Kamu adalah kesalahan yang aku banggakan.
Pertemuan tiba-tiba denganmu selalu aku anggap anugerah bagiku. Kamu adalah
mozaik hilangku yang sebentar lagi akan aku temukan. Aku tersenyum sesaat,
mobil melaju menuju Bandara Adisutjipto, hujan pagi itu cukup membuat hari ini
merepotkan bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda motor. Beberapa bangunan
kecil menjadi tempat berteduh bagi para pengendara sepeda motor. Sebentar lagi
aku akan meninggalkan Jogja, kota paling indah di mataku hingga saat ini.
Megah, sederhana, dan meneduhkan. Tempat aku ingin selalu kembali pulang.
Aku izin mendengarkan musik sebentar pada
panitia yang sejak tadi mengajakku bicara. Aku masih sedikit butuh istirahat.
Aku berusaha memejamkan mata dan merasapi lagu yang terdengar dari headset-ku.
Taylor Swift, dengan suaranya yang melengking dalam lagu Enchanted cukup
mendebarkan hatiku saat itu. Lagu itu membuat aku mengingat ketika aku pertama
kali melihat bola mata Radit. Mata sipit yang cukup teduh untuk dipandang, di
balik kacamata minus tiga. Hidung yang memang mancung dilengkapi dengan rahang
yang tegas dan tak terlalu lonjong. Dia sangat tampan di mata gadis berumur
enam belas tahun, tiga tahun yang lalu, saat aku baru selesai menerbitkan novel
pertamaku. Ya, dia gambaran sempurna untuk gadis seusiaku waktu itu. Radit
sangat laki-laki sekali.
Suara beratnya jangan ditanya, apalagi bisik
napasnya ketika menyentuh telingaku. Jujur, dia berhasil membuat tubuhku lemas
karena sentuhan yang tidak bisa diartikan oleh gadis seumuranku tiga tahun yang
lalu. Saat itu aku berusia 16 tahun, dia 23 tahun. Dia dewasa, aku
kekanak-kanakan. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan seorang remaja baru belajar
dewasa ketika bertemu dengan pria dewasa yang selalu ada dalam gambaran
mimpinya?
Aku menghela napasku, berusaha membangunkan
diriku sendiri dari mimpi tentang Radit, tentang peluk hangatnya, tentang gaya
bicaranya, tentang apapun yang aku anggap sempurna dari sosok Radit. Mataku
kembali memandang jalan dan sesekali mengajak panita yang mengantarku untuk berbicara
mengenai kuliah, mengenai kampus mereka, dan tentunya mengenai hal-hal yang
sedang hangat dibicarakan di Jogja.
Sesampainya di Bandara Adisujipto, aku memberi
pelukan hangat dan ucapan terima kasih karena panitia seminar tersebut telah
menemaniku selama di Jogja. Tak lupa, kami beberapa kali melakukan selfie
sebagai kenang-kenangan, sebagai penenang rindu. Aku melambaikan tangan sebelum
memasuki ruang check in. Sambil mengantre di tempat check in, aku kembali
membuka ponselku. Radit menyapaku dengan ramah dalam kotak chat.
“Jogja hujan terus. Hancur waktu nostalgia.”
tulis Radit padaku.
Aku tersenyum beberapa saat sebelum membalas
pesannya, ingin rasanya aku menumpahkan segala rasa rinduku sekarang, tidak
lagi berpura-pura menjadi Sari, tidak lagi berpura-pura menjadi gadis yang
tidak pernah mengenal Radit sebelumnya. Tapi, aku masih menahan diri, aku masih
percaya bahwa jika aku mengaku kalau aku adalah Dwitasari, gadis 16 tahun yang
dia kecup keningnya tiga tahun yang lalu, tentu saja dia akan marah. Aku tak
yakin Radit mengecupku karena dia menyukaiku. Suasana saat itu sangat dingin,
pelukan dan kehangatan tentu sangat dibutuhkan, kami terntu hanya terbawa
suasana kala itu. Tak ada cinta bukan?
“Sampe di Bogor kayaknya juga bakalan sama, ya?”
tanyaku pada Radit, dengan senyum sempurna di bibirku. Menunggu dengan
penasaran apa yang selanjutnya akan dibalas Radit.
“Bogor kan emang kota hujan. Gimana, sih, lo?!
Hahaha.” jawaban Radit terasa hangat bagiku.
Memang hanya tulisan, beberapa hari ini aku dan Radit
hanya berhubungan via tulisan, via dunia maya, tetapi entah mengapa aku merasa
ada kehangatan yang meledak di hatiku. Ada kebahagiaan kecil yang aku rasakan
ketika bisa bercakap dengan Radit meskipun hanya melalui deretan huruf dan
angka. Ingin rasanya saat ini juga aku berbicara mengenai perasaan rinduku pada
Radit, tapi entah mengapa semua benar-benar tertahan atau mungkin aku yang tak
berani mengatakan?
“Lo lagi apa?” aku mengetik pertanyaan sambil
menarik koper kecilku, antreanku semakin dekat.
“Lagi ngantre check in, nih, gila rame banget,
padahal sebentar lagi check in ditutup buat pesawat gue.”
“Gila masih sempet-sempetnya lo pegang hp.”
Aku tertawa geli ketika membaca tulisan bodoh
Radit, bahkan dalam keadaan terburu-buru, dia masih saja memegang ponselnya,
dan sempat-sempatnya membalas pesanku. Tak berbeda denganku, aku pun juga sama bodohnya,
check in untuk pesawatku sebenarnya sebentar lagi juga ditutup, dan aku masih
mengantre di….
“Iya, saya nggak bawa bagasi, Mbak.” ucap pria
berkaus putih di depanku, pria itu masih sibuk dengan ponselnya. Sesekali dia
tersenyum ketika membaca sesuatu di layar ponselnya. Pria itu mendengarkan
ucapan crew Air Asia dengan santai, “Oke, makasih, Mbak.”
Aku mematung memandang sosok yang berlalu itu.
Otak lemotku kembali berpikir, bahkan aku masih belum tersambung dengan dunia
nyataku ketika pria itu hilang dari pandangan. Aku memandang sebentar ke layar
ponselku, melihat foto orang yang sejak tadi menjalin percakapan denganku di
ponsel. Wajahnya, bentuk hidungnya, rahangnya, sangat mirip dengan sosok
berkaus putih itu. Aku memandang sekali
lagi, ya, aku tidak salah lagi.
“Mbak…” perempuan di depanku memanggilku halus,
“Yang di belakang masih ngantre, tolong dipercepat, masa dipanggil tiga kali
nggak ada respon? Mbak tujuan ke mana?”
Aku nyengir, “Maaf, Mbak, ketampar masa lalu.
Saya Jakarta, Mbak.”
Si mbak yang manis dan penyabar itu langsung
menunjukan gate tempat aku harus menunggu pesawat. Aku mengangguk sekaligus
mengucapkan terima kasih. Dengan langkah seribu, aku meninggalkan tempat check
in dan segera memasuki ruang tunggu.
“Sorry baru bales, gue baru santai, nih, tadi
hectic lagi ngantre.”
Kutatap pesan di ponselku, aku tidak segera
membalas pesan itu. Aku mempercepat langkah, mencari pria yang sejak tadi
mencuri perhatianku, pria yang tiga tahun ini kutunggu dan kudoakan selalu.
Aku melihat pungungnya dari kejauhan, langkahku
berjalan mendekat, pelan-pelan, diiringi debar jantungku yang memburu. Bangku
tunggu di Adisutjipto cukup besar dan panjang. Bangku-bangku panjang tersebut
terletak rapi. Saat duduk, setiap orang bisa saling memunggungi satu sama lain.
Aku duduk di belakang Radit, memunggungi Radit
“Sorry juga baru bales, Dit. Habis melakukan
sesuatu, nih.”
“Ngapain emang? Boker?”
“Bukan, Dit, lebih penting dari itu.”
“Emang ada yang lebih penting dari boker?
“Kalau lo ketemu orang yang lo tunggu selama
bertahun-tahun dan lo kebelet boker, emang apa yang lo lakuin?”
“Gila, pertanyaan apaan, tuh, susah amat. Hidup
dan mati, sih, itu.”
“Apa lo bakalan membiarkan semua lewat gitu aja
dan lo kehilangan dia untuk yang kedua kalinya?”
“Kalau pun gue harus melewatkan dia, berarti itu
rencana Tuhan, sih. Bisa aja pas jalan ke kamar mandi waktu gue kebelet boker,
gue ketemu cewek yang lebih cantik.”
“Cowok mah gampang, ya, ngomong gitu, Dit.
Seandainya cewek juga gampang ngomong kayak gitu, pasti nggak ada yang namanya
sakit hati karena nunggu seseorang bertahun-tahun.” aku mengetik dengan
perasaan berantakan, mencoba membalik badan dan baru saja ingin memanggil nama Radit.
“Halo, Sayang.” Radit menyapa seseorang di
telepon, “Sebentar lagi boarding, kok.”
Aku menghela napas dan merapikan posisi dudukku.
Rasanya tak ada lagi harapan, panggilan telepon itu sudah cukup jadi jawaban. Kututup
aplikasi chat dan memandangi langit-langit ruang tunggu; menahan air mata yang
ingin keluar dari pelupuk mataku. Jika kau menunggu seseorang, diiringi dengan
air mata, apakah ini bisa juga disebut #SamaDenganCinta ?
BERSAMBUNG ke Apakah kita akan bertemu lagi? (4)