28 Desember 2014
Aku menghela napas, seusai mengisi seminar di Jogjakarta, aku langsung
melangkah ke ruang ganti. Aku bahagia melihat antusias peserta seminarku hari
ini. Mereka tangguh, tegar, percaya diri, banyak pertanyaan, penuh keyakinan.
Aku melayani pertanyaan mereka, menyambut peluk mereka, dan dengan senang hati
menulis kata motivasi di buku yang mereka bawa. Hari ini sungguh sempurna.
Aku mengganti bajuku, menghapus peluh di keningku, dan segera memasuki
mobil yang mengantarku pulang bersama panitia. Aku berbincang banyak hal
bersama teman-teman baru, mereka adalah orang-orang baik yang menjemputku dari
Adi Sucipto, mengantarku ke penginapan, mengantarkanku ke tempat seminar lagi,
dan kembali mengantarku ke penginapan.
Aku melewati Jombor. Tempat kita berpisah tiga tahun lalu dan hari ini
adalah tiga tahun peristiwa itu terjadi. Kamu meninggalkanku tanpa lambaian
tangan. Kamu pergi tanpa mengucap kata pisah. Bahkan, ketika sampai di Bogor
pun, tak kamu munculkan batang hidungmu sama sekali. Kamu menghilang seperti ditelan
bumi, tenggelam bersama kenangan-kenangan singkat kita yang sebenarnya masih
sangat sulit aku lupakan. Kamu tetap berada di hati dan otakku bahkan ketika
tiga tahun berjalan, bahkan ketika bertahun-tahun bumi telah berputar, namun
perasaan itu masih ada dan tetap sama.
Mataku terarah pada toko kecil yang menjual makanan dan minuman. Di
sana, aku ingat ketika bus kita berhenti. Semenit sebelum bus berhenti, kamu
menjamah rambutku sebentar dan langsung turun tanpa mengucapkan apapun. Aku
hanya melihat ke kaca jendela dan kamu memalingkan wajah. Di sana, aku cukup
sadar, bahwa kamu adalah sosok yang segera akan kulupakan. Namun, aku salah
besar. Kamu abadi dan masih di sini, hidup dalam hari-hariku, padahal kalau
boleh di bilang harusnya perempuan yang telah beranjak dewasa ini bisa sesegera
mungkin melupakanmu. Harusnya, aku bisa segera menenggelamkanmu karena
kepadatan kegiatan dan kesibukanmu. Tapi, tuan, kamu berbeda, dan aku suka.
Sesampainya di penginapan, aku membalas semua chat dan sapaan ucapan
terima kasih dari peserta seminar tadi. Aku membalas banyak surat elektronik
yang berisi curhatan dari para followers-ku di Twitter. Setelah melakukan
kegiatan yang hampir setiap hari aku lakukan itu, aku kembali melanjutkan
adegan-adegan novelku yang harus segera aku selesaikan. Untuk mengistirahatkan
mata, aku mengambil air putih sebentar dan meletakan gelas tersebut di samping
meja kerjaku.
Udara Jogjakarta malam ini membawa aku dalam ingatan-ingatan yang
harusnya aku lupakan. Kamu hadir dalam pikiranku, entah bagaimana caranya
padahal kamu sudah hampir terhapus dari memoriku. Aku tahu ini tolol, sudah
tiga tahun kamu menghilang dan tak ada kabar, tapi mengapa kamu masih berdiam
di otakku? Mengapa kamu masih saja punya tempat di hatiku? Harusnya, sejak 27
Desember 2011 itu, aku langsung melupakanmu dan tak membiarkan diriku terus
mengingat bagaimana lembutnya sentuhan jemarimu, bagaimana halusnya belaian
tanganmu, bagaimana manisnya suara beratmu. Harusnya aku sudah melupakan semua,
namun pertemuan kita yang singkat itu ternyata tidak singkat bagiku. Kamu masih
ada, akan terus ada.
Kesal dengan pikiran sendiri yang sejak tadi mengingatkanku pada
kenangan kita, aku memutuskan untuk menutup laptop dan beranjak tidur. Suara
hujan di Jogjakarta semakin deras, kutarik selimutku dan mencoba untuk
memejamkan mata. Namun, tidurku kembali batal, ketika ponselku berdering
nyaring. Aku membuka aplikasi chat terbaru yang baru beberapa hari aku unduh,
aplikasi yang cukup menarik, aku bisa chat dengan orang-orang yang radiusnya
sangat dekat dengan jarakku saat ini. Kulihat banyak sekali friend request yang
harus aku terima, aku memilih dan memilih. Sebagai perempuan normal, tentu aku
memilih yang bening terdahulu, baru yang dari latar pendidikan lumayan, juga pekerjaan
yang cukup ideal menurut ukuranku.
Seusai memilih orang-orang yang bisa berteman denganku di aplikasi chat
tersebut, handphone-ku kembali berdering. Dengan wajah malas, aku membalas pesan
yang tertera di layarnya.
"Hai, Sari, kok, masih online?
Belum tidur?"
Aku membaca isi pesan itu tanpa meneliti siapa yang mengirimnya. Dengan
dingin, aku membalas, "Siapa, ya?"
"Eh, sorry, kebetulan gue lihat lo online." aku membaca
ketikan itu dengan masih tak peduli nama pengirimnya, "Gue Radit.
Kebetulan lagi liburan di Jogja. Lo juga lagi di Jogja?"
"Hmm.... Radit." aku mengetik singkat, tanpa memberi perhatian
lebih pada nama dari sosok si pengirim, "Iya, lagi di Jogja, tapi gue
bukan asli sini. Gue tahu lo juga bukan asli sini."
"Yup. Gue stay di Bogor, kebetulan lagi nostalgia di Jogja."
aku membaca pesan itu dengan malas, tak berniat untuk membalas lagi, namun
ponselku berbunyi lagi, aku meraih benda itu lagi, "Kenapa lo tahu gue
bukan asli sini?"
Pertanyaan bodoh, ucapku dalam hati, "Karena lo pakai sapaan gue-lo,
kalau lo asli Jogja pasti lo pakai Mas, Mbak, Aku, Kamu. Asli mana emang?"
"Gue Bogor. Kalau lo asli
mana?"
"Oh, okay. Bisa samaan gini lagi di Jogja dan gue juga dari
Bogor." kebetulan yang belum aku pahami ini cukup membuatku tersenyum,
"Lo nostalgia di Jogja? Emang pernah kuliah di sini?"
"Gue mikrobiologi pertanian, UGM, sih. Bukan jurusan favorit."
jawabnya pendek.
Wait. Wait. Mikrobilogi Pertanian, UGM? Aku mengulang dalam hati. Radit,
Mikrobiologi Pertanian, UGM? Sekali lagi aku mengulang informasi itu. Radit,
Mikrobilogi Pertanian, UGM? Aku terbelalak. Aku langsung bangun dari tempat
tidurku dan membuka profile dari sosok yang bertukar sapa denganku. Ada tiga
foto di sana. Foto pria dengan mata sipit, berkacamata, dengan rambut cepak
rapi. Aku ingat wajah itu. Bentuk alisnya, hidungnya, lekuk bibirnya. Dia
orangnya.
Cepat-cepat aku kembali ke kotak chat, Radit sudah mengirim beberapa
pertanyaan yang belum aku jawab. Pertanyaannya sederhana aku bekerja sebagai
apa, sibuk apa, dan tinggal di Bogor bagian mana. Aku tak peduli pertanyaan
itu. Aku langsung mengetik pertanyaan yang sejak tiga tahun ini memenuhi
otakku.
Aku mengetik dengan cepat, “Kamu ke mana aja, Dit? Aku kangen.” Lalu,
merasa kalimat itu tidak pantas untuk mengawali pertemuan pertama kami kembali,
aku langsung menghapus kalimat itu lagi.
“Sekarang kamu di mana, Dit? Kerja apa? Udah merried? Punya anak
berapa?” aku berpikir lagi, pertanyaan ini lebih tolol. Kembali aku menghapus
pertanyaan itu lagi.
“Tiga tahun ini aku nunggu kamu, nyari kamu, nulis tentang kamu. Maaf
ada beberapa cerpen yang berisi tentang kamu. Aku kalut. Aku nyari kamu ke
mana-mana. Padahal, rumah kita bukannya deket banget, Dit?” pertanyaan yang
kutulis makin tolol, aku menghapus pertanyaan itu lagi, dan memutuskan untuk
menjawab pertanyaan Radit sesuai yang dia tanyakan padaku.
“Gue di Bogor yang mana, ya? Gue jelasin juga belum tentu lo ngerti.
Hehehe.” aku menghela napas dan mencoba menahan gejolak di hati, “Cuma
mahasiswi biasa di UI. Kerjaan gue ngegalau aja, sering ditinggalin pas lagi
cinta-cintanya, sih.”
Aku tidak berusaha langsung menembak Radit dengan ribuan pertanyaan yang
bertahun-tahun bercokol di hatiku. Lagipula, Radit belum tentu mengingatku, dia
tentu sudah punya hidup yang lebih baik dari tiga tahun yang lalu. Dia pasti
sudah punya kekasih, atau istri, atau anak-anak yang lucu, dan aku tak perlu
jadi benalu dalam kebahagiaannya.
“Lo suka galau? Emang umur lo berapa sekarang? “
“Gue sekarang 20, kalau lo?”
“November kemarin 27 tahun. Tua, ya? Haha.”
“Kalau kita jadian, lo ukurannya terlalu tua buat gue.”
Terlihat dari kotak chat, Radit sedang menulis pesan, “Bisa minta PIN BB
lo?”
Aku berpikir sejenak, Radit mungkin tidak tahu siapa aku yang
sebenarnya. Namun, dalam bayangku, Radit pasti membenciku, dia pasti begitu
mudah melupakanku karena aku tak begitu spesial dalam hidupnya. Buktinya?
Selama tiga tahun ini, dia tak mencariku, ketika aku masih diam-diam mencari
dan berusaha sebisa mungkin mengetahui kabarnya. Seharusnya, aku pun tak perlu
lagi terlihat mengulurkan tangan ketika Radit tiba-tiba datang dengan wajah polos, wajah
bodoh karena dalam pikirannya tak ada ingatan tentang pertemuan aku dan dia di
bus menuju Jogjakarta.
“Gue nggak pernah kasih PIN BB ke orang yang belum gue kenal, kita bisa
chat di sini. Gue cukup aktif, kok.”
“Wah, galak juga. Okelah, istirahatkan pikiran lo. Udah malem, lo nggak
tidur?”
“Ini gue lagi siap-siap tidur, kok.”
“Oke, selamat malam.”
Percakapan kami berakhir, aku tidak tahu harus merasa lega atau malah
menyesal atau malah merasa telah dipertemukan kembali oleh seseorang yang
selama ini kuanggap hilang. Namun, kalau aku boleh bertanya pada Tuhan dan
sesegera mungkin Tuhan menjawabnya, aku ingin bertanya satu hal; apa arti dari
semua ini?
Apakah maksud dari perasaan ini? Jika aku menunggu seseorang
bertahun-tahun, menunggu tanpa tahu kabarnya sama sekali, menunggu tanpa kenal
lelah. Apakah ini #SamaDenganCinta?
BERSAMBUNG KE Apakah kita akan bertemu lagi (2)
Sedih bgtt😢
ReplyDeleteDalemzzz banget kak:")
ReplyDeletelanjutin dong kak :)
ReplyDeleteDitunggu lanjutannya, Sari :") Sedih amat bacanya yal :")
ReplyDeleteJadi inget kenangan di Jogja :'(
ReplyDelete:')
ReplyDelete1-6 :) mantap.
ReplyDelete27? Yaampuun kak :")
ReplyDeletesemoga radit ga benci kakak amiinn :)
ReplyDelete:') keep smile dwita
ReplyDeletePngen punya bukunya :'( kisahny aku bnget
ReplyDeleteLuar biasa ceritanya
ReplyDelete