 February 2015
19 February 2015
Apakah kita akan bertemu lagi? (END)
Lanjutkan petualanganmu, menjawab pertanyaan apakah selama ini yang kamu rasakan #SamaDenganCinta ? Sebelumnya baca: Apakah kita akan bertemu lagi? (6)
7 Januari 2015, dini hari
Hujan di
luar masih menimbulkan udara dingin di tubuhku. Aku sesekali mengintip ke luar
jendela dan melihat apakah hujan akan berhenti dengan segera. Pukul tiga, pagi
ini, aku bergegas mandi dan bersiap menuju terminal bayangan bus DAMRI yang tersedia di Cibinong
City Mall.
“Sarapan
dulu,” ucap Mama dengan wajah mengantuk, “Nanti kamu masuk angin kalau nggak
makan. Busnya pasti dingin.”
Setangkup
roti sudah ada di tanganku, Mama menemaniku di meja makan, menatapku dengan
tatapan sayu. “Kamu nggak capek pulang-pergi ke luar kota mulu? Kemarin juga
tidurnya cuma beberapa jam.”
“Namanya
tugas negara, Ma. Hehehe.” jawabku singkat sambil tetap mengunyah roti di
mulutku, “Berbagi ilmu sampai ke luar kota nggak salah, kok, Ma.”
Mama
menghela napas berat, “Jaga kesehatan, lho, Nak, banyak minum air putih.”
Aku
tersenyum simpul, ponselku berdering nyaring. Jemariku langsung meraih benda
berwarna putih keemasan itu.
“Gue depan
rumah,” seperti biasa, tanpa basa-basi, Tyas selalu menyapaku dengan lantang,
“Keluar lo, udah mau jam setengah empat ini.
Ketinggalan bus aja lo!”
“Iya, gue
keluar.” tanggapku cepat lalu mematikan ponsel.
Segera aku
mencium kening Mama dan membawa barang perlengkapanku. Mama mengantarkanku
sampai depan pagar rumah dan masih menatapku bahkan hingga mobil Tyas berjalan.
“Udah siap
semua?” tanya Tyas tanpa menatap mataku.
Aku
mengangguk.
“Bete, ya,
sama gue karena nggak gue anterin sama bandara? Namanya sidang skripsi.”
“Iyalah,
biasanya juga dianterin, jahat lo emang. Sidang skripsi, kok, mendadak!”
Tyas
tertawa enteng, “Kemarin malam bilangnya oke-oke aja, katanya oke kalau naik
DAMRI, katanya oke kalau ada tugas negara.”
“Plis, deh,
Yas. Ini bukan tugas negara.”
“Tugas
negara itu bahasa hiperbolanya, Neng, kirain penulis bakalan tahu. Intinya
undangan seminar itu sama pentingnya kayak tugas negara. Titik.”
Aku hanya
menatap jalanan dan memandang lampu-lampu yang masih menyala di
jalan Pemda Cibinong. Gelap. Sunyi. Sepi. Tidak banyak kendaraan berlalu-lalang.
Beberapa
menit kami sempat terdiam, lalu aku memutuskan kembali membuka suara. “Semalam gue chat sama Radit.”
“Hmm,
terus?” ungkap Tyas seakan tak menunjukan ketertarikan pada bahasan yang ingin
aku ceritakan.
“Ya, cuma chat aja, tapi dia offline gitu, padahal gue nanya sesuatu yang bikin gue sebenernya
penasaran banget buat tahu jawabannya dia.”
Tyas
pura-pura batuk sebentar seakan menggodaku, “Radit mulu, nggak aus?”
Baru aku
ingin membalas godaan Tyas, ternyata mobilnya telah parkir di dekat DAMRI yang
berhenti di dekat Cibinong City Mall.
“Lo cepet
juga nyetirnya,” aku meraih koperku yang ada di jok belakang mobil, “Sebentar
lagi busnya pasti jalan.”
“Bukan gue
yang nyetirnya cepet, tapi lo yang kerjaannya bengong mulu mikirin Radit.” ucap
Tyas masih tetap dengan nada menggoda, dia mematikan mesin, dan segera menuruni
mobil.
Tyas
membawa tasku dan mengantarku sampai ke dalam bus. Dia menyelesaikan pembayaran
busku, memberi print out tiket
pesawat, dan memberi beberapa wejangan
serta nomor ponsel yang bisa dihubungi selama seminar di Jogja.
Tepat pukul
empat pagi, bus DAMRI berjalan menuju bandara Soekarno-Hatta. Aku menatap
jalanan dengan perasaan biasa saja. Aku tidak mempedulikan ramainya bus dini
hari itu, tidak memikirkan suara dengkuran yang terdengar, dan menatap jalanan
secara terus-menerus membuat mataku ingin tertutup dan… terpejam.
Kepalaku terasa
berat ketika aku terpaksa bangun karena rem mendadak sang supir. Aku menggerutu
dalam hati dan berlanjut memandangi jam tanganku. Pukul lima pagi. Aku menghela
napas dan menguap beberapa kali, karena tak punya alasan lain untuk berlanjut
tidur lagi, aku meraih ponselku yang ada di dalam tas.
Beberapa
pesan di Line, Whatsapp, dan BBM telah menyambutku. Aku membalas curhatan
yang dikirim oleh pembacaku dan followers
Twitter-ku. Ketika asik membalas dan membaca semua curhatan itu, chat Radit
tiba-tiba masuk, dan tanpa kusadari; aku tersenyum membaca pesan itu.
“Pagi,
Sari.”
Aku membaca
dengan senang hati dan memikirkan baik-baik kalimat apa yang pantas aku tulis
untuk membalas pesan Radit. “Pagi juga, Dit.”
“Lho, udah
bangun, nih, Sar? Lagi apa?”
Dengan hati
berbunga-bunga, aku kembali membaca pesan itu. Berulang-ulang dan memikirkan
balasan apalagi yang bisa aku kirim untuk Radit. “Lagi otw ke bandara, nih,
kamu lagi apa, Dit?”
“Lagi di
samping perempuan yang nggak nyadar kalau dari tadi sandaran di bahu aku, nih.”
Jawaban
Radit bagiku sangat aneh, berulang-ulang aku membaca kalimat itu dan tak paham
dengan yang Radit ucapkan. “Maksudnya, Dit?”
“Maksudnya,
kamu, tuh, daritadi sandaran sama aku pas ketiduran.” ucap suara yang kudengar jelas di
sampingku.
Aku
terbelalak. Seorang pria berkacamata, dengan wajah oriental, menatapku dengan
hangat. Wajahnya disinari lampu jalanan. Dari kacamatanya, terpantul cahaya
lampu jalanan yang berpendar dan sesekali menghilang. Mata itu masih sehangat
dulu, sehangat ketika pertama kali bertemu.
“Kamu ke
mana aja?” itulah kalimat pertama yang aku ucapkan ketika kami kembali bertemu
lagi, “Aku mencari kamu ke mana-mana.”
Radit
tertawa kecil sesaat, “Aku juga mencari kamu ke mana-mana. Ternyata, ketemunya
di bus juga.”
Entah
mengapa, mataku tiba-tiba berair. Radit yang melihatku tak bisa berkata banyak.
Dia hanya memelukku dengan rapat dan mencium keningku beberapa kali. Tangisku
tak berakhir, dia kembali memelukku lebih erat lagi, “Berterimakasihlah sama
Tyas, aku dapat nomornya dia dari bio akun Twitter kamu. Aku minta tolong sama
dia buat merencanakan pertemuan ini.”
“Tyas
sialan.” ucapku dengan suara tak jelas. Aku tertawa sekaligus menangis. “Kamu
jadi udah tahu kalau Sari yang kamu chat setiap
hari itu adalah aku?”
“Tahu,
dong, pura-pura nggak tahu aja supaya kejutan.”
Mataku
kembali berair, “Ini bukan kejutan lagi, Dit, aku bukan cuma terkejut, tapi
bahagia.”
Radit
melepaskan peluknya. Dia menatap mataku dalam-dalam dan bisa kubaca kerinduan
di matanya. Aku tak bisa berbuat banyak ketika mataku sama-sama berair dan
matanya pun tiba-tiba berair. Kami sama-sama menangis, entah tangisan sedih
atau bahagia; yang jelas bagiku ini adalah pagi yang paling sempurna.
Wajah Radit
mendekat dan ketika dia menyentuh bibirku dengan bibirnya, aku hanya memejamkan
mata sesaat. Ketika pipiku menyentuh pipinya, aku merasa air mata hangatnya
turut menempel di pipiku. Radit memperbaiki posisi duduknya dan dia
mempersilakan aku untuk bersandar lagi di bahunya.
Seperti tiga tahun yang lalu.
TAMAT
14 February 2015
Apakah kita akan bertemu lagi? (6)
Lanjutkan petualanganmu, menjawab pertanyaan apakah selama ini yang kamu rasakan #SamaDenganCinta ? Sebelumnya baca: Apakah kita akan bertemu lagi? (5)
6 Januari 2015, malam hari
6 Januari 2015, malam hari
Hingga
selarut ini, aku belum tidur. Seusai menyelesaikan materi untuk workshop esok hari, aku juga
menyelesaikan beberapa deadline novel
yang harus aku selesaikan sebelum akhir Januari. Sambil mendengar Taylor Swift
melantunkan lagu Everything Has Changed,
aku jadi menghitung segalanya yang telah berubah. Ah, aku merasakan perubahan
yang terjadi sebenarnya, aku jadi sering mengharapkan Radit kembali lagi. Ya,
aku memang telah menunggunya selama bertahun-tahun, namun entah mengapa kali
ini aku sangat tidak ingin kehilangan dia untuk yang kedua kalinya? Perasaan
ini namanya apa? Apakah ini sama dengan cinta?
Walaupun ada banyak hal yang harus aku kerjakan, entah
mengapa beberapa kali aku pun tak lupa untuk melirik ponselku. Aku sangat
menunggu kabar dari Radit karena sejak percakapan kami terakhir tadi pagi, dia tidak
menyapaku lagi. Merasa cukup dengan satu bab yang telah selesai, aku mematikan
laptop dan berkeinginan untuk kembali memeriksa barang di koperku.
Langkahku pelan ke arah koper yang telah berisi banyak
keperluan selama di Jogjakarta beberapa hari ke depan. Aku kembali membuka koper
itu untuk memeriksa barang-barang yang tak boleh tertinggal. Setelah merasa
segalanya cukup rapi, aku kembali menutup koper itu dan merapikan laptopku di
meja kerja.
Ponselku berdering, aku segera meraih sumber suara, kemudian
menerima panggilan tersebut.
“Heh,
belum tidur lo?” sapa suara di panggilan teleponku.
“Baru selesai ngerjain deadline
terus periksa koper.” jawabku enteng.
“Kenapa suara lo? Lesu amat?” seloroh Tyas dengan suara
lantang, bahkan suaranya masih terdengar semangat seperti speaker dangdutan di tengah malam seperti ini.
“Kepikiran Radit, Yas.” aku mengaku dengan lesu, “Dia nggak
ngabarin gue seharian.”
“Jangan kayak anak umur belasan tahun yang baru jatuh cinta,
deh, yang ditinggal dikit sama pujaan hati langsung kecut dan asem gitu
mukanya. Kayak nggak ada hari esok aja.”
“Nahan kangennya itu yang susah, Yas.”
“Lebay lo, ah! Kangen yang kayak gimana? Jangan buru-buru
bilang bahwa perasaan lo itu cinta, deh, atau kangen, atau apapun yang ada
hubungannya sama perasaan. Bisa aja cuma pelampiasan, bisa aja cuma rasa
penasaran, bisa aja cuma lo pengin tahu apa yang sebenernya terjadi ketika
Radit nggak ngasih kontak nomornya ke lo. Plis, deh, Dwit. Hidup harus tetap
berjalan.”
“Tapi, gue nunggu dia, Yas.” aku menghela napas, “Tiga tahun
nggak sebentar.”
Tyas tertawa menyindir, “Dalam rentan waktu itu lo juga
deket sama yang lain? Cowok yang jadi sumber cerita lo. Siapa aja coba? Gue aja
sampe nggak inget! Hadi, Rizky, Ari, Awan, Bintang, nggak sekalian bulan sama
matahari aja?”
“Sialan lo, Yas!” aku tertawa kecut, “Iya, mereka emang
singgah di hati gue, tapi Radit ini nggak terhapus, Yas.”
“Radit udah terhapus,” potong Tyas dengan cepat sebelum
penjelasanku selesai, “Lo cuma nggak terima karena dia pergi gitu aja ketika lo
merasa hubungan kalian sebenernya bisa lebih dari sekadar kekasih 18 jam.”
“Menurut gue nggak gitu, Yas.”
Helaan napas Tyas terdengar berat dari telepon, “Yaudah, lo
tidur, deh, besok bakalan jadi hari yang sangat panjang. Gue nggak mau lo
kecapekan.”
Kami sama-sama memutuskan sambungan telepon. Kulihat satu
pemberitahuan masuk. Iya, Radit.
“Sorry, gue baru
sampe rumah dan hari ini menggila banget. Btw,
gue kangen sama lo.”
“Hai, Dit. Gue juga kangen sama lo.” aku mengetik malu-malu,
“Udah mau tidur?”
Radit offline.
BERSAMBUNG ke Apakah kita akan bertemu lagi? (END)
10 February 2015
Apakah kita akan bertemu lagi? (5)
Lanjutkan petualanganmu, menjawab pertanyaan apakah selama ini yang kamu rasakan #SamaDenganCinta ? Sebelumnya baca: Apakah kita akan bertemu lagi? (4)
6 Januari 2015
6 Januari 2015
Percakapanku
dengan Radit cukup menyenangkan setiap harinya. Dia menjadi sosok yang selalu
aku tunggu pesannya. Entah mengapa aku merasa setiap harinya ada sesuatu yang
menghangat di hatiku ketika Radit hampir setiap hari bercerita tentang
kegiatannya, pekerjaannya, hari-harinya; semua hal sederhana itu membuatku
merasa— hidup.
Ya,
Radit yang hanya bisa kusentuh lewat dunia maya itu ternyata membawa pengaruh
cukup luar biasa dalam hari-hariku. Dan, aku sekarang adalah perempuan yang
berbeda, perempuan yang merasa memiliki segalanya, perempuan yang merasa dekat
dengan salah satu mimpinya. Radit adalah salah satu sosok yang aku dambakan dan
aku tunggu, jika tidak bertemu dengannya, mungkin beberapa cerita dalam novelku
tak akan pernah selesai. Dia salah satu inspirasiku, napas ceritaku, dia hidup
dalam imajinasiku.
Pagi
inipun, saat aku masih tenggelam dengan aktivitas liburku, seperti biasanya
Radit menyapaku dengan ramah. “Udah bangun? Jakarta hujan terus, jadi males
ngantor.”
“Gue
baru bangun, Dit. Cibinong juga hujan deras sekarang.” jawabku dengan santai
meskipun sebenarnya di dalam dadaku ada ledakan luar biasa setiap kali sedang
berbalas pesan dengannya, “Udah sarapan?”
“Udah,
makan roti doang.”
Aku
tertawa kecil, “Yang penting udah ngisi perut, jangan sampe kelaperan di kantor
aja.”
“Lo
juga sana. Bangun, mandi, terus sarapan, nanti sakit, lho.”
Aku
tertawa sekali lagi, “Nggak sarapan sekali nggak bikin sakit juga kali, Dit. Lo
lagi ngapain?”
Selang
beberapa menit, aku masih menatap ponsel meskipun Radit tidak langsung membalas
chat-ku. Kulirik jam dinding di kamar, waktu telah menunjukan pukul sepuluh
pagi. Aku belum mau beranjak dari tempat tidur karena cuaca di luar cukup
mendukung untuk melanjutkan tidur yang panjang hingga siang.
“Sorry
baru bales.” Radit membalas selang sepuluh menit ketika aku mengirim chat terakhir.
“Lama
amat.” jawabku singkat.
“Ciye,
nungguin, ya, Neng?”
“Nggak,
ngapain juga nungguin lo. Kurang kerjaan kali!”
“Haha.
Gitu, sih, dia gampang ngambek. Tadi habis dari pantry, ngambil kopi, ngantuk gue.”
“Dit,
request, dong, gue.”
“Apaan?
Kalau lo minta gue ke Cibinong sekarang buat ketemu lo, gue nggak sanggup
karena hari ini full meeting sampe
bunting.”
“Lo
cowok, Dit, gimana mau bunting?”
“Yaelah,
malah dilanjutin. Mau minta apa?”
Aku
terdiam sebentar sebelum mengetik pesan, “Jangan bikin orang sering-sering
nunggu, dong, minimal bilang lo mau ngapain.”
“Hahaha.
Bawa perasaan banget, sih, lo.”
“Namanya
juga cewek, Dit.”
“Iya,
gue janji nggak bakalan bikin lo nunggu lagi. Sekarang, gue izin off, ya, gue mau kerja dulu.”
“Boleh
minta sesuatu lagi nggak?” aku mengulum bibirku dan merasa bahwa aku tidak
ingin terlalu lama jika tidak tahu kabar darinya.
“Apa
yang nggak, sih, buat lo, Ri?”
“Kalau
udah nggak ribet, kabarin, ya. Gue males kalau kangen sama lo. Nggak tahu nyari
di mana obatnya kalau bukan dari lo langsung.”
“Dasar
anak sastra! Kerjaan lo tiap hari gombalin dosen kali, ya?”
Aku
tersenyum simpul ketika membaca pesan Radit. Hari ini akan jadi hari yang
menyenangkan bagiku jika diawali dengan percakapan sehangat ini bersama Radit.
“Jangan sampe kehujanan, ya, Dit. Semangat!”
Ketika
aku mengetik itu, Radit sudah kembali
masuk ke dalam dunia nyatanya dan meninggalkan aku yang menunggu dia
kembali datang kemudian menyapaku lagi. Aku memejamkan mata sejenak, membuka
kelopak mataku, dan melihat langit-langit kamar. Hampa.
Hanya
kesepian dan kekosonganlah yang aku rasakan jika Radit tidak menyapaku. Baru
beberapa menit aku rasakan kesepian di kamarku, tiba-tiba ponselku berdering
lagi. Tyas, perempuan kuat, managerku, si manis yang mengatur semua jadwal
seminarku langsung berbicara tanpa basa basi.
“Woy,
gila diteleponin ke BB nggak diangkat. Di BBM nggak bales. Mati suri lo?” Tyas
mengawali pembicaraan dengan gayanya yang khas. Ceplas-ceplos dan akrab.
Dia
mengembalikan senyumku yang sempat hilang karena Radit, “Gue baru bangun, Yas.
Hujan di sini, ngantuk parah. Kemarin ngejar deadline sampe subuh.”
“Lo packing sekarang.” tanggap Tyas tanpa
mengindahkan jawabanku.
“Packing?” aku membelalakan mata, “Ke
mana?”
“Besok
buat ngisi workshop, di Jogja.”
“Serius
lo? Jogja lagi? Mendadak gini?” aku masih tak percaya dengan ucapan Tyas, “Coba, deh,
biarkan gue sadar dari tidur gue dulu, semoga aja ini bukan mimpi, atau mungkin
lo kali yang lagi mimpi?”
“Lion
Air, jam delapan pagi, besok. Berarti besok lo naik DAMRI jam 5 pagi dari
Cibinong City Mall, ya. Sekarang, lo siapin materi.”
“Yas,
lo jangan becanda, deh.”
Tyas masih berbicara dan mengucapkan hal-hal apa saja yang
harus aku lakukan, “Pesertanya umum, ya. TOR
dan mekanisme penjemputan bakalan gue kirim ke email lo sekarang.”
“Oke. Tantangan diterima.” aku menghela napas, “Gila lo,
Yas, selalu bikin gue jantungan sendiri. Jangan lupa siapkan surat izin buat
dikasih ke nyokap gue, supaya dibolehin pergi dan ngisi acara.”
“Iye,
aset dan kecintaan Mama! Dasar anak Mama!” Tyas tertawa senang, “Lo emang andalan gue! Semoga Jogja kembali menyenangkan! Cheers!”
Kami
sama-sama mengakhiri sambungan telepon. Aku mulai menyadarkan diriku dari
kantuk dan berjalan ke meja kerja. Ketika aku membuka laptop, kembali ponselku
berbunyi lagi. Kulihat di layar ponsel, nama Radit tertera di sana. Dengan
senyum dan mata berbinar seperti biasanya, aku segera meraih ponselku.
“Sari,
lagi off, ya?” sapa Radit pendek.
“Nggak,
Dit, kenapa?”
“Lo
pernah nggak ngerasain sesuatu yang aneh ketika lo nggak saling berkabaran sama
seseorang?”
Aku
berpikir sejenak, menatap ke laptop beberapa saat, kemudian baru memutuskan
untuk membalas pesan Radit, “Pernah, Dit. Dan, itu nggak enak banget.”
“Gue
lagi ngerasain hal yang kayak gitu, tapi makin gue lawan, makin perasaan itu
bikin gue nggak nyaman. Gila, ya, gue udah 27 tahun dan masih bingung soal yang
beginian?”
“Lo
percaya nggak, sih, kalau yang lo rasain itu sama dengan cinta?” aku mengetik
dengan perasaan campur aduk di hatiku. Aku kangen Radit. Kangen banget.
BERSAMBUNG ke Apakah kita akan bertemu lagi? (6)
03 February 2015
Apakah kita akan bertemu lagi? (4)
Lanjutkan petualanganmu, menjawab pertanyaan apakah selama ini yang kamu rasakan #SamaDenganCinta ? Sebelumnya baca: Apakah kita akan bertemu lagi? (3)
4 Januari 2015
4 Januari 2015
Beberapa hari yang lalu, aku satu
pesawat dengan Radit, tapi aku bahkan sama sekali tak berani menyapanya ataupun
menyentuh bahunya. Aku terlalu lemah untuk melakukan hal-hal yang bagiku
terlalu berani itu. Dan, hari ini, aku sudah di sini, di langit Cibinong yang
dingin dan sepi. Mendung sejak pagi hari membuat aku enggan meninggalkan kamar.
Berhari-hari, aku tidak membalas pesan Radit, rasanya aku sudah cukup tersakiti
karena peristiwa kemarin, dan aku tak punya lagi alasan untuk melanjutkan
perjuanganku untuk menunggunya.
Aku sedang duduk diam di depan
laptopku, memikirkan pendalaman karakter yang harus aku tulis tentang tokoh
terbaruku dalam novelku berikutnya. Berkali-kali aku mengkombinasikan banyak
sifat dan karakter untuk tokoh rekaan yang aku buat, setelah mendapatkan
karakter yang bagiku pas dan cukup, aku mulai menuliskannya. Untuk memantapkan
kerja kerasku hari ini, aku meraih gelas berisi air putih yang tidak lagi
hangat di dekat meja kerjaku, aku meminum air putih tersebut untuk melancarkan aliran
oksigen di otakku.
Ketika aku sibuk memikirkan diksi yang
tepat untuk paragraf novelku, ponselku berbunyi sekali, tanda ada chat yang
masuk. Aku melirik, ke layar ponsel, dan nama Radit tertera di sana. Nama itu
seketika membuat konsentrasiku buyar, aku memandang ponselku yang layar masih
menyala, beberapa detik masih kupandang, bahkan sampai layar itu mati dan
menggelap. Aku menghela napas berat dan berusaha sebisa mungkin melanjutkan
tulisanku.
Aku menggerakan kembali jemariku di
atas keyboard dan ponselku berbunyi lagi. Sebisa mungkin, mataku tak melirik ke
layar handphone karena aku tak mau tahu siapa sosok yang mengirimiku pesan.
Untuk ketiga kalinya, ponsel itu kembali berbunyi, dan aku memberanikan diri
untuk melirik ke ponselku.
“Gue kangen sama lo.” tulis Radit di
kotak chat.
Aku membaca pesan itu sebentar, kemudian menutup
ponselku lagi,
“Kenapa setiap gue chat cuma lo baca doang? Gue
ngelakuin kesalahan apa, ya?”
“Dit, gue juga kangen sama lo.” aku ragu dengan
tulisanku sendiri, kemudian aku menghapus kembali chat yang harusnya aku kirim
itu.
“Ceritain, deh, ke gue salah gue di mana.” Radit
kembali mengirim chat sekali lagi, padahal aku belum membalas chat-nya di awal.
“Hola, Dit. Sorry gue baru nongol lagi, banyak
kerjaan, nih, dan tugas kampus.”
“Lho, UI belum libur?”
Aku terdiam sebentar, bertanya-tanya dalam hati,
“Lo tahu gue anak UI?”
“Di profile
lo ada kali. Jurusan apa emang?”
“Sastra Indonesia.” jawabku pendek.
“Gue punya, tuh, temen anak sastra.”
“Really?”
sebenarnya aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menanggapi Radit, tapi aku
tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku pun juga merindukannya.
“Namanya Dwitasari, pernah bikin film kayaknya.”
Aku tergelak dan terdiam, aku tak tahu
maksud Radit menanyakan hal ini padaku. Aku terdiam sebentar, berpikir beberapa
saat untuk menjawab pertanyaan Radit.
“Lama, deh, balesnya. Lo kenal?”
Jemariku masih menahan agar tak
membalas pesan Radit, tapi aku mencoba untuk menguatkan hati, “Nggak kenal,
nggak terkenal kali.”
“Masa nggak kenal? Atau jangan-jangan
lo kali yang nggak gaul. Hehehe.” canda Radit dalam percakapan kami.
Setiap menulis “hehehe” aku
membayangkan wajah Radit yang benar-benar tertawa di depanku, suara tawa yang
bisa saja menghipnotisku pada peristiwa tiga tahun yang lalu.
“Iya, gue nggak kenal, anak sastra juga
banyak kali. Masa gue kenal semuanya, gila aja.”
“Lo itu lucu, Ri.”
Aku menaikan sedikit alisku karena
bagik percakapan berubah jadi menyenangkan, aku memutuskan untuk berbaring di
tempat tidurku dan meninggalkan meja kerjaku. “Lucunya di mana, Dit?”
“Setiap ngomong sama lo, gue ngerasa de
javu. Gue seperti ngomong sama seseorang yang pernah gue temui, gue kenal,
kayak temen lama aja.”
“Gue emang orangnya asik dan enak
diajak ngobrol, jadi lo maklumin aje, hehehe.” tanggapku dengan bumbu candaan.
Aku menghela napas, seandainya Radit
tahu bahwa dia sedang bercakap dengan seorang perempuan yang tiga tahun lalu
pernah berbaring di dekat dadanya, seandainya dia tahu bahwa aku adalah
perempuan yang menunggu pertemuan ini selama bertahun-tahun. Ah, seandainya….
“Atau mungkin kita emang pernah kenalan
sebelumnya, ya? Atau mungkin lo reinkarnasi dari sesuatu yang dulu pernah ada?”
“Ngawur lo, Dit. Sadar lo. Mimpi mulu.
Masih ngantuk emang?”
“Cucana Cibinong bikin ngantuk banget.
Mumpung gue juga libur kerja, nggak ada meeting.”
“Oh, iya, lo belum cerita, kerjaan lo
apa emang?”
“Gue?” jawab Radit enteng dalam kotak chat, “Cuma manager biasa, di salah satu
perusahaan pembasmi hama sawah.”
“Well,
sounds good, sih.” dengan santai aku turut menyamangati Radit, “Semua yang
pengin ada di bagian lo sekarang mungkin masih pengangguran atau bahkan kerja
di tempat yang nggak dia inginkan.”
Kalau boleh sedikit bercerita bagaimana
perasaanku saat mendengar Radit telah menjadi seorang manager, sebenarnya ada
banyak ledakan di hatiku. Aku jadi memutar ulang peristiwa tiga tahun lalu.
Kepalaku yang masih bersandar di bahu
Radit tidak bergerak sedikitpun. Bisa kudengar detak jantung Radit yang tetap
pelan dan tenang kala itu, “Kamu kuliah di jurusan kayak gitu emang tahu
bakalan jadi apa?”
“Kuliah di mikrobiologi pertanian
kerjanya jadi manager, sih, maunya. Aku mau kerja di perusahaan pemberantas
hama di sawah gitu.” Radit menjelaskan dengan mantap cita-citanya ke depan.
“Emang cita-cita kamu apa?” Radit balik
bertanya, “Udah kebayang belum?”
“Udah, sih, pengin jadi penulis.”
Mendengar jawabanku, Radit sedikit
tertawa, “Penulis, kok, ambil jurusan SMA malah IPA? Ambil IPA harusnya jadi
dokter, insinyur, peneliti?”
“Aku ambil IPA bukan karena suka
matematika, fisika, kimia, biologi, dan temen-temennya, sih.”
Radit mengela napas, “Terus apa?
Disuruh Papa? Hahaha.”
Aku mencubit lengan Radit, “Pertama,
disuruh Papa. Kedua, biar keren. Penginnya, sih, ambil IPS, tapi Papa bilang ambil
IPA aja. Aku ngikut.”
“Polos banget, sih, kamu.” jemari Radit
meraih rambutku, “Kalau gitu nanti pas kuliah jangan ikutin maunya Papa lagi,
ya, ambil jurusan yang kamu mau.”
“Durhaka, dong?” tanyaku dengan wajah
tak percaya, “Papaku pinter, lho. Teknik Sipil, UGM, kampusnya sama kayak
kampusmu.”
“Seriusan?” tanya Radit selang beberapa
detik, “Pinter banget pasti Papamu, ya? Jurusan favorit, sih, itu.”
“Iya, dong, anaknya makanya pinter.
Pria berkacamata yang jaraknya hanya
beberapa sentimeter dari wajahku itu merangkulku di tengah dinginnya pendingin
udara bus. Ah, sudah tiga tahun dan aku masih mengingat semua, semua yang
mungkin telah Radit lupakan. Intinya, hal yang membuat aku terharu adalah Radit
telah menjadi seseorang yang dia cita-citakan dan aku telah menulis enam buku
hingga saat ini. Ya, waktu bergerak dengan cepat, aku dan Radit berubah jadi
sosok yang (bisa dibilang) dewasa.
Aku tak tahu apakah Radit mengingatku
atau tidak, tapi dari mana dia tahu bahwa Dwitasari adalah seorang penulis?
Dari mana Radit tahu bahwa Dwitasari berkuliah di jurusan sastra? Dari mana
semua informasi itu Radit temukan?
“Masa iya, Ri, lo nggak kenal
Dwitasari?” tanya Radit sekali lagi.
Aku terdiam lagi.
BERSAMBUNG ke Apakah kita akan bertemu lagi? (5)
Subscribe to:
Posts (Atom)