7 Januari 2015, dini hari
Hujan di
luar masih menimbulkan udara dingin di tubuhku. Aku sesekali mengintip ke luar
jendela dan melihat apakah hujan akan berhenti dengan segera. Pukul tiga, pagi
ini, aku bergegas mandi dan bersiap menuju terminal bayangan bus DAMRI yang tersedia di Cibinong
City Mall.
“Sarapan
dulu,” ucap Mama dengan wajah mengantuk, “Nanti kamu masuk angin kalau nggak
makan. Busnya pasti dingin.”
Setangkup
roti sudah ada di tanganku, Mama menemaniku di meja makan, menatapku dengan
tatapan sayu. “Kamu nggak capek pulang-pergi ke luar kota mulu? Kemarin juga
tidurnya cuma beberapa jam.”
“Namanya
tugas negara, Ma. Hehehe.” jawabku singkat sambil tetap mengunyah roti di
mulutku, “Berbagi ilmu sampai ke luar kota nggak salah, kok, Ma.”
Mama
menghela napas berat, “Jaga kesehatan, lho, Nak, banyak minum air putih.”
Aku
tersenyum simpul, ponselku berdering nyaring. Jemariku langsung meraih benda
berwarna putih keemasan itu.
“Gue depan
rumah,” seperti biasa, tanpa basa-basi, Tyas selalu menyapaku dengan lantang,
“Keluar lo, udah mau jam setengah empat ini.
Ketinggalan bus aja lo!”
“Iya, gue
keluar.” tanggapku cepat lalu mematikan ponsel.
Segera aku
mencium kening Mama dan membawa barang perlengkapanku. Mama mengantarkanku
sampai depan pagar rumah dan masih menatapku bahkan hingga mobil Tyas berjalan.
“Udah siap
semua?” tanya Tyas tanpa menatap mataku.
Aku
mengangguk.
“Bete, ya,
sama gue karena nggak gue anterin sama bandara? Namanya sidang skripsi.”
“Iyalah,
biasanya juga dianterin, jahat lo emang. Sidang skripsi, kok, mendadak!”
Tyas
tertawa enteng, “Kemarin malam bilangnya oke-oke aja, katanya oke kalau naik
DAMRI, katanya oke kalau ada tugas negara.”
“Plis, deh,
Yas. Ini bukan tugas negara.”
“Tugas
negara itu bahasa hiperbolanya, Neng, kirain penulis bakalan tahu. Intinya
undangan seminar itu sama pentingnya kayak tugas negara. Titik.”
Aku hanya
menatap jalanan dan memandang lampu-lampu yang masih menyala di
jalan Pemda Cibinong. Gelap. Sunyi. Sepi. Tidak banyak kendaraan berlalu-lalang.
Beberapa
menit kami sempat terdiam, lalu aku memutuskan kembali membuka suara. “Semalam gue chat sama Radit.”
“Hmm,
terus?” ungkap Tyas seakan tak menunjukan ketertarikan pada bahasan yang ingin
aku ceritakan.
“Ya, cuma chat aja, tapi dia offline gitu, padahal gue nanya sesuatu yang bikin gue sebenernya
penasaran banget buat tahu jawabannya dia.”
Tyas
pura-pura batuk sebentar seakan menggodaku, “Radit mulu, nggak aus?”
Baru aku
ingin membalas godaan Tyas, ternyata mobilnya telah parkir di dekat DAMRI yang
berhenti di dekat Cibinong City Mall.
“Lo cepet
juga nyetirnya,” aku meraih koperku yang ada di jok belakang mobil, “Sebentar
lagi busnya pasti jalan.”
“Bukan gue
yang nyetirnya cepet, tapi lo yang kerjaannya bengong mulu mikirin Radit.” ucap
Tyas masih tetap dengan nada menggoda, dia mematikan mesin, dan segera menuruni
mobil.
Tyas
membawa tasku dan mengantarku sampai ke dalam bus. Dia menyelesaikan pembayaran
busku, memberi print out tiket
pesawat, dan memberi beberapa wejangan
serta nomor ponsel yang bisa dihubungi selama seminar di Jogja.
Tepat pukul
empat pagi, bus DAMRI berjalan menuju bandara Soekarno-Hatta. Aku menatap
jalanan dengan perasaan biasa saja. Aku tidak mempedulikan ramainya bus dini
hari itu, tidak memikirkan suara dengkuran yang terdengar, dan menatap jalanan
secara terus-menerus membuat mataku ingin tertutup dan… terpejam.
Kepalaku terasa
berat ketika aku terpaksa bangun karena rem mendadak sang supir. Aku menggerutu
dalam hati dan berlanjut memandangi jam tanganku. Pukul lima pagi. Aku menghela
napas dan menguap beberapa kali, karena tak punya alasan lain untuk berlanjut
tidur lagi, aku meraih ponselku yang ada di dalam tas.
Beberapa
pesan di Line, Whatsapp, dan BBM telah menyambutku. Aku membalas curhatan
yang dikirim oleh pembacaku dan followers
Twitter-ku. Ketika asik membalas dan membaca semua curhatan itu, chat Radit
tiba-tiba masuk, dan tanpa kusadari; aku tersenyum membaca pesan itu.
“Pagi,
Sari.”
Aku membaca
dengan senang hati dan memikirkan baik-baik kalimat apa yang pantas aku tulis
untuk membalas pesan Radit. “Pagi juga, Dit.”
“Lho, udah
bangun, nih, Sar? Lagi apa?”
Dengan hati
berbunga-bunga, aku kembali membaca pesan itu. Berulang-ulang dan memikirkan
balasan apalagi yang bisa aku kirim untuk Radit. “Lagi otw ke bandara, nih,
kamu lagi apa, Dit?”
“Lagi di
samping perempuan yang nggak nyadar kalau dari tadi sandaran di bahu aku, nih.”
Jawaban
Radit bagiku sangat aneh, berulang-ulang aku membaca kalimat itu dan tak paham
dengan yang Radit ucapkan. “Maksudnya, Dit?”
“Maksudnya,
kamu, tuh, daritadi sandaran sama aku pas ketiduran.” ucap suara yang kudengar jelas di
sampingku.
Aku
terbelalak. Seorang pria berkacamata, dengan wajah oriental, menatapku dengan
hangat. Wajahnya disinari lampu jalanan. Dari kacamatanya, terpantul cahaya
lampu jalanan yang berpendar dan sesekali menghilang. Mata itu masih sehangat
dulu, sehangat ketika pertama kali bertemu.
“Kamu ke
mana aja?” itulah kalimat pertama yang aku ucapkan ketika kami kembali bertemu
lagi, “Aku mencari kamu ke mana-mana.”
Radit
tertawa kecil sesaat, “Aku juga mencari kamu ke mana-mana. Ternyata, ketemunya
di bus juga.”
Entah
mengapa, mataku tiba-tiba berair. Radit yang melihatku tak bisa berkata banyak.
Dia hanya memelukku dengan rapat dan mencium keningku beberapa kali. Tangisku
tak berakhir, dia kembali memelukku lebih erat lagi, “Berterimakasihlah sama
Tyas, aku dapat nomornya dia dari bio akun Twitter kamu. Aku minta tolong sama
dia buat merencanakan pertemuan ini.”
“Tyas
sialan.” ucapku dengan suara tak jelas. Aku tertawa sekaligus menangis. “Kamu
jadi udah tahu kalau Sari yang kamu chat setiap
hari itu adalah aku?”
“Tahu,
dong, pura-pura nggak tahu aja supaya kejutan.”
Mataku
kembali berair, “Ini bukan kejutan lagi, Dit, aku bukan cuma terkejut, tapi
bahagia.”
Radit
melepaskan peluknya. Dia menatap mataku dalam-dalam dan bisa kubaca kerinduan
di matanya. Aku tak bisa berbuat banyak ketika mataku sama-sama berair dan
matanya pun tiba-tiba berair. Kami sama-sama menangis, entah tangisan sedih
atau bahagia; yang jelas bagiku ini adalah pagi yang paling sempurna.
Wajah Radit
mendekat dan ketika dia menyentuh bibirku dengan bibirnya, aku hanya memejamkan
mata sesaat. Ketika pipiku menyentuh pipinya, aku merasa air mata hangatnya
turut menempel di pipiku. Radit memperbaiki posisi duduknya dan dia
mempersilakan aku untuk bersandar lagi di bahunya.
Seperti tiga tahun yang lalu.
TAMAT
waahh .. ini dalem bangett :')
ReplyDeletewahh dalem banget ya ini :')
ReplyDeletegood story, Dwit! keep writing :))
ReplyDeleteahhhhhh keyennnn!!! suka sukaa;3
ReplyDeleteYa tuhannn, ngga nyangka endingnya begini ya ahahaha good job mba
ReplyDeleteGila keren banget kak
ReplyDeleteSo sweeeeett, jadi terharu 😂
ReplyDeletekeren kak, so sweet, pagi yg sempurna :')
ReplyDeleteSweet ka, jadi pengen kaya gitu..
ReplyDeleteHuaaa, sosweeettt kak :')
ReplyDeletebaru baca endingnya hampir nangis
ReplyDeletehahah, semoga akan begini, nantinya haha
ReplyDeleteSo sweet!:")
ReplyDeleteKak..... ini keren banget :') aku gak nyangka endingnya bakalan kaya gini!!!
ReplyDeletegileeeeeee kerennnn
ReplyDeletegileeee kereeen
ReplyDeletegileee kereen
ReplyDeleteendingnya keren banget kak. penuh kejutan. kak dwita jangan sering galau-galau lagi ya. terus berkarya, i love all about ur wrote :)<3.
ReplyDeleteJancuk banget :")
ReplyDeleteaaaaa terharu bgt kakkk :'))
ReplyDeleteLovable
ReplyDeleteBagus bangeeett!!:)
ReplyDeleteyaampun kak, ceritanya keren banget. aku ga nyangka endingnya bakalan sweet gini. tapi banyak banget pertanyaan nih di otakku. apakah ini cerita nyata? kalo ini kisah nyata. apa kelanjutan hubungan Radit sama kakak? aduh maaf jadi kepo. abis ceritanya bikin yang baca ikut terhanyut sih. hahaha :) good job kak. lanjutin yaa karyaanya :) keep spirit kak dwita
ReplyDeleteIt's the sweetest story :')) aaa u're still my fav author , mba:)
ReplyDeleteAh parah parah sweet banget :3
ReplyDeleteKeren kalii terharuuu aaaa, di tunggu tulisan yg selanjutnya kak
ReplyDeletePerjuangan cinta banget !!! Gak sia-sia nunggu 3 tahun !!! KEREENN, Dwita !! :D
ReplyDeletegila sweet banget ending nya :) terharu aku baca, tanpa sadar mata pun jadiberkaca kaca :')
ReplyDelete