Baca sebelumnya: Bolehkah Aku Berhenti Memperjuangkanmu?
Dari pria yang mencintai kekasihnya, namun lebih mencintai kamu,
Dengan kepala sedikit berkunang-kunang, aku kembali menatap ke depan pagar rumah. Sebenarnya, aku tidak menyimpan banyak harapan, pun tidak bersikeras menyuruhmu datang. Namun, ucapanmu dalam percakapan kita di Whatsapp tadi seakan memberi isyarat bahwa kamu akan hadir. Dan, dengan dada sedikit menghangat, aku menahan rasa demam yang sejak tadi sebenarnya telah menggerogoti badan.
Hingga hitungan dua puluh menit, kamu belum juga hadir. Aku memilih untuk kembali membaringkan tubuhku di ranjang dan menyesap rokokku sebatang. Kuhapus rasa pahit di lidah dengan kopi susu yang diseduh oleh anak buahku. Sisa lelah seharian masih berada dalam tubuh dan disaat tubuh tak mampu beraktivitas lagi, tetiba aku selalu mudah merindukan sosokmu. Kamu yang memelukku tanpa menuntut banyak hal. Kamu yang memeluk tubuhku tanpa meminta embel-embel status dan kejelasan. Kamu yang menengkanku tanpa mempermasalahkan status hubungan kita.
Aku kembali menatap ponsel dan berharap ada pesan singkatmu di sana, tapi tidak ada satupun pesan yang muncul. Hanya pesan dari beberapa rekan kerja yang pekerjaannya akan aku rampungkan beberapa hari lagi. Aku menghela napas sambil menatap langit-langit kamarku, langit-langit kamar yang selalu jadi pemandangan kesukaanmu. Itulah yang selalu kauceritakan padaku, setiap kali kausandarkan kepalamu di bahuku, kemudian kaubercerita segalanya di telingaku, tentang segala mimpi-mimpimu, tentang kebahagiaan yang telah kaurencanakan bersamaku, tentang cerita panjang kita, dan tentang akhir cerita cinta kita yang sebenarnya; kaupun tahu-- tidak akan berakhir bahagia.
Selalu kusimpan rasa sesal, setiap kali memikirkan kamu dan ketidakjelasan hubungan kita. Aku tidak paham mengapa ada perempuan sesabar dan sesetia kamu, hingga tak kaubutuhkan alasan untuk mencintaiku. Ketulusanmu yang selalu menganggapku pria sederhana itu kerap membuat aku lupa bahwa hubungan kita tidak boleh berjalan terlalu jauh. Seringkali aku tertarik terlalu dalam, hingga aku tidak sadar, segala hal menarik tentangmu telah membuatku tak sengaja jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada suara merdumu, pada tawamu, pada kecupmu, pada peluk hangatmu, pada manjamu, pada air matamu, pada rangkulanmu, pada caramu membuatku tertawa, pada kata-kata sarkastikmu yang selalu membuatku mudah merasa bersalah. Aku jatuh cinta pada setiap kekonyolanmu, seperti aku jatuh cinta pada kekonyolan hubungan kita yang tak kunjung menemukan titik terang.
Kamu tidak menuntut segalanya, meskipun kamu bisa. Kamu tidak menuntut seluruh dunia, meskipun kamu sanggup. Kamu tidak menuntut aku meninggalkan kekasihku, meskipun kamu tentu mampu melakukan itu dan merebut aku dari pelukan kekasihku. Aku tidak tahu, Sayang, mengapa kamu begitu tabah menghadapi aku yang tidak mampu meninggalkan kekasihku tapi selalu membisikan kata cinta di telingamu. Tidakkah sikapku ini hanya mampu menyakitimu? Seperti kubilang, kamu bisa menyuruhku melakukan apapun, tapi kamu selalu memperlihatkan ketabahan yang tidak aku mengerti. Bodohkah aku karena membiarkanmu jadi yang kedua jika sebenarnya kaujauh lebih pantas menjadi yang pertama?
Kaupantas menjadi yang pertama. Kaupantas berada di pelukan pria yang mau mengakui kehadiranmu. Kaulayak diperjuangkan oleh seorang pria, yang bukan aku. Namun, setiap kali aku mengatakan itu, sebenarnya seluruh hatiku terluka parah. Aku sungguh jatuh cinta padamu, tapi aku tidak bisa meninggalkan kekasihku yang telah bersamaku selama dua tahun itu. Semua kenangan bersama kekasihku selama dua tahun entah mengapa bisa tertutup hanya dengan perkenalan kita selama delapan bulan.
Lalu, kaurela disembunyikan. Kaurela aku perlakukan semena-mena. Kaurela jatuh cinta dengan pria yang tidak selayaknya kamu cintai. Egoiskah aku jika aku ingin kamu tetap tinggal dan tidak memiliki pria lain, sementara aku telah memiliki perempuan lain? Aku tidak ingin ada pria lain yang mampu membahagiakanmu, karena aku ingin jadi satu-satunya pria yang bisa membahagiakanmu, meskipun kita mustahil untuk bersatu. Aku sebenarnya sangat ingin menjadikanmu yang pertama, tapi kaupun tahu bahwa kekasihku tidak akan menerima semua alasan itu.
Sayang, kudengar klakson mobil di luar rumahku. Aku bergegas keluar dengan wajah bahagia. Demam di tubuhku berangsur pulih hanya dengan melihat senyummu di depan pagar. Kamu sudah berdiri di sana dengan sebungkus nasi uduk beserta ayam kesukaanku. Kamu berdiri dengan senyum khasmu. Aku tersenyum dan berharap bisa memelukmu sekuat yang aku bisa. Tapi, langkahku tertahan, melihat seorang pria yang berada di dalam mobil yang tadi kautumpangi.
Kaupun hanya menatapku dengan santai, tidak sehangat seperti biasanya. Aku mengerti. Ada yang berbeda di sini. Karena pada akhirnya, kamu memiliki kekasih hati, kekasih yang tidak kauceritakan padaku, kekasih yang kini bersamamu dan membuat waktu kita akan semakin berkurang. Aku tertawa di bibir seakan mengucapkan selamat karena kamu telah memiliki kekasih. Tapi, entah mengapa, hatiku tersayat sedikit demi sedikit.
Kamu bukan kekasihku, tapi mengapa aku terluka jika aku tahu kamu telah memiliki kekasih baru?
Untuk perempuan penyabar,
yang lebih senang menangis di tulisan,
daripada di bahuku.
****
Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)