Aku tidak heran jika terbangun dengan pemandangan seperti kemarin-kemarin. Melihat Ayah setengah telanjang bersama seorang wanita yang tidak kukenal.
Entah wanita bayaran atau wanita jalang yang diselamatkan Ayah di pub semalam.
Tadi malam, Ayah mabuk dan wanita itu mengantarkannya
sampai pintu rumah. Pak Beno, supirku, seperti biasa, tak banyak bicara dan
berkomentar. Dia tahu betul sikap Ayah yang menjijikan, apakah dia harus
mencibir orang yang selama ini menggajinya? Tidak, begitu juga aku, tak banyak
berkomentar.
Perusahannnya berkembang sangat pesat. Ayahku membiayai
segalanya. Ia pria yang mapan dan kaya, semua wanita meliriknya. Semua wanita
itu berbeda rupa dan sifatnya, kadang mau saja diajak seranjang padahal baru
berkenalan. Ada juga yang bersikap sok manis tapi di belakang ternyata sinis. Aku
jadi mengenal banyak karakter orang dari wanita-wanita berbeda yang berkunjung
ke rumahku, juga bermalam di ranjang Ayahku.
Aku tak bisa berkomentar banyak, juga tak ingin
mengkritik sinis Ayahku. Aku anak yang penurut, dimanja dengan luar biasa. Aku anak
satu-satunya, Ibuku sudah lama meninggal. Bunuh diri, mentalnya terlalu lelah
untuk menerima perlakuan Ayahku. Pepatah bilang, di balik pria yang kuat,
terdapat wanita yang hebat. Tapi, bagi Ibuku, di balik pria kuat, ada wanita
yang menangis diam-diam dan berjuang mati-matian untuk sebuah keadilan. Dan Ibuku
tidak menjadi pemenang. Ia memilih mengakhiri hidupnya, namun Ayahku tetap
sama, beliau tak berubah, sedikit pun.
“Mau sarapan apa, Non Raya?” ucap Bi Ratna lembut, beliau
menyapaku ramah di sudut meja makan.
“Ayah mana, Bi?” aku bertanya balik, mencoba mengabaikan
pertanyaan Bi Ratna sebelumnya.
“Masih tidur kayaknya, Non.”
“Kemarin pulang sama siapa? Pak Beno?”
“Iya, mabuk berat, Non. Mulutnya bau alkohol.”
“Sama cewek juga?”
Bi Ratna terdiam, mungkin ia tak mau menyayat hatiku. Aku
menangkap maksud itu dari perubahan air wajahnya. Ia tak banyak bicara,
langsung pergi meninggalkanku. Beberapa menit setelahnya ada suara panci yang
berbunyi nyaring, Bi Ratna memasak sarapan.
Aku masih di meja makan, terdiam dan sesekali menguap. Tatapanku
menatap ke arah pintu kamar Ayah. Sudah pukul delapan pagi, Ayah dan wanita
jalangnya belum keluar. Pikiranku mulai aneh, aku meninggalkan meja makan dan
tidak menunggu sarapan segera tersedia di meja makan.
Langkahku gontai menuju kamar. Perasaanku campur aduk. Aku
membuka pintu kamarku.
Brak!
Dan kubanting dengan keras. Semauku.
***
Aku dimanjakan tapi sungguh aku bukanlah wanita manja. Dunialah
yang memaksaku untuk tak banyak bergaul. Di rumahku, seluruh fasilitas ada, aku
tak perlu keluar. Aku punya supir dan banyak pembantu, mereka melayaniku secara
intensif, setiap detik. Aku tinggal memanggil dan keinginanku langsung terkabul,
muncul di depan mataku. Tapi, ada satu hal yang tak bisa mereka bawa ke depan
mataku, cinta.
Banyak pria bilang, wanita seksi adalah wanita yang gemar
membaca, tapi bagiku itulah persepsi pria tolol. Senang membaca tapi tak mampu
berpikir jernih? Sama saja bodoh, apa gunanya membaca jika tak membagikan
pengetahuannya? Aku lebih senang melukis, bermain biola di kamar, dan berdiam
diri. Sendirian. Di kamar. Berjam-jam. Iya, kalian benar, aku tak punya teman.
Kesepian.
Jangan mengasihani aku, lihatlah, aku bahagia! Aku bisa
miliki apapun yang kuinginkan. Aku tidak terkendala masalah uang. Ayahku kaya
raya, dia bisa belikan apapun yang kusuka. Aku tinggal membuka suara, dan
barang itu sudah ada di hadapanku. Iya, hanya barang, yang tidak menjamin
kebahagiaan. Berbeda dengan rasa; bisa membuatku bahagia dan sedikit percaya.
Aku dibesarkan dengan elegan, aku sopan dan bertutur kata
dengan baik. Ayahku mendidikku tapi tidak selalu ada untukku. Dia membayarkan
semua kebutuhanku, tapi dia tak pernah mengerti arti kebahagiaan bagiku. Kembali
ke konteks awal, sebagai anak maka aku tak bisa berkomentar banyak.
Pintu diketuk. Mungkin Bi Ratna. Aku berteriak tak
terlalu lantang, mengisyaratkan beliau agar memasuki kamarku. Dalam sekejap,
wanita yang sudah beruban itu berdiri di samping meja gambarku.
“Minggu ini, Non Raya ulangtahun kan?”
Aku menoleh. “Kenapa, Bi?”
“Ayah Non Raya sudah menyiapkan rencana?”
“Kayaknya belom, Bi. Dia kan sibuk.”
“Kok suaranya sedih?”
“Ulangtahunku paling-paling sama kayak tahun lalu. Cuma ada
aku, Bi Ratna, Pak Beno dan pembantu lainnya.”
“Emangnya Non Raya enggak merayakan bersama pacar?”
Logikaku terpeleset. “Pacar?”
“Iya, pacar.”
Singkat, dan aku tak terlalu paham pada pernyataan Bi
Ratna. Merayakan bersama pacar? Ide tolol, aku tak punya pacar, juga tak punya
teman.
Bagaimana mungkin aku punya pacar, aku tidak bisa
memercayai pria sepenuhnya. Lihatlah Ayahku. Dia brutal. Bitchy. Tolol. Tapi, tajir.
Aku yakin, semua pria seperti Ayahku. Dan aku tak akan
pernah percaya pada mahluk yang selalu mudah tergoda memakan apel dari
hawa-hawa jalang di sekitar mereka.
Aku tak percaya pria.
Juga cinta.
***
Aku berbaring di tempat tidur, menatap setiap sudut
kamar. Ramai oleh pernak-pernik dan aksesoris yang lucu dan unik. Senyumku sedikit
mengembang, dalam suasana sepi seperti ini, aku tak punya alasan harus
tersenyum lebar. Aku selalu kesepian, meskipun Ayah selalu menganggapku
baik-baik saja. Aku mencari-cari diriku yang sempat hilang, pahitnya tak juga
kutemukan. Aku terus mencari, terus berlari, lalu hanya sepi, selebihnya
sendiri.
Tatapanku nanar ke arah bingkai di atas meja gambarku,
foto Ibu. Aku menghela napas panjang, bagaimana mungkin wanita sebaik beliau
harus mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis? Apakah karena cinta?
Cinta?
Tolol!
Semua orang di sekitarku mengaku sangat mencintaiku, tapi
apa yang mereka lakukan? Mereka malah membuatku iseng sendiri, mereka sibuk
dengan dunianya sendiri. Aku tak boleh berharap lebih pada cinta. Jika banyak
orang percaya bahwa cinta adalah penyelamatan, maka cinta bagiku adalah
kutukan. Terlalu banyak orang yang mengagungkan cinta, tapi aku menganggap
cinta hanyalah dongeng seribu satu malam yang tak akan menyentuh bibir
kenyataan.
Cinta itu pembodohan. Jangan paksa aku percaya pada
cinta, karena aku belum percaya, dan mungkin tidak akan percaya.
***
“Bi, kolam renang kotor tuh.” aku menuruni tangga dan
mengajak Bi Ratna bicara. “Aku mau renang.”
“Sabar ya, Non. Mas Agung lagi sakit, masuk angin,
kasihan kalau disuruh bersihin kolam renang.”
Aku tak langsung menanggapi pernyataan Bi Ratna, aku
duduk di sofa sebentar dan menikmati nyamannya tubuh sofa. “Emang enggak ada
yang bisa bersihkan kolam renang selain Mas Agung?”
Bi Ratna memberhentikan tugas menyapunya, menatapku
sebentar lalu menggeleng mantap.
“Aku bete di rumah, Bi. Pengen renang.” renggutku pelan,
aku memangku dagu.
“Renang di dekat kompleks rumah aja? Nanti Pak Beno yang
antar.”
“Aku enggak mau, enggak bebas.”
“Nah, kalau gitu Non Raya aja yang bersihkan kolam
renangnya?”
Tatapanku iseng ke arah Bi Ratna. “Nanti kulitku berubah
warna jadi gelap dong!”
“Renang juga bikin kulit gelap kan, Non?”
“Gelapnya tapi beda dong, Bi.”
Kami tertawa, namun tak benar-benar tertawa. Aku tersenyum,
namun tak benar-benar bahagia. Aku bahkan sampai lupa cara tersenyum yang
tulus, karena terlalu sering menyembunyikan perasaan yang kurasa.
Aku tak banyak bicara hanya sesekali menatap Bi Ratna
yang sibuk bekerja. Aku melempar pandang ke seluruh bagian ruang tamu. Terlalu besar
tapi sepi. Terlalu banyak barang tapi tetap merasa sendiri. Hari ini, aku
memang agak malas, tak ingin banyak melakukan kegiatan. Seharian di kamar. Menggambar.
Sesekali menggesek biola. Tapi tetap saja kosong, aku melakukan segala hobiku,
namun aku masih merasa kesepian.
Aku menatap jam, sudah larut malam. Waktu berjalan begitu
cepat, dan begitu membosankan. Hari-hariku tak berbeda, bahkan hampir sama. Seperti
yang kubilang tadi, aku tak punya teman. Temanku hanya pensil, buku gambar, dan
biola. Kalau teman bicara ada Bi Ratna, Pak Beno, Mas Agung, tapi mereka
seringkali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan aku tetap saja sendiri.
Aku berusaha memejamkan mata, berbaring di ranjangku yang
empuk. Tapi, mataku segera terbelalak, ketika suara ketukan pintu terdengar, aku
menyahut lantang. Pintu terbuka. Ayah.
“Ini kado ulangtahunmu.”
Aku menoleh. Dan melirik pelan ke tangan ayah. Kunci mobil.
“Kenapa wajahnya tidak senang?”
Tak peduli. Aku berbalik badan dan menarik gulingku. Mendekapnya
erat di dada.
“Enggak butuh.”
“Harganya miliyaran lho, Raya.”
“Bodo amat.”
“Raya...”
“Aku ngantuk.”
“Ayah tidak bisa hadir dalam ulangtahunmu.”
“Tak perlu hadir, memang tidak dibuat acaranya kan.”
“Ayah sibuk.”
“Iya, sibuk sama wanita-wanita jalang itu.”
Ayah terdiam. Aku terdiam. Kita berbicara dengan sunyi,
kita berkata-kata dalam hati.
“Kamu salah besar, Ayah ada meeting. Proyek besar, untungnya triliyunan.”
“Iya, aku ngerti. Ayah lebih sayang sama orang yang kasih
untung triliyunan ke Ayah.”
“Bukan gitu, Raya.”
“Terus yang seperti apa?”
Ayah masih berdiri, aku menangkap rasa bersalah dari nada
bicaranya. Aku masih tak ingin menatap mata itu, mata redup yang merenggut
semua kebahagiaanku, merebut masa kecilku, juga menghilangkan Ibu dari hidupku.
“Aku enggak butuh mobilnya.”
“Kamu mau apa? Rumah? Tanah? Perhiasan? Tas Gucci?
Parfum?”
“Aku mau Ayah. Di sini. Enggak pergi-pergi.”
Aku tak banyak berkomentar, Ayah juga tidak. Kami punya
ikatan darah, tapi perasaan kami selalu terjarah. Terpisah. Seakan-akan tak
pernah saling mengenal.
“Aku ngantuk. Mau tidur.”
“Raya...”
“Mobilnya jual aja, hasilnya kasih ke orang-orang yang
kemarin rumahnya Ayah gusur. Mereka lebih butuh, kalau aku enggak butuh.”
Ayah sadar, aku sedang marah, beliau meninggalkanku
sendirian di kamar. Selalu saja sendirian.
Aku memeluk guling lebih erat, berusaha mencari sandaran
di sana. Namun aku tak berhasil. Ada sesuatu yang basah, mengalir dari mataku. Ini
selalu terjadi, sepanjang hari, sepanjang minggu, tak bosan-bosannya
menghantuiku.
Air mata.
***
Sejak tadi aku menatap tanggal, ulangtahunku hampir
dekat. Entah mengapa aku merasa gelisah, di hari ulangtahunku nanti, haruskah
aku menengok Ibu terlebih dahulu? Aku mau bercerita banyak hal pada beliau,
semua telah berubah sejak kepergiaan beliau.
Aku mengalihkan pandanganku pada foto Ibu, senyumnya
manis sekali, seakan-akan ia masih begitu hangat di sampingku. Foto Ibu yang
terpasang di ruang tamu ini butuh perjuangan besar agar bisa terpampang di
dinding. Aku beradu mulut dengan Ayah hanya karena foto ini. Agar foto Ibu bisa
terus kupandang, agar beliau bisa terus hidup di dalam hatiku. Karena kematian
tidak akan mengakhiri apa-apa selama ingatan masih ada.
“Lihat apa, Non Raya?” Bi Ratna mengaburkan lamunanku.
“Aku kangen Ibu, Bi.”
“Ya dateng ke makamnya dong.”
“Kalau Ayah tahu, nanti dia marah. Aku enggak boleh
keluar-keluar lagi. Aku takut, Bi.”
“Ya bilang sama Pak Beno supaya enggak usah bilang ke
Bapak.”
“Enggak usah deh, Bi. Aku enggak mau cari masalah. Mata-mata
Ayah banyak.”
Bi Ratna menangkap kesan berbeda di wajahku, mungkin ia
merasakan kesedihan yang kurasa. “Non Ratna harusnya bisa lebih bahagia lho,
sekarang kok malah sering cemberut?”
“Udah mau UAS kali, biasa deh mahasiswi, setiap mau ujian
bawaannya stres.” aku mengelak.
“Terus Non Raya enggak belajar?”
“Udah dari tadi kok, Bi. Bosen sama ekonomi makro dan
mikro, enggak ada habis-habisnya.”
Tertawa, tak begitu keras tapi cukup menyenangkan. Bi Ratna
berjalan mendekatiku, ia duduk di lantai sambil mengenggam lap yang selalu
melekat di jemarinya.
“Mau makan siang apa, Non Raya?”
“Rawon aja, Bi.”
“Rawon?”
“Iya, tiba-tiba mau makan rawon. Masakan yang paling
sering Ibu masak.”
Bi Ratna terdiam.
“Ajak Pak Beno sama yang lainnya ya, Bi. Kita makan
bareng-bareng. Masak yang banyak!”
Bi Ratna tersenyum memandangiku, ada kedamaian di
wajahnya.
***
Aku memegangi perutku yang sudah berisi rawon dan nasi. Kenyang.
Mengantuk. Inilah kebiasaanku yang tidak sehat, aku asal saja membaringkan
tubuhku di tempat tidur. Menatap langit-langit. Memandangi warna putih yang tak
pernah berubah. Lalu wajah Ibu membesar, semakin besar.
Mataku berusaha terpejam, sejak pagi aku belajar terus–menerus
dan inilah saat yang tepat untuk beristirahat. Tidak ada bunyi air conditioner yang nyaring, aku
sengaja tidak menyalakannya. Jendela di kamarku terbuka lebar, ada angin
sepoi-sepoi yang mengalir melalui celahnya yang besar. Aku tergoda dan siap
memejamkan mata.
Sreg. Bunyi yang tak kukenal mengusik mataku yang hampir
terpejam. Aku terbelalak dan membuka mata lebar-lebar.
Sreg. Sreg. Sreg. Semakin sering dan bunyi itu begitu
menganggu jam tidur siangku. Sangat merusak jam istirahatku.
Sreg! Sreeeeg! Sreeeeg! Sreeeg!
Kudiamkan malah semakin membabi buta. Aku mengepal
tanganku, meninju ranjang yang kutiduri. Aku berjalan mendekati jendela kamar
dan berusaha mencari tahu sumber bunyi.
Sesampainya di dekat jendela, aku langsung menatap keluar lantas menyoroti taman dan kolam renang di bawah.
Lama aku menatap ke bawah.
Terdiam.
Seorang pria bertelanjang dada, menggunakan celana jeans,
berambut ikal dan hitam sedang membersihkan kolam renang. Iya, aku masih
terdiam, tak bergerak sama sekali.
Terjadi getaran aneh di dadaku, jantungku berdebar dengan
kecepatan yang tidak seperti biasanya. Tubuhku tak bergerak, aku tak bisa
banyak berkomentar, bibirku seakan-akan terkunci rapat. Aku sekarat!
Otakku seakan-akan tak berpikir dan beku. Aku berhamburan
mencari kanvas dan meja yang bisa didirkan. Pelan-pelan aku menggerakan kuas
dan menggambar sosok yang baru saja kulihat beberapa detik tadi.
Aku menggambar kolam renang, juga pepohanan yang
mengitarinya, juga sosok itu. Aku hanya menggambar rambutnya, dadanya,
tubuhnya, celana jeans-nya, dan galah yang dia pegang untuk membersihkan kolam
renang. Sempurna. Dan aku tersenyum di bibir dan hati.
Sekujur tubuhku masih kalang kabut, aku tak bisa
mengendalikan diriku sendiri. Aku berusaha untuk menatap dan merasakan sinar
mata sosok itu. Aku menjulurkan kepalaku semakin ke luar jendela, namun tetap
berpegangan pada kayu jendela yang lainnya. Sosok itu tak kunjung menunjukkan
wajahnya.
Bola mataku bergerak mengikuti gerakan sosok itu. Ia
masih sibuk membersihkan kolam renang. Sungguh,
aku tak mampu menahan diri. Aku kehabisan cara untuk mengetahui hal-hal aneh
yang terjadi padaku saat ini.
Aku mencari biolaku dan langsung kembali lagi ke bibir
jendela. Membuka jendela lebih lebar dan membentang. Biola yang kugenggam
langsung kuletakkan di dekat bahu, aku menggesek biola dengan sangat lembut,
sambil menatap sosok di dekat kolam renang itu.
Aku memainkan nada dengan sangat indah, seakan-akan
partitur telah jelas tertulis pada gerakan sosok itu. Aku terus bermain,
semakin dalam, semakin dalam. Aku menutup mata, menikmati alunan musik biola
yang kumainkan sendiri.
Senar biola masih terus kumainkan, alunannya semakin
indah. Entah ada energi apa yang memengaruhi jemariku hingga nada-nada yang
kuhasilkan dari biolaku terdengar begitu manis. Aku masih terus bermain untuk
beberapa menit dan kemudian terhenti.
Pandanganku langsung menuju sosok itu, dia terkesima dan
menengadahkan kepala ke jendela atas. Dengan dada yang bertelanjang dan masih
memegang galah. Menatapku.
Dia terdiam.
Aku terdiam.
Dia tersenyum.
Aku kagum.
***
Pak Beno belum menjemputku. Sudah 30 menit berlalu,
kakiku pegal menunggu mobilnya melintas di hadapanku. Aku menatap jam dan
hampir sore. Rasa khawatir tak bisa kusembunyikan dari wajahku. Gigiku gemeretak,
ada rasa ketakutan yang menghujamku dalam-dalam. Mahasiswa dan mahasiswi yang
lain sudah pulang dengan kendaraan pribadi mereka. Aku masih menunggu di depan
Fakultas Ekonomi, masih dengan rasa khawatirku yang menggebu-gebu.
Berkali-kali titik pandangku hanya tertuju pada jam
tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku sendirian, hanya beberapa
mobil dan sepeda motor yang berlalu-lalang di depanku. Tapi, tak ada mobil yang
kukenal, Pak Beno belum juga menampakan batang hidungnya.
Bus kuning berkali-kali lewat, aku memutuskan untuk
pulang sendiri. Tapi... aku takut, bisa saja Pak Beno terjebak kemacetan,
kasihan kalau aku pulang duluan dan beliau ternyata sedang dalam perjalanan
menjemputku. Memang, menunggu itu menyebalkan, apalagi menunggu sesuatu yang
tidak pasti. Aku menghela napas. Berat.
Ada perpustakan kecil yang melekat di dadaku. Aku memeluk
buku ekonomi terapan dan beberapa buku ekonomi makro yang berbahasa Inggris. Sudah
sore dan semakin sepi. Sebuah bus kuning melintas di halte, aku sigap
memerhatikan. Ada seseorang yang turun dari bus itu. Berjalan lurus lalu
mendekatiku.
Seorang pria. Tatapannya tajam. Aku terdiam.
“Kamu Raya ya?”
Aku mengangguk, tak langsung bicara.
“Pak Beno enggak bisa jemput, kita pulang sekarang ya.”
Deg. Aku seperti mengenali pria ini, dari rambutnya yang
ikal dan dadanya yang bidang. Setiap melihat bentuk dadanya, aku ingin
membenamkan tubuhku dalam peluknya.
“Kamu siapa?”
“Pengurus taman di rumahmu, aku baru bekerja di sana,
hanya untuk menggantikan pengurus kebunmu yang tidak bisa bekerja.”
“Oh, kita pulang bareng? Naik apa? Kamu bawa mobil?”
“Kita jalan sebentar, terus naik kereta.”
“Jalan kaki? Naik kereta?!”
“Iya, kok kaget?”
“Aku enggak terlalu tahu daerah sini.”
“Kamu kuliah di sini berapa tahun?”
“Tiga tahun.”
“Dan enggak terlalu paham daerah sini?” dia tertawa geli,
sinar matanya begitu dalam namun hangat. Ia menatapku dengan tatapan yang segar
bersemangat. Aku tak mampu menahan rasa senang yang bergulir di hatiku.
“Aku biasanya dianterin lalu dijemput. Begitu terus, tiga
tahun terakhir ini.”
Aku sesekali menyembunyikan senyumku yang tak bisa
berhenti melengkung di bibir. Aku berjalan di sampingnya, rapat. Beberapa detik
siku kami bersentuhan, dan itu seperti aku bersentuhan dengan malaikat. Indah sekali,
langkahku dan langkahnya seirama. Dia banyak bercerita, dan aku mendengarkan.
Tak terasa, aku dan dia sudah sampai di Stasiun UI Depok. Seusai
membeli tiket, ia menuntunku berjalan menuju tempat duduk
penumpang. Aku sigap mengambil tissue
dan membersihkan tempat duduk tersebut sebelum kududuki. Lalu, aku meroggoh
tasku mencari hand sanitizer,
membersihkan tanganku. Setelahnya, aku menggunakan masker. Ketika usai melewati
keribetan tersebut, aku baru bisa duduk manis.
Pria itu duduk di sampingku. Aku tak mampu mengendalikan
detak jantungku yang memburu ketika ia berada dalam semestaku. Dia menatapku
dengan heran, memerhatikan siluet tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia
tertawa geli, sekali lagi.
“Kalau pake masker, cantikmu pasti hilang.”
Jemarinya menyentuh telingaku, membuka masker yang
kukenakan. Lancang, tapi aku tak ingin melawan. Sentuhan-sentuhan kecilnya
membuat pembuluh arteri di tubuhku seakan-akan memberontak. Dia mampu membuatku
merasakan banyak hal yang sebelumnya tak pernah kurasakan.
“Sudah dilepas maskernya, begini saja. Kamu tak perlu
menyembunyikan wajahmu, dunia perlu tahu siapa dirimu.” lanjutnya dengan nada
lembut. Aku masih tak banyak bicara, karena aku sibuk merapikan debaran
jantungku.
“Kamu jarang ngomong sama orang yang kauanggap asing ya?”
Aku masih tak menjawab, membiarkan pertanyaannya menjadi
partikel kecil di udara.
“Aku bukan penjahat.”
Tatapanku lurus-lurus ke depan. Aku enggan menatapnya,
karena saat bertemu mata, aku pasti bergonjang-ganjing, tubuhku pasti kelu,
bibirku beku.
“Raya...”
Aku memberanikan diri menatapnya, dengan tatapan penuh
perhatian. Beberapa detik tatapan kami bersinggungan.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima detik.
Kereta lewat. Terlepas. Aku dan dia sama-sama salah
tingkah. Ia memasang badan, siap untuk memasuki gerbong kereta. Aku berdiri di
sampingnya, dengan tatapan cemas. Sebelumnya, aku tak pernah naik kereta.
Pintu gerbong terbuka. Ia menggenggam tanganku dan menarik
tubuhku dengan cepat hingga memasuki kereta. Commuter line agak penuh, aku dan pria itu berdiri karena tak
mendapatkan tempat duduk. Dia masih menggenggam tanganku dan aku menatapnya dengan
tatapan dalam. Selama dalam kereta, ia terus menggenggam tanganku, melindungiku
dari pekat dan sesaknya commuter line.
Stasiun semakin dekat, kami bersiap-siap turun. Seusai menuruni
kereta, ia mengajakku menaiki angkot. Iya, angkot, kendaraan yang juga belum
pernah kunaiki. Sesampinya di kompleks rumahku, kami berjalan. Aku terdiam, dia
juga.
Rumahku sudah mulai kelihatan, aku berjalan semakin cepat
dan dia mengikuti langkahku.
Aku memasuki rumah dan dia tak memasuki rumahku. Aku meninggalkannya
di depan pintu, tapi sepertinya dia masih memerhatikanku, menatapku yang
berjalan menjauhinya. Aku merasakan tatapan itu.
Sebelum benar-benar memasuki rumah, aku menghentikan
langkah. Berbalik arah. Berjalan menuju sosoknya yang masih berdiri di depan
pintu.
“Namamu siapa?”
“Yudhistira.”
“Kamu suka dengerin aku main biola?”
Dia tersenyum malu-malu, mengingat peristiwa satu hari
yang lalu.
“Besok aku ulangtahun, kalau kamu mau, kamu bisa datang
ke rumah. Dengerin aku main biola.”
Yudhistira mengangguk pelan.
“Dalam kitab Mahabarata, pria bernama Yudhistira itu
tangguh lho, sepertinya kamu juga begitu.”
Dia tertawa namun menutup mulutnya dengan jemarinya,
menyembunyikan giginya yang rapi. Kali ini, giliran Yudhistira yang
hanya
melakukan gerakan bahasa tubuh, ia tak banyak berkomentar. Ia baik,
manis, dan berbeda dengan ayahku. Persepsiku salah, tidak semua pria
brengsek seperti Ayahku.
“Terima kasih.” ucapku singkat.
Aku mencium pipinya.
Ia terperanjat.
Senyumku tipis, kemudian berjalan meninggalkannya.
Pipinya bersemu merah, pipiku tak ada bedanya.
Kali ini aku tahu, sosok yang akan menjadi kado
ulangtahunku.