Silakan baca cerita sebelumnya di sini
Aku tak terkejut ketika mendapati diriku telah menunggu
di Stasiun Depok Lama. Bangku tengah, dekat dengan pintu masuk stasiun. Ada beberapa
pedagang kaki lima yang mondar-mandi di depanku. Juga tangisan bayi, juga
rengekan anak-anak kecil minta dibelikan mainan, bercampur dengan suara
operator stasiun yang memberitahu tujuan kereta dan jam keberangkatannya.
Ramai. Seperti biasanya stasiun memang ramai, seluruh
lapisan masyarakat berkumpul di sini. Ada yang sibuk dengan gadget-nya, ada yang sibuk dengan teman
seperjalanannya, ada yang sibuk tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Semua
ada di stasiun. Aku meliak-liukan kepala, berusaha mencari seseorang yang
kutunggu. Iya, kutunggu, karena hanya aku yang menunggu. Ia tak pernah sadar
kalau sedang kutunggu.
Aku berusaha menjelikan mataku, mencoba mencari sosok
yang sejak tadi sudah memenuhi otakku. Pria berkacamata, seringkali sibuk
dengan bukunya, namun dia tak ada. Aku kecewa, biasanya ia terlihat di sekitar
sini, sedang membeli minuman atau membeli gorengan. Aku agak heran, kenapa dia
yang sudah “jadi orang” masih saja ingin naik kereta? Dia punya mobil dan
kendaraan yang mewah, dia punya segalanya, tapi mengapa dia memilih kereta? Dia
malas nyetir? Mobilnya masuk bengkel? Entahlah, aku hanya memikirkan dia, bukan
kendaraannya.
Commuter line
merangkak pelan memasuki stasiun, aku memegang tasku dengan cepat. Waspada,
agar tak direnggut seseorang, banyak orang jahat kan? Langkahku mantap menaiki
gerbong kereta, bukan di gerbong kereta khusus wanita, karena jika ingin
bertemu pria itu, dia pasti tak ada di gebong wanita. Aku duduk di tempat para
pria, bercampur aduk, ada juga beberapa wanita yang duduk di sana. Untungnya,
kereta tak terlalu penuh, tak perlu ada yang saling menubruk.
Dapat!
Pria itu duduk di tempat biasanya. Ia mengenakan headset
di telinga dan ada buku yang ia genggam di jemarinya. Ia serius membaca, tak
memedulikan keadaan sekitar. Aku melirik perlahan, dan mencoba untuk
menyembunyikan rasa penasaranku. Aku mengambil ancang-ancang dan berpikir
sebentar. Ada tempat duduk kosong di sampingnya, hal ini jarang terjadi. Aku mengambil
langkah sok santai, berjalan mendekatinya.
Deg. Aku duduk. Di sampingnya. Bersama seorang pria yang
kucintai selama tiga tahun. Ini pertama kalinya. Aku seperti tak bernapas. Rohku
melayang di udara. Tercekat hebat. Nampaknya dia memang tak peduli, dia tak
peduli siapa pun yang ada di sampingnya. Dia terlalu asik dengan dunianya. Aku mencoba
bersandar, menghilangkah rasa salah tingkah. Tanganku hampir bergetar hebat,
dan aku berusaha keras menyembunyikan rasa tololku itu.
Kali ini, aku hanya naik kereta. Tak tahu harus ke mana,
aku bolos mata kuliah siang ini. Terserah, aku tak peduli lagi, saat bersama
pria ini seakan-akan aku melupakan rutinitasku. Aku ingin menghabisi waktu
hanya untuk melihatnya, memandangnya, atau bahkan mengajaknya bicara, walau hanya
beberapa menit saja.
Dia menutup buku, dan mengintip ke iPod miliknya, seperti memilih lagu. Aku melirik sedikit ke arahnya
dan tetap mencoba tenang, tidak melakukan gerakan yang mencurigakan. Aneh sekali,
dia bahkan tak menatapku, aku seperti batu.
Dia turun di Stasiun Sudirman, aku selalu ingat hal itu.
Tapi, kantornya di dekat Roxy, bakso favorite-nya di dekat Sarinah. Semuanya berjauhan,
mungkinkah dia suka bepergian? Mungkin, hal itu belum kuselidiki lebih jauh.
Aku menatap stasiun tempat kereta berhenti, hampir
mendekati Stasiun Sudirman. Entah mengapa, jantungku berdetak hebat. Aku punya
rencana, agak sedikit jahat, atau mungkin nakal.
Jemariku merogoh tas, mengenggam erat handphone-ku. Aku melakukan sedikit
gerakan agar pria di sampingku merasa risih.
Sempurna!
Dia menatapku dengan tatapan heran. Aku bertemu mata
dengannya. Seperti melayang, jantungku berdetak cepat. Stasiun semakin dekat. Aku
tersenyum nakal ke arahnya.
Pintu gerbong terbuka. Aku sengaja meninggalkan handphone-ku di bangku yang kududuki dan
juga pria itu duduki. Beberapa detik, ia memang tak menyadari. Detik berikutnya,
ia melihat handphone tak berpemilik
tertinggal di bangku yang kita duduki. Ia berdiri dengan wajah panik, berusaha
untuk mengejarku.
Namun, pintu keburu tertutup.
Kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun, aku hanya
menatapnya dengan tatapan senang. Dia berusaha keras mengetuk-ngetuk jendela
kecil yang ada di dekat pintu. Memanggilku.
“Hey!” mungkin itu bahasa yang bisa dilisankan saat
melihat wajah paniknya berserakan. Kereta
berjalan dengan cepat, aku berpisah dengannya. Semua hanya terjadi beberapa
detik.
Itulah kali pertama dia benar-benar menatapku dan
memerhatikanku.
Aku tersenyum lebar. Semakin lebar.
bersambung ke Tatap atau Ucap (end)
Ah bersambung lagi -__-
ReplyDeletega sabar nungguin cerita selanjutnya Kaak :D
ReplyDeletegaksabar baca lanjutannya kak :D
ReplyDeleteyaah bersambung padahal lagi asik kak :D
ReplyDeleteternyta bersambung lagii :(
ReplyDeleteAahhh Kak Wita endingnya gantung bgt ini, bikin penasaran!! Yok monggo dilanjutin sist :D #demodepankantortimelinedwitasaridwita
ReplyDeletesemoga lanjutan ceritanya bisa selesai secepat mungkin mbaq. ga sabar soalnyaaa,. hehe :D
ReplyDeleteknpa bersambung penasaran nih ceita selanjutnya ..
ReplyDeleteAyooo kak lanjutin ceritanya. Penasaran nih :D
ReplyDeleteLanjut lagi donggg -,-
ReplyDeleteAmpun kak. Ampun. Cerita nya. Tanggal nya juga. Pernah kakak posting yg aku suka banget tanggal nya 1 februari(ulang tahun aku). Dan part 2 tadi tanggal nya 9juli(kultah doi ku). Aduhhh :")
ReplyDelete