Aku masih belum tidur meskipun tubuhku lelah dihabisi gerakan Yoga malam tadi. Dan, aku masih di depan laptopku, mendengarkan suara air conditioner yang makin lama membuat kamarku makin sunyi. Hidupku semakin sunyi, apalagi semenjak kamu pergi.
Mataku masih menatap layar laptop sambil terus memperhatikan barisan abjad yang harus aku koreksi ulang. Buku kedelapanku, Sama Dengan Cinta, segera terbit, buku yang aku ceritakan padamu, yang dengan bangga kausambut dengan tepuk tangan riuh. Mas, betapa aku rindu candaanmu, betapa aku rindu hangatnya perhatianmu, dan betapa aku kedinginan menantimu pulang meskipun hujan yang turun tidak akan membuatmu segera pulang ke rumahmu-- ke rumah kita.
Aku sedang membaca bagian "Pemuja Rahasia" di buku kedelapanku. Seketika, aku sedang memposisikan diriku yang memujamu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kamulah gambaran pria sempurna yang aku impikan. Manis, humoris, kulit eksotis, memesona, pandai, gondrong, mendhok, sangat Jawa sekali. Singkatnya, aku tidak bisa menolak untuk tidak mencintaimu. Kamulah jawaban dari semua doaku. Aku mengira kamulah yang akan tetap tinggal, hingga setiap doaku selalu terselip namamu, hingga setiap jantungku mendenyutkan namamu. Namun, nyatanya? Kamu pergi begitu saja, menganggapku sama seperti perempuan lainnya, memposisikan aku sebagai pemuja, bukan pencinta. Padahal, kalau boleh sedikit berbisik di telingamu, aku ingin mengatakan bahwa aku bukan sekadar fansmu, aku penggemarmu nomor satu, yang dengan senang hati; akan berjanji membahagiakanmu-- jika suatu hari kamu milikku nanti.
Kepergianmu yang tiba-tiba adalah kiamat kecil bagiku. Tahukah kamu rasanya menjadi seorang perempuan yang setiap hari menatap ponselnya hanya untuk menunggu chat-mu? Tahukah kamu rasanya jadi seseorang yang diam-diam memperhatikan seluruh sosial mediamu hanya untuk mengobati perih dan sakitnya rindu? Tahukah kamu betapa menderitanya jadi seorang gadis yang hanya bisa berprasangka, hanya bisa mengira, hanya bisa menerka bagaimana perasaanmu padaku selama ini? Tahukah kamu begitu tersiksanya hidup menjadi orang yang selalu bertanya-tanya, ke sana ke mari, mencarimu ke mana-mana, sementara kamu melenggang seenaknya seakan tidak terjadi apa-apa di antara kita? Tahukah kamu perihnya menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dahulu karena aku begitu tahu diri bahwa kita tidak pernah ada dalam status dan kejelasan? Tahukah kamu lelahnya menjadi orang yang terus berharap, terus berkata dalam hati, begitu percaya bahwa suatu hari kamu akan kembali?
"Dia pasti chat aku, kok. Satu hari lagi. Dua hari lagi. Satu minggu lagi. Dua minggu lagi. Tiga minggu lagi. Satu bulan." Dan, aku masih menghitung hari, menunggu kamu pulang, menunggu ingatanmu kembali padaku. Tahukah kamu betapa tersiksanya aku ketika kamu tidak memberi kabarmu, ketika kamu tidak menyapaku, ketika tak ada lagi percakapan di antara kita, dan ketika kamu tiba-tiba menghempaskanku ke dasar daratan, ketika kita sedang asik-asiknya terbang bersama? Katakan padaku, bahwa aku terlalu berlebihan, aku terlalu berdrama, aku terlalu membawa perasaan. Aku tidak peduli apa kata orang, mereka tidak pernah paham betapa dalamnya perasaanku, seperti kamu yang tidak pernah mengerti betapa aku mencintaimu.
Aku merindukan caramu memperlakukanku seperti perempuan Sunda, memanggilku dengan panggilan "Teteh", padahal kamu jelas tahu-- rumah simbahku dan rumah ayahku yang ada di Prawirotaman, Jogja itu. Aku rindu semua pertanyaan yang kamu lontarkan padaku di tengah-tengah kesibukanmu. Aku rindu caramu membalas pesanku dengan tergesa-gesa, lalu meninggalkanku lagi untuk beberapa jam, lalu menyapaku setelah pekerjaanmu selesai. Betapa aku rindu menit-menit singkat yang aku lewati, meskipun aku harus melewati belasan jam dalam sehari, hanya untuk enam puluh menit berharga bersamamu.
Mungkin, kamu selalu bertanya, mengapa aku bisa dengan mudah jatuh cinta padamu? Kalau aku bercerita panjang lebar, tentu ceritaku akan jadi buku kesembilanku. Dengarlah, duduklah di hadapanku, dan tatap mataku dalam-dalam. Aku sudah memperhatikanmu, bertahun-tahun, bahkan sebelum kita saling mengenal, bahkan sebelum insiden kamu salah mengirim chat, bahkan sebelum kita begitu dekat. Aku sudah menjadi pemuja rahasiamu, bahkan sebelum kita saling menyapa. Aku sudah mencintaimu jauh-jauh hari, meskipun aku tidak pernah tahu siapa dirimu, bagaimana keseharianmu, siapa saja kekasihmu, siapa saja gebetanmu. Bagiku, semua itu tak penting. Aku mencintaimu. Mencintaimu. Mencintaimu. Dan, akan terus begitu. Meskipun kamu, sekali lagi, tidak akan pernah tahu.
Aku masih menanti, suatu hari kamu akan memperlakukanku sehangat kemarin. Dan kita tertawa, bercanda, memeluk awan, meraih bintang, menari bahagia di permukaan Saturnus. Aku masih menunggu, hari-hari saat kamu kembali. Dan aku bisa rasakan hangatnya pelukmu yang dulu pernah menjadi mimpi kecilku, bisa aku rasakan desah napasmu ketika kamu berbisik di telingaku, bisa aku rasakan denyut jantungmu ketika peluk kita begitu erat hingga sulit dilepaskan, bisa aku dengar suara mendhok-mu yang menyanyikan lagu JKT48, bisa aku rasakan rapatnya jemarimu ketika memegang jemariku, dan aku bersumpah demi apapun tidak akan melepaskanmu.
Aku masih menanti, pertemuan kita yang segera terjadi. Beberapa hari lagi, aku akan ke kotamu, ke kota kita, Jogjakarta. Aku dan penerbitku menyapa para sahabat pembaca di Jogjakarta, Solo, dan Semarang; dalam acara Meet And Greet bersama Dwitasari. Sungguh, aku tidak berharap lebih. Seandainya bisa bertemu denganmu, aku hanya ingin menatap sinar matamu, mata yang entah mengapa selalu membuatku percaya, masih ada cinta di sana.
Sungguh, aku tidak berharap lebih. Keinginanku sederhana. Kita duduk berdua saja, di Alun-alun Selatan Jogjakarta. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya hati kita yang saling menghampiri. Kamu menggenggam jemariku, aku menggenggam jemarimu. Kita menghela napas sesaat, masih tak percaya bahwa pada akhirnya kita sampai di titik ini. Dulu, aku hanya bisa menatap chat-mu, namun pada akhirnya aku bisa benar-benar menatapmu. Lalu, kamu memandangiku, aku memandangimu. Kamu mendekat. Semakin dekat. Bisa aku rasakan aroma tubuhmu. Bisa aku rasakan rambut gondrongmu menyentuh wajahku. Kita.....
Beranikah? Aku menantangmu.
Dari Dwita-mu,
yang memuja kepolosanmu.
"Tahukah kamu perihnya menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dahulu karena aku begitu tahu diri bahwa kita tidak pernah ada dalam status dan kejelasan? Tahukah kamu lelahnya menjadi orang yang terus berharap, terus berkata dalam hati, begitu percaya bahwa suatu hari kamu akan kembali?"
ReplyDeleteBahkan stelah kamu ada di depan ku, aku hanya bisa berubah jd sosok teman mu, jd pendengar baik-mu, jd 'wanita penghibur-mu" .
Meski begitu, aku percaya jika nanti aku dan kamu akan sama² memperjuangkan lagi hubungan yg dulu pernah tertunda :)
Tahukah kamu betapa tersiksanya aku menjadi orang yang selalu bertanya-tanya tentang perasaanmu padaku #jleb kak pengen nangis
ReplyDeleteTahukah kamu perihnya menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dahulu karena aku begitu tahu diri bahwa kita tidak pernah ada dalam status dan kejelasan? Tahukah kamu lelahnya menjadi orang yang terus berharap, terus berkata dalam hati, begitu percaya bahwa suatu hari kamu akan kembali?
ReplyDelete:'
Kepergianmu yang tiba-tiba adalah kiamat kecil bagiku. Tahukah kamu rasanya menjadi seorang perempuan yang setiap hari menatap ponselnya hanya untuk menunggu chat-mu? Tahukah kamu rasanya jadi seseorang yang diam-diam memperhatikan seluruh sosial mediamu hanya untuk mengobati perih dan sakitnya rindu? Tahukah kamu betapa menderitanya jadi seorang gadis yang hanya bisa berprasangka, hanya bisa mengira, hanya bisa menerka bagaimana perasaanmu padaku selama ini? Tahukah kamu begitu tersiksanya hidup menjadi orang yang selalu bertanya-tanya, ke sana ke mari, mencarimu ke mana-mana, sementara kamu melenggang seenaknya seakan tidak terjadi apa-apa di antara kita? Tahukah kamu perihnya menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dahulu karena aku begitu tahu diri bahwa kita tidak pernah ada dalam status dan kejelasan? Tahukah kamu lelahnya menjadi orang yang terus berharap, terus berkata dalam hati, begitu percaya bahwa suatu hari kamu akan kembali? :")
ReplyDeleteAh,.. nyesek banget bacanya
ReplyDeleteHai Dwitasari, saya Fajariah Oktawiani mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Saya sedang melakukan penelitian skripsi dengan objek novel Raksasa Dari Jogja dalam kajian semiotika. Saya ingin minta tolong untuk bertanya-tanya mengenai informasi tentang novel Dwita. Terimakasih.
ReplyDeleteHai Dwitasari, saya Fajariah Oktawiani mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Saya sedang melakukan penelitian skripsi dengan objek novel Raksasa Dari Jogja dalam kajian semiotika. Saya ingin minta tolong untuk bertanya-tanya mengenai informasi tentang novel Dwita. Terimakasih.
ReplyDeleteKak Dwitasari, sama banget apa yg aku rasain sekarang :)
ReplyDeleteKak Dwitasari, Persis dengan kisahku :)
ReplyDeleteKak Dwitasari, Persis dengan kisahku :)
ReplyDeleteJelas banget. Hey to' read this !
ReplyDeleteSeperti pernah mengalaminya, mengagumi mencintai tetapi itu tak disadari oleh orang yang pernah menarik hati ini, mungkin dia bukan jodoh yang tepat untuk saat ini, meski begitu tetap semangat jalani hari dan yakin akan ada pengganti yang kepada rasa cinta ini menyadari :')
ReplyDeleteIzin share ya mbak :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHwaaaa sampe saat ini aku blm ketemu sm dia :') kangen bangetttt
ReplyDeletekak,mirip dikit kisahnya sama aku :(
ReplyDeletekenapa sih ka bagus bgt cara kamu membuat kata kata tuh...
ReplyDeleteKisah kisahnya hampir sama dengan yang aku alami, inspirasi banget buat nulis :')
ReplyDeletecara pemilihan diksi nya keren
ReplyDeletediksi nya keren.
ReplyDelete