Baca Sebelumnya: Perasaan yang masih sama.
Aku benci mengingat bagaimana caramu tersenyum. Aku benci menyadari bahwa senyum itulah yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta dan terpana. Aku benci mengingat setiap lekuk wajahmu, bagaimana mata sipitmu, rahang bulatmu, dan bibirmu yang semakin menghitam karena rokok itu entah mengapa telah menjadi pemandangan favoritku. Aku benci menerima kenyataan bahwa hari ini, aku tidak lagi punya kesempatan untuk memandangimu.
Aku benci mengingat bagaimana caramu tersenyum. Aku benci menyadari bahwa senyum itulah yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta dan terpana. Aku benci mengingat setiap lekuk wajahmu, bagaimana mata sipitmu, rahang bulatmu, dan bibirmu yang semakin menghitam karena rokok itu entah mengapa telah menjadi pemandangan favoritku. Aku benci menerima kenyataan bahwa hari ini, aku tidak lagi punya kesempatan untuk memandangimu.
Setelah aku memintamu pergi, tentu ada yang berbeda di sini. Kamu tidak tahu hari-hari penuh ketakutan yang aku lewati tanpa membaca pesan darimu. Kamu tidak mengerti hari-hari yang kurasa semakin sepi karena tidak lagi mendengar suaramu di ujung telepon. Kamu tidak paham betapa aku merindukan caramu memelukku, caramu merangkulku, caramu menenangkan bahwa dunia tidak akan meledak, dan aku percaya begitu saja pada kata-katamu seakan kamu telah membaca semua pertanda dalam hidupku.
Aku percaya begitu saja, saat kamu bilang cinta, dan mengajakku untuk menjadi yang kedua. Aku percaya begitu saja, ketika kamu membisikan cinta di telingaku, di hujan yang menderas sore itu, sambil memelukku dan meyakinkan diriku bahwa aku tidak akan pernah kehilangan kamu. Aku menerima begitu saja, ketika kamu mengutamakan kekasihmu, kemudian menomorduakan aku. Aku menurut begitu saja, ketika kamu menyembunyikan aku dari sorotan mata dunia, ketika kamu menyembunyikan aku dari sahabat-sahabatmu, pun saat pertemuan kita harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Aku percaya begitu saja, padamu, aku terlalu percaya padamu, terlalu jatuh cinta padamu-- dan di situlah masalahnya.
Aku percaya kamu akan membahagiakanku, dengan segala macam ketulusan, yang di mataku, pada awalnya adalah cinta. Aku percaya sepenuh hati, bahwa sebenarnya kamu hanya mencintaiku, namun kamu tidak mungkin meninggalkan kekasihmu karena hubungamu dengannya sudah lebih dulu adalah sebelum hubunganku denganmu. Aku percaya, semua rasa mengalah yang aku berikan, semua air mata yang terjatuh saat aku memelukmu dengan perasaan rindu itu, akan segera berganti menjadi kedamaian seutuhnya. Aku tidak tahu, mengapa aku percaya begitu saja, dalam dirimu, kulihat sosok yang sama dengan diriku, hanya saja kamu laki-laki dan aku perempuan. Aku jatuh cinta padamu karena aku merasa sedang mencintai diriku sendiri. Aku percaya padamu dan telah menjadikanmu separuh dari diriku, setelah memutuskan untuk meninggalkanmu, aku benar; memang pada akhirnya aku kehilangan setengah dari diriku. Aku kini menjalani hari, sebagai aku yang tidak utuh.
Sehari setelah memintamu pergi, masih kurasa ketidakyakinanku untuk meninggalkanmu. Hal itu pun masih terjadi, ketika seminggu kamu tidak lagi menghubungiku, ketika semua tentangmu telah kuhapus dari memori ponselku. Seringkali, terbesit dari pikiranku untuk memintamu kembali, tetapi aku pada akhirnya sadar diri, aku tidak bisa selalu berada di antara dua hati. Aku akan jadi pendosa paling bodoh jika menginginkan kamu mengakhiri hubunganmu dengan kekasihmu, demi memulai hidup baru bersamaku. Aku tidak sekuat itu dan aku tidak ingin sejahat itu.
Kamu ingat? Malam hari, pukul dua belas malam, ketika kita bertengkar hebat kala itu, kamu mengutarakan rasa kecewamu karena kamu merasa aku telah melanggar peraturan. Kamu merasa aku mulai berbahaya untukmu dan untuk hubunganmu dengan kekasihmu. Kamu bilang bahwa kamu tidak suka ketika kisah kita kutuangkan dalam semua tulisan di-blog-ku. Kamu marah ketika aku sepolos itu menceritakan rasa sakit hatiku dalam seluruh tulisan di sosial mediaku. Kamu memintaku menghentikan semua dan kita berjalan dengan alur serta peraturan yang kamu buat sendiri.
Kamu tahu, malam itu, aku membaca pesanmu dengan perasaan hancur. Hari itu, aku menyadari bahwa sebenarnya kamu tidak membutuhkanku lebih dari sekadar teman yang mengisi kekosonganmu. Malam itu, ketika kamu memintaku tidak lagi menulis tentangmu, aku menyadari bahwa cerita kita tidak akan tamat dengan akhir bahagia. Dan, kubalas pesanmu, dengan kejujuran yang aku simpan sendiri. Kujawab mengapa aku hanya berani menuangkan kesedihanku dalam semua tulisanku, karena aku tidak mungkin menceritakan sosokmu pada siapapun, karena aku tidak mungkin menceritakan betapa bahagianya mencintaimu pada sahabat-sahabatku. Mereka yang tahu, pasti menyuruhku untuk segera melepasmu pergi, sedangkan di titik itu, aku sedang dalam keadaan sangat mencintaimu.
Menulis tentangmu adalah caraku untuk menyembunyikanmu, sebenarnya. Hal itulah yang tidak kamu mengerti. Kamu terlalu takut kehilangan kekasihmu, hingga melarangku untuk melakukan segalanya yang kaurasa bisa membahayakan hubunganmu dengan kekasihmu. Kamu terlalu takut ditinggalkan kekasihmu, karena menurut pengamatanmu, kekasihmu telah mengendus apa saja yang telah terjadi dalam hubungan kita. Kamu terlalu percaya diri, bahwa anggapan aku mulai berbahaya buatmu adalah anggapan yang benar. Kamu terlalu takut kehilangan kekasihmu, tapi kamu tidak pernah terlalu takut untuk kehilangan aku.
Karena bagimu, untuk mendapatkan perempuan sepertiku, bisa kamu lakukan dengan jentikan jari. Karena bagimu, untuk mendapatkan teman senang-senang, yang bisa kaupeluk dan kaurangkul, bukanlah hal yang sulit dilakukan. Sayangnya, aku terlalu bodoh menyadari di awal. Aku tidak bisa sejahat untuk menganggapmu hanya sekadar teman senang-senang. Aku tidak bisa untuk tidak melibatkan perasaan dalam hubungan kita. Apalagi di dukung oleh caramu yang serius menatapku, caramu berkata cinta padaku, caramu memelukku dengan pelukan tidak ingin kehilangan.
Aku tidak bisa menjadi jahat ketika aku jatuh cinta padamu, meskipun dari awal kamu telah begitu jahat untuk menjadikanku, bahkan memintaku jadi yang kedua. Namun, sebenarnya, saat aku mengiyakan ingin dijadikan yang kedua, hari itu juga sebenarnya aku sudah menjadi setan jahat, yang cepat atau lambat akan menyakiti kekasihmu. Hari itu, aku berpikir, sah-sah saja menjadi yang kedua, karena kekasihmu tidak bisa menyediakan waktunya bahkan hanya untuk mengingatkanmu agar tidak telat makan.
Rasa takut untuk terus menjadi jahat telah membayang-bayangiku. Aku bahkan ingin sepenuhnya memilikimu, aku bahkan tidak ingin pelukmu kauberikan untuk wanita lain, aku bahkan ingin meraup habis seluruh waktumu agar aku bisa menjadi duniamu. Aku menyerah menjadi orang jahat, karena berjalan dalam ketakutan akan kehilanganmu setiap saat bukanlah hari-hari yang menyenangkan untuk dijalani.
Aku memilih mengakhiri, melepaskanmu pergi, dan hidup dengan rasa sakit hatiku sendiri. Malam hari, ketika aku memintamu pergi, kamu berkata bahwa tidak hanya aku yang terluka, tetapi kamupun merasakan luka yang sama. Aku yakin, itu hanyalah kalimat penghiburan semata, karena kamupun juga kaget ketika tahu ternyata aku punya kekuatan sebesar itu untuk meninggalkanmu. Kamu tentu begitu percaya diri bahwa aku tidak akan memintamu pergi dan bertahan menjadi yang kedua. Tapi, wahai Sayangku-yang-aku-cintai-karena-kelemahanmu-itu, aku ingin memberitahu padamu, rasa memiliki dirimu kian hari kian besar, rasa ingin menghancurkan hubunganmu dan kekasihmu semakin tergambar jelas di otakku, iblis dalam diriku kian menguat dan bertumbuh. Kita mengawali semua dengan buruk, dan inilah saatnya aku mengakhiri semua dengan baik.
Melepaskanmu pergi adalah keputusan yang kupilih. Kamu berkata tidak hanya aku yang terluka, tapi kamupun juga terluka. Namun, nyatanya, perkataanmu tidak terbukti sama sekali. Kamu tetap bahagia dengan kekasihmu dan bisa menganggap aku tidak pernah ada dalam hidupmu. Tapi, aku berjalan sendirian, meninggalkan kamu yang di belakang, dan kembali menata hatiku yang telah kauhancurkan. Jadi, aku tidak perlu berpanjang lebar, siapa yang sebenarnya paling sakit di sini.
Aku tidak ingin menjadi jahat lagi. Karena aku cukup bahagia menjadi aku yang sekarang. Aku sudah cukup bahagia, melihatmu tetap bahagia bersama kekasihmu, dan tidak lagi membutuhkan pelukku. Aku sudah cukup bahagia hanya dengan menatapmu dari jauh. Aku sudah cukup bahagia merawat luka dengan tanganku sendiri.
Aku percaya, Tuhan akan menyembuhkanku. Aku percaya, waktu akan memperbaiki semua. Kamu tentu penasaran mengapa dulu aku bersedia dijadikan yang kedua. Alasan terkuat yang membuatku ingin menjadi kekasihmu adalah karena aku ingin mengenalkan betapa Tuhan menyediakan keajaiban lebih dari apa yang bisa kamu miliki hari ini. Aku terheran-heran saat kamu telah menjalani hubungan bertahun-tahun dengan kekasihmu dan dia tidak mengenalkan agama padamu. Aku terheran saat aku mengajakmu berdoa, saat itu kamu malah menyemburkan seluruh asap rokokmu ke wajahku, dan mengejekku ketika aku selesai berdoa.
Alasan terkuat untuk bersamamu adalah aku ingin mengajakmu pulang, tapi aku tidak bisa memaksa orang yang sudah terlalu jauh pergi untuk kembali ke ke rumah yang harusnya dia tempati. Jika bagimu kekasihmu adalah jalan pulang yang tepat, silakan lakukan dan jalani sebisamu, sebelum pada akhirnya kamu menyadari-- aku adalah jalan pulang yang harusnya sejak dulu kamu ikuti.
Nikmati rumahmu hari ini, sebelum pada akhirnya kamu menyesal dan menyadari, bahwa hanya aku rumahmu untuk kembali.
******
Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)
Dari perempuan,
yang mencintaimu,
dan selalu takut kehilangan kamu.
Baca lanjutannya:
******
Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)