31 July 2012

Menjelaskan Kesepian

Waktu merangkak dengan cepat, merangkak yang kita kira lambat ternyata bergerak seakan tanpa jerat. Semua telah berubah, begitu juga kamu, begitu juga aku, begitu juga kita. Bahkan waktu telah menghapus KITA yang pernah merasa tak berbeda, waktu telah memutarbalikkan segalanya yang sempat indah. Tak ada yang tahu, kapan perpisahan menjadi penyebab kegelisahan. Aku menjalani, kamu meyakini, namun pada akhirnya waktu juga yang akan menentukan akhir cerita ini. Kamu tak punya hak untuk menebak, begitu juga aku.
Kaubilang, tak ada yang terlalu berbeda, tak ada yang terasa begitu menyakitkan. Tapi, siapa yang tahu perasaan seseorang yang terdalam? Mulut bisa berkata, tapi hati sulit untuk berdusta. Kalau boleh aku jujur, semua terasa asing dan berbeda. Ketika hari-hari yang kulewati seperti tebakan yang jawabannya sudah kuketahui. Tak ada lagi kejutan, tak banyak hal-hal penuh misteri yang membuatku penasaran. Aku seperti bisa meramalkan semuanya, hari-hariku terasa hambar karena aku bisa membaca menit-menit di depan waktu yang sedang kujalani. Aku bisa dengan mudah mengerti peristiwa, tanpa pernah punya secuil rasa untuk menyelami sebab dan akibatnya. Aku paham dengan detik yang begitu mudah kuprediksi, semua terlalu mudah terbaca, tak ada yang menarik. Kepastian membuatku bungkam, sehingga aku kehilangan rasa untuk mencari dan terus mencari. Itulah sebabnya setelah tak ada lagi kamu di sini. Kosong.
Bagaimana aku bisa menjelaskan banyak hal yang mungkin saja tidak kamu rasakan? Aku berada di lorong-lorong gelap dan menunggu rengkuhan jemarimu mempertemukan aku pada cahaya terang. Namun, bahkan tanganmu saja enggan menyentuh setiap celah dalam jemariku, dan penyelamatan yang kurindukan hanyalah omong kosong yang memekakkan telinga. Harapanku terlalu jauh untuk mengubah semuanya seperti dulu, saat waktu yang kita jalani adalah kebahagiaan kita seutuhnya, saat masih ada kamu dalam barisan hariku.
Perpisahan seperti mendorongku pada realita yang selama ini kutakutkan. Kehilangan mempersatukan aku pada air mata yang seringkali jatuh tanpa sebab. Aku sulit memahami kenyataan bahwa kamu tak lagi ada dalam semestaku, aku semakin tak bisa menerima keadaan yang semakin menyudutkanku. Semua kenangan bergantian melewati otakku, bagai film yang tak pernah mau berhenti tayang. Dan, aku baru sadar, ternyata kita dulu begitu manis, begitu mengagumkan, begitu sulit untuk dilupakan.
Ada yang kurang. Ada yang tak lengkap. Aku terbiasa pada kehadiranmu, dan ketika menjalani setiap detik tanpamu, yang kurasa hanya bayang-bayang yang saling berkejaran, saling menebar rasa ketakutan. Ada rasa takut tanpa sebab yang memaksaku untuk terus memikirkan kamu. Ada kekuatan yang sulit kujelaskan yang membawa pikiranku selalu mengkhawatirkanmu. Salahkah jika aku masih inginkan penyatuaan? Salahkah jika aku benci perpisahan?
Tak banyak yang ingin kujelaskan, saat kesepian menghadangku setiap malam. Biasanya, malam-malam begini ada suaramu, mengantarku sampai gerbang mimpi dan membiarkanku sendiri melewati setiap rahasia hati. Kali ini, aku sendiri, memikirkan kamu tanpa henti. Jika kita masih saling menghakimi dan saling menyalahi, apakah mungkin yang telah putus akan tersambung dengan pasti? Aku tak tahu dan tak mau memikirkan keadaan yang tak mungkin kembali. Semua sudah jelas, namun entah mengapa aku masih sulit memahami, kenapa harus kita yang alami ini? Tak adakah yang lain? Aku dan kamu bukan orang jahat, namun mengapa kita terus saja disakiti. Bukankah di luar sana masih banyak orang jahat?
Jangan tanyakan padaku, jika senyumku tak lagi sama seperti dulu. Jangan salahkah aku, jika pelangi dalam duniaku hanya tersedia warna hitam dan putih. Setelah kamu tinggalkan firdaus milik kita, semuanya jadi berbeda. Aku bahkan tak mengenal diriku sendiri, karena separuh yang ada dalam diriku sudah berada dalammu... yang pergi, dan entah kapan kembali.
Aku merindukanmu, juga kita yang dulu.

28 July 2012

Mantan Bermulut Besar

Sudahlah, jangan jelaskan alasan yang tak bisa lagi kupercaya. Jangan berikan jawaban yang tak akan mampu membuatku yakin. Berhentilah membuatku merasa mengasihanimu. Aku sudah kehilangan rasa, terhadapmu, juga terhadap kita yang dulu. Ceritamu hanyalah rekaan fiksi yang berantakan dalam setiap alurnya. Segala alasanmu hanyalah berita infotainment yang tidak aktual. Plotmu saat berbohong sangat berantakan, Sayang. Cacat di sana sini, berlubang di bagian kanan kiri, kurang sempurna di semua sisi. Bagaimana aku bisa memercayai? Pembohong kelas teri.

Haruskah aku bercerita lagi, tentang kebohonganmu yang berusaha kutolerir setengah mati? Tentang janji manismu yang tak pernah kautepati? Tentang mimpi-mimpi yang kauhancurkan sendiri? Bercerminlah wahai kamu yang merasa paling sempurna, siapakah dirimu yang berani berkata dan berucap dengan sok bijaksana? Berjanji seenak jidat, lalu mengikari dengan mudah. Lucu, kamu ini pembohong yang tak punya ingatan yang tajam. Pembual bermulut besar, berhentilah membuat jengah, kamu semakin membuatku lelah.

Tadi, kamu menghubungi, lagi. Seperti biasa, seakan-akan kautak punya kesalahan. Kemudian, kamu bercerita. Iya, tentang hal yang sama, K-E-B-O-H-O-N-G-A-N-M-U. Kali ini bahkan lebih parah, lebih tak tentu arah, anehnya aku masih ingin menyediakan telinga. Kenapa? Aku kasihan padamu. Ternyata, selama kutinggalkan dan kuberi kesempatan, kaumasih saja sama, tak berubah sedikitpun. Bahkan, aku cukup terbelalak, mengetahui hobimu yang tetap saja sama, berbohong untuk menarik perhatianku. Mungkin, kauberpikir aku masih orang yang sama, orang yang bebas kaudongengkan setiap hari, dengan dongeng seribu satu malammu yang terdengar sempurna tapi bohong semua.

Kamu tak berbeda, Sayang. Tak ada yang berbeda. Seberapa frustasikah kamu hingga kehilangan cara untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang lagi? Dengan waktu singkat, dengan berlari tak pasti, kamu sibuk mencari pengganti. Dekati si ini, lalu dekati si itu. Berkenalan dengan si ini, lalu berkenalan dengan si itu. Kamu semakin membabi buta, hingga pada akhirnya, dengan sangat terpaksa dan terdesak, kamu memilih dia. Pacar barumu yang sama mengenaskannya denganmu.

Iya, aku tahu, tanpa kaujelaskan pun aku mengerti. Dia adalah pilihanmu yang terbaru, dan yang paling buruk setelah terlalu tersakiti oleh pengabaianku. Kamu seperti kehilangan cara untuk menemukan seseorang yang pas, bagaimana mungkin kaubisa menemukan yang pantas, ketika sikapmu selalu saja keras? Aku mengasihani dia, juga mengasihanimu, dan mengasihani kalian. Tentu saja, kamu dan dia seperti keledai yang tak pernah hapal jalan pulang. Berbelok, berputar arah, berlari, berjalan, terhenti, saling berbenturan dalam kebingungan. Bahkan dalam kebobrokan, kamu dan dia masih berusaha terlihat baik-baik saja. Pasangan sempurna, pandai bermain sandiwara.

Ceritakan padaku, apa yang sudah kaudapatkan dari dia? Biarkan aku tertawa untuk beberapa lama. Tak penting, yang kutahu, kamu sudah mendapatkan penggantiku dan seharusnya kamu tak lagi mengejarku. Nyatanya? Kamu masih terlalu lemah untuk menghancurkan kenangan kita. Iya, Sayang. Berhentilah menggelitik telingaku dengan gombalanmu. Aku paham, jika saat kita berpisah namun kamu masih sering berlari ke arahku, berarti kamu belum benar-benar mengikhlaskan kepergianku.

Kapankah kaumengikhlaskanku, Sayang? Tidakkah kamu muak dengan amarah yang selalu membuncah? Tidakkah kaubosan dengan nasehat-nasehat yang selalu kulontarkan ketika berbicara panjang lebar denganmu? Mengapa kaumasih saja kembali dan mengejar bayanganku? Aku lelah diikuti oleh seseorang yang bermulut besar sepertimu. Aku tak berani membayangkan, sebodoh apakah diriku ketika dulu bisa begitu mudah menerimamu?

Jadi, Sayang, dengarkan. Aku sudah mulai pusing dan lelah dengan gangguan yang kauciptakan. Berhentilah menghubungiku dan membohongiku, ingatlah statusmu, juga kekasih barumu. Tak mengertikah kamu, si bodoh itu, pacar barumu begitu mudah memercayai kebohonganmu? Tak pahamkah kamu rasa sakit yang akan ia rasakan ketika tahu mulutmu hanya penuh dengan racun yang manis sesaat? Berhentilah menyakiti siapapun yang ada di sekelilingmu, mereka memberi kesempatanmu untuk berubah, jika kautak kunjung berbeda, jangan salahkah dunia saat kaukesepian dan selalu merasa sendirian.

Berbahagialah dengan pilihanmu, Sayang. Bersukacitalah dengan kekasih barumu yang tak berbeda jauh denganmu. Mungkin saja, dia juga bermulut besar sepertimu. Mungkin juga, dia senang bercerita tentang janji dan khayalan yang terlampau membosankan. Iya, dia pasti tak berbeda jauh denganmu, karena kalian terlihat begitu serasi, sempurna. Dan, sekarang kamu tahu, soal kalian terlihat sempurna itu, aku hanya bercanda.

Tenanglah, aku tidak akan membuka kedok topengmu. Aku tidak akan bercerita pada banyak orang tentang kamu yang selalu mengaku sakit ini itu agar minta diperhatikan. Aku tidak akan mencibir sikap burukmu yang selalu membanggakan prestasi yang sebenarnya tak pernah kamu capai. Percayalah padaku, aku pandai menyimpan rahasia, bukan seperti kamu yang bermulut besar. Si pengubah cerita yang membuat cerita lebih  berbeda. Si pengarang cerita yang benar-benar mengarang kejadian dan peristiwa fakta. Padahal, kalau dipikir-pikir, apa untungnya menceritakan hal-hal bodoh yang hanya membuat seseorang tertawa terpingkal-pingkal? Orang-orang di sekitarmu sudah sangat muak, Sayang. Mereka mulai menjauhimu namun kaumasih tak sadar juga. Hey, lihatlah! Siapa yang ada di sampingmu? Pacar barumu? Yang mungkin saja, suatu hari, akan menikammu, lebih berdarah dan juga lebih menghasilkan luka.

Aku tidak akan bercerita keburukanmu pada pacar barumu. Aku berbeda denganmu yang suka menyeret seseorang untuk membenci orang yang kaubenci. Aku tidak sama sepertimu yang suka menghasut seseorang dengan cerita palsu agar ia ikut terbodohi oleh omong kosongmu. Aku bukan orang yang senang menjelek-jelekan kamu, Sayang. Aku berbeda denganmu, sungguh.

Maka, biarkanlah pacar barumu tahu seberapa mengenaskannya kamu setelah dia menjalani yang dulu ia yakini. Maka, biarkanlah kekasih barumu memahami sendiri, bahwa kamu bukan sosok yang pantas dicintai. Akan ada waktunya dia tahu, kauhanya seseorang yang pandai merayu juga pandai membuat cerita lugu. Akan tiba waktunya dia tersakiti oleh sikapmu, dan menangis terpojok, menyesali pilihan yang sempat ia percayai. Akan ada saatnya dia mengerti,  kamu hanyalah si mulut besar yang tak pernah paham arti dicintai dan mencintai.

Berhenti hubungi aku, atau kubunuh semua harapanmu!

***

Kamu yang pernah dihancurkan dengan ekspektasi yang terlalu tinggi, pasti nangis baca ini. JANGAN KLIK TULISAN INI KALAU NGGAK SIAP NANGIS! :(

24 July 2012

Setiap Minggu, di Taman Budaya


"karena yang kaukira adalah mimpi indah, belum tentu berakhir dengan indah."


            Sempurna!
            Foto ke seratus tiga puluh lima. Dias tersenyum memandangi setiap lekuk sempurna di tubuh wanita itu. Jemarinya menyentuh layar SLR yang ia genggam, dengan pelan dan hati-hati. Seandainya, dengan tangannya, ia bisa benar-benar menyentuh wanita itu. Wanita itu sempurna. Keningnya, hidungnya, telinganya, bibirnya, seakan-akan tanpa cela. Pahatan tangan Tuhan yang mahakarya. Dias tak bicara banyak, ia hanya mampu tersenyum dan menatap, tanpa berani menyentuh juga mengeluh.
            Langkahnya melewati lorong tempat lukisan-lukisan terpajang di dinding. Mulai menjauh dari wanita itu. Cahaya terang dalam ruangan membiaskan bayang-bayang orang yang berjalan dan mengamati benda-benda seni. Dias turut masuk dalam keramaian yang ada, lalu-lalang penikmat seni yang melihat dengan teliti kadang juga dengan langkah terhenti. Mereka berfokus pada beberapa karya seni yang menarik dan apik. Tapi, Dias tak terlalu tertarik. Ada sesuatu yang lebih penting dari pameran ini. Wanita yang ia koleksi potretnya. Sudah lama. Sejak enam bulan yang lalu.
            Kakinya berjalan menuju area pameran perfilman, dari sudut yang tak diketahui, Dias masih saja memerhatikan wanita itu. Ia seperti terhipnotis, jemarinya kembali memotret sosok manis, walau hanya punggung dan rambut panjangnya saja yang tertangkap kamera. Dias bersandar di dinding seakan-akan tak ingin wanita itu mengetahui kehadiran Dias. Ia sedikit menggerakan kepalanya, wanita itu masih di sana, mengagumi karya-karya yang tercipta.


            Wanita itu telah menganggu hari-harinya, dengan berbagai macam cara dan rupa. Dengan rindu yang memburu, dengan kangen yang mengamit resah, dengan bayang-bayang yang semakin menusuk asa. Semuanya! Dias tak pernah melewatkan dan melupakan detail siluet tubuh wanita yang hampir saja membuatnya gila.
            Ia menghela napas panjang, dan kembali menatap ke area perfilman. Wanita itu menghilang secara tiba-tiba. Raib tak berbekas. Dias menyapu pandangan ke segala arah. Tetap saja, tak ada. Ia berjalan cepat mengitari ruang pameran. Berjibaku dengan keramaian yang ada, ia menatap setiap wajah. Namun, wanita itu tak ada.
            Selalu muncul dan lalu pergi secara mendadak, secara tiba-tiba dan sulit diprediksi. Ia harus menunggu satu minggu lagi, untuk bertemu dengan wanita itu. Padahal, perasaan kangen yang melubangi hatinya belum juga tertutup rapat. Dias tetap menunggu, setia untuk menunggu.
            Apa salahnya menunggu? Meskipun membosankan, meskipun menyakitkan, tapi Dias tetap ingin melakukan itu. Memang tak ada alasan mengapa Dias harus menunggu, ia hanya ingin menunggu dan terus menunggu. Sungguh, tak ada alasan, karena menunggu kadang memang tak perlu penjelasan juga alasan bukan? Menunggu seperti fase yang harus dilewati seseorang, untuk bertemu dengan kebahagiaannya. Begitu juga Dias. Entah sampai kapan, dan berakhir dengan bahagia atau luka. Dias hanya tahu menunggu, tanpa pernah tahu hal yang harus ia tuju. Hari berganti, dan ia masih menunggu. Tanpa alasan, tanpa keluhan, Dias tetap bertahan.
            Dias percaya bahwa dirinya bukan pengecut, yang hanya diam-diam mengagumi lalu sepenuhnya bersembunyi. Ia juga yakin hal yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan, apakah salahnya mengagumi seseorang dengan sangat dalam? Itulah yang Dias rasakan. Awalnya, semua tak merepotkan, namun ketika perasaan itu hadir dan terlihat semakin nyata, Dias jadi merasa resah. Ia bahkan tak tahu nama bidadari yang semakin hari semakin meresahkannya.
            Sungguh, Dias percaya kalau dia bukan pengecut. Dia hanya butuh waktu. Iya, waktu yang tepat. Semua akan indah pada waktunya bukan? Tapi, Dias seakan-akan tak tahu waktu yang tepat akan terjadi kapan. Wanita itu benar-benar menggerogoti nalar dan akal sehatnya. Otak Dias sulit bekerja secara maksimal saat wanita itu berjarak beberapa meter dari pandangannya, walaupun masih jauh, bahkan sangat jauh. Dias tak tahu sosok seperti apa yang dia cintai, ia hanya tahu perasaan itu ada dan semakin hari semakin membuatnya tersiksa.
            Setiap minggu, di Taman Budaya, selalu ada pameran yang berbeda. Dias ditugaskan sebagai fotografer yang mendokumentasikan acara tersebut. Setiap minggu, di Taman Budaya, Dias selalu menunggu-nunggu waktu itu. Karena pasti hawa yang telah merenggut habis perhatiannya akan muncul secara tiba-tiba. Seperti Cinderella yang tak jelas kapan ia datang dan tak pernah diketahui kapan ia pulang. Di balik kemisteriusannya, Dias tetap jatuh cinta. Ia tak banyak bertanya, juga tak banyak mengeluh apalagi menuntut.
            Dia tak tahu harus berbuat apa, sampai pada akhirnya ia menatap seorang satpam yang menjadi pagar betis di pintu masuk pameran.
***
            “Jadi satpam?” lantang, suara Pak Karjo membahana, nadanya terdengar tak percaya.
            Pria bertubuh gempal itu berhenti menghisap rokoknya. Beliau adalah penanggung jawab pameran yang mengatur panita pelaksana pameran setiap minggu di Taman Budaya. Agak keras namun seperti orang Yogya lainnya, berhati lembut dan nyaman.
            Tanpa ungkapan, Dias mengangguk mantap.
            “Kenapa?” tatapan Pak Karjo tajam menusuk-nusuk ke arah Dias.
            “Saya butuh pekerjaan ini, Pak. Sangat butuh.”
            “Seberapa pentingkah pekerjaan satpam hingga kamu tak ingin lagi jadi fotografer?”
            “Sangat penting. Ini soal takdir.”
            “Takdir? Mbok yo kamu jangan becanda tho.”
            “Saya serius, Pak.”
            “Gaji fotografer lebih banyak daripada gaji seorang satpam, Nak Dias.”
            “Saya tidak mengejar gaji.” jelas Dias singkat, suara renyahnya menenangkan perasaan Pak Karjo yang terkejut.
            “Lantas, kamu mengejar apa?”
            “Ada sesuatu yang lebih penting daripada gaji.”
            “Apa?”                                                  
            “Cinta.”
***
            Malam itu langit Yogya terlihat cerah. Cahaya lampu sorot turut membantu bulan menerangi gelapnya malam. Musik perjuangan rakyat yang lirik lagunya bernilai seni tinggi sudah terdengar sejak pukul tujuh malam tadi. Ada penonton yang meramaikan panggung Taman Budaya juga meramaikan ruang pameran Taman Budaya.
            Dias berdiri tegak. Mantap. Ia membenarkan kerah bajunya dan topi satpam yang ia kenakan. Pentungan yang kaku berada di dekat saku celananya. Ia sangat bangga dengan pakaian itu. Penikmat pameran yang ingin memasuki ruang pameran mulai ramai, tugas Dias dan kawanan satpam lainnya adalah membuat pagar betis agar antrean tak berdesak-desakan dan ruangan di dalam pameran berkapasitas pas, tidak terlalu penuh dan sesak.
            Suasana di pintu masuk pameran memang cukup ramai, maklum malam minggu. Penikmat seni yang datang juga beragam. Ada yang berambut gimbal, bertatto, bertindik anting, bercelana pendek, juga hadir dengan pakaian biasa dan sederhana. Bermacam-macam penikmat seni diperhatikan oleh Dias, satu peratu wajah mereka mampir dalam tatapan mata Dias. Namun, wanita yang ia tunggu dan ia cari tak ada.
            Ia masih menunggu, hingga pukul sembilan malam, ketika antrean mulai semakin ramai oleh orang-orang yang habis menonton panggung musik tadi. Dias mulai bosan dan lelah, tubuhnya telah lunglai karena berdiri terlalu lama. Ia sempat didorong juga dikritik oleh beberapa penikmat seni yang menunggu di pintu masuk pameran.
            Dias masih bersabar, ia melempar pandangan ke segala arah. Hingga pada suatu ketika, seorang wanita berdiri di depannya. Mengantre dengan tenang dan santai.
            Jantung Dias berdebar cepat. Wanita itu.
            Jarak Dias memandangnya kini lebih dekat, hanya beberapa sentimeter, tak lagi  bermeter-meter. Sekitar beberapa detik, mereka bertemu mata, dan Dias seakan-akan tak bernapas.
            “Pamerannya masih lama ya?” ucap wanita itu dengan suara lembut, yang membuat Dias semakin tak percaya pada apa yang ia lihat.
            “Ma... ma... masih, Mbak.” jawab Dias terbata-bata.
            “Antreannya ramai juga ya?”
            “Iya, lumayan, Mbak.”
            Dias tak bisa bicara banyak, ia hanya mematung dan selebihnya tak tahu harus berbuat apa. Dias mengerti bahwa debaran jantung yang begitu kencang ini disebabkan oleh wanita yang berada di hadapannya.
            “Kayaknya, aku pernah lihat kamu deh, tapi di dalam gedung bukan di luar gedung.”
            “Ah, Mbak salah lihat mungkin.” Dias mengelak.
            “Iya, mungkin aku salah lihat ya.”
            “Mbaknya dari mana?”
            “Habis dari Malioboro.”
            “Oh, sendirian?”
            Pertanyaan Dias adalah pertanyaan pancingan, kesempatan.
            Wanita itu baru ingin membuka suara, namun tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya. Perempuan kecil yang menggemaskan itu membawa sebuah kunciran pada pergelangan tangannya. Ia berusaha menerobos antrean di belakang hingga ke depan, mendekati wanita itu.
            “Mama, rambut Adek berantakan.” kata perempuan kecil dengan suaranya yang manja.
            Dias terbelalak, ia terdiam. Perasaannya mulai tak enak. Seperti ada ribuan panah yang merasuk dalam tubuhnya, ia semakin sulit bernapas. Detak jatungnya malah pelan. Belum sempat ia merapikan jengkal napasnya, seorang pria berkacamata tiba-tiba turut menerobos antrean, berdiri di samping wanita itu, menyikut beberapa orang yang lebih dulu berada di posisi itu.
            Ia tak tahu harus berbuat apa. Ketika antrean dibuka dan para penikmat seni dipersilakan masuk, wanita itu tersenyum sambil menatap Dias, lalu kemudian meninggalkannya. Tapi, Dias tak berhenti menatap, ia masih terlalu asing dengan perasaan yang baru saja ia rasakan. Mereka memasuki gedung pameran, Dias masih tak berhenti memerhatikan. Perempuan kecil yang membawa kuncir rambut digandeng lembut oleh wanita itu, sementara pria berkacamata yang berdiri tepat di sampingnya merangkul dengan mesra wanita yang telah Dias cintai selama berbulan-bulan.
            Helaan napas Dias terdengar berat, ia berjalan terhuyung-huyung.
            Tak sempat memunguti hatinya yang patah.

13 July 2012

Setelah Kita Putus



            “Aku bisa sendiri.” aku menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia mencoba membersihkan ice cream di bibirku.
            Ia terdiam, aku sibuk menyesap benda manis yang sejak tadi menggodaku.
            “Kita udah beda, gak sama, semua gak bisa diubah seperti dulu lagi.”
            Tatapannya dingin, masih memojokkanku dengan raut wajahnya yang menyebalkan.
            “Kenapa ngajak ketemuan lagi?” tanyaku panas dan sinis. “Belum cukup sama yang kamu lakukan selama ini?”
            Ia menatapku dengan tatapan memelas, aku menangkap sinyal kesalahan di matanya. Tapi, aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis untuknya. Aku muak menatapnya, pertemuan ini tak akan terjadi jika dia tak bersungut-sungut seperti di telepon tadi.
            “Aku mau meminta maaf.” ucapnya lugu namun penuh rayu. “Aku bersalah.”
            “Baru sadar sekarang? Kemarin kemana aja, tolol!”
            “Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.”
            “Tiga kali ada kata menyesal.”
            “Aku menyesal!”
            “Empat kali.”
            “Kesha…” ia memanggil namaku lembut, aku tak bisa menahan tatapanku agar tak menyorot matanya.
            “Apa?”
            “Maafin aku.”
            “Aku udah maafin kamu bahkan sebelum kamu minta maaf.”
            “Sungguh?”
            Aku mengangguk tanpa pikir panjang, tak ingin percakapan ini berlangsung dengan lamban. Aku ingin semuanya berakhir. Dan, semoga wajah busuk ini tak lagi kutatap.
            “Aku menyesal, Kesha.”
            “Lima kali, cukup. Aku bosan dengar kata menyesal jika kamu sendiri tak pernah mencoba untuk berubah.”
            “Aku harus berbuat apa agar kamu benar-benar ikhlas memaafkanku?”
            “Tidak perlu, semuanya sudah lewat, aku enggak perlu ingat-ingat yang lalu. Semuanya sampah!”
            Nada bicaraku mendiamkan gerak bibirnya, ia menatapku dengan tatapan minta dikasihani.
            “Jangan menatapku dengan tatapan tolol seperti itu, rasa kasihanku sudah habis terhadapmu, bodoh!”
            Ia tak banyak bicara, hanya mendengarkan aku yang terus saja mengumpatnya dan memakinya. Tiba-tiba perasaan kesal itu muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak memikirkan peristiwa itu. Saat aku mendapati dirinya berciuman dengan seorang gadis di sebuah prakiran trade center daerah Jakarta Selatan. Aku ingin semuanya berlalu dan hilang seperti angin. Sungguh, aku tak ingin mengingat cara dia menyakiti dan mengkhianatiku, tapi aku terlalu lemah.
            Aku tak bisa menyangkal diri, bahwa aku benar-benar mencintainya, dia sudah menjadi bagian dari napasku selama beberapa tahun terakhir. Aku tak mungkin bisa melupakan seseorang yang telah mengisi hari-hariku dengan begitu cepat. Aku butuh waktu. Tapi, semua di luar prediksiku, saat aku ingin melupakannya, dia malah hadir. Berkata maaf, mengucap kata menyesal, dan segala kalimat yang mampu mencairkan hatiku yang sudah sangat beku.
            Aku hanya bisa membohongi diriku sendiri. Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya dengan kata-kata kasar, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa menyakiti seseorang yang kucintai, aku lelah terus-menerus menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan pikiranku yang sempat goyah, kembali meletakkan akal sehatku pada kenyataanyan yang ada. Aku tak mungkin lagi menerimanya kembali, sekeras apapun dia memintaa maaf padaku. Meskipun dia harus meradang, meronta, atau berlutut di hadapanku.
            Setelah lama kudiamkan, dia menangis. Seluruh mata pengunjung restoran bergeser ke arah kami. Ini air mata pertamanya yang pernah kulihat, bertahun-tahun ia tak pernah menangis di hadapanku. Apakah ini juga bagian dari kebohongan?
            “Sudahlah, Kevin. Aku bukan gadis tolol yang bisa kaupermainkan lagi. Jauh-jauh dari pandanganku, atau perlu menghilanglah dari muka bumi ini!”
            “Aku akan menghilang tanpa kauminta, Kesha.”
            “Baguslah, sadar diri!”
            “Dan, tidak akan pernah kembali.”
            “Itu lebih bagus, selamanya kalau perlu!”
            “Iya, selamanya.”
            Dia mengulang kata ‘selamanya’ dengan tatapan yang bodoh disertai mata yang sembab. Aku tak ingin membuang-buang waktuku. Aku membayar ice cream dengan uangku sendiri, meninggalkan Kevin yang masih menggigil karena perkataanku.
            Mampus kamu! Seruku dalam hati. Aku tertawa senang. Aku berhasil menyakitinya. Aku tak menyesal berpisah dengannya. Oh, Tuhan, jadi ini rasanya bahagia?
            Sempurna!
***
            Tak ada lagi komunikasi dengan Kevin. Aku tak pernah mau tahu lagi kabarnya. Telingaku tak ingin lagi mendengar namanya.
            Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Aku bahkan berprestasi dalam banyak hal, tak peduli pada masa lalu yang sempat membayangiku selama ini. Tapi, aku memang tak mampu menyangkal, wajah Kevin masih saja hadir dalam malam-malam sepi ketika aku sedang mendengar lagu favorite kita dulu. Have I Told You Lately That I Love You, Rod Stewart selalu pandai membawakan lagu ini dengan suara yang mendayu-dayu namun menggemaskan. Memang benar, sebuah lagu mampu melempar seseorang kembali ke masa lalunya, dan aku selalu mengalami hal itu, lagi dan lagi.
            Entah mengapa, hari-hariku memang terasa lebih sepi. Aku sering iri melihat teman-temanku berjalan dengan kekasihnya, dan aku hanya berjalan sendirian. Yaaaaah, belajar mandiri, itulah dua kata yang membuatku bertahan sampai saat ini. Kevin, dulu, adalah pria yang baik, namun setelah mengenal wanita jalang itu, dia berubah drastis. Aku membencinya dan sepertinya perasaanku padanya berangsur-angsur mulai hilang.
            Siang ini, aku sudah bersiap-siap ke kampus. Belum sempat membuka pintu kamar, ponselku berdering nyaring.
            Aku menatap ke layar ponsel, nomor tak dikenal. Sebenarnya, aku tak ingin mengangkat panggilan tersebut, tapi entah mengapa, rasanya panggilan tersebut sangat penting.
            “Halo…”
            “Halo… Kesha?”
            Terdengar suara wanita yang rasa-rasanya akrab di telinga.
            “Ini, Tante, Nak.”
            “Tante?”
            “Ibunya Kevin.”
            Deg. Aku lemas, rasanya sulit untuk membuka suara. Aku berusaha keras untuk menahan emosiku dan perasaanku yang mulai tak stabil.
            “Iya, kenapa, Tante?”
            “Mau nemenin Tante sebentar enggak?”
            “Ke mana?”
            “Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?”
            Aku terdiam agak lama, berpikir dengan keras. Namun satu kata meluncur dari bibirku, tanpa kuduga. “Oke.”
***
            “Sebenernya Tante udah lama pengin ajak kamu ke sana.”
            Aku masih bingung, tak mengerti arah tujuan. Di mobil aku hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti pada pembicaraannya yang ngalor-ngidul.
            “Kita mau kemana, Tante?”
            “Nanti, kamu juga tahu sendiri.”
            Jawaban tersebut sama sekali tak membuat diriku puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang namun untungnya cuaca hari itu tak begitu panas. Beberapa menit kemudian, Ibu Kevin menggunakan kaca mata hitam dan kerundung berwarna hitam. Ia mengeluarkan kembang tujuh rupa. Aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
            Mobil berhenti, dan rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang gersang tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa nisan yang terlihat. Aku baru tahu di tempat seindah ini ada pemakaman.
            Beliau menuntunku terus berjalan, kemudian berhenti di sebuah nisan. Aku tak memerhatikan dengan jelas tulisan di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita yang sejak tadi genggaman tangannya semakin erat di jemariku.
            Wanita itu sedikit berjongkok, aku ikut berjongkok.
            “Sudah dua bulan, Kesha.”
            Aku masih diam, dan mendengarkan, karena mungkin saja mendengarkan bisa memberiku jawaban.
            “Dia pergi, sesuai permintaanmu.”
            Dia siapa? Aku tak mengerti, aku masih menyimak perkataan wanita ini dengan santun dan tegas.
            “Kevin sakit, dia selalu sembunyikan penyakitnya darimu.”
            Oh, jadi Kevin sakit? Dirawat di mana dia sekarang? Baguslah, itu karma untuknya, karena telah menyakitiku.
            “Kamu dan Kevin sudah pacaran beberapa tahun.”
            Duh, sialan, mengungkit masa lalu. Masa yang tak pernah ingin kuingat. Sialan.
            “Kevin tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia tak ingin kepergiannya menyakitimu.”
            Aku terdiam. Masih tak paham.
            “Ia menyewa seorang wanita, dan merencanakan segalanya yang rumit, membuat semuanya seakan-akan terjadi secara tidak sengaja.”
            Merencanakan?
            “Kevin mencium wanita itu dan kamu lewat di depan mobilnya. Momentum yang pas. Semuanya terjadi sesuai rencananya.”
            Tatapanku tajam menyapu wajah wanita itu, matanya tak terlalu terlihat, kacamata hitam memburamkan tatapannya.
            “Kevin sengaja menyakitimu agar kamu tak pernah menyesal ketika dia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya, bahwa dia tak ingin melihatmu terluka. Dia masih mencintaimu.”
            Omong kosong! Teriakku dalam hati.
            “Dia baik sekali, Kesha. Dan kautak menyadari bahwa pertemuan terakhir kalian adalah saat kaumemakinya.”
            Jutaan panah seperti melesat ke jantungku. Aku tak bisa bernapas.
            Aku menatap nisan itu. Ada namanya. Nama pria yang selama ini sempat memutarbalikkan duniaku. Kevin.
            “Perjuangannya memang tidak sia-sia, kautidak terlihat terluka dan menyesal. Kevin berhasil menahan air matamu, Kesha. Lihatlah, kamu tidak menangis.”
            Aku terdiam, tak bisa berkomentar banyak. Bibirku terlalu kelu. Aku tak menyangka perjuangan Kevin begitu besar untukku.
            Napasku masih tercekat, dan sekarang aku tahu rasanya menangis.
            Air mata.

11 July 2012

Surat Cinta Untuk Jokowi

Untukmu, yang beberapa kali muncul di layar televisi.

Apa kabar, kamu? Apakah kamu kelelahan ketika melewati rentetan peristiwa yang terjadi beberapa minggu ini? Aku bisa menebak rasa lelahmu, karena kantung matamu terlihat jelas dan raut wajahmu yang tersenyum berusaha menyembunyikan lelahmu. Minggu-minggu ini memang sangat melelahkan, kamu berjuang mati-matian. Tapi, aku tahu kamu adalah pria yang kuat dan hebat, kamu sosok berkharisma yang merenggut perhatianku tanpa sisa.

Kampanye sudah selesai, euforia kota Jakarta masih terdengar riuh dan mengamit resah. Mereka bertanya-tanya, begitu juga aku yang terus bertanya. Bagaimana perasaanmu saat ini? Mungkinkah, kamu sedang mondar-mandir mengelilingi ruangan sambil mengunyah permen karet? Apakah tanganmu terasa dingin ketika hari pencoblosan sudah tiba? Kalau aku di situ, aku akan mengenggam tanganmu erat-erat, rapat-rapat, tanpa ucap.

Kamu, yang tak pernah terlewati dari sorotan mataku.

Apakah kamu mengenalku? Berkali-kali kita bertemu, namun dibatasi oleh layar kaca. Aku melihatmu, tapi kamu tak melihatku. Aku merasakan perasaan aneh yang bergelayut di otakku, entahlah mungkin aku mulai mengagumimu,  atau bahkan menggilai gerak-gerikmu. Aku seringkali menjerit dalam hati, ketika sosokmu kembali muncul di berita pagi, lalu menggebu-gebu di kabar siang, dan tersenyum penuh wibawa di guratan berita malam.

Sungguh, aku memikirkanmu. Dan berharap bisa menyalami tanganmu seperti orang-orang beruntung yang bisa menyentuh jemarimu. Aku ingin melihat wajahmu seperti orang-orang bernasib baik yang bisa menatap dalam-dalam wajahmu. Aku ingin banyak hal, tentangmu, tapi tak mungkin.

Aku terdiam dan tak melanjutkan obsesiku. Aku tak minta banyak hal, aku hanya ingin merasakan kehadiranmu dalam semestaku. Berubahlah menjadi apapun, asal kamu mengorbit dalam galaksi milikku.

Pria dengan tatapan sendu yang mengacaukan sel-sel impuls di otakku.

Kali ini, aku tak peduli, kaumau menganggapku wanita bodoh dengan banyak obsesi atau gadis setengah gila yang mengharapkan banyak hal. Aku hanya mengagumimu, bukan ingin merusak hari-harimu. Kamu orang besar, tenar, banyak orang yang menggantungkan nasib dan harapannya pada padamu. Aku hanya sebagian kecil dari mereka yang membutuhkan kamu dalam barisan hari-hariku.

Kamu bukan udara, oksigen, atau air. Tapi, sehari tanpa melihat senyummu, rasanya ada yang kurang. Minggu-minggu ini, aku mulai terbiasa menatapmu setiap hari dan terus-menerus, berganti-ganti channel televisi hanya untuk mendapati dirimu yang antusias membangun Jakarta menjadi lebih baik.

Aku ingin bersinggungan dengan tatapan matamu yang lembut, dan merasakan petasan Pekan Raya Jakarta meledak-ledak di jantungku.

Untukmu, pria pemilik senyum melankolik.

Sudahlah, kini kausudah paham tentang perasaanku, atau masih tak paham? Atau masih bingung? Atau masih geleng-geleng kepala? Percayalah, aku pun sama denganmu, kebingungan dan pusing tujuh keliling. Aku juga tak mengerti perasaanku. Aku hanya tahu rasa ini bertumbuh lebih cepat daripada yang kuduga. Tiba-tiba aku melihatmu, lalu kamu ada di kepalaku, lalu senyummu terus memenuhi labirin-labirin kosong di hatiku.

Apa yang harus kulakukan, Pak? Haruskah aku menyeret bayangmu hingga benar-benar keluar dari otakku? Aku tak bisa, dan tak akan pernah kucoba, karena aku menikmati saat-saat ini, saat kamu mengalir dalam jengkal napas dan setiap tetes darah.

Masa kampanye sudah usai, dan pilkada Jakarta hampir usai. Apakah aku masih bisa bertemu denganmu di layar kaca? Apakah aku bisa merasakan sinar matamu dari balik televisi? Apakah aku masih pantas mengagumimu?

Sudahlah, kamu orang hebat. Jalani tugasmu dan aku akan diam-diam mendoakanmu.

Kalau boleh sedikit lancang, aku mau minta fotomu yang pakai baju kotak-kotak itu. Mau kusimpan di kamar, untuk mengalihkan perasaan rinduku. Boleh ya, Pak?

Dari pengagummu yang sangat pengecut.
Yang juga tak mengerti
perasaannya sendiri

08 July 2012

Apakah Semua Pria seperti Ayahku?


            Aku tidak heran jika terbangun dengan pemandangan seperti kemarin-kemarin. Melihat Ayah setengah telanjang bersama seorang wanita yang tidak kukenal. Entah wanita bayaran atau wanita jalang yang diselamatkan Ayah di pub semalam.
            Tadi malam, Ayah mabuk dan wanita itu mengantarkannya sampai pintu rumah. Pak Beno, supirku, seperti biasa, tak banyak bicara dan berkomentar. Dia tahu betul sikap Ayah yang menjijikan, apakah dia harus mencibir orang yang selama ini menggajinya? Tidak, begitu juga aku, tak banyak berkomentar.
            Perusahannnya berkembang sangat pesat. Ayahku membiayai segalanya. Ia pria yang mapan dan kaya, semua wanita meliriknya. Semua wanita itu berbeda rupa dan sifatnya, kadang mau saja diajak seranjang padahal baru berkenalan. Ada juga yang bersikap sok manis tapi di belakang ternyata sinis. Aku jadi mengenal banyak karakter orang dari wanita-wanita berbeda yang berkunjung ke rumahku, juga bermalam di ranjang Ayahku.
            Aku tak bisa berkomentar banyak, juga tak ingin mengkritik sinis Ayahku. Aku anak yang penurut, dimanja dengan luar biasa. Aku anak satu-satunya, Ibuku sudah lama meninggal. Bunuh diri, mentalnya terlalu lelah untuk menerima perlakuan Ayahku. Pepatah bilang, di balik pria yang kuat, terdapat wanita yang hebat. Tapi, bagi Ibuku, di balik pria kuat, ada wanita yang menangis diam-diam dan berjuang mati-matian untuk sebuah keadilan. Dan Ibuku tidak menjadi pemenang. Ia memilih mengakhiri hidupnya, namun Ayahku tetap sama, beliau tak berubah, sedikit pun.
            “Mau sarapan apa, Non Raya?” ucap Bi Ratna lembut, beliau menyapaku ramah di sudut meja makan.
            “Ayah mana, Bi?” aku bertanya balik, mencoba mengabaikan pertanyaan Bi Ratna sebelumnya.
            “Masih tidur kayaknya, Non.”
            “Kemarin pulang sama siapa? Pak Beno?”
            “Iya, mabuk berat, Non. Mulutnya bau alkohol.”
            “Sama cewek juga?”
            Bi Ratna terdiam, mungkin ia tak mau menyayat hatiku. Aku menangkap maksud itu dari perubahan air wajahnya. Ia tak banyak bicara, langsung pergi meninggalkanku. Beberapa menit setelahnya ada suara panci yang berbunyi nyaring, Bi Ratna memasak sarapan.
            Aku masih di meja makan, terdiam dan sesekali menguap. Tatapanku menatap ke arah pintu kamar Ayah. Sudah pukul delapan pagi, Ayah dan wanita jalangnya belum keluar. Pikiranku mulai aneh, aku meninggalkan meja makan dan tidak menunggu sarapan segera tersedia di meja makan.
            Langkahku gontai menuju kamar. Perasaanku campur aduk. Aku membuka pintu kamarku.
            Brak!
            Dan kubanting dengan keras. Semauku.
***
            Aku dimanjakan tapi sungguh aku bukanlah wanita manja. Dunialah yang memaksaku untuk tak banyak bergaul. Di rumahku, seluruh fasilitas ada, aku tak perlu keluar. Aku punya supir dan banyak pembantu, mereka melayaniku secara intensif, setiap detik. Aku tinggal memanggil dan keinginanku langsung terkabul, muncul di depan mataku. Tapi, ada satu hal yang tak bisa mereka bawa ke depan mataku, cinta.
            Banyak pria bilang, wanita seksi adalah wanita yang gemar membaca, tapi bagiku itulah persepsi pria tolol. Senang membaca tapi tak mampu berpikir jernih? Sama saja bodoh, apa gunanya membaca jika tak membagikan pengetahuannya? Aku lebih senang melukis, bermain biola di kamar, dan berdiam diri. Sendirian. Di kamar. Berjam-jam. Iya, kalian benar, aku tak punya teman.
            Kesepian.
            Jangan mengasihani aku, lihatlah, aku bahagia! Aku bisa miliki apapun yang kuinginkan. Aku tidak terkendala masalah uang. Ayahku kaya raya, dia bisa belikan apapun yang kusuka. Aku tinggal membuka suara, dan barang itu sudah ada di hadapanku. Iya, hanya barang, yang tidak menjamin kebahagiaan. Berbeda dengan rasa; bisa membuatku bahagia dan sedikit percaya.
            Aku dibesarkan dengan elegan, aku sopan dan bertutur kata dengan baik. Ayahku mendidikku tapi tidak selalu ada untukku. Dia membayarkan semua kebutuhanku, tapi dia tak pernah mengerti arti kebahagiaan bagiku. Kembali ke konteks awal, sebagai anak maka aku tak bisa berkomentar banyak.
            Pintu diketuk. Mungkin Bi Ratna. Aku berteriak tak terlalu lantang, mengisyaratkan beliau agar memasuki kamarku. Dalam sekejap, wanita yang sudah beruban itu berdiri di samping meja gambarku.
            “Minggu ini, Non Raya ulangtahun kan?”
            Aku menoleh. “Kenapa, Bi?”
            “Ayah Non Raya sudah menyiapkan rencana?”
            “Kayaknya belom, Bi. Dia kan sibuk.”
            “Kok suaranya sedih?”
            “Ulangtahunku paling-paling sama kayak tahun lalu. Cuma ada aku, Bi Ratna, Pak Beno dan pembantu lainnya.”
            “Emangnya Non Raya enggak merayakan bersama pacar?”
            Logikaku terpeleset. “Pacar?”
            “Iya, pacar.”
            Singkat, dan aku tak terlalu paham pada pernyataan Bi Ratna. Merayakan bersama pacar? Ide tolol, aku tak punya pacar, juga tak punya teman.
            Bagaimana mungkin aku punya pacar, aku tidak bisa memercayai pria sepenuhnya. Lihatlah Ayahku. Dia brutal. Bitchy. Tolol. Tapi, tajir.
            Aku yakin, semua pria seperti Ayahku. Dan aku tak akan pernah percaya pada mahluk yang selalu mudah tergoda memakan apel dari hawa-hawa jalang di sekitar mereka.
            Aku tak percaya pria.
            Juga cinta.
***

           Aku berbaring di tempat tidur, menatap setiap sudut kamar. Ramai oleh pernak-pernik dan aksesoris yang lucu dan unik. Senyumku sedikit mengembang, dalam suasana sepi seperti ini, aku tak punya alasan harus tersenyum lebar. Aku selalu kesepian, meskipun Ayah selalu menganggapku baik-baik saja. Aku mencari-cari diriku yang sempat hilang, pahitnya tak juga kutemukan. Aku terus mencari, terus berlari, lalu hanya sepi, selebihnya sendiri.
            Tatapanku nanar ke arah bingkai di atas meja gambarku, foto Ibu. Aku menghela napas panjang, bagaimana mungkin wanita sebaik beliau harus mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis? Apakah karena cinta?
            Cinta?
            Tolol!
            Semua orang di sekitarku mengaku sangat mencintaiku, tapi apa yang mereka lakukan? Mereka malah membuatku iseng sendiri, mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Aku tak boleh berharap lebih pada cinta. Jika banyak orang percaya bahwa cinta adalah penyelamatan, maka cinta bagiku adalah kutukan. Terlalu banyak orang yang mengagungkan cinta, tapi aku menganggap cinta hanyalah dongeng seribu satu malam yang tak akan menyentuh bibir kenyataan.
            Cinta itu pembodohan. Jangan paksa aku percaya pada cinta, karena aku belum percaya, dan mungkin tidak akan percaya.
***
            “Bi, kolam renang kotor tuh.” aku menuruni tangga dan mengajak Bi Ratna bicara. “Aku mau renang.”
            “Sabar ya, Non. Mas Agung lagi sakit, masuk angin, kasihan kalau disuruh bersihin kolam renang.”
            Aku tak langsung menanggapi pernyataan Bi Ratna, aku duduk di sofa sebentar dan menikmati nyamannya tubuh sofa. “Emang enggak ada yang bisa bersihkan kolam renang selain Mas Agung?”
            Bi Ratna memberhentikan tugas menyapunya, menatapku sebentar lalu menggeleng mantap.
            “Aku bete di rumah, Bi. Pengen renang.” renggutku pelan, aku memangku dagu.
            “Renang di dekat kompleks rumah aja? Nanti Pak Beno yang antar.”
            “Aku enggak mau, enggak bebas.”
            “Nah, kalau gitu Non Raya aja yang bersihkan kolam renangnya?”
            Tatapanku iseng ke arah Bi Ratna. “Nanti kulitku berubah warna jadi gelap dong!”
            “Renang juga bikin kulit gelap kan, Non?”
            “Gelapnya tapi beda dong, Bi.”
            Kami tertawa, namun tak benar-benar tertawa. Aku tersenyum, namun tak benar-benar bahagia. Aku bahkan sampai lupa cara tersenyum yang tulus, karena terlalu sering menyembunyikan perasaan yang kurasa.
            Aku tak banyak bicara hanya sesekali menatap Bi Ratna yang sibuk bekerja. Aku melempar pandang ke seluruh bagian ruang tamu. Terlalu besar tapi sepi. Terlalu banyak barang tapi tetap merasa sendiri. Hari ini, aku memang agak malas, tak ingin banyak melakukan kegiatan. Seharian di kamar. Menggambar. Sesekali menggesek biola. Tapi tetap saja kosong, aku melakukan segala hobiku, namun aku masih merasa kesepian.
            Aku menatap jam, sudah larut malam. Waktu berjalan begitu cepat, dan begitu membosankan. Hari-hariku tak berbeda, bahkan hampir sama. Seperti yang kubilang tadi, aku tak punya teman. Temanku hanya pensil, buku gambar, dan biola. Kalau teman bicara ada Bi Ratna, Pak Beno, Mas Agung, tapi mereka seringkali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan aku tetap saja sendiri.
            Aku berusaha memejamkan mata, berbaring di ranjangku yang empuk. Tapi, mataku segera terbelalak, ketika suara ketukan pintu terdengar, aku menyahut lantang. Pintu terbuka. Ayah.
            “Ini kado ulangtahunmu.”
            Aku menoleh. Dan melirik pelan ke tangan ayah. Kunci mobil.
            “Kenapa wajahnya tidak senang?”
            Tak peduli. Aku berbalik badan dan menarik gulingku. Mendekapnya erat di dada.
            “Enggak butuh.”
            “Harganya miliyaran lho, Raya.”
            “Bodo amat.”
            “Raya...”
            “Aku ngantuk.”
            “Ayah tidak bisa hadir dalam ulangtahunmu.”
            “Tak perlu hadir, memang tidak dibuat acaranya kan.”
            “Ayah sibuk.”
            “Iya, sibuk sama wanita-wanita jalang itu.”
            Ayah terdiam. Aku terdiam. Kita berbicara dengan sunyi, kita berkata-kata dalam hati.
            “Kamu salah besar, Ayah ada meeting. Proyek besar, untungnya triliyunan.”
            “Iya, aku ngerti. Ayah lebih sayang sama orang yang kasih untung triliyunan ke Ayah.”
            “Bukan gitu, Raya.”
            “Terus yang seperti apa?”
            Ayah masih berdiri, aku menangkap rasa bersalah dari nada bicaranya. Aku masih tak ingin menatap mata itu, mata redup yang merenggut semua kebahagiaanku, merebut masa kecilku, juga menghilangkan Ibu dari hidupku.
            “Aku enggak butuh mobilnya.”
            “Kamu mau apa? Rumah? Tanah? Perhiasan? Tas Gucci? Parfum?”
            “Aku mau Ayah. Di sini. Enggak pergi-pergi.”
            Aku tak banyak berkomentar, Ayah juga tidak. Kami punya ikatan darah, tapi perasaan kami selalu terjarah. Terpisah. Seakan-akan tak pernah saling mengenal.
            “Aku ngantuk. Mau tidur.”
            “Raya...”
            “Mobilnya jual aja, hasilnya kasih ke orang-orang yang kemarin rumahnya Ayah gusur. Mereka lebih butuh, kalau  aku enggak butuh.”
            Ayah sadar, aku sedang marah, beliau meninggalkanku sendirian di kamar. Selalu saja sendirian.
            Aku memeluk guling lebih erat, berusaha mencari sandaran di sana. Namun aku tak berhasil. Ada sesuatu yang basah, mengalir dari mataku. Ini selalu terjadi, sepanjang hari, sepanjang minggu, tak bosan-bosannya menghantuiku.
            Air mata.
***

           Sejak tadi aku menatap tanggal, ulangtahunku hampir dekat. Entah mengapa aku merasa gelisah, di hari ulangtahunku nanti, haruskah aku menengok Ibu terlebih dahulu? Aku mau bercerita banyak hal pada beliau, semua telah berubah sejak kepergiaan beliau.
            Aku mengalihkan pandanganku pada foto Ibu, senyumnya manis sekali, seakan-akan ia masih begitu hangat di sampingku. Foto Ibu yang terpasang di ruang tamu ini butuh perjuangan besar agar bisa terpampang di dinding. Aku beradu mulut dengan Ayah hanya karena foto ini. Agar foto Ibu bisa terus kupandang, agar beliau bisa terus hidup di dalam hatiku. Karena kematian tidak akan mengakhiri apa-apa selama ingatan masih ada.
            “Lihat apa, Non Raya?” Bi Ratna mengaburkan lamunanku.
            “Aku kangen Ibu, Bi.”
            “Ya dateng ke makamnya dong.”
            “Kalau Ayah tahu, nanti dia marah. Aku enggak boleh keluar-keluar lagi. Aku takut, Bi.”
            “Ya bilang sama Pak Beno supaya enggak usah bilang ke Bapak.”
            “Enggak usah deh, Bi. Aku enggak mau cari masalah. Mata-mata Ayah banyak.”
            Bi Ratna menangkap kesan berbeda di wajahku, mungkin ia merasakan kesedihan yang kurasa. “Non Ratna harusnya bisa lebih bahagia lho, sekarang kok malah sering cemberut?”
            “Udah mau UAS kali, biasa deh mahasiswi, setiap mau ujian bawaannya stres.” aku mengelak.
            “Terus Non Raya enggak belajar?”
            “Udah dari tadi kok, Bi. Bosen sama ekonomi makro dan mikro, enggak ada habis-habisnya.”
            Tertawa, tak begitu keras tapi cukup menyenangkan. Bi Ratna berjalan mendekatiku, ia duduk di lantai sambil mengenggam lap yang selalu melekat di jemarinya.
            “Mau makan siang apa, Non Raya?”
            “Rawon aja, Bi.”
            “Rawon?”
            “Iya, tiba-tiba mau makan rawon. Masakan yang paling sering Ibu masak.”
            Bi Ratna terdiam.
            “Ajak Pak Beno sama yang lainnya ya, Bi. Kita makan bareng-bareng. Masak yang banyak!”
            Bi Ratna tersenyum memandangiku, ada kedamaian di wajahnya.
***
            Aku memegangi perutku yang sudah berisi rawon dan nasi. Kenyang. Mengantuk. Inilah kebiasaanku yang tidak sehat, aku asal saja membaringkan tubuhku di tempat tidur. Menatap langit-langit. Memandangi warna putih yang tak pernah berubah. Lalu wajah Ibu membesar, semakin besar.
            Mataku berusaha terpejam, sejak pagi aku belajar terus–menerus dan inilah saat yang tepat untuk beristirahat. Tidak ada bunyi air conditioner yang nyaring, aku sengaja tidak menyalakannya. Jendela di kamarku terbuka lebar, ada angin sepoi-sepoi yang mengalir melalui celahnya yang besar. Aku tergoda dan siap memejamkan mata.
            Sreg. Bunyi yang tak kukenal mengusik mataku yang hampir terpejam. Aku terbelalak dan membuka mata lebar-lebar.
            Sreg. Sreg. Sreg. Semakin sering dan bunyi itu begitu menganggu jam tidur siangku. Sangat merusak jam istirahatku.
            Sreg! Sreeeeg! Sreeeeg! Sreeeg!
            Kudiamkan malah semakin membabi buta. Aku mengepal tanganku, meninju ranjang yang kutiduri. Aku berjalan mendekati jendela kamar dan berusaha mencari tahu sumber bunyi.
            Sesampainya di dekat jendela, aku langsung menatap keluar lantas menyoroti taman dan kolam renang di bawah.
            Lama aku menatap ke bawah.
            Terdiam.
            Seorang pria bertelanjang dada, menggunakan celana jeans, berambut ikal dan hitam sedang membersihkan kolam renang. Iya, aku masih terdiam, tak bergerak sama sekali.
            Terjadi getaran aneh di dadaku, jantungku berdebar dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Tubuhku tak bergerak, aku tak bisa banyak berkomentar, bibirku seakan-akan terkunci rapat. Aku sekarat!
            Otakku seakan-akan tak berpikir dan beku. Aku berhamburan mencari kanvas dan meja yang bisa didirkan. Pelan-pelan aku menggerakan kuas dan menggambar sosok yang baru saja kulihat beberapa detik tadi.
            Aku menggambar kolam renang, juga pepohanan yang mengitarinya, juga sosok itu. Aku hanya menggambar rambutnya, dadanya, tubuhnya, celana jeans-nya, dan galah yang dia pegang untuk membersihkan kolam renang. Sempurna. Dan aku tersenyum di bibir dan hati.
            Sekujur tubuhku masih kalang kabut, aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku berusaha untuk menatap dan merasakan sinar mata sosok itu. Aku menjulurkan kepalaku semakin ke luar jendela, namun tetap berpegangan pada kayu jendela yang lainnya. Sosok itu tak kunjung menunjukkan wajahnya.
            Bola mataku bergerak mengikuti gerakan sosok itu. Ia masih sibuk membersihkan  kolam renang. Sungguh, aku tak mampu menahan diri. Aku kehabisan cara untuk mengetahui hal-hal aneh yang terjadi padaku saat ini.
            Aku mencari biolaku dan langsung kembali lagi ke bibir jendela. Membuka jendela lebih lebar dan membentang. Biola yang kugenggam langsung kuletakkan di dekat bahu, aku menggesek biola dengan sangat lembut, sambil menatap sosok di dekat kolam renang itu.
            Aku memainkan nada dengan sangat indah, seakan-akan partitur telah jelas tertulis pada gerakan sosok itu. Aku terus bermain, semakin dalam, semakin dalam. Aku menutup mata, menikmati alunan musik biola yang kumainkan sendiri.
            Senar biola masih terus kumainkan, alunannya semakin indah. Entah ada energi apa yang memengaruhi jemariku hingga nada-nada yang kuhasilkan dari biolaku terdengar begitu manis. Aku masih terus bermain untuk beberapa menit dan kemudian terhenti.
            Pandanganku langsung menuju sosok itu, dia terkesima dan menengadahkan kepala ke jendela atas. Dengan dada yang bertelanjang dan masih memegang galah. Menatapku.
            Dia terdiam.
            Aku terdiam.
            Dia tersenyum.
            Aku kagum.
***

           Pak Beno belum menjemputku. Sudah 30 menit berlalu, kakiku pegal menunggu mobilnya melintas di hadapanku. Aku menatap jam dan hampir sore. Rasa khawatir tak bisa kusembunyikan dari wajahku. Gigiku gemeretak, ada rasa ketakutan yang menghujamku dalam-dalam. Mahasiswa dan mahasiswi yang lain sudah pulang dengan kendaraan pribadi mereka. Aku masih menunggu di depan Fakultas Ekonomi, masih dengan rasa khawatirku yang menggebu-gebu.
            Berkali-kali titik pandangku hanya tertuju pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku sendirian, hanya beberapa mobil dan sepeda motor yang berlalu-lalang di depanku. Tapi, tak ada mobil yang kukenal, Pak Beno belum juga menampakan batang hidungnya.
            Bus kuning berkali-kali lewat, aku memutuskan untuk pulang sendiri. Tapi... aku takut, bisa saja Pak Beno terjebak kemacetan, kasihan kalau aku pulang duluan dan beliau ternyata sedang dalam perjalanan menjemputku. Memang, menunggu itu menyebalkan, apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti. Aku menghela napas. Berat.
            Ada perpustakan kecil yang melekat di dadaku. Aku memeluk buku ekonomi terapan dan beberapa buku ekonomi makro yang berbahasa Inggris. Sudah sore dan semakin sepi. Sebuah bus kuning melintas di halte, aku sigap memerhatikan. Ada seseorang yang turun dari bus itu. Berjalan lurus lalu mendekatiku.
            Seorang pria. Tatapannya tajam. Aku terdiam.
            “Kamu Raya ya?”
            Aku mengangguk, tak langsung bicara.
            “Pak Beno enggak bisa jemput, kita pulang sekarang ya.”
            Deg. Aku seperti mengenali pria ini, dari rambutnya yang ikal dan dadanya yang bidang. Setiap melihat bentuk dadanya, aku ingin membenamkan tubuhku dalam peluknya.
            “Kamu siapa?”
            “Pengurus taman di rumahmu, aku baru bekerja di sana, hanya untuk menggantikan pengurus kebunmu yang tidak bisa bekerja.”
            “Oh, kita pulang bareng? Naik apa? Kamu bawa mobil?”
            “Kita jalan sebentar, terus naik kereta.”
            “Jalan kaki? Naik kereta?!”
            “Iya, kok kaget?”
            “Aku enggak terlalu tahu daerah sini.”
            “Kamu kuliah di sini berapa tahun?”
            “Tiga tahun.”
            “Dan enggak terlalu paham daerah sini?” dia tertawa geli, sinar matanya begitu dalam namun hangat. Ia menatapku dengan tatapan yang segar bersemangat. Aku tak mampu menahan rasa senang yang bergulir di hatiku.
            “Aku biasanya dianterin lalu dijemput. Begitu terus, tiga tahun terakhir ini.”
            Aku sesekali menyembunyikan senyumku yang tak bisa berhenti melengkung di bibir. Aku berjalan di sampingnya, rapat. Beberapa detik siku kami bersentuhan, dan itu seperti aku bersentuhan dengan malaikat. Indah sekali, langkahku dan langkahnya seirama. Dia banyak bercerita, dan aku mendengarkan.
            Tak terasa, aku dan dia sudah sampai di Stasiun UI Depok. Seusai membeli tiket, ia menuntunku berjalan menuju tempat duduk penumpang. Aku sigap mengambil tissue dan membersihkan tempat duduk tersebut sebelum kududuki. Lalu, aku meroggoh tasku mencari hand sanitizer, membersihkan tanganku. Setelahnya, aku menggunakan masker. Ketika usai melewati keribetan tersebut, aku baru bisa duduk manis.
            Pria itu duduk di sampingku. Aku tak mampu mengendalikan detak jantungku yang memburu ketika ia berada dalam semestaku. Dia menatapku dengan heran, memerhatikan siluet tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia tertawa geli, sekali lagi.
            “Kalau pake masker, cantikmu pasti hilang.”
            Jemarinya menyentuh telingaku, membuka masker yang kukenakan. Lancang, tapi aku tak ingin melawan. Sentuhan-sentuhan kecilnya membuat pembuluh arteri di tubuhku seakan-akan memberontak. Dia mampu membuatku merasakan banyak hal yang sebelumnya tak pernah kurasakan.
            “Sudah dilepas maskernya, begini saja. Kamu tak perlu menyembunyikan wajahmu, dunia perlu tahu siapa dirimu.” lanjutnya dengan nada lembut. Aku masih tak banyak bicara, karena aku sibuk merapikan debaran jantungku.
            “Kamu jarang ngomong sama orang yang kauanggap asing ya?”
            Aku masih tak menjawab, membiarkan pertanyaannya menjadi partikel kecil di udara.
            “Aku bukan penjahat.”
            Tatapanku lurus-lurus ke depan. Aku enggan menatapnya, karena saat bertemu mata, aku pasti bergonjang-ganjing, tubuhku pasti kelu, bibirku beku.
            “Raya...”
            Aku memberanikan diri menatapnya, dengan tatapan penuh perhatian. Beberapa detik tatapan kami bersinggungan.
            Sedetik.
            Dua detik.
            Tiga detik.
            Empat detik.
            Lima detik.
            Kereta lewat. Terlepas. Aku dan dia sama-sama salah tingkah. Ia memasang badan, siap untuk memasuki gerbong kereta. Aku berdiri di sampingnya, dengan tatapan cemas. Sebelumnya, aku tak pernah naik kereta.
            Pintu gerbong terbuka. Ia menggenggam tanganku dan menarik tubuhku dengan cepat hingga memasuki kereta. Commuter line agak penuh, aku dan pria itu berdiri karena tak mendapatkan tempat duduk. Dia masih menggenggam tanganku dan aku menatapnya dengan tatapan dalam. Selama dalam kereta, ia terus menggenggam tanganku, melindungiku dari pekat dan sesaknya commuter line.
            Stasiun semakin dekat, kami bersiap-siap turun. Seusai menuruni kereta, ia mengajakku menaiki angkot. Iya, angkot, kendaraan yang juga belum pernah kunaiki. Sesampinya di kompleks rumahku, kami berjalan. Aku terdiam, dia juga.
            Rumahku sudah mulai kelihatan, aku berjalan semakin cepat dan dia mengikuti langkahku.
            Aku memasuki rumah dan dia tak memasuki rumahku. Aku meninggalkannya di depan pintu, tapi sepertinya dia masih memerhatikanku, menatapku yang berjalan menjauhinya. Aku merasakan tatapan itu.
            Sebelum benar-benar memasuki rumah, aku menghentikan langkah. Berbalik arah. Berjalan menuju sosoknya yang masih berdiri di depan pintu.
            “Namamu siapa?”
            “Yudhistira.”
            “Kamu suka dengerin aku main biola?”
            Dia tersenyum malu-malu, mengingat peristiwa satu hari yang lalu.
            “Besok aku ulangtahun, kalau kamu mau, kamu bisa datang ke rumah. Dengerin aku main biola.”
            Yudhistira mengangguk pelan.
            “Dalam kitab Mahabarata, pria bernama Yudhistira itu tangguh lho, sepertinya kamu juga begitu.”
            Dia tertawa namun menutup mulutnya dengan jemarinya, menyembunyikan giginya yang rapi. Kali ini, giliran Yudhistira yang hanya melakukan gerakan bahasa tubuh, ia tak banyak berkomentar. Ia baik, manis, dan berbeda dengan ayahku. Persepsiku salah, tidak semua pria brengsek seperti Ayahku.
            “Terima kasih.” ucapku singkat.
            Aku mencium pipinya.  Ia terperanjat.
            Senyumku tipis, kemudian berjalan meninggalkannya.
            Pipinya bersemu merah, pipiku tak ada bedanya.
            Kali ini aku tahu, sosok yang akan menjadi kado ulangtahunku.