Baca Sebelumnya: Seratus enam puluh delapan hari setelah perpisahan kita
Selamat tahun baru untukmu. Dan, aku telah jarang menulis tentangmu karena aku sedang menyelesaikan buku kesepuluhku yang berjudul Memeluk Masa Lalu. Satu-satunya sarana untuk membuatku lupa padamu.
Dua ribu lima belas milikku yang dulu sepenuhnya hanya dirimu, kini sudah tertinggal jauh di belakang. Dua ribu belas milikmu tentu tidak sesedih aku. Kudengar dari sahabatmu, kamu dan kekasih barumu semakin dekat. Eh, kekasih baru, maksudku selingkuhanmu yang menyebabkan hubungan kita berakhir. Aku tidak perlu memastikan kebenaran kabar itu karena dengan sendirinya aku tahu; kamu memang sudah bahagia tanpaku.
Tentu kamu tidak membayangkan, betapa sisa-sisa dua ribu lima belas yang aku lewati tanpa kehadiranmu adalah hari-hari menyedihkan yang perihnya aku tahan sendiri. Tidak ada orang yang mengerti betapa kehilanganmu adalah ketakutan terbesarku. Dan, kepergianmu yang tiba-tiba bahkan masih menimbulkan tanya di dadaku. Diam-diam, aku berkata dalam hati, "Apakah memang aku tidak sepenting itu bagimu?"
Aku berusaha meyakinkan diriku untuk membencimu di sisa-sisa dua ribu belas milikku yang aku lewati setelah perpisahan kita. Aku berusaha mencari semua kesalahanmu untuk menghipnotis diriku sendiri bahwa kamu adalah pria super jahat yang senang mendepak perempuan yang tidak bersalah dalam banyak hal. Aku berusaha menyadari bahwa kamu akan mendapatkan karma yang setimpal seperti yang telah kamu lakukan padaku. Namun, saat malam menjelang, dan wajahmu ada dalam ingatanku saat itu-- nyatanya bagiku kamu tidak sejahat itu.
Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan jahat pada pria yang dengan sepeda motor Honda CBR-nya itu tetap mau mengantarku hingga depan rumah. Aku begitu tahu, betapa kakimu pegal karenaku. Betapa rumahku yang jauh tentu sangat menyiksamu. Betapa hari-hari yang kaulewati bersamaku adalah bencana besar bagimu. Tapi, di depanku, kamu tetap tersenyum dan dengan senang hati langsung menyerahkan satu helm lain yang kamu bawa khusus untukku. Hanya sesederhana mengantar sampai depan rumah, menunggu di depan kampus meskipun kehujanan, tapi namamu sampai sekarang membekas dalam ingatan. Kamu yang harusnya sejak dulu kulupakan malah jadi sosok yang paling sulit untuk aku hilangkan.
Ah, iya, selamat ulang tahun juga untukmu, dan untuk kesopananmu yang tidak membalas pesan singkatku. Oh, aku sungguh tahu betapa hidupmu sungguh bahagia bersama kekasihmu. Betapa ulang tahunmu sangat megah bersama kekasih barumu. Betapa hidupmu lebih sempurna sekarang. Dan, kenyataan yang harus aku terima adalah aku tidak akan pernah melewati ulang tahunmu atau ulang tahunku atau ulang tahun kita secara bersama. Padahal, semua mimpi itu adalah mimpi kecil yang kita bangun berdua, namun kamu menghancurkannya tanpa rasa bersalah. Selamat untuk kebahagiaanmu dan selamat merayakan kesedihanku karenamu. Oh, iya, saat delapan Desember kemarin, kamu juga tidak mengucapkan apapun. Tentu kamu sudah lupa, ketika aku berusaha keras mengingatkanmu bahwa ulang tahunku sama seperti tanggal saat Jepang menyerang Pangkalan Laut Amerika Serikat, tetapi tahun 1941 diganti menjadi tahun 1994. Dan, kamu lupa. Tidak apa. Dwitasari-mu sudah terbiasa dengan hal-hal perih yang disebabkan olehmu.
Tahukah kamu, Yo, di sisa-sisa dua ribu lima belas yang aku lewati tanpamu, adalah masa-masa sulit bagiku untuk menerima bahwa kita tidak lagi bersama. Bahwa tak akan ada lagi pesan singkatmu. Bahwa tidak akan ada lagi suaramu. Tidak ada pelukmu. Tidak ada tawamu. Tidak ada hari-hari bersamamu. Aku berjalan sendirian serta tertatih kesepian, berusaha meraba-raba hari demi hari. Berjalan dari satu ketakutan ke dalam ketakutan lain. Mengingat betapa masa-masa tanpamu adalah hal sulit yang belum bisa aku lewati. Bahkan hingga detik ini. Aku masih jadi perempuan yang ingin kamu cepat pulang.
Kamu tidak tahu hari-hari yang aku lewati dengan menatap ponsel setiap menit, berharap ada pesanmu. Kamu tidak pernah tahu, setiap ada pemberitahuan masuk, aku berharap itu kamu. Kamu tidak tahu, setiap ada panggilan berdering, aku berharap kamulah yang ada di ujung telepon. Kamu tidak tahu, aku tidak membalas semua pesan pria yang lebih baik darimu hanya karena aku ketakutan menjalani hubungan yang nantinya akan berakhir seperti hubungan kita. Kamu tidak tahu, berapa pria yang berusaha masuk ke dalam hatiku, tapi sekuat hati aku menutup diri karena dalam bayanganku masih kamulah yang cocok bertempat di sini-- di hatiku yang hanya pantas kauhuni. Kamu tidak tahu sudah berapa air mata yang kujatuhkan dalam doaku, memohon Tuhan menghapus segala ingatanku tentangmu, meminta aku terkena Alzheimer, atau amnesia, asal aku lupa waktu-waktu indah bersamamu dan yang aku ingat hanyalah kebahagiaan-kebahagiaan bersama sahabat dan keluargaku. Kamu tidak tahu betapa sampai sekarang aku masih takut jatuh cinta jika cinta berarti harus jatuh dan kehilangan lagi untuk yang kedua kali.
Kamu tidak tahu betapa aku masih mengitung hari. Sehari, tujuh hari, dua puluh hari, lima puluh hari, seratus hari, seratus sembilan puluh satu hari, untuk menunggumu pulang. Aku tahu kamu tidak akan pulang. Kamu pasti tidak akan menapaki lagi jalan pulang menuju aku. Karena jalan pulangmu tidak lagi mengarah kepadaku. Sejak wanita itu hadir di antara kita berdua, entah mengapa aku tidak bisa menyalahkan wanita itu, aku malah menyiksa dan menyalahkan diriku sendiri. Apa salahku hingga kamu meninggalkanku kemudian memilih dia?
Apa karena keegoisanmu yang ingin ditemani Shalat lima waktu, sehingga kamu bisa jadi imam untuk seorang gadis? Apa karena keegoisanku yang ingin ditemani ibadah hari Minggu, sehingga ada seorang pria yang duduk di sampingku saat aku sedang memuji Tuhan di gereja? Atau ini semua karena keegoisan kita berdua, yang tidak mengakhiri semua di awal saja, yang memilih mengakhiri justru di saat semua terlalu indah untuk diakhiri. Kamu, dan akupun, bahkan tidak tahu.
Yang aku tahu, sekarang Taylor Swift sedang membisikan lagu Wildest Dream di ruang kamarku. Taylor Swift sedang berteriak mengucapkan "Just Pretend!" dalam lagunya. Ah, mungkin memang, cintamu yang begitu terlihat indah di mataku sebenarnya hanyalah kepura-puraan yang terlambat aku sadari.
Tapi, biarlah aku tetap bodoh, asal bisa bersamamu.
Dari perempuan,
yang tetap membawa namamu;
dari kemaren" saya tunggu postingan ka dwita akhirnya ngeposting jugaaa :D makasih ka dwitaa bagus bngettt
ReplyDeleteditunggu endingnya kak dwita 😉👏
ReplyDeletesering post 😃
Lanjutkan ceritanya kak dwita
ReplyDeletekak, aku bisa curhat ga? .-.
ReplyDeleteBagus banget kaak
ReplyDeleteYah kak blm bisa moveon ya ? Samaaa wkwk -.-
ReplyDelete"Bahwa tidak akan ada lagi suaramu. Tidak ada pelukmu. Tidak ada tawamu. Tidak ada hari-hari bersamamu."
ReplyDeleteOh astaga ��
Fix bikin baper huhu
ReplyDelete