Baca sebelumnya: Dua puluh empat hari setelah perpisahan kita
Dan, ternyata telah lewat sebulan lebih setelah perpisahan kita. Ingat, apa yang terjadi setiap tanggal 20? Tanggal yang beberapa bulan terakhir kuanggap sakral seakan kehilangan maknanya. Di tanggal jadian kita yang gagal dilaksanakan, 20 Mei 2015, kamu mengirimiku sebuah ucapan. Terselip kata rindu dan ingin bertemu di sana, tapi sekeras hati; aku tak membalas pesan singkatmu.
Kenapa? Kenapa? Karena untuk apa lagi? Kita sama-sama telah berdua, telah sama-sama memiliki kekasih, walaupun aku juga sangat merindukanmu serta mencemaskanmu, rasanya akan sangat tak adil jika kita saling bertemu lagi hanya untuk melepas rindu. Walaupun sejujurnya aku pun juga rindu kamu, rindu suaramu, rindu tawamu, rindu candaanmu, rindu manjamu, dan rindu banyak hal yang tidak akan mungkin bisa aku kembalikan ke duniaku yang sekarang.
Sewaktu tanggal 24 Mei 2015 kemarin, kamu kembali mengirimiku pesan, mengenai kepergianmu ke Bengkulu untuk memenuhi panggilan pembicara dalam seminar di sana. Aku menyesal tak bisa menemanimu sesuai janjiku dulu. Aku ingat beberapa bulan yang lalu, wajah itulah yang membuat aku menjadi pria yang lebih bersemangat dan tahu ingin mengarahkan hidupku ke mana. Kamulah muara dari segala pencarianku dan ketika kamu bercerita ingin ke Bengkulu, tanpa pikir panjang-- aku langsung menjanjikan semua.
Waktu itu, bagiku tak akan sulit menepati janjiku padamu. Kita masih begitu dekat dan masih sangat mungkin melakukan banyak hal berdua. Aku berjanji ingin mengenalkanmu pada orangtuaku, pada saudara-saudaraku, lalu kita makan bakso, bermain di Pantai Panjang, dan mengunjungi Pulau Tikus. Tidak, aku tidak akan memaksamu memakan makanan khas Bengkulu, karena kamu selalu bilang padaku bahwa makanan Bengkulu bukanlah kesukaanmu, tapi kamu sangat menyukai pria Bengkulu seperti aku. Ya, dan sekali lagi semua itu membuatku rindu.
Terlalu banyak mimpi yang kurajut denganmu dan sekarang harus aku hancurkan satu per satu, berusaha sebisa mungkin meneruskan mimpi-mimpi itu bersama kekasih baruku. Aku menyesal, sungguh menyesal, Gadisku, mengapa selama tiga bulan kita bersama, kautidak menuntutku untuk pergi ke mana-mana? Kenapa kamu tidak jadi gadis serba banyak mau sehingga bisa aku turuti keinginanmu? Kenapa kamu tidak meminta makan di restoran mahal, atau mengajakku ke bioskop, atau meminta aku menemanimu meeting bersama produser film di Jakarta, boleh juga ke karaoke kalau kaumau, serta berenang di manapun kasuka. Mengapa kautak minta itu semua? Mengapa kaupuas dengan makan sate ayam di pinggir jalan bersamaku? Mengapa kausudah cukup bahagia bisa makan kebab di pinggir jalan, bahkan dekat pinggir kali, denganku? Mengapa kamu merasa sangat senang memelukku di bawah hujan, di atas sepeda motorku, yang selalu membuat tas putihmu kotor karena kecipratan jalan becek? Mengapa kamu sudah cukup puas dengan itu semua? Harusnya kamu bisa meminta segalanya, segalanya! Tapi, kamu hanya memintaku untuk tersenyum setiap saat, itu saja. Dan, semua kesederhanaanmu membuat aku merasa semakin sedih, mengapa aku menyia-nyiakan malaikat sepertimu.
Rasanya begitu berat melewati tiga puluh empat hari tanpa tahu bagaimana sosokmu saat ini. Karena ketika kubaca di akun Twitter-mu, saat di Bengkulu kamu demam. Pasti kamu tidak cocok dengan udara di sana, dan kamu lupa membawa obat, dan kamu hanya memikirkan bagaimana nanti menjelaskan banyak hal pada peserta seminar sementara kamu sama sekali tidak mempedulikan kesehatanmu. Mantan kekasihku, kalau saat itu aku sedang di sampingmu, aku bersumpah demi apapun tidak akan membiarkanmu melangkah dengan badan yang masih lelah.
Aku tak mengerti harus menulis apalagi, kebuntuan luar biasa sedang menghantuiku saat ini. Aku sedang dalam keadaan tidak mengerti bagaimana hubunganku dengan kekasih baruku dan semakin tak mengerti lagi mengapa rasa cintaku padamu justru makin besar ketika aku telah meninggalkanmu. Pepatah pernah bilang, kita baru benar-benar merasa kehilangan kalau orang itu pergi, dan tidak akan kembali lagi. Dan, sekarang, akulah orang bodoh yang sedang mengisap rokokku yang kelima, mendengarkan lagu Taylor Swift berulang-ulang, dan masih berharap waktu bisa kuputar kembali-- agar aku masih bisa memilikimu dan bebas memelukmu kapanpun aku mau.
dari seorang pria
yang masih sering:
merindukanmu.
Seandainya aku tahu, bagaimana kabarmu hingga hari ini. Apakah kamu sama terlukanya denganku?
Baca selanjutnya: Tiga puluh sembilan hari tanpamu