6 Januari 2015
Percakapanku
dengan Radit cukup menyenangkan setiap harinya. Dia menjadi sosok yang selalu
aku tunggu pesannya. Entah mengapa aku merasa setiap harinya ada sesuatu yang
menghangat di hatiku ketika Radit hampir setiap hari bercerita tentang
kegiatannya, pekerjaannya, hari-harinya; semua hal sederhana itu membuatku
merasa— hidup.
Ya,
Radit yang hanya bisa kusentuh lewat dunia maya itu ternyata membawa pengaruh
cukup luar biasa dalam hari-hariku. Dan, aku sekarang adalah perempuan yang
berbeda, perempuan yang merasa memiliki segalanya, perempuan yang merasa dekat
dengan salah satu mimpinya. Radit adalah salah satu sosok yang aku dambakan dan
aku tunggu, jika tidak bertemu dengannya, mungkin beberapa cerita dalam novelku
tak akan pernah selesai. Dia salah satu inspirasiku, napas ceritaku, dia hidup
dalam imajinasiku.
Pagi
inipun, saat aku masih tenggelam dengan aktivitas liburku, seperti biasanya
Radit menyapaku dengan ramah. “Udah bangun? Jakarta hujan terus, jadi males
ngantor.”
“Gue
baru bangun, Dit. Cibinong juga hujan deras sekarang.” jawabku dengan santai
meskipun sebenarnya di dalam dadaku ada ledakan luar biasa setiap kali sedang
berbalas pesan dengannya, “Udah sarapan?”
“Udah,
makan roti doang.”
Aku
tertawa kecil, “Yang penting udah ngisi perut, jangan sampe kelaperan di kantor
aja.”
“Lo
juga sana. Bangun, mandi, terus sarapan, nanti sakit, lho.”
Aku
tertawa sekali lagi, “Nggak sarapan sekali nggak bikin sakit juga kali, Dit. Lo
lagi ngapain?”
Selang
beberapa menit, aku masih menatap ponsel meskipun Radit tidak langsung membalas
chat-ku. Kulirik jam dinding di kamar, waktu telah menunjukan pukul sepuluh
pagi. Aku belum mau beranjak dari tempat tidur karena cuaca di luar cukup
mendukung untuk melanjutkan tidur yang panjang hingga siang.
“Sorry
baru bales.” Radit membalas selang sepuluh menit ketika aku mengirim chat terakhir.
“Lama
amat.” jawabku singkat.
“Ciye,
nungguin, ya, Neng?”
“Nggak,
ngapain juga nungguin lo. Kurang kerjaan kali!”
“Haha.
Gitu, sih, dia gampang ngambek. Tadi habis dari pantry, ngambil kopi, ngantuk gue.”
“Dit,
request, dong, gue.”
“Apaan?
Kalau lo minta gue ke Cibinong sekarang buat ketemu lo, gue nggak sanggup
karena hari ini full meeting sampe
bunting.”
“Lo
cowok, Dit, gimana mau bunting?”
“Yaelah,
malah dilanjutin. Mau minta apa?”
Aku
terdiam sebentar sebelum mengetik pesan, “Jangan bikin orang sering-sering
nunggu, dong, minimal bilang lo mau ngapain.”
“Hahaha.
Bawa perasaan banget, sih, lo.”
“Namanya
juga cewek, Dit.”
“Iya,
gue janji nggak bakalan bikin lo nunggu lagi. Sekarang, gue izin off, ya, gue mau kerja dulu.”
“Boleh
minta sesuatu lagi nggak?” aku mengulum bibirku dan merasa bahwa aku tidak
ingin terlalu lama jika tidak tahu kabar darinya.
“Apa
yang nggak, sih, buat lo, Ri?”
“Kalau
udah nggak ribet, kabarin, ya. Gue males kalau kangen sama lo. Nggak tahu nyari
di mana obatnya kalau bukan dari lo langsung.”
“Dasar
anak sastra! Kerjaan lo tiap hari gombalin dosen kali, ya?”
Aku
tersenyum simpul ketika membaca pesan Radit. Hari ini akan jadi hari yang
menyenangkan bagiku jika diawali dengan percakapan sehangat ini bersama Radit.
“Jangan sampe kehujanan, ya, Dit. Semangat!”
Ketika
aku mengetik itu, Radit sudah kembali
masuk ke dalam dunia nyatanya dan meninggalkan aku yang menunggu dia
kembali datang kemudian menyapaku lagi. Aku memejamkan mata sejenak, membuka
kelopak mataku, dan melihat langit-langit kamar. Hampa.
Hanya
kesepian dan kekosonganlah yang aku rasakan jika Radit tidak menyapaku. Baru
beberapa menit aku rasakan kesepian di kamarku, tiba-tiba ponselku berdering
lagi. Tyas, perempuan kuat, managerku, si manis yang mengatur semua jadwal
seminarku langsung berbicara tanpa basa basi.
“Woy,
gila diteleponin ke BB nggak diangkat. Di BBM nggak bales. Mati suri lo?” Tyas
mengawali pembicaraan dengan gayanya yang khas. Ceplas-ceplos dan akrab.
Dia
mengembalikan senyumku yang sempat hilang karena Radit, “Gue baru bangun, Yas.
Hujan di sini, ngantuk parah. Kemarin ngejar deadline sampe subuh.”
“Lo packing sekarang.” tanggap Tyas tanpa
mengindahkan jawabanku.
“Packing?” aku membelalakan mata, “Ke
mana?”
“Besok
buat ngisi workshop, di Jogja.”
“Serius
lo? Jogja lagi? Mendadak gini?” aku masih tak percaya dengan ucapan Tyas, “Coba, deh,
biarkan gue sadar dari tidur gue dulu, semoga aja ini bukan mimpi, atau mungkin
lo kali yang lagi mimpi?”
“Lion
Air, jam delapan pagi, besok. Berarti besok lo naik DAMRI jam 5 pagi dari
Cibinong City Mall, ya. Sekarang, lo siapin materi.”
“Yas,
lo jangan becanda, deh.”
Tyas masih berbicara dan mengucapkan hal-hal apa saja yang
harus aku lakukan, “Pesertanya umum, ya. TOR
dan mekanisme penjemputan bakalan gue kirim ke email lo sekarang.”
“Oke. Tantangan diterima.” aku menghela napas, “Gila lo,
Yas, selalu bikin gue jantungan sendiri. Jangan lupa siapkan surat izin buat
dikasih ke nyokap gue, supaya dibolehin pergi dan ngisi acara.”
“Iye,
aset dan kecintaan Mama! Dasar anak Mama!” Tyas tertawa senang, “Lo emang andalan gue! Semoga Jogja kembali menyenangkan! Cheers!”
Kami
sama-sama mengakhiri sambungan telepon. Aku mulai menyadarkan diriku dari
kantuk dan berjalan ke meja kerja. Ketika aku membuka laptop, kembali ponselku
berbunyi lagi. Kulihat di layar ponsel, nama Radit tertera di sana. Dengan
senyum dan mata berbinar seperti biasanya, aku segera meraih ponselku.
“Sari,
lagi off, ya?” sapa Radit pendek.
“Nggak,
Dit, kenapa?”
“Lo
pernah nggak ngerasain sesuatu yang aneh ketika lo nggak saling berkabaran sama
seseorang?”
Aku
berpikir sejenak, menatap ke laptop beberapa saat, kemudian baru memutuskan
untuk membalas pesan Radit, “Pernah, Dit. Dan, itu nggak enak banget.”
“Gue
lagi ngerasain hal yang kayak gitu, tapi makin gue lawan, makin perasaan itu
bikin gue nggak nyaman. Gila, ya, gue udah 27 tahun dan masih bingung soal yang
beginian?”
“Lo
percaya nggak, sih, kalau yang lo rasain itu sama dengan cinta?” aku mengetik
dengan perasaan campur aduk di hatiku. Aku kangen Radit. Kangen banget.
BERSAMBUNG ke Apakah kita akan bertemu lagi? (6)
Lanjutttttt kakak....
ReplyDeletepart ini cocok bgt sm ak..tak berkabar dgn 'penyemangat terbaikku' rasanya seperti ada sebagian nafas yang hilang... -_-
ReplyDeleteaku tunggu sambungan ceritanyaa
Same with love~~~
ReplyDeletepenasaran sama kelanjutannya :')
ReplyDeletesemangat mbak!!!
Lanjut kak
ReplyDeleteLanjut kak
ReplyDelete#SamaDenganCinta #SamaDenganResah, ditunggu kelanjutannya
ReplyDeleteNext! :'D
ReplyDeleteCeritanya keren kak, ngena banget:')
ReplyDeleteJdi gak sabar pngen baca kelanjutan ceritanya, di tggu yah kak;)
" lo pernah nggak ngerasain sesuatu yang aneh ketika lo nggak saling berkabaran sama seseorang? " aaaak yaampun:'3
ReplyDeletePas yang terakhir chatnya si Sari "lo percaya ga sih kalo yang lo rasain itu sama dengan cinta?" Ngena banget 😓
ReplyDeleteNexttt
ReplyDeleteKereen
ReplyDeleteKereeen
ReplyDeletew bgt .. selalu nunggu postingan nya mb
ReplyDeletelove bgt sm karya" mb dwita..
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteLanjuuut...
ReplyDeletePenasaran kaaak...
Keren mbak ditunggu kelanjutannya.. kalo boleh tau mbak cibinongnya dimana saya juga tinggal di cibinong.😃
ReplyDeletekakak ini looo, seneng banget bikin penasaran. ayo lanjut lagi kak. suka bangettt :*
ReplyDeletejatuh cinta diam-diam nya favorit bgt kak ;)
ReplyDeleteomg kak dwitaaaaaa, gregetan saya bacanya, kak. jadi gasabar end-nya kayak gimana :*
ReplyDelete