Baca sebelumnya: Tiga puluh empat hari setelah perpisahan kita
Hubungan yang berakhir tanpa penjelasan tidak pernah
sebahagia hubungan yang berakhir karena adalah alasan dan penjelasan. Namun,
tidak dapat dipungkiri, perpisahan yang beralasan ataupun tidak beralasan
sama-sama menimbulkan rasa sakit yang sama bukan? Meskipun banyak orang bilang
cinta itu tanpa alasan, apakah berarti perpisahan yang terjadi harus juga tanpa
alasan?
Aku tidak tahu, semua orang merasa kasihan padaku karena
ditinggalkan olehmu, padahal selama ini yang aku rasakan adalah kita memang ada
dalam satu titik di mana keduanya harus saling melepaskan. Tak ada yang
meninggalkan lebih dulu, hanya saja kamu tidak cukup kuat untuk berjuang lebih
keras lagi, makanya kamu memilih menyerah dan melepaskanku.
Sudah tiga puluh sembilan hari sejak kamu pergi, dan aku masih terus
mencari alasan paling masuk akal, paling positif, yang bisa aku cerna dengan
akal sehatku mengenai berakhirnya hubungan kita. Kalau kamu mau tahu, hal itu
tidak mudah. Hari-hari tanpamu adalah neraka yang sebenarnya tidak pernah ingin
kusentuh, namun terpaksa aku menjalani semua, dengan air mata yang kusimpan
sendirian; air mata yang tak akan pernah kamu pahami.
Berat rasanya harus menerima kenyataan bahwa kamu tidak lagi
menyapaku lewat chat setiap pagi,
berat rasanya harus membiasakan diri tidak lagi mendengar suaramu melalui
telepon kita saat malam hari, berat rasanya meyakinkan diriku bahwa kita tak
akan bertemu lagi, berat rasanya tidak melihat sepeda motor Honda CBR-mu yang
terparkir di depan kampusku ketika kamu menjemputku, berat rasanya tidak lagi
mendengar ocehan dengan dialek Melayu Bengkulu-mu yang sangat khas itu, berat
rasanya tidak mendengar leluconmu dalam telepon ataupun dalam pertemuan nyata,
berat rasanya harus menerima kenyataan bahwa kita tak lagi dapat bergandengan
tangan.
Kamu tidak akan pernah mengerti ini semua, kalaupun kamu
mengerti dan membaca ini, tentu kamu akan tertawa sangat kencang, menganggap
semua berlebihan, kemudian mengabaikan kehancuranku. Kalau boleh jujur, aku
sangat remuk hingga saat ini, dan seluruh dunia seakan tak paham apa yang aku
rasakan. Entah mengapa setiap hal yang aku lakukan selalu membuatku mengingat
sosokmu.
Aku tidak bisa melupakan tatapan mata itu, dalamnya sorot
matamu, juga tetesan air mata yang kupikir tulus. Saat aku pernah memutuskan
untuk pergi, kamu menahanku untuk tetap mempertahankan ini semua. Dan, aku tak
percaya, sekarang kita telah berubah jadi dua orang yang mengasingkan diri,
menganggap tak ada hal yang pernah terjadi. Selama ini, aku selalu menyalahkan
diriku, ini semua karmaku. Aku tidak menjagamu, ketika kamu seutuhnya
menjagaku. Aku tidak menggenggammu, ketika kamu mati-matian menggenggamku. Atau
mungkin ini salah kita berdua? Kamu tak pernah mengenalkan aku pada duniamu,
pada teman-temanmu, sehingga aku tak pernah sadar bahwa selama ini— aku telah
kamu sembunyikan.
Memang, harusnya aku sadar. Jika kamu tak pernah memamerkan
hubungan kita, berarti ada seseorang yang lain yang hatinya sedang kamu jaga.
Jika kamu tak pernah mengenalkanku pada duniamu, berarti ada seseorang lain
yang telah lebih dulu ada dalam duniamu. Bodohnya, aku baru menyadari ini semua
justru di akhir. Aku menyesal telah bersalah padamu, karena saat menggenggam
jemarimu, aku juga menggenggam jemari yang lain. Berkali-kali aku menyalahkan
diri, berkali-kali aku mengutuk diriku sendiri, kupikir ini semua karma yang
harus aku dapatkan. Tapi, setelah tahu kamu begitu mudah memulai hubungan yang
baru ketika kita berpisah, rasa-rasanya hubungan kita yang terlihat serius
namun sebenarnya main-main ini mempunyai karmanya masing-masing. Aku kena
getahnya, kamu kena batunya. Dan, aku sangat optimis, berakhirnya hubungan ini
tak hanya menyakitiku, namun turut menyakitimu— menyakiti kita berdua.
Inilah yang aku pelajari selama perpisahan kita terjadi.
Meskipun rasanya berat melihat punggungmu menjauh, meskipun rasanya sulit
melepaskanmu pergi, meskipun rasanya aku tak mampu melewati ini semua, tapi aku
dipaksa harus sanggup. Aku dipaksa untuk melupakanmu. Aku dipaksa terbiasa
tanpamu.
Dan, ya, aku harus terbiasa tanpamu, Bang. Menulis novel dengan normal, menulis cerpen
dengan normal, membalas curhatan pembacaku dengan normal. Senormal yang aku
bisa, pelan-pelan aku bisa mengikhlaskan semua. Pelan-pelan aku akan menganggap
perpisahan ini adalah wujud Tuhan mencintaiku dan tak ingin mempertemukanku
dengan orang yang salah sepertimu. Pelan-pelan, kenangan tentangmu akan
terkubur dan tergantikan dengan peristiwa yang lebih bahagia.
Pelan-pelan, ketika mendengar namamu, aku tak akan lagi
merasa terluka.
dari perempuan
Kak boleh izin copas di blog aku? Pake nama kamu ko
ReplyDeleteserial ini diambil dari dua sudut pandang yang berbeda kan? yang satu dari sudut pandang perempuan yang satu dari sudut pandang si laki2... tapi, waktu saya baca serial ini saya benar-benar merasa masuk kedalam dua dunia yang berbeda. Padahal ini ditulis oleh orang yang sama. ketika baca dari sudut pandang si wanita, kita benar2 masuk kedunia si wanita yang belum bisa melupakan mantan kekasihnya. begitu juga sebaliknya. Salut dgn Kak Dwita, semua tulisannya berhasil membuat pembacanya masuk kedalam cerita yg ka Dwita buat. Sukses terus... You're my inspiration to write.. I hope I can be a writter like you..
ReplyDeleteaku sukaa............... bagus bgt
ReplyDeleteKak aku izin copas ya di blog sama facebook ku pake nama kamu juga kok :'3
ReplyDeleteOke banget dehh :D
ReplyDelete