23 July 2016

Aku berharap Tuhan mengembalikanmu ke dalam pelukanku

Baca sebelumnya: Aku sudah cukup bahagia menatapmu dari sini.

Aku duduk di kafe tempat pertama kali kita bertemu. Sambil memandangi hujan di langit Cibinong malam ini, aku turut menyelesaikan deadline untuk novel keduabelas yang berjudul Promise. Pemilik kafe tadi, yang temanmu itu, selalu bertanya mengapa aku tidak datang ke sini tanpamu. Dan, seperti biasa, aku hanya menjawab dengan senyum, berkata kalau kamu sedang sibuk. Namun, sampai kapan aku harus berbohong pada siapapun yang bertanya tentangmu? Haruskah aku berkata jujur bahwa kamu tiba-tiba menghilang tanpa kabar, setelah kita bertemu beberapa hari yang lalu, di hari ketika Portugal memenangkan EURO 2016. Haruskah aku berkata pada mereka, yang menanyakan kamu, bahwa aku tidak lagi mengetahui kabarmu, dan kita kembali jadi orang asing yang tidak saling kenal?

Aku sudah tahu ini akan terjadi. Saat aku menyapamu kembali, menanyakan apa oleh-oleh yang kauinginkan sepulang aku dari Jogjakarta. Kamu terlonjak bahagia, itu yang aku baca dari deretan chat kita. Aku bisa membaca kebahagiaan itu dari caramu menulis semua kalimat. Pada akhirnya, kita kembali bertukar sapa, setelah berbulan-bulan kita berpisah dan tidak lagi saling tahu kabar masing-masing. Kamu mau tahu apa yang terjadi saat itu? Pagi itu, setelah aku lari pagi di dekat Alun-alun Selatan, Keraton Jogjakarta, aku langsung bersiap menuju Dagadu. Aku memilih apapun yang pas untukmu, dengan harapan bahwa saat kita bertemu nanti, aku bisa melihat senyummu selebar mungkin.

Sepulang dari Jogjakarta, aku menikmati perjalanan selama dua puluh jam, sementara kamu menikmati EURO sampai tidak tidur. Sepanjang perjalanan, kita hanya menceritakan bagaimana pertandingan akan dimulai dengan seru, lalu kamu bercerita soal kekagumanmu pada Prancis, lalu kamu berbicara soal kemungkinan Portugal untuk menang, lalu kita berdua tenggelam dalam pembicaraan menyenangkan yang sama-sama kita rindukan. Aku menyimpan perasaan itu dalam-dalam, berbulan-bulan, andai kamu tahu, andai kamu mengerti.

Pada akhirnya, kita bertemu, dalam keadaan kita tidak tidur semalaman. Aku bisa membaca betapa kelelahannya matamu. Kamupun tentu mampu membaca betapa sayunya mataku, mata yang selalu sulit menyembunyikan perasaan rindu padamu. Kamu memelukku dengan pelukan takut kehilangan, pelukan yang aku rindukan selama berbulan-bulan. Aku memelukmu dengan pelukan menyadari bahwa kamu tidak akan mungkin aku miliki.

Wahai kamu, pria bermata sipit yang senyumnya selalu kukagumi, aku senang bisa kembali menghabiskan hari bersamamu. Aku senang melihatmu lahap memakan Domino's Pizaa yang aku belikan untukmu, yang aku belikan dengan cara memutar di Pemda Cibinong, begitu riuh dan macetnya, hanya untuk membawakanmu delapan potong pizza. Biarlah. Aku terlampau jatuh cinta. Dan, semua kelelahan itu bukan berarti apa-apa selama aku bisa bersamamu.

Kita melewati hari dengan candaan dan makian khas aku dan kamu. Kamu merangkulku dengan berani dan dengan senang hati membuatkanku es cappucino. Aku meminum minuman buatanmu sambil menatap matamu yang terus mengawasiku. Aku menawari es itu agar kauminum juga, tapi kamu menolak. Aku ulurkan tanganku untuk menyentuh pipimu, menyentuh dahimu, menyentuh bibirmu, dan menyentuh rambutmu. Betapa aku rindu menatapmu sedekat ini, selama berbulan-bulan kita tidak bertemu, dan bisa menyentuhmu sehangat ini adalah kebahagiaan yang sangat aku syukuri.

Siang berganti menjadi malam, mengapa setiap aku bersamamu, waktu terasa bergerak begitu cepat? Hujan turun lagi di langit Cibinong. Lalu, kita menunggu hujan reda. Tidak ada yang banyak kita lakukan selain aku menertawai candaan Sule di televisi dan kita hanya menikmati berita malam yang membicarakan kemenangan Portugal. Kamu berkali-kali menyentuh rambutku, lalu percakapan kita bergerak menuju bisnismu, teman-temanmu, duniamu, dan hari-harimua yang begitu menyenangkan. Kamu turut menceritakan hari-harimu yang menggelap tanpa kehadiranku. Apa yang bisa aku lakukan? Aku bersandar di bahumu dan memegang setiap jemarimu. Aku tahu karena aku akan selalu kehilangan kamu, maka aku harus mensyukuri setiap detik yang kita miliki, sebelum aku kembali mengikhlaskan kamu pergi.

Malam itu, hujan kelihatan sudah berhenti. Kamu mengenggam jemariku untuk menaiki sepeda motormu. Baru beberapa menit aku memelukmu di atas sepeda motor, hujan kembali turun lagi. Bukan hujan yang aku takutkan sebenarnya, namun aku merasa dejavu. Aku pernah merasakan hujan bersamamu ketika kamu mengantarkanku pulang. Saat itu, aku seakan bisa menebak apa yang akan terjadi lagi di setelah ini.

Aku turun dari sepeda motormu. Dan, kamu menatapku dengan tatapan hangat. Bajumu sangat basah, sama basahnya dengan bajuku. Kamu memelukku sesaat dan kemudian kamu berlalu dengan cepat. Kutatap punggungmu dari belakang, hingga sepeda motormu menjauh. Ada kekosongan dan kehampaan yang aku rasakan. Belum berapa detik berlalu, namun aku sudah merindukan pelukmu.

Ini terjadi beberapa bulan yang lalu, saat hujan itu, kamu mengantarku pulang ke rumah. Aku tidak tahan dengan puluhan cercaan yang mengatakan bahwa aku murahan, lalu aku tidak kuat, kemudian melepaskanmu pergi. Padahal, mati-matian kamu meminta agar tidak aku lepaskan. Aku memintamu pergi, namun aku menyesal karena hari-hari tanpamu adalah kesedihan yang menyebalkan. Dan, apa yang aku katakan dejavu itu kembali terulang. Aku pernah kehilangan kamu dalam keadaan seperti itu dan kemarin aku harus kembali kehilangan kamu lagi, kali ini-- tanpa sebab dan alasan.

Malam itu, aku menatap punggungmu yang menghilang dari pandangan. Seakan kamu ingin memberitahu, bahwa aku harus siap kehilangan kamu kapanpun itu. Kita saling tahu, bahwa di antara kita tidak akan ada yang bisa saling memiliki. Kamu tidak akan mampu memilikiku dan aku tidak akan bisa memilikimu. Kita sudah sepakat untuk ini bahwa aku dan kamu harus saling menyembunyikan. Tapi, bisakah kaumenahan diri dari kutukan cinta? Kamu tidak bisa memilih harus jatuh cinta dengan siapa. Cinta tidak pernah salah, tapi dia bisa datang terlambat.

Kamu selalu bilang bahwa aku datang ke hidupmu sangat terlambat, meskipun kamu sangat mencintaiku, namun bukan berarti kita bisa punya akhir menyatu. Malam itu, aku menatap punggungmu menjauh. Hujan turun semakin deras. Dan, aku lepaskan kamu dari pelukanku. Aku ikhlaskan kamu menuju peluknya. Sambil berharap kamu tahu, aku tetap akan menunggumu, meskipun aku tahu kekasihmu tidak akan melepaskanmu.

Aku tetap akan menunggu kamu kembali ke dalam pelukanku. Karena aku yakin, kamu selalu tahu, ke mana kauharus pulang.

Koko, aku rindu kamu,
Bisakah kamu buatkan aku semangkuk mie ayam,
untuk perempuan yang hanya menjatuhkan air matanya--
untukmu?

Baca lanjutannya di:

******

Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)

3 comments:

  1. pagi ini hujan turun. Mengiringi air mataku.

    ReplyDelete
  2. ka dwuta, aku mau request boleh ? curhatnya tentang dilema gabisa move on dan takut untuk memulai hubungan lagi karna takut dikhianati.. boleh yah kaa :(

    ReplyDelete
  3. Ka, aku tunggu tulisan kakak tentang beda agama lagi yaaa

    ReplyDelete