19 February 2015

Apakah kita akan bertemu lagi? (END)

Lanjutkan petualanganmu, menjawab pertanyaan apakah selama ini yang kamu rasakan #SamaDenganCinta ? Sebelumnya baca: Apakah kita akan bertemu lagi? (6)


7 Januari 2015, dini hari

            Hujan di luar masih menimbulkan udara dingin di tubuhku. Aku sesekali mengintip ke luar jendela dan melihat apakah hujan akan berhenti dengan segera. Pukul tiga, pagi ini, aku bergegas mandi dan bersiap menuju terminal bayangan bus DAMRI yang tersedia di Cibinong City Mall.
            “Sarapan dulu,” ucap Mama dengan wajah mengantuk, “Nanti kamu masuk angin kalau nggak makan. Busnya pasti dingin.”
            Setangkup roti sudah ada di tanganku, Mama menemaniku di meja makan, menatapku dengan tatapan sayu. “Kamu nggak capek pulang-pergi ke luar kota mulu? Kemarin juga tidurnya cuma beberapa jam.”
            “Namanya tugas negara, Ma. Hehehe.” jawabku singkat sambil tetap mengunyah roti di mulutku, “Berbagi ilmu sampai ke luar kota nggak salah, kok, Ma.”
            Mama menghela napas berat, “Jaga kesehatan, lho, Nak, banyak minum air putih.”
            Aku tersenyum simpul, ponselku berdering nyaring. Jemariku langsung meraih benda berwarna putih keemasan itu.
            “Gue depan rumah,” seperti biasa, tanpa basa-basi, Tyas selalu menyapaku dengan lantang, “Keluar lo, udah mau jam setengah empat ini.  Ketinggalan bus aja lo!”
            “Iya, gue keluar.” tanggapku cepat lalu mematikan ponsel.
            Segera aku mencium kening Mama dan membawa barang perlengkapanku. Mama mengantarkanku sampai depan pagar rumah dan masih menatapku bahkan hingga mobil Tyas berjalan.
            “Udah siap semua?” tanya Tyas tanpa menatap mataku.
            Aku mengangguk.
            “Bete, ya, sama gue karena nggak gue anterin sama bandara? Namanya sidang skripsi.”
            “Iyalah, biasanya juga dianterin, jahat lo emang. Sidang skripsi, kok, mendadak!”
            Tyas tertawa enteng, “Kemarin malam bilangnya oke-oke aja, katanya oke kalau naik DAMRI, katanya oke kalau ada tugas negara.”
            “Plis, deh, Yas. Ini bukan tugas negara.”
            “Tugas negara itu bahasa hiperbolanya, Neng, kirain penulis bakalan tahu. Intinya undangan seminar itu sama pentingnya kayak tugas negara. Titik.”
            Aku hanya menatap jalanan dan memandang lampu-lampu yang masih menyala di jalan Pemda Cibinong. Gelap. Sunyi. Sepi. Tidak banyak kendaraan berlalu-lalang.
            Beberapa menit kami sempat terdiam, lalu aku memutuskan kembali membuka suara.  “Semalam gue chat sama Radit.”
            “Hmm, terus?” ungkap Tyas seakan tak menunjukan ketertarikan pada bahasan yang ingin aku ceritakan.
            “Ya, cuma chat aja, tapi dia offline gitu, padahal gue nanya sesuatu yang bikin gue sebenernya penasaran banget buat tahu jawabannya dia.”
            Tyas pura-pura batuk sebentar seakan menggodaku, “Radit mulu, nggak aus?”
            Baru aku ingin membalas godaan Tyas, ternyata mobilnya telah parkir di dekat DAMRI yang berhenti di dekat Cibinong City Mall.
            “Lo cepet juga nyetirnya,” aku meraih koperku yang ada di jok belakang mobil, “Sebentar lagi busnya pasti jalan.”
            “Bukan gue yang nyetirnya cepet, tapi lo yang kerjaannya bengong mulu mikirin Radit.” ucap Tyas masih tetap dengan nada menggoda, dia mematikan mesin, dan segera menuruni mobil.
            Tyas membawa tasku dan mengantarku sampai ke dalam bus. Dia menyelesaikan pembayaran busku, memberi print out tiket pesawat, dan memberi beberapa wejangan serta nomor ponsel yang bisa dihubungi selama seminar di Jogja.
            Tepat pukul empat pagi, bus DAMRI berjalan menuju bandara Soekarno-Hatta. Aku menatap jalanan dengan perasaan biasa saja. Aku tidak mempedulikan ramainya bus dini hari itu, tidak memikirkan suara dengkuran yang terdengar, dan menatap jalanan secara terus-menerus membuat mataku ingin tertutup dan… terpejam.
            Kepalaku terasa berat ketika aku terpaksa bangun karena rem mendadak sang supir. Aku menggerutu dalam hati dan berlanjut memandangi jam tanganku. Pukul lima pagi. Aku menghela napas dan menguap beberapa kali, karena tak punya alasan lain untuk berlanjut tidur lagi, aku meraih ponselku yang ada di dalam tas.
            Beberapa pesan di Line, Whatsapp, dan BBM telah menyambutku. Aku membalas curhatan yang dikirim oleh pembacaku dan followers Twitter-ku. Ketika asik membalas dan membaca semua curhatan itu, chat Radit tiba-tiba masuk, dan tanpa kusadari; aku tersenyum membaca pesan itu.
            “Pagi, Sari.”
            Aku membaca dengan senang hati dan memikirkan baik-baik kalimat apa yang pantas aku tulis untuk membalas pesan Radit. “Pagi juga, Dit.”
            “Lho, udah bangun, nih, Sar? Lagi apa?”
            Dengan hati berbunga-bunga, aku kembali membaca pesan itu. Berulang-ulang dan memikirkan balasan apalagi yang bisa aku kirim untuk Radit. “Lagi otw ke bandara, nih, kamu lagi apa, Dit?”
            “Lagi di samping perempuan yang nggak nyadar kalau dari tadi sandaran di bahu aku, nih.”
            Jawaban Radit bagiku sangat aneh, berulang-ulang aku membaca kalimat itu dan tak paham dengan yang Radit ucapkan. “Maksudnya, Dit?”
            “Maksudnya, kamu, tuh, daritadi sandaran sama aku pas ketiduran.” ucap suara yang kudengar jelas di sampingku.
            Aku terbelalak. Seorang pria berkacamata, dengan wajah oriental, menatapku dengan hangat. Wajahnya disinari lampu jalanan. Dari kacamatanya, terpantul cahaya lampu jalanan yang berpendar dan sesekali menghilang. Mata itu masih sehangat dulu, sehangat ketika pertama kali bertemu.
            “Kamu ke mana aja?” itulah kalimat pertama yang aku ucapkan ketika kami kembali bertemu lagi, “Aku mencari kamu ke mana-mana.”
            Radit tertawa kecil sesaat, “Aku juga mencari kamu ke mana-mana. Ternyata, ketemunya di bus juga.”
            Entah mengapa, mataku tiba-tiba berair. Radit yang melihatku tak bisa berkata banyak. Dia hanya memelukku dengan rapat dan mencium keningku beberapa kali. Tangisku tak berakhir, dia kembali memelukku lebih erat lagi, “Berterimakasihlah sama Tyas, aku dapat nomornya dia dari bio akun Twitter kamu. Aku minta tolong sama dia buat merencanakan pertemuan ini.”
            “Tyas sialan.” ucapku dengan suara tak jelas. Aku tertawa sekaligus menangis. “Kamu jadi udah tahu kalau Sari yang kamu chat setiap hari itu adalah aku?”
            “Tahu, dong, pura-pura nggak tahu aja supaya kejutan.”
            Mataku kembali berair, “Ini bukan kejutan lagi, Dit, aku bukan cuma terkejut, tapi bahagia.”
            Radit melepaskan peluknya. Dia menatap mataku dalam-dalam dan bisa kubaca kerinduan di matanya. Aku tak bisa berbuat banyak ketika mataku sama-sama berair dan matanya pun tiba-tiba berair. Kami sama-sama menangis, entah tangisan sedih atau bahagia; yang jelas bagiku ini adalah pagi yang paling sempurna.
            Wajah Radit mendekat dan ketika dia menyentuh bibirku dengan bibirnya, aku hanya memejamkan mata sesaat. Ketika pipiku menyentuh pipinya, aku merasa air mata hangatnya turut menempel di pipiku. Radit memperbaiki posisi duduknya dan dia mempersilakan aku untuk bersandar lagi di bahunya.
            Seperti tiga tahun yang lalu.

TAMAT

28 comments:

  1. waahh .. ini dalem bangett :')

    ReplyDelete
  2. wahh dalem banget ya ini :')

    ReplyDelete
  3. good story, Dwit! keep writing :))

    ReplyDelete
  4. Ya tuhannn, ngga nyangka endingnya begini ya ahahaha good job mba

    ReplyDelete
  5. So sweeeeett, jadi terharu 😂

    ReplyDelete
  6. keren kak, so sweet, pagi yg sempurna :')

    ReplyDelete
  7. Sweet ka, jadi pengen kaya gitu..

    ReplyDelete
  8. baru baca endingnya hampir nangis

    ReplyDelete
  9. hahah, semoga akan begini, nantinya haha

    ReplyDelete
  10. Kak..... ini keren banget :') aku gak nyangka endingnya bakalan kaya gini!!!

    ReplyDelete
  11. endingnya keren banget kak. penuh kejutan. kak dwita jangan sering galau-galau lagi ya. terus berkarya, i love all about ur wrote :)<3.

    ReplyDelete
  12. aaaaa terharu bgt kakkk :'))

    ReplyDelete
  13. yaampun kak, ceritanya keren banget. aku ga nyangka endingnya bakalan sweet gini. tapi banyak banget pertanyaan nih di otakku. apakah ini cerita nyata? kalo ini kisah nyata. apa kelanjutan hubungan Radit sama kakak? aduh maaf jadi kepo. abis ceritanya bikin yang baca ikut terhanyut sih. hahaha :) good job kak. lanjutin yaa karyaanya :) keep spirit kak dwita

    ReplyDelete
  14. It's the sweetest story :')) aaa u're still my fav author , mba:)

    ReplyDelete
  15. Ah parah parah sweet banget :3

    ReplyDelete
  16. Keren kalii terharuuu aaaa, di tunggu tulisan yg selanjutnya kak

    ReplyDelete
  17. Perjuangan cinta banget !!! Gak sia-sia nunggu 3 tahun !!! KEREENN, Dwita !! :D

    ReplyDelete
  18. gila sweet banget ending nya :) terharu aku baca, tanpa sadar mata pun jadiberkaca kaca :')

    ReplyDelete