#SerialTanpamu
Baca sebelumnya: Empat puluh satu hari tanpamu
Hari ini entah sudah malam minggu keberapa yang aku lewati tanpamu. Aku membiasakan diri menghabiskan malam minggu dengan hal-hal yang tidak berkaitan denganmu. Jadi, atas dasar itu, malam ini aku memilih duduk di samping seorang pria, yang mengenakan kacamata, berhidung mancung, bermata sipit, bersuara merdu, dan sejak tadi mengikuti alunan lagu yang terdengar di radio. Dia duduk di kursi kemudi, mengendalikan mobil menuju tempat yang telah kami bicarakan. Aku mengenalnya beberapa hari yang lalu, kemudian kami memutuskan untuk menciptakan pertemuan untuk yang kedua kalinya.
Kalau kamu mau tahu, walaupun mungkin kamu tak ingin peduli, aku mengenal pria ini saat kami sama-sama ingin meminjam buku psikologi mengenai kepribadian manusia di Perpustakaan Daerah. Aku menggunakan buku itu untuk melengkapi novelku dan pria yang terdaftar sebagai mahasiswa S2 di salah satu universita ternama itu memanfaatkan buku itu untuk kelengkapan tugasnya. Dari percakapan singkat, ternyata kenyamanan itu berujung pada pertemuan kita malam ini. Jujur, dia sangat mirip denganmu. Setiap melihat matanya yang sipit itu, selalu mengingatkan aku pada sosokmu. Setiap kali melihat cahaya yang berpendar di kacamatanya, aku turut mengingat kamu yang beberapa bulan lalu masih bisa kupandangi hanya dalam jarak beberapa senti. Sekarang? Aku dan kamu seperti Matahari dan Pluto, berjauhan dan mungkin tak akan pernah lagi bersentuhan.
Aku mendengar suaranya ketika menceritakan jurusan kuliah dan rumitnya tugas-tugas yang harus dia kerjakan, namun selama rentan waktu itu yang aku perhatikan sebenarnya hanyalah wajahnya, hanyalah cara dia tertawa, dan hanyalah cara dia mengungkapkan pikirannya dalam susunan kalimat. Dia adalah kamu, namun dia adalah versi yang lebih pintar darimu. Dia lebih bisa diandalkan, lebih dewasa, dan bisa dibilang lebih tahu cara memperlakukan wanita. Namun, kamupun tak kalah luar biasa. Apa luas biasanya kamu? Luar biasanya kamu adalah kamu masih punya tempat di hatiku, meskipun beberapa pria telah datang dan pergi ke dalam hidupku, entah mengapa kamu masih tetap berdiam di sudut hatiku.
Sudah sejak tadi sebenarnya, aku sibuk menahan air mataku, tak ingin aku merusak peristiwa malam ini, yang tentu saja secara normal bisa disebut kencan. Aku kita, dia menyadari itu semua, ternyata naluri psikiaternya muncul saat dia menanyakan kegelisahanku. Dia bertanya mengapa aku terus memandangi sosoknya dengan wajah khawatir. Pertanyaan itu aku jawab dengan enteng, karena dia sangat mirip denganmu, dan pria itu hanya tertawa hangat.
Dia sudah tahu cerita tentang keretakan hubungan kita, aku yang menceritakan semua dengan bobot yang pas, tidak ada cerita yang dikurangi atau dilebih-lebihkan. Berkali-kali dia menyarankan aku agar segera melupakanmu karena hubungan kita yang hanya berusia tiga bulan itu masih terlalu sebentar dibandingkan dengan puluhan orang yang telah bertahun-tahun bersama, namun pada akhirnya memilih menyudahi semua. Apa yang dia katakan sama seperti yang semua orang katakan. Mereka bilang tiga bulan terlalu sebentar, aku pasti bisa sesegera mungkin melupakanmu. Ya, jelas saja mereka bisa berkata seperti itu, mereka tidak pernah tahu selama rentan tiga bulan itu ada banyak hal manis yang kita lalui berdua. Menurutku, sulit melupakan itu bukan soal waktu, tapi soal banyaknya kenangan yang telah tercipta bahkan dalam waktu yang singkat.
Dia masih terus menceramahiku, bahkan saat kami sedang mengantre tiket nonton di bioskop dalam Margocity. Dia menceramahiku, sambil menggenggam tanganku, menggandeng tanganku hingga kami berdua memasuki bioskop. Bukan memperhatikan film, aku kembali memperhatikan wajahnya, yang sekali lagi sangat mirip denganmu. Sayangnya, dia tidak berbicara dengan dialek Melayu-Bengkulu, kalaupun dia berbicara dengan dialek seperti itu, mungkin aku akan menangis dan meratap di depannya-- karena sosoknya sangat mengingatkan aku pada sosokmu.
Seusai menyelesaikan film, aku mengajak dia makan ketoprak dekat rumahku. Tempat itu dulu sebenarnya sangat ingin aku kunjungi bersamamu, tetapi hubungan kita telah lebih dulu putus sebelum aku sempat mengajakmu ke sana. Saat sedang makan ketoprak, dia menerima sebuah panggilan telepon, dan menjauh dariku. Sebenarnya, aku tak ingin percaya firasat hatiku sendiri, karena senyumnya ketika menatapku sama seperti senyummu ketika menatapku dulu; penuh cinta, penuh rasa peduli, dan penuh perhatian.
Dia mengantarku pulang dan kami melewati jalanan yang masih padat kala itu. Beberapa kali dia mengajakku berbicara, namun tingkat fokusnya menurun drastis karena sejak tadi dia hanya memperhatikan ponselnya. Saat aku mengintip sesaat, di ponselnya terdapat foto seorang perempuan yang dijadikan wallpaper. Aku tidak cukup bodoh untuk menilai bahwa sosok itu penting, ditambah lagi kegelisahan yang dia tunjukan padaku, didukung dengan cara dia menerima telepon sambil menjauhi sosokku. Ya, bertambah satu lagi pria brengsek yang masuk dalam hidupku.
Ketika aku menuruni mobilnya, aku melambaikan tangan, kemudian tersenyum ramah. Dia membalas senyum itu dari balik jendela mobil. Aku membiarkan mobilnya pergi begitu saja tanpa memperhatikan apakah mobil itu telah menjauh dan manaiki tanjakan di dekat rumahku. Lagipula, mobil itu bukan sepeda motormu, lagipula pengendara mobil itu bukan sosokmu, jadi aku tak perlau merasa kehilangan apapun saat kendaraan itu menjauh dan menghilang.
Aku masih di depan pagar rumahku, sesegera mungkin mengambil ponselku, kemudian menghapus kontak pria itu. Aku tidak ingin menambah daftar panjang pria-pria yang datang, menyakitiku, lalu pergi tanpa merasa bersalah. Suduh cukup rasanya empat puluh dua hari tersiksa sendiri karena rasa patah hati yang kau berikan padaku. Sudah cukup rasanya menangis diam-diam karena sakit hati yang entah mengapa kian hari makin parah. Sudah cukup rasanya menangisi sosok yang tidak peka sepertimu.
Empat puluh dua hari tanpamu, dan aku masih tidak tahu cara agar tidak merindukan pelukmu, agar tak merindukan suaramu, agar tak merindukan dialek Melayu-Bengkulumu.
dari perempuan
42hari tanpanya?sedangkan aku lebih dari 7bulan tanpa "dia",dan masih menyimpan perasaan yang sama persis seperti kita masih bersama2 dulu.kadang rasa sebodoh itu ya?mencoba beranjak pergi namun tak pernah bisa.
ReplyDelete42hari tanpanya?sedangkan aku lebih dari 7bulan tanpa "dia",dan masih menyimpan perasaan yang sama persis seperti kita masih bersama2 dulu.kadang rasa sebodoh itu ya?mencoba beranjak pergi namun tak pernah bisa.
ReplyDeleteAwak sudah seumur hidup :D
ReplyDeleteKenang jangan di simpan,
ReplyDeletetidak juga dilupakan,
dia hanya untuk di pendam,
tanpa kau gali lagi sampai dalam,
lalu di angkat,
dan kau sendiri yang akan runtuh oleh kenang,
sampai kapanpun kenang tetaplah lalu,
taruh ang
repost kakk :'''''
ReplyDeleteKereen kaak...
ReplyDeleteBahkan untuk baru memulai hidup tanpa nya saja aku sudah tak sanggup. Entahlah. Terlalu nodoh.
ReplyDeleteBahkan setaun lebih ini untuk melupakan semua yang pernah terajut dalam waktu 2bulan SAJA pun sulit. Benar kak, bukan ttg waktu tp ttg banyaknya kenangan yang berhasil dibuat. Aku mengakui ini semua terasa bodoh sama seperti yg kak dwita rasa. Mengakui jika hati tak akan pernah bisa berbohong jika aku pun merindukan seorang yang sekarang entah bagaimana keadaan. Apakah masih terluka atau bahkan merasa tdk pernah terluka sedikitpun dg keadaan spt ini 😂
ReplyDeleteMe too :')
ReplyDeleteBahkan aku tak pernah tau dia masih memperdulikan aku seperti aku memperdulikan nya :') melupakan itu engga gampang
ReplyDeleteMelupakan itu engga mudah :')
ReplyDeleteMelupakan itu engga mudah :')
ReplyDelete