Baca sebelumnya: Aku berharap Tuhan mengembalikanmu ke dalam pelukanku.
Pada jam hampir menyentuh empat pagi ini, tidak banyak yang bisa aku lakukan di sisa-sisa kekuatan aku mengerjakan novelku, selain membaca ulang percakapan kita di Whatsapp. Percakapan terakhir kita terjalin sepuluh hari yang lalu. Ini yang kubenci darimu, kamu selalu memintaku untuk menghubungiku lebih dulu, sedangkan sebagai perempuan-- aku lebih ingin dihubungi lebih dulu. Aku mencoba menguatkan diri, untuk pada akhirnya menghubungimu lebih dulu, betapa sulitnya untuk meredam gengsi agar bisa menghubungi, namun setelah aku lakukan itu, kamu tidak membalas apapun, dan hilang lagi selama sepuluh hari. Aku menyimpan tanya, lalu apa maumu kali ini setelah segala gengsi telah kubunuh hanya demi tetap memelukmu lewat tulisan?
Pada jam hampir menyentuh empat pagi ini, tidak banyak yang bisa aku lakukan di sisa-sisa kekuatan aku mengerjakan novelku, selain membaca ulang percakapan kita di Whatsapp. Percakapan terakhir kita terjalin sepuluh hari yang lalu. Ini yang kubenci darimu, kamu selalu memintaku untuk menghubungiku lebih dulu, sedangkan sebagai perempuan-- aku lebih ingin dihubungi lebih dulu. Aku mencoba menguatkan diri, untuk pada akhirnya menghubungimu lebih dulu, betapa sulitnya untuk meredam gengsi agar bisa menghubungi, namun setelah aku lakukan itu, kamu tidak membalas apapun, dan hilang lagi selama sepuluh hari. Aku menyimpan tanya, lalu apa maumu kali ini setelah segala gengsi telah kubunuh hanya demi tetap memelukmu lewat tulisan?
Aku pernah bilang padamu, mengapa aku tidak boleh mengunduh aplikasi Telegram, yang pernah kauceritakan padaku itu. Karena begitu mudah memelukmu lewat tulisan di Telegram jika kutahu kamu membalas Whatsapp bisa begitu lama. Aku sering bertanya padamu, mengapa aku tidak boleh ikut permainan WereWolf di Telegram. Padahal, aku tahu betul konsep permainan itu, Koko Sayang, menebak siapa yang menjadi seringala yang telah membunuh seluruh penduduk desa. Aku pernah memainkan permainan itu di dunia nyata bersama teman-temanku, namun kamu hanya menggeleng pertanda tidak setuju jika aku ikut bermain WereWolf di Telegram. Saat aku menanyakan alasan, kamu selalu berkata, kamu ingin aku terlindungi dalam persembunyian kita. Aku hanya mengangguk setuju, bukankah sebagai yang disembunyikan, aku tidak boleh menuntut banyak?
Percakapan itu berakhir dengan pelukmu yang semakin erat. Kamu menceritakan apapun yang terjadi hari itu dan aku menceritakan bagaimana hari itu begitu menyenangkan karena aku berhasil menyelesaikan salah satu bab novelku. Kita berpelukan lekat sambil menunggu hujan reda, tidak ada yang bicara, hanya suara rintik hujan yang menyentuh atap. Aku tertidur di bahumu seakan tidak ada tempat yang lebih hangat selain bersandar di sana. Kamu punya daya dan upaya untuk membuat aku tenang. Kamu selalu tahu caranya mendiamkan iblis dalam diriku, itulah mengapa aku begitu jatuh cinta pada malaikat sepertimu, si malaikat berwajah iblis yang memegangi rokok dengan senyuman yang membunuh. Ah, aku rindu kamu.
Koko, sepuluh hari ini kamu pergi entah ke mana. Dan, sebagai yang kausembunyikan, aku hanya mampu menunggu tanpa meminta. Sebagai yang tak berhak, aku hanya bisa menyebut namamu dalam doa panjangku. Sebagai perempuan yang tahu diri, aku cukup paham bahwa sikapmu ini tentu karena tidak ingin diganggu. Bolehkah aku jujur, jika aku sangat rindu pelukmu dan hanya ingin mendengar suaramu yang hanya satu sentimeter dari telingaku? Kamu tahu betul, begitu mudah cara membahagiakan aku. Karena kamu paham, aku tidak akan bersungut memintamu menempuh jarak puluhan kilometer hanya untuk bertemu dan makan enak. Kamu tentu mengerti, aku tidak akan menuntut segalanya hanya agar kamu bisa membuatku bahagia, dengan memelukmu dan melihat asap rokokmu-- itu jauh dari kata cukup. Tidak sulit untuk membuat aku bahagia, Koko Sayang, tapi kamu menolak untuk melakukannya, seakan membuatku bahagia sesulit membuat seribu candi dalam satu malam.
Aku merindukanmu pelukmu dan merindukan suaramu, hanya itu yang aku tahu. Waktuku memang termakan untuk segala kewajiban, tapi kamu selalu hadir di sisa-sisa waktu yang aku miliki. Bukan, bukan berarti kamu nomor sekian, aku hanya menempatkanmu di tempat yang pantas untuk pria yang spesial, karena kamu pantas berada di sana. Tapi, mungkin, aku tidak pernah ada di mana-mana, pun di hatimu juga otakmu, itupun juga aku maklumi, tidak pernah ada tempat untuk yang disembunyikan. Aku begitu percaya bahwa tidak pernah ada tempat untukku, itupun aku percaya saat aku memutuskan berpisah denganmu, tapi setiap aku menyerah-- kamu selalu memberiku kekuatan yang salah, kekuatan yang selalu merasa yang kita lakukan ini benar, kekuatan yang membuat aku tidak menyalahkan siapapun juga tidak menyalahkan keadaan. Kamu selalu mampu memberiku rasa percaya, bahwa ada bahagia di ujung jalan sana, meskipun yang aku rasakan; kita hanya berjalan di tempat, tidak ke mana-mana.
Sayang, kamu tahu kita tidak berpindah ke mana-mana, yang kamu tahu aku hanya perempuan yang jelas tidak akan menuntut apa-apa selain pelukmu yang mampu menghangatkannya. Koko, kamu begitu paham, bahwa tidak akan ada kebahagiaan di antara kita, hanya kesenangan sesaat lalu kamu akan pergi tanpa jejak. Mungkin, bagimu, aku begitu lumrah untuk disakiti, lalu aku akan segera terobati dengan novel yang segera aku tulis setelah patah hati. Maaf, Sayang, kamu salah besar. Perempuan tidak bisa kamu samakan dengan logika yang kamu gunakan, logika laki-laki. Aku tidak pernah menyesal telah menjadi perempuan yang menggunakan perasaan dalam banyak hal, aku tidak pernah menyesal telah memelukmu, aku tidak menyesal pernah tertidur di pundakmu, aku tidak menyesal mendengar detak jantungmu yang memburu, aku tidak menyesal mengecupmu, aku tidak menyesal adanya cinta di antara kita. Tapi, ada satu hal yang aku sesali, mengapa ketika aku sudah memberikan segalanya, namun kamu hanya memberiku seperlunya.
Aku mencintaimu. Kamupun tahu itu. Namun, aku tidak akan jadi siapa-siapa bagimu. Kamupun tahu itu. Sebelum semua berakhir lagi dalam kata pisah, bisakah kita habiskan sisa waktu yang kita punya hanya untuk membuatku bahagia dengan pelukmu? Aku tidak tahu daya magis apa yang terkandung dalam pelukmu, di sana aku bisa menangis sejadi-jadinya, ataupun tertawa segila-gilanya. Hanya itu yang kurindukan, karena seperti yang aku bilang, aku tidak hendak memintamu menempuh jarak puluhan kilometer hanya untuk sebuah pertemuan nyata.
Aku mencintaimu bagaimanapun dirimu. Aku tetap mencintaimu, meskipun tubuhmu berlumuran tepung seusai kamu meracik mie. Aku tetap mencintaimu, meskipun kamu menunjukan sebuah kitab suci yang kaubakar sambil tertawa. Aku tetap mencintaimu, walaupun kencan termewah yang pernah kita lakukan hanyalah makan Rice Bowl di Cibinong City Mall. Aku masih mencintaimu, meskipun berhari-hari kamu tidak menghubungiku lebih dulu. Aku sungguh mencintaimu, meskipun kamu selalu membuatku menunggu.
Kamupun mencintaiku pasti karena penuh dasar. Kamu masih mencintaiku, mencintai kekuatan yang aku miliki untuk bersabar, bahkan saat puluhan temanmu mencaci aku dan melumuri aku dengan segala fitnah yang menyedihkan. Kamu mencintaiku karena aku tidak menuntut banyak hal darimu. Kamu mencintaiku karena suaraku selalu berhasil membuatmu tidur, terutama jika aku memperdayai kamu dengan lagu Somewhere Over The Rainbow atau lagu Raisa yang berjudul Kali Kedua. Kamu mencintaiku karena kita berbeda dalam segala, namun perbedaanku sepenuhnya mampu melengkapimu. Kamu mencintaiku, tentu karena aku hanya mampu menangis dalam pelukmu, ketika kamu berkata sudah punya kekasih. Kamu mungkin semakin mencintaiku di hari itu, saat berjam-jam aku hanya mampu menangis hingga mataku bengkak. Hari itu, mungkin duniamu menggelap, karena pada akhirnya kamu menyadari, ada orang yang sungguh mencintaimu, namun gadis itu datang di waktu yang salah.
Aku adalah kesalahan yang ingin terus kamu ulang. Sementara kamu adalah kesalahan yang tidak ragu aku buat berkali-kali. Kita punya banyak kesamaan juga perbedaan, tapi perasaan yang memenuhi kita berdua mampu mengubah segala ledakan menjadi paduan suara termerdu yang pernah kita dengar. Suaramu adalah nada sumbang kesukaanku, tetaplah begitu sampai Tuhan mengizinkan kita kembali bertemu.
Dan, di pukul empat pagi ini, sambil menunggu jam lima untuk lari pagi, aku masih menyimpan harap-- bahwa kamu akan tiba-tiba muncul di dekat rumahku, hanya untuk mengajakku makan bubur ayam; seperti sepuluh hari yang lalu. Kamu selalu tahu cara membuatku bahagia dan tersenyum, jadi plis jangan pakai anting putih di telinga kirimu, yang membuat aku marah sepanjang jalan saat kita mencari bubur ayam.
Terakhir. Aku mencintaimu. Hanya itu yang kutahu. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tetap ikut aturan mainmu. Tetap bahagia dalam rahasia kita.
Untuk pria bermata sipit,
yang menyediakan "tempat persembunyian",
paling menyenangkan.
*****
Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)
Ingin menangis tp ku tak bisa😢
ReplyDeleteGoodluck kak buat novel baru nya, semoga novel ku kebagian TTD kakak hehehe:v