Aku mengangguk pelan.
“Udah suka berapa lama?”
“Tiga tahun.”
“Dari elo SMA?!” mata Letisha membulat, ia seperti tak
percaya dengan dua kata yang baru kuucapkan.
“Dari gue SMA, sampai gue kuliah semester empat.”
“Elo emang gila banget, Bian!”
Kepalaku tertunduk, aku benci dikasihani.
“Kata orang, naksir itu sebenarnya cuma empat bulan,
lebih dari itu, tandanya elo sayang sama dia.”
“Sayang?” sergahku singkat. Apa yang kutahu tentang
perasaan sayang? Aku tak mengerti banyak hal tentang cinta.
“Dia punya pacar?”
“Punya. Sudah berganti lima kali dalam tiga tahun”
“Makanan favorite-nya?”
“Bakso gerobak di dekat Sarinah.”
“Kerjaannya?”
“Sutradara.”
“Film yang ia hasilkan?”
“Ada beberapa, dan gue punya semua.”
“Kok gue enggak kenal?”
“Cuma gue yang kenal dia lebih dalam.”
“Mobilnya?”
“Banyak, kadang ganti-ganti. Lebih seringnya pakai Honda
dan Toyota.”
“Rumahnya?”
“Daerah Kalibata.”
“Pendidikan terakhir?”
“Strata satu, Mikrobiologi UGM.”
“Kok jadi sutradara?”
“Mengikuti suara hati. Mungkin.”
“Elo belum pernah ngajak dia ngobrol?”
“Belum pernah sekalipun.”
“Hanya berani menatap?”
Aku mengangguk. “Hanya berani menatap dan tak pernah
berani mengucap.”
Letisha menutup mulutnya. Ia geleng-geleng kepala. “Kenapa
sekarang masih di sini?”
“Takut.”
“Apa rasa takut memberikan elo jawaban?”
Tatapanku lurus-lurus ke arah Letisha. Pertanyaan itu
seperti panah yang sengaja dilesatkan menuju otakku, hingga aku tak mampu
dengan cepat menjawabnya. Aku berpikir keras, semakin keras, namun tak
menemukan jawaban yang pas.
“Udahlah, Sha. Gini aja gue udah bahagia kok.” ucapku santai
sambil terus memerhatikan sosok pria itu bersama kekasihnya. Tetap ada rasa
sakit yang berdesir di dadaku. Entah disebut apa. Tapi, aku ingin menangis,
melihat seseorang yang kucintai merangkul seseorang, yang bukan sosokku.
“Bahagia?” Letisha menilik mataku, ia masih mencari-cari
jawaban lewat tatapanku. “Apa arti bahagia yang sesungguhnya, Bian?”
Kendaraan melintas lalu-lalang, namun suara Letisha tetap
kudengar jelas. Sementara pria itu masih bersama kekasihnya, tersenyum manja
tanpa menyadari ada sosokku dan sosok Letisha yang diam-diam memerhatikannya. Aku
melempar pandang ke arah jalan, tak ada jawaban yang kutemukan. Sementara Letisha,
ia semakin tak sabar mendengar penjelasanku. Ia malah asyik mengintrogasi
perasaanku. Apa salahku?
“Bahagia itu sederhana, Sha.” bibirku mendekat ke telinga
Letisha. “Asal gue bisa terus melihat dia tersenyum, walaupun gue tahu senyum
itu belum tentu disebabkan oleh kehadiran gue.”
“Kehadiran elo? Dia tahu elo aja enggak!” sergap Letisha
dengan tatapan mengintimidasi, aku benci ditatap seperti itu.
“Elo berhak menilai apa yang gue rasa?”
“Enggak. Tapi, gue ngerasa kehilangan diri lo yang dulu.”
“Diri gue yang dulu?”
“Elo yang mau usaha! Bukan cuma melihat! Bukan cuma menunggu!
Bukan cuma diam dan menatap.”
“STOP!” aku menutup kedua telingaku, tak ingin perkataan
Letisha selanjutnya semakin menyakiti perasaanku.
“Elo takut kalau menemukan diri lo yang udah berubah? Elo
takut kalau tahu ternyata elo pengecut?”
Tatapanku tajam meraih sosok Letisha. “Apa yang salah
dari mencintai seseorang diam-diam?”
“Percuma! Kalau dia enggak tahu apa yang elo rasain!”
“Gue enggak salah kan, Sha?”
“Enggak salah, tapi gue enggak suka temenan sama orang
pengecut.”
“Gue pengecut?”
“Lihat darah aja berani! Bedah ini itu berani! Masa buat
ngajak kenalan cowok enggak berani?”
Bibirku tersenyum tipis. Letisha sialan! Mengapa dia
harus mengait-ngaitkan praktik di kampusku dengan perasaanku? “Enggak ada
hubungannya, Sha!”
“Ada.”
“Enggak!”
Kali ini, Letisha kesal sendiri. “Diam membuat elo
bahagia?”
Aku tak langsung menjawab pertanyaan Letisha, entah harus
mengangguk atau menggeleng. Tak ada jawaban yang tepat kala itu. Cinta teralu
absurd bagiku, banyak hal yang tak pasti di sana dan di sini. Tapi, entah
mengapa semua hal bodoh itu bisa membuatku tersenyum. Bisa membuatku tertawa. Kadang,
juga menangis. Apa aku salah, jika aku bahagia dengan yang kulakukan selama
tiga tahun ini?
“Sudah sepuluh detik, dan elo enggak menjawab pertanyaan
gue, Bianca!”
“Oke! Oke!”
“Oke, apa? Oke elo mau ngajak dia ngobrol?”
“Enggak seekstrem itu kali, Sha!”
“Emangnya ngajak cowok kenalan itu ekstrem?”
“Buat gue iya.”
“Nah, berarti elo enggak menghargai usaha Kartini!”
“Kok, elo ngelantur ke mana-mana sih?”
“Bukan ngelantur, kalau ngajak kenalan aja dibilang
ekstrem, apa kabar kalau ngajak orgasme bareng?”
“Bego lo!”
“Tuh kan, berarti elo ngerti. Ngajak cowok kenalan itu
enggak ekstrem, kecuali kalau ngajak dia orgasme bareng elo.”
Aku seperti terperdaya pada perkataan Letisha. Seperti
ada bius yang menghipnotisku dan menghasutku untuk mengenal sosok itu lebih
dalam. Tapi, masih ada yang mengganjal di hatiku, haruskah aku berkenalan
dengan seseorang yang sudah punya kekasih?
“Tapi, pacarnya dia gimana, Sha?”
“Gimana apanya? Elo kan cuma minta kenalan, bukan minta
dinikahin!”
“Gue enggak enak, Sha. Tandanya, gue jahat dong? Cinta kan
enggak merusak.”
“Yaelah, orang udah nikah aja bisa cerai. Apalagi yang masih
pacaran?”
Aku menoyor kepala Letisha. Entah apa yang ada di otaknya
hingga ia lancang berbicara seperti itu. “Kalau udah disatukan Tuhan sih,
enggak bakal ada tangan manusia yang mampu pisahkan, Sha.”
“Bagus, gue kirain elo cuma hapal bagian anatomi manusia.”
Tawa tak mampu kutahan. Aku mengenggam lengan Letisha
dengan kuat. “Jadi, gue harus gimana?”
“Kenalan.”
“Secepatnya?”
“Lebih cepat daripada pergerakan sinar gamma.”
Aku tersenyum puas lalu menatap pria yang kucintai selama
tiga tahun itu dari kejauhan. Ternyata waktu bergerak semakin cepat, tiga tahun
memang tidak sebentar. Banyak yang berubah, aku dan pria itu juga berubah. Namun,
entah mengapa perasaanku tak pernah berubah. Aku tetap jatuh cinta berkali-kali
padanya.
bersambung ke Tatap atau Ucap? (part II)
Keren bangeeeeeett :')
ReplyDeletesuka banget ceritanya <3
ReplyDeletemau tau kelanjutannya nih :) :D
ReplyDeleteayooo cepet buat lanjutannya ya De ;) tulisan kamu bagus2 banget< sukses tertulisnya semoga lolos :)
ReplyDeletebagus bgt dan menyentuh :')
ReplyDeletehalo Kak Dwita, salam kenal.
ReplyDeleteaku selalu suka sama cerita-cerita yang dibikin Kak Dwita.
ceritanya bagus, mantep banget pokoknya.
sukaaa...
ReplyDeletepenasaran sama kelanjutannya :)
bagus ceritanya :)
ReplyDeleteDitunggu lanjutannya. :)
ReplyDeleteaku lg ngalamin cerita iniiiii :'(
ReplyDeletemau tau lanjutannya gmna..
waw , ceritanya bagus, pengen tau kelanjutannya :)
ReplyDeletebagus bgt :) ditunggu lanjutannya ya,
ReplyDeleteKeren banget kak :D
ReplyDeletehmm, great :D
ReplyDeleteLove actually lasting forever,
but, I got one new phrase: 'Love start after 3 months adore'
oops 'Love start after 4 months adore'
ReplyDeleteahaa........ aku cuma harap harap c3mas... :D
ReplyDeletewaw... amazing. lebih dari empat bulan adalah sayang hahah aku catat itu :)
ReplyDeletebagus
ReplyDeletedi tunggu ya kelanjutan nya :) (y)
ReplyDeletegantung , pengen tau keelanjutan nya:D
ReplyDeletepunya kesamaan nih kak dalam ceritanya terlalu takut untuk memulai semuanya :")
ReplyDeletekereeenn bangeet;;))) like! like! like!
ReplyDeletehampir senasib juga haha
pas banget ceritanya kak :)
ReplyDeletenice kak :)
ReplyDeleteT.O.P kak dwitasari :)
ReplyDeleteAaaaahhhh keren banget ceritanya ^^
ReplyDeleteini...jleb banget ^^
ReplyDeleteNama nya udah sama cerita nya juga sama, cuman bedanya baru 1tahun
ReplyDeletebagus ka hihihi dreaming bisa jd penulis kaya kamu ka ;'D
ReplyDeletekeren banget :)
ReplyDeletesukaaaak, aku udah hampir 7 tahun malah cinta diam-diam:')
ReplyDeletekeren bangett kak :)
ReplyDeleteEkstrem tuh ngajakin orgasme bareng :D hahaha
ReplyDeleteduh ka ini ko aku banget ya cmn bedanya aku suka diam2 2thn haha
ReplyDelete