Baca Sebelumnya: Sembilan Puluh Delapan Hari Tanpamu
Malam ini, aku sedang merangkul kekasihku di depan balkon kamar kosku. Kami memandangi hujan di langit Depok. Tidak ada kehangatan di sini. Pikiranku kosong. Sisa perayaan kecil-kecilan ulang tahunku masih ada di meja balkon. Kue ulang tahun yang sisa sedikit, beberapa botol soft drink, dan asbak penuh asap rokok milik teman-temanku. Di hari ulang tahunku yang ke dua puluh empat dan aku merasa semua hampa. Gadis di sampingku masih terus mengucapkan doa-doa sederhananya, doa yang berisi tentang kebahagiaanku, yang dia harapkan ada sosoknya dalam setiap kebahagiaanku.
Derasnya hujan berubah jadi rintik-rintik. Dalam dinginnya malam seperti ini, aku berharap kamulah gadis yang aku peluk di tengah hari bahagiaku. Sedihnya hatiku tak mampu lagi ditolong sebungkus rokok yang telah aku habiskan seharian ini. Aku merindukanmu, sungguh. Dan aku masih berharap kamu tiba-tiba berada di depan pagar kosku, tidak perlu ada kue ulang tahun ataupun kado, aku hanya ingin melihatmu. Melihat gadis yang tidak aku ketahui bagaimana wajahnya sekarang. Mungkin, kamu lebih menggemaskan, atau senyummu tentu jauh lebih mudah untuk dirindukan. Aku masih terdiam sementara kekasihku masih terus merancau tak tentu arah.
Memang, pesan singkatmu tadi pagi sedikit mengobati rinduku, walaupun tak sepenuhnya mengobati. Ucapanmu melalui pesan singkat itu cukup membuatku merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, hari ulang tahunku tidak sesedih yang aku harapkan. Kamu ternyata masih mengingatnya, seperti aku yang masih mengingat hari ulang tahunmu di tanggal delapan Desember itu. Tapi, aku tidak seberani kamu. Di hari bahagiamu, di umurmu yang ke dua puluh satu, aku tidak mengucapkan doa ataupun pesan singkat yang aku kirim padamu. Karena aku tidak seberani itu, karena aku pengecut, karena aku pecundang, karena kalau kekasihku sampai tahu-- dia tentu akan memakimu. Aku tidak ingin mendengar makiannya tentangmu, aku tidak ingin mendengarkan ucapan-ucapan tidak menyenangkan yang keluar dari bibirnya tentangmu, karena semakin dia memakimu semakin aku menyadari bahwa bukanlah gadis seperti dia yang aku cari. Kamulah satu-satunya yang aku cari meskipun pada akhirnya aku memilih untuk melepaskanmu pergi.
Dwita, delapan Desember kemarin, usiamu telah dua puluh satu tahun, dan hari ini aku berusia dua puluh empat tahun. Lihatlah, ada banyak hal yang berbeda. Kita semakin menua dan aku takut menerima kenyataan bahwa mungkin aku akan menua serta melanjutkan hidupku bersama orang yang salah. Aku takut menerima kenyataan bahwa mungkin aku tidak menghabiskan sisa umurku bersamamu. Aku takut jika setahun ke depan, dua tahun ke depan, hingga tahun-tahun berikutnya diisi oleh penyesalan-penyesalan bodoh karena telah melepaskanmu pergi. Aku takut hari-hariku diisi hanya dengan rasa bersalah karena sebagai pria-- aku tidak mampu membahagiakanmu.
Aku takut jika aku menua tanpa rasa bahagia. Aku takut selamanya hidupku hanya diisi untuk melindungi kekasihku yang tidak sepenuhnya aku cintai ini. Aku takut jika duniaku masih penuh tentangmu sementara dalam duniamu tentu sudah tidak ada aku berotasi di sana. Dwita, kalau boleh aku mengaku, dalam rangkulan kekasihku, tidak aku temukan kebahagiaan apapun. Aku tidak mengerti mengapa setiap aku merangkul dan memeluknya, aku malah merasa bahwa semakin hari aku semakin dekat ke dalam neraka yang seharusnya aku jauhi. Aku tidak mengerti mengapa dia tidak bisa memberi pelukan yang hangat sehangat pelukmu. Aku tidak mengerti mengapa kekasihku tidak bisa meneduhkan diriku seperti kamu meneduhkan diriku saat sekejap aku melihat matamu. Aku tidak mengerti mengapa aku semakin merasa kehilangan kamu justru di saat kita tidak lagi bersama.
Ketakutan-ketakutan itu membuat aku semakin cepat menghabiskan sebatang rokok di jemariku. Aku izin melepaskan rangkulan peluk kekasihku dan memasuki kamar kosku. Wajah cemberutnya seketika terlihat masam ketika aku memutuskan untuk meninggalkan dia beberapa saat. Aku masuk ke kamar kosku. Membuka laptopku. Memutar lagu Taylor Swift kesukaanmu. Seketika aku memejamkan mata, seandainya kamu ada di sini. Seandainya kamu ada di sini. Kubuka sisa-sisa foto kita yang telah aku hapus dari ponsel, namun diam-diam aku simpan di laptopku.
Lihatlah matamu itu, sinar mata kesukaanku. Lihatlah senyum kebahagiaan kita dulu, betapa aku ingin memutar ulang waktu agar bisa terus bersamamu. Lihatlah caramu menatapku dengan tatapan mendalam itu, aku tahu betapa dulu kita sangat jatuh cinta. Dan suara Taylor Swift masih menggema di kamar kosku, yang membuatku semakin pedih mengingatmu. Kututup wajah dan foto-foto kita. Aku kencangkan volume lagu Taylor Swift kecintaanmu. Kemudian, aku menghampiri kekasihku di luar balkon kamar kosku. Aku duduk sebentar di sampingnya, sebelum dia memelukku lebih lama lagi aku sudah ambil posisi untuk berdiri.
Aku rapatkan tubuhku pada sandaran balkon yang menghadap ke luar pagar kamar kosku. Aku bakar lagi satu batang rokok milikku. Aku resapi setiap kali Taylor Swift berkata dan berbisik. Aku tatap dalam-dalam pagar kosku. Aku berharap kamu di sana. Aku berharap kamu di sana. Aku berharap kamu di depan pagar kosku. Mengucapkan selamat ulang tahun padaku sebelum malam berganti pagi. Sebelum hari ini berganti menjadi besok.
Taylor Swift masih bernyanyi. Lagu Taylor Swift masih ada. Tapi kamu tidak ada.
Dari pria,