Langit Depok malam ini tidak bertabur bintang, hanya angin kencang sesekali berembus-- pertanda mendung. Udara malam bercampur dengan desiran angin yang tidak menyejukan, bukan udara yang baik untuk tetap berada di luar rumah.
Di balkon depan kamar kosku, aku sedang menyeruput kopiku yang semakin pahit. Lima batang rokok telah habis dan gadis di sampingku masih tak menunjukan tanda-tanda ingin undur diri. Dia kembali bersandar di bahuku dan bibirnya kembali menceritakan hal-hal ambigu yang masuk telinga kiriku, lalu keluar telinga kanan; tak menimbulkan kesan apapun.
Kamu selalu bilang, kamu ingin aku bahagia bersama wanita seagama. Sekarang, gadis itu ada di sampingku. Kamu belum mengenalnya, aku pun belum terlalu mengenal dia. Dua hari setelah mengakhiri hubungan denganmu, aku langsung menarik dia dalam jeratan hidupku. Itu semua aku lakukan agar dengan cepat aku bisa melupakanmu. Karena, aku sangat yakin bahwa kamu tentu telah memiliki kekasih, bahkan satu jam setelah kita putus. Aku sudah membayangkan kamu yang masih bisa tertawa lepas, masih bisa makan sate dengan nikmat, dan masih mampu menyantap kebab dengan lahap. Oh, makanan kesukaanmu, dan aku masih tak bisa melupakan semua hal tentangmu.
Kekasih baruku ini cukup baik. Karena dalam agamaku wajib menutup aurat, gadis di sampingku ini turut melaksakan kewajiban itu. Aku tak perlu waktu lama untuk menyatakan cinta padanya, dia hanya mengangguk malu dan kecanggungan menyelimuti kami berdua. Dia sederhana, tentunya bukan penulis luar biasa sepertimu. Hanya mahasiswi biasa, dari universitas biasa, bukan sepertimu yang kuliah di universitas terbaik di Indonesia. Meskipun tahu bahwa dirinya bukanlah dirimu, entah mengapa aku selalu ingin menemukan kesamaan dalam diri kalian berdua. Tanpa kusadari, ternyata dia punya rahang pipi sepertimu, dan atas dasar ini-- aku semakin rindu pipimu yang menggemaskan.
Dia masih saja terus bercerita, dia memang lebih cerewet darimu, aku akui itu. Tapi, entah mengapa hingga detik ini aku tak menemukan kecocokan dalam pembicaraan kami. Rasanya begitu sulit untuk menahan diri agar tidak membandingkan dirinya dengan dirimu. Aku rindu percakapan kita yang tak memiliki alur, namun terus menyambung seperti selokan yang berujung di kali Ciliwung. Oh, ya, analogiku memang jelek, kamu yang bagus menganalogikan segalanya. Maklum, kamu anak sastra, aku anak informatika. Aku mencoba memaafkan semua kekurangan yang ada dalam dirinya karena tak mungkin ada orang yang sama dalam tubuh berbeda. Aku yang bodoh, mengharapkan dia bisa seindah dan sebaik dirimu.
Rokok masih menempel di bibirku, semakin aku sering mengingat masa lalu kita, semakin aku tak paham apa yang gadis ini bicarakan padaku. Malam ini, aku sangat berharap bisa memelukmu dengan erat tanpa beban, tentu dengan syarat aku harus mematikan rokokku selama memelukmu. Ya, gadis ini tidak melarangku merokok, dia membebaskanku melakukan apapun. Aku terbiasa dengan pengekanganmu, dengan cemburumu, dengan amarahmu ketika tahu ada gadis yang menggodaku. Aku terbiasa dengan itu semua dan kekasih baruku ini.... dia terlalu santai. Aku tak tahu siapa yang salah, apakah salahnya yang terlalu percaya padaku atau salahku yang terbiasa dengan sikap cemburu yang kamu tunjukkan padaku?
Aku tidak tahu, Dek, ini hari ketujuh belas setelah perpisahan kita, namun bayangmu masih ada di mana-mana. Kamu seperti hantu saja, kamu ada dalam setiap sudut saat aku memandang. Kamu hadir dalam setiap detik ketika aku bernapas. Kamu ada dalam langit malam, kamu abadi dalam asap rokokku, tawamu terdengar sayup-sayup, dan aku semakin ketakutan bahwa bayang-bayangmu yang mengikutiku bisa membuatku jadi pria paling gila karena patah hati.
Gadis di sampingku masih terus berbicara, aku tahu dia tidak akan beranjak pergi hingga sejam dua jam kemudian. Aku pamit meninggalkan dia sebentar, menyalakan laptopku, dan memutar lagu Taylor Swift dengan kencang. Dengan langkah malas, aku kembali duduk di sampingnya. Dia tersenyum padaku dan kembali bersandar di bahuku. Kehangatan yang hampa bagiku.
Aku memejamkan mata sambil mendengar lagu Taylor Swift, lagu kesukaanmu, dan membayangkan kamulah yang sekarang bersandar di bahuku. Ah, andai gadis yang di sampingku sungguhlah dirimu, aku berani sumpah demi apapun; aku tidak akan lagi melepaskanmu pergi.
Dari Abangmu,
yang selalu kaunilai tidak peka di matamu,
ini kisah nyata apa bukan sih kak...
ReplyDeletekok dalem banget ceritanya..
seperti pernah terjadi..dan pernah dialami oleh si abang ini.
Ini balasan dari abang ya kak dwita? Ciyee sama sama masih saling sayang ya 😢
ReplyDeleteIni balasan dr abang ya kak dwita? Ciyee masih sama sama sayang ya kak. Sedih banget 😢
ReplyDelete