28 May 2016

Akhir yang aku harapkan dari kisah kita

Baca sebelumnya: Salahkah Jika Aku Berharap Kamu Kembali?

Aku memandangi wajahmu dengan rasa rindu yang mungkin hanya aku dan Tuhan pahami. Kamu yang sejak tadi kupandangi hanya tersenyum jahil berharap pandanganku tidak lagi mengarah padamu. Dalam hitungan jam, kita sudah berbincang banyak hal, namun mengapa aku masih belum bosan untuk mengalihkan padanganku kepada yang lain? Berhari-hari, aku tidak menatapmu, rasanya dua hari saja tidak memandangimu cukup membuat rasa rinduku menderas seperti hujan di langit Cibinong sore itu.

Aku tidak bisa berbohong bahwa aku semakin mencintaimu. Aku semakin jatuh cinta pada caramu memandangiku, caramu memelukku, caramu merangkul bahuku, caramu membisikan kata-kata manis di telingaku, caramu menggenggam jemariku, caramu memanggil namaku, dan cara-cara lain yang kaulakukan-- yang selalu berhasil membuatku bahagia. Aku tidak bisa berbohong bahwa hanya chat darimulah yang aku tunggu. Kamu adalah notifikasi favoritku. Kamu adalah suntikan keajaiban yang membuatku selalu bahagia menatap layar ponselku. Ketika namamu tertera di sana, cepat-cepat aku membalas, dan berharap balasan darimu juga segera masuk. Hingga hari ini, hanyalah kamu yang kunanti, tapi aku cukup sadar diri bahwa kebahagiaan ini mungkin saja segera berakhir.

Aku cukup sadar diri bahwa kamu tidak akan mungkin bisa aku miliki. Aku cukup tahu bahwa aku dan kamu bisa saja segera berakhir, tanpa alasan dan penjelasan, tanpa ucapan perpisahan. Aku cukup paham bahwa kamu bukan seutuhnya milikku karena keberasamaan kita memang hanyalah kebahagiaan sesaat yang akan segera hilang dengan pergantian musim atau bahkan bulan. Aku tahu ini semua akan segera berakhir bahkan sebelum kamu benar-benar mengerti seberapa dalam perasaanku. Aku juga tahu hubungan kita otomatis akan berakhir, bisa saja berakhir kapan pun, karena aku tahu di mana posisiku berdiri saat ini.

Semua tentang akhir. Mungkin, kebahagiaan tidak akan pernah jadi milik kita dalam jangka panjang. Maka, kubiarkan kamu memelukku dengan erat, sebelum kita benar-benar berpisah. Kubiarkan kamu tetap berbisik sambil memanggil namaku dengan lembut karena mungkin ini bisa saja pertemuan terakhir kita. Kamu juga tahu, hubungan kita penuh banyak kejutan, kita tidak akan pernah tahu kapan hadirnya perpisahan, yang aku dan kamu tahu adalah bahwa kita masih punya waktu untuk menikmati sisa-sisa waktu yang kita berdua miliki.

Seringkali, di tengah-tengah pelukmu, kamu menceritakan tentang kekasihmu. Saat itu, mungkin kamu tidak memikirkan betapa sesaknya dadaku, betapa sesaknya menerika kenyataan bahwa mungkin aku hanyalah pelarian untuk menghilangkan kebosanan. Ketika kamu menceritakan tentang kekasihmu, aku memilih mendengarkan dengan baik, sambil menatap matamu dalam-dalam, berusaha mencari kesungguhan dalam mata itu, berusaha menjawab pertanyaan; adakah aku dalam mata dan hatimu? Apa yang aku temukan? Aku juga menemukan diriku dalam matamu. Aku menemukan sosok bayanganmu dalam matamu. Tapi, bayangan itu menghilang, memudar, seakan sebuah isyarat bahwa kesalahan ini harus segera kita akhiri.

Kamu selalu begitu. Membawa amarah, api, dan tangismu, ke dalam bahuku. Kamu pasti begitu. Melarikan segara marah dan kesalmu, mengarahkan cerita sebalmu tentang kekasihmu, dan menumpahkan segalanya padaku. Lalu, ketika aku berhasil memandamkan apimu, kamu akan dengan setia berbalik arah. Setelah aku berhasil sembuhkan lukamu, kamu dengan cepat pergi meninggalkanku. Jelas, ini sangat tidak adil bagiku, bagi orang yang juga mencintaimu. Tidak bisakah kamu tinggal lebih lama lagi dan memelukku lebih hangat sekali lagi? Karena aku bosan menunggu di beranda rumah, berharap kamu pulang setelah lelah berperang, dan mengingat bahwa masih ada orang yang menunggumu datang masuk ke dalam peluknya.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah aku harus lari atau aku cukup diam saja dan menganggap semua tidak pernah terjadi? Apakah aku harus bersikap biasa saja, tetap mencintaimu seperti kemarin-kemarin, dan menganggap pelukmu serta ucapan cintamu bukanlah bualan? Aku tahu ucapan cintamu tidak pernah berbohong. Aku tahu betul, matamu tidak akan berhasil membohongiku. Tapi, yang selalu menjadi pertanyaanku adalah jika kamu mencintaiku mengapa kamu tidak membiarkan dirimu hanya dimiliki oleh satu hati?

Aku tidak tahu siapa pemilik hatimu yang sesungguhnya. Yang aku tahu, kamu hanyalah pria biasa, yang tidak mencintai sisi malaikat dalam diriku, justru kamu mencintai iblis dalam diriku. Kamu mencintai keliaranku, kamu mencintai cara berpikirku yang berbeda dari yang lainnya, kamu mencintai caraku melanggar segala macam peraturan demi memperjuangkan yang aku anggap benar, kamu mencintai sisi gelapku, kamu mencintaiku dalam keremangan yang menghangatkan. Yang aku suka darimu, kamu tidak sedang memaksa aku untuk memiliki sikap yang sangat malaikat, kamu justru membisikan hal-hal menyejukan yang selalu berhasil mendiamkan iblis jahat dalam diriku.

Kita sama-sama hadir dari kegelapan. Kita sama-sama gelap. Dan, percayakah kamu bahwa semua gelap akan menemukan terang di ujung jalan?

Aku ingin ke ujung jalan. Bersamamu.

Untuk pria yang belum percaya,
bahwa jalan pulang terdekat,
selalu lebih baik,
daripada jalan pulang terjauh.

Baca lanjutannya di:
Perasaan yang masih sama

******

Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)

2 comments: