30 January 2012

Dari: pengagummu yang pengecut

Kelas Pendidikan Kewarganegaraan, 30 Januari 2012

Untukmu, pria yang namanya salah dituliskan oleh kedutaan besar Belanda

Mungkin, surat ini tidak akan kaubaca. Mungkin saja surat ini juga akan termakan rayap. Kemungkinan yang lain bahwa surat ini akan hilang oleh banyaknya perhatian yang tertuju untukmu. Siapa lagi kalau bukan dari fans-fansmu? Siapa lagi kalau bukan dari pengagum film-filmmu?

Aku memang tak berharap lebih bahwa kauakan membalasnya, karena sudah sangat cukup bagiku jika kaumau membacanya, dan begitu bahagianya aku jika saat membaca ini ada senyum sederhana yang terlukis sempurna di sudut bibirmu. Hal itu jauh lebih baik daripada pengabaian dan tidak dibaca sama sekali. Lupakan siapa yang telah menulis surat ini dengan begitu lancang! Lupakan siapa sosok di balik surat yang mungkin saja menggelitik hatimu! Aku hanyalah sebagian kecil dari banyaknya orang yang mengagumi karya-karyamu. Pemuja rahasia yang diam-diam menghembuskan rasa kagumnya padamu.

Untukmu, pria yang pernah memperbaiki persepsiku tentang lagu "Glory Glory Man United!"

Awalnya, aku memang tak tahu siapa kamu. Siapa sosokmu dan apa saja karya-karyamu. Tapi, setelah dengan sangat rajin aku sering mencari tahu. Ternyata, kamu juga penulis buku dan setelah sekilas melihat cuplikan tulisanmu, aku jadi ingin terus memerhatikanmu. Tiba-tiba saja kau renggut perhatianku habis hingga ke akar-akarnya. Siapa dirimu wahai pecinta Manchester United? Apakah sosokmu begitu memukau seperti Manchester United? Aku tak ingin kehilangan jejakmu, sedikit pun. Kumaknai setiap jengkal hadirmu.

13 November 2011, itulah saat takdir menyudutkan kita dalam jengkal tatap yang biasa kita sebut kebetulan. Kebetulan saja kamu me-retweet tulisanku yang kurang dari 140 karakter itu. Iseng saja aku menjadikan tweet-mu sebagai favorite. Lalu, kita sempat berbalas tweet beberapa kali, setelah itu tak ada komunikasi. Hal yang kita sebut kebetulan dan iseng ternyata telah membawaku hingga sejauh ini. Hari berganti minggu, siapa yang sangka bahwa bayangmu mampu menyebabkan rasa penasaranku? Sepotong peristiwa bernama kebetulan itu membawaku pada keberanian untuk mengetahui lebih dalam tentangmu. Mereka sebut percakapan, aku dan kamu menyebutnya chat bbm.

Untukmu, pagi yang selalu pagi, pagi yang selalu menjanjikan matahari

Mungkin, kau akan tertawa membaca ini, aku sangat terkejut ketika kamu tiba-tiba "PING!" bbm-ku. Aku sangat berharap bahwa kau bertanya tentang kabarku dan bagaimana keseharianku. Tapi, ternyata harapanku terbang terlalu jauh, aku terjatuh, ternyata kau tak bertanya tentang hal-hal yang telah kuprediksikan. Kamu malah bercerita tentang orang utan, tapi aku tak tersulut kecewa kala itu. Bagiku, berbicara denganmu tetaplah hal yang kuinginkan, meskipun kadang pikiranku tak sampai menyentuh kecerdasanmu.

Nyatanya, aku tak pernah tahu siapa sosokmu dan di mana keberadaanmu saat ini. Realitanya, aku begitu sulit mengetahui semua hal tentangmu, sekeras dan sekuat apapun usahaku. Meskipun bisa saja aku menerobos dengan gilanya menuju hatimu untuk mengenalmu lebih jauh. Sayangnya, aku terlalu lemah untuk itu. Bagiku, perhatian yang sederhana jauh lebih baik daripada perhatian yang begitu ditunjukkan tapi tak dengan tulus diberikan.

Meskipun aku mengetahui pin bb-mu, tapi entah mengapa hal itu tak terlalu membantuku untuk lebih mengenalmu. Aku tetaplah aku, yang hanya berani memerhatikanmu diam-diam, tanpa pengungkapan sedikitpun. Aku hanyalah aku, yang harus berpikir berkali-kali untuk lebih dulu mengucapkan "hey" pada sosokmu. Salahkah aku kalau berkali-kali menggunakan tombol zoom in dan zoom out untuk membayangkan detail wajahmu? Salahkah aku kalau diam-diam memerhatikan tulisanmu sambil tersenyum tanpa sebab? Salahkah....

Maafkan aku, karena terus menjadi pengecut yang mengikuti bayang-bayangmu. Maafkan aku, karena mencintai tulisanmu dari balik dunia maya yang tak tersentuh. Maafkan aku, karena dengan lancang menulis ini untukmu.

Dari seseorang yang mungkin tak kaukenal
seseorang yang ingin terus berjalan ke arah bayangmu
selalu.

28 January 2012

Sesuatu yang Kita Sebut PELARIAN

Hatimu, tempat ternyaman bagiku, 28 Januari 2012

Untukmu, pemilik senyum manis, tempatku selalu mendinginkan mata

Mungkin, aku tak perlu basa-basi untuk menanyakan kabarmu dan bertanya tentang kondisi terakhirmu, karena bahkan saat musim penghujan berganti kemarau, dan musim kemarau berganti menjadi penghujan lagi, kita tetap saling memberi kabar, walau tak sesering dulu, walau tak seintesif saat kamu memberitahukan kabarmu pada kekasihmu.

Mengapa kita tetap bertahan dalam kondisi seperti ini? Mengapa kita tetap saling berkasihsayang walaupun kau telah bersama dengan wanita pilihanmu dan aku telah bersama pria pilihanku? Mungkinkah yang kita jalani selama ini hanyalah ilusi yang meredam rasa frustasi? Apakah hubungan kita adalah semacam hubungan pelarian ketika kamu penat dengan ocehan kekasihmu dan aku muak dengan omelan kekasihku? Apakah kita melakukan kesalahan yang besar saat kita saling jatuh cinta diwaktu yang tidak tepat? Sudahlah, kau tak perlu menjawab pertanyaanku dengan runtut, jawab saja dalam hatimu, karena hatimu takkan membawamu pada jawaban yang salah. Seharusnya, aku memang tak perlu bertanya, karena sejak awal kitapun juga tak membuat komitmen. Setidaknya, kau dan aku merasa bahagia saat kita bisa menghabiskan waktu bersama, walau harus bersembunyi-sembunyi, walau cukup aku dan kamu yang mengetahui.

Bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu? Apakah dia masih saja menjadi seorang wanita yang bertingkah seperti bocah bodoh yang kurang perhatian? Apakah dia masih saja menjadi seorang wanita yang melarangmu ini itu layaknya ibumu? Apakah dia masih saja menjadi wanita cengeng yang selalu mengandalkan air matanya agar kamu memberikan rasa belas kasihanmu padanya? Ah... ingatlah saranku, wanita senang diberi perhatian, mereka akan lakukan apapun agar pria yang dicintainya mau memperhatikan sosoknya. Tapi, ternyata kamu tak mau mendengar saranku, kau selalu beranggapan bahwa aku berbeda dengan wanita-wanita lainnya, bahwa aku bukanlah si manja yang mengandalkan air matanya layaknya kekasihmu saat ini. Kamu tahu? Aku sangat terharu saat kau berkata, "Kamu jauh lebih baik daripada kekasihku. Sayangnya, kita bertemu diwaktu yang tak tepat. Mungkin kebahagiaan untuk kita masih disimpan rapat-rapat oleh Tuhan. Sekarang bukanlah masa milik kita, mungkin esok hari? Mungkin lusa nanti? Lima atau sepuluh tahun lagi? Who knows?"

Rasanya, aku seperti ditikam sangat dalam oleh pengakuanmu saat itu. Kalau dia memang bukan yang terbaik untukmu, mengapa kau tidak meninggalkan dia saja? Bukankah kau sama sekali tak merasa bahagia dengannya? Bukankah perasaanmu padanya hanyalah rasa belas kasihan yang tak berdasar pada cinta? Tapi, memang kata "putus" tak bisa terlontar dengan begitu saja, kamu terlalu perasa untuk ukuran seorang pria dengan badan macho seperti itu. Kamu paling tidak tega melihat air mata seorang wanita, dan kamu bertahan pada hubunganmu saat ini karena air mata wanita itu bukan karena hatimu yang benar-benar ingin mencintai dia. Bukankah saat bersamaku kau selalu menejelek-jelekan kekasihmu? Tapi, mengapa saat bersamanya kau menjadi lumpuh dan lemah? Saat bersama wanita itu, kamu kehilangan dirimu sendiri, kamu seakan-akan bisu. Ah... Ternyata air mata seorang wanita mampu memenangkan segalanya, termasuk memenangkan hati seorang pria.

Ingatkah kamu saat kamu bercerita tentang kekasihmu yang sering mengancam itu? Kekasihmu mengancammu dengan ancaman bahwa ia akan menjadi biarawati jika kamu putus hubungan dengannya. Astaga! Lucu sekali dia, mengancammu dengan ancaman tolol seperti itu. Jadi, dia ingin menjadi biarawati bukan karena panggilan jiwa? Tapi, karena putus hubungan denganmu? Seberapa tololkah kekasihmu? Saat bercerita tentang dia, kita tertawa terbahak-bahak bersama, aku masih saja tak mengerti bagaimana isi otak kekasihmu itu. Entah mengapa, aku suka mendengar tawamu saat bersama denganku, daripada harus mendengar suara galaumu karena kekasihmu yang senang mengancam itu.

Kita seperti nostalgia saja, mengingat-ingat tentang kekasihmu yang jelas berbeda jauh denganku, juga mengingat-ingat masa pertemuan awal kita. Kau ingin tahu bagaimana kabarku dengan kekasihku? Sederhana saja, semakin hari dia semakin baik, aku selalu bilang kan kalau kekasihku jauh lebih baik daripada kamu? Tapi, pernyataan itu tak membuatmu kecil hati. Kau malah mengajakku bercanda dengan mengikuti suara kekasihku, tawa kita pecah, memecah kesedihan hati yang disebabkan oleh kekasih kita masing-masing. Disaat-saat seperti itu, aku merasa bahwa sebagian diriku ada di dalam dirimu. Entah mengapa rasa itu semakin bertambah padamu, entah mengapa rasa rindu itu justru mengarah pada sosokmu, bukan pada kekasihku.

Diwaktu lalu, kita pernah sampai di titik itu, saat aku dan kamu sama-sama muak dan bosan dengan sikap kekasih kita masing-masing. Kita sempat memutuskan untuk bersama dalam status yang jelas, tapi setelah dipikirkan lebih jauh, ternyata saat itu bukanlah waktu yang tepat. Kita tak mungkin memperjuangkan cinta yang kita mulai dengan salah, walaupun tahu tapi aku dan kamu tetaplah manusia angkuh yang senang memberontak, sampailah kita pada hari ini, dan kita masih saja seperti dulu, saling mencintai walau sembunyi-sembunyi.

Entah apa yang harus kita lakukan dalam hubungan yang rumit seperti ini, karena segala sesuatu pasti akan rumit ketika cinta dan hati ikut bermain di dalamnya. Aku dan kamu memang tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, yang kita tahu, kita cukup menjalani apa yang disediakan oleh Tuhan. Pernahkah kamu bertanya dalam hatimu, apakah kisah kita juga termasuk cerita yang dipersiapkan oleh Tuhan? Apakah aku dan kamu sengaja dipertemukan takdir untuk menemukan cerita akhir? Aku ingin terus merasa penasaran, aku ingin mencari jawabannya bersamamu, aku ingin (setidaknya) kita bisa saling mengerti satu sama lain, tanpa harus menjadikan kata pelarian sebagai dasar dari hubungan kita.

Aku hanya ingin menjadikanmu satu-satunya, tapi nyatanya aku takut untuk memilih. Aku takut kehilangan kamu, aku juga takut kehilangan kekasihku. Kamu takut kehilangan aku, tapi kamu juga tak bisa melepaskan kekasihmu. Semoga Tuhan tidak sedang menghukum kita. 

Dari wanita yang bukan pilihamu
pelarian dari rasa frustasimu

27 January 2012

Kekasih 18 Jam

Kelas Fisika, 27 Januari 2012

Untuk, pemilik mata bening di balik kacamata itu

Aku bingung harus mengalamatkan surat ini kemana, ke rumahmu atau cukup ke hatimu? Aku juga takut kalau saat membaca surat ini kamu malah menaikkan alismu dan berkali-kali membenarkan kacamatamu. Ah, aku tak pernah lupa gerakan reflek yang kauciptakan saat sedang memperbaiki kacamatamu. Aku tak pernah lupa bentuk wajahmu saat seringkali mencuri pandang ke arahmu, kamu yang tepat berada di samping kananku, kamu yang tergesa-gesa mencuri hatiku.

27 Desember 2011, itulah tanggal pertemuan awal kita, apakah kamu heran mengapa aku begitu mengingat setiap detail pertemuan kita? Aku ingat saat tubuhmu basah oleh hujan senja dan rambutmu menjadi lepek karena rintik-rintiknya. Hujan memamerkan pesonanya, aku terpukau menatap butir-butir air hujan yang luruh membasahi kaca jendela bus. Kamu menduduki bangku di sebelahku, bangku bernomor 32. Kaumenghela nafas sembari menata kembali rambutmu, diam-diam aku memerhatikanmu, diam-diam aku mencuri pandang pada sudut senyummu. Tahukah kamu, sejak saat itu aku selalu memerhatikan setiap inci pergerakanmu? Tahukah kamu, sejak saat itu mataku hanya ingin menatapmu?

Kepada kamu, yang meminjakan bahunya untukku

Sejak sore hingga malam hari, kita memang tak saling bicara, tak ada kontak mata, hanya sikut kita yang sesekali bersentuhan. Malam pun tiba, penumpang tertidur pulas termasuk aku dan kamu. Kita tak tahu apa yang terjadi kala itu, sampai pada saat aku terbangun dan tahu-tahu kepalaku sudah berada di bahumu. Aku yang belum tersadar dari kantuk tak langsung menyadari kesalahan yang kulakukan. Aku malah menggerakan tanganku agar bisa melihat jam tanganku, pukul 02.00 pagi. Aku lalu menatap kamu yang berada di sampingku, aku tersentak! Ternyata sejak tadi kamu telah bangun dari rasa kantukmu dan kamu sangat sadar; sejak tadi aku tak sengaja menyandarkan kepalamu di bahuku, tapi entah mengapa kautak menyingkirkan kepalaku dari bahumu.

Sungguh, rasanya aku ingin membawa lari wajahku ke negeri antah berantah yang tidak kauketahui sama sekali, aku sangat ingin memindahkan wajahku yang malu ke wajah orang lain yang tak kaukenal. Melihat wajahku yang sedikit asam, kaumalah menyimpulkan senyum saat berkali-kali aku meminta maaf. Entah mengapa, aku suka sekali pada peristiwa yang terjadi tanpa kesengajaan itu. Aku merasa takdir benar-benar harus disalahkan karena peristiwa yang mengejutkan ini.

Aku menyandarkan kepalaku di jendela, menatap suasana kota dan lampu-lampu remang yang menghiasi jalan. Ada bisikan lembut yang menggelitik gendang telingaku, "Siapa namamu?"

Tak kuberitahukan namaku, aku menjawab dengan senyum singkat.... menahan diri.

"It's okay, kalau kamu merasa aku orang asing," ucapmu sambil menghelas napas, "Aku, Mikrobiologi Pertanian UGM 2005/2006, kamu bisa cari wajah seperti aku di sana. Tak perlu nama bukan?"

Iya. Tak perlu nama. Dan, malam itu berlalu seperti mimpi.

Perkenalan itu terjadi begitu sederhana. Perkenalan itulah yang hingga saat ini masih menggelitik malam-malamku, masa di mana aku sering mereka-reka kembali wajahmu. Kita saling bicara dan bercerita, tatapan mata kita saling mengikat lekat, sikut kita saling bersentuhan. Aku tak bisa lupa pada raut wajahmu yang menatapku kala itu. Kacamatamu memantulkan cahaya lampu-lampu jalan, mata sipitmu mengayun penuh rahasia dalam benakku, sungguh aku sangat ingin mengenalmu lebih dari itu. Seakan-akan hanya suaraku dan suaramu yang saling mengalun merdu, layaknya gravitasi tak mau tahu pada rasa yang tiba-tiba saja menarikku. Dinginnya AC dan suara mengorok para penumpang tak menjadi pengganggu, bisikan-bisikan kecil dari pita suaramu benar-benar mencairkan suasana yang tadinya sempat beku. Sungguh, aku ingin malam tetaplah menjadi malam, agar peristiwa itu terjadi berulang-ulang, tanpa akhir dan tanpa gangguan takdir.

Bersamamu, matahari ada di sudut bibirmu, di setiap lekukan senyummu

Ingatkah kamu apa yang terjadi saat pukul setengah enam pagi di daerah Magelang? Kamu sesekali mengintip melalui gordyn yang menyelimuti jendela, senyummu mengalir penuh arti dari bibirmu. "Tutup matamu!" bisikmu lirih tanpa gaduh, sepertinya kamu tak ingin penumpang lain memerhatikan kita.

"Kenapa?" tanyaku lugu, aku mengikuti perintahmu.

"Kalau aku suruh buka baru dibuka ya matanya." jelasmu singkat, terdengar suara gordyn jendela dibuka perlahan. "Buka!"

Aku membuka mata dan tersenyum malu-malu melihat pemandangan yang kausediakan untukku. "Suka?" tanyamu singkat.

"Sangat! Makasih ya, Tuan."

Ah, saat itu kita seperti sepasang kekasih yang rela terbakar oleh hangatnya cinta. Sadarkah kamu bahwa caramu menunjukkan kejutan itu begitu romantis? Walau kita hanya mampu menikmatinya lewat kaca jendela, walau saat itu suasana tak terlalu lirih dan tak ada semilir angin yang menggelitik manja tubuh kita. Bagiku, romantis sebenarnya tak diciptakan dan direncanakan, romantis yang sebenarnya adalah saat semua terjadi begitu saja, tanpa topeng dan penuh kejujuran, seperti yang kaulakukan untukku.

Terminal bayangan Jombor sudah semakin dekat, kamu bergegas menyiapkan barang-barangmu. Rasanya begitu cepat kalau semuanya harus berakhir karena kita berbeda arah tujuan. Hanya dengan lambaian tangan, ucapan selamat tinggal terlontar begitu berat dari bibirmu. Aku tak bisa apa-apa saat melihat punggungmu mulai bergerak menjauhiku. Aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa dimatamu. Aku hanya teman 18 jam yang tak mungkin bisa menunda kepergianmu, aku memang bukan siapa-siapa buatmu. Mungkin, aku hanyalah wanita yang kautemui di persimpangan, lalu kautinggalkan saat kauingin lanjutkan perjalanan. Kita hanya dua orang bodoh yang tergoda oleh manisnya jebakan situasi.

Walau begitu aneh, entah mengapa peristiwa itu masih melekat di otakku. Pertemuan kita memang tak sederhana, sehingga otakku pun tak ingin melupakan setiap peristiwa indah saat bersamamu. Kamu... kekasih 18 jam yang kutemui tanpa rencana lalu berpisah tanpa praduga.

Hari ini tanggal 27 Januari 2012, sudah satu bulan peristiwa itu terlampau. Semua memang telah berlalu, hanya kenangan yang membisu di sudut ragu. Setiap mengenangmu, aku merasa berada kembali di masa itu. Masa pertemuan awal kita. Absurd dan aku terkejut.

Untukmu, kekasih 18 jam yang sekarang entah berada di mana, titip salam untuk wanita yang ada di wallpaper handphone-mu. Maaf karena dalam 18 jam aku telah meminjam kekasihnya untuk menjadi kekasihku. Maaf karena telah meletakkan hatiku belasan jam pada bening matamu.

Dari wanita yang belum berhasil menemukan sosokmu
Diam-diam dia menunggu pertemuan baru denganmu
Diam-diam dia mencari sosokmu

24 January 2012

Negeri Antah Berantah Bernama Azurine

Ketika bumi tertusuk separuh matahari, 24 Januari 2012

Bulan kelima setelah kehilangan kamu, semua terasa begitu berbeda, semua terasa tak lagi sama, begitu abnormal, tak ada yang kuketahui selain aku masih mencari-cari cara untuk melupakan kamu. Aku bertingkah seakan-akan semua telah kembali seperti semula, aku tanpamu, kamu tanpaku, kita tak lagi berjalan pada arah yang sama. Begitu hebatnya perpisahan, sehingga ia selalu memaksa seseorang mengikhlaskan suatu ketiadaan... suatu kepergian. Surat ini kutulis dengan sangat hati-hati, agar bayangmu tak lagi menyebabkan tangis dan agar kenanganmu tak lagi menyisakan luka. Kauboleh baca hingga selesai atau bahkan membuangnya ke tempat sampah setelah kaumembaca paragraf pertama. Seperti yang kuketahui sebelumnya, kauselalu berusaha keras untuk melupakan aku, sementara aku tak pernah berusaha keras untuk melupakanmu. Bagiku, memaksa otak untuk lupa hanya akan membuat otak semakin memutar kembali memori yang ia simpan secara sengaja. Sementara aku tak mau melupakanmu dengan cara yang menyakitkan, waktu punya tugas untuk menghapus jejak dan aku percaya waktu akan melakukan tugasnya untukku.

Saat aku kembali mengundangmu masuk ke dalam memori otakku, ada bayang yang seketika merampok perhatianku. Dulu, kita adalah pasangan yang seringkali berkhayal tentang banyak hal. Ingat waktu kamu membuat dengan runtut nama panjang anak-anak kita kelak? Bagaimana pekerjaan dan cita-cita mereka nantinya? Dan akan seperti apa wajah mereka? Kita juga merencanakan rumah tinggal kita kelak, di suatu negara maju yang manusianya memiliki harapan hidup tinggi, di suatu kota yang aman dan tentram. Daerah tersebut sangat nyaman untuk keluarga kita, sawah-sawah hijau menyapa tiap pagi, awan yang setia meneduhkan kita dari teriknya matahari, dan danau-danau bisu yang setia memancarkan sinar rembulan setiap malam. Kota itu memang tak se-romantis Paris yang terletak di Prancis, juga tak se-unik Bali yang terletak di Indonesia, tapi setidaknya kota ini milik kita, kota penuh cinta yang ideologinya kita ciptakan sendiri, kota yang tak terdapat di peta tapi terdapat di hati kita masing-masing, kaudan aku memberi nama kota itu Azurine.

Siapa yang peduli pada Azurine? Hanya aku dan kamu yang mempedulikan indahnya Azurine. Azurine milik kita juga punya taman kota, dengan pepohonan yang rindang dan setia memeluk siapapun yang berteduh dirindangnya. Taman kota Azurine dihiasi tawa anak-anak kita yang berlari-lari dan bersembunyi di balik pohon, kamu yang mengejar-ngejar mereka tak ubahnya serigala nakal yang mengejar-ngejar mangsanya. Azurine, kota milik kita, adalah kota yang kita sebut bayi mungil yang lahir tanpa tangis. Azurine milik kita, milik aku, kamu, juga anak-anak kita.

Ingatkah kamu bagaimana kamu menggambarkan langit di kota Azurine? Selalu biru muda dan lembut menyapa, tapi kadang mendung seringkali menggoda langit biru di kota Azurine. Hujan di kota Azurine tak pernah menyebabkan tangis, justru hujan itulah yang ditunggu-tunggu anak-anak kita. Setelah hujan selalu ada pelangi, saat pelangi muncul, kamu segera menggendong si bungsu lalu berlari-lari ke ujung pelangi, begitu juga si sulung dan anak kedua kita, mereka ikut berlari mengikuti jejak langkahmu. Aku yang memandang kalian hanya tersenyum bahagia, menunggu di beranda rumah ditemani angin yang sesekali menggelitik tubuhku. Bukankah Azurine sangat indah? Tak pernah ada tangis di kota ini, karena aku dan kamu saling mencintai, maka kita tak mungkin saling menyakiti dan saling menyebabkan tangis. Azurine adalah milikku, juga milikmu.

Tapi sekarang... Azurine milik kita hanyalah kenangan, Azurine milik kita telah hancur termakan air mata, Azurine telah runtuh bersama dengan perpisahan kita, Azurine telah hilang bersama dengan canda tawa yang kini berubah menjadi tangis dan sesal. Azurine yang hidup dalam khayalanmu dan khayalanku tak akan berwujud nyata. Azurine hanyalah dongeng sebelum tidur yang meninabobokan tangis semalaman. Azurine hanyalah sejarah yang membisu sehingga ia tak kunjung menjadi buku. Azurine bukan lagi milikku, juga bukan lagi milikmu. Kini, Azurine hanyalah milik kenangan, hal-hal indah di kota itu tetap menjadi khayalan. Azurine yang kauanggap bayi kita yang lahir tanpa tangis, kini memperdengarkan tangisnya. Kauyang menyebabkan Azurine menangis! Kauyang telah membuat semuanya menjadi bermasalah! Mengapa kaurenggut masa-masa itu, ketika justru aku mulai merasa bahagia denganmu?

Ini hanya surat kecil, yang mungkin membuatmu semakin membenci sosokku, yang mungkin membuatmu termotivasi untuk semakin melupakanku, atau mungkin sebaliknya? Mungkin juga surat ini membuat senyummu mengembang, karena ternyata sebelum kita berpisah ada banyak kenangan indah yang kita ciptakan dengan cara kita sendiri, dan sekarang hal-hal indah itu tak akan pernah kembali. Masihkah kamu mencintai Azurine seperti dulu? Bagaimana kabar kota itu setelah lima bulan kita meninggalkannya? Mungkin hujan terus-menerus turun, mungkin langitnya tak lagi biru, mungkin pohon-pohon di taman kota tak lagi rindang, mungkin Azurine merasa kehilangan kamu, juga kehilangan aku. Azurine mungkin marah karena orang-orang yang membangun dan melahirkannya malah dengan sengaja meninggalkannya. Sungguh, aku sangat ingin kembali pada kota khayalan yang kita bangun bersama itu. Aku ingin menjelaskan banyak hal padanya, agar ia juga mengerti bahwa aku dan kamu berpisah karena suatu hal, dan sebenarnya aku dan kamu tak pernah berhenti mencintai Azurine. Aku tak ingin kau membuat Azurine menangis seperti kaumembuatku menangis. Aku ingin Azurine seperti dulu.

Melalui surat ini, aku tak ingin berbicara banyak hal, karena kamu bukan sosok yang senang dicereweti oleh perempuan. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu dan kabar kekasihmu, apakah kalian juga membuat Azurine-Azurine yang lain, kota khayalan yang justru lebih indah daripada kota khayalan kita dulu? Ah... sudahlah, bukan urusanku, cuma ingin titip satu hal, tolong jangan gunakan nama anak-anak kita yang telah kaurencanakan bersamaku, sebagai nama untuk anak-anakmu, kelak bersama dengan wanita lain pilihanmu; kecuali jika wanita pilihan itu adalah aku :p 

Sebenarnya, diam-diam aku masih menyimpan harapan untuk kembali membangun Azurine bersamamu, kota itu belum memiliki balai kota dan pusat perbelanjaan. Maukah kaukembali membangun Azurine bersamaku? Maukah kaumeninggalkan ceritamu bersama wanita itu lalu kembali pada masa lalu? Masa di mana kebahagiaan kita masih terlihat begitu nyata, masa di mana aku dan kamu sempat menjadi kita. Maukah? Demi aku, demi Azurine, dan demi kita.

Dari wanita yang seringkali bernyanyi untukmu
lewat sambungan telephone
wanita yang seringkali merindukanmu
dan diam-diam  masih menginginkan kamu...
kembali

23 January 2012

Lagi, Lagi, Untukmu Cina.

Bogor, 23 Januari 2012

Hey, Sipit! Sudah lama aku tak mendengar suaramu, sudah lama juga pesanmu tidak mampir ke inbox handphone-ku. Apakah kaubegitu sibuk? Apakah sudah ada seseorang yang lain? Secepat itukah? Ah, maafkan aku, kini aku bukan siapa-siapamu lagi, segala keputusanmu bukan lagi hak aku untuk mengurusi, segala kepentinganmu bukan lagi kepentinganku. Kita sudah begitu berbeda dan dunia kita tak berotasi di poros yang sama.

Bagaimana kabar Lintang, Langit, Laut, dan Bagas? Nama yang telah kita rencanakan untuk anak-anak kita kelak. Aku titip salam untuk anakmu kelak yang bernama Bagas, Lintang, Langit, dan Laut ya. Titip salam juga untuk wanita pilihanmu. Dulu, Lintang, Langit, Laut, dan Bagas adalah sosok khayalan yang hanya hidup dalam anganmu dan anganku, angan kita, dulu. Bahagiakah mereka setelah kita berpisah? Apakah mereka tetap ada meskipun kita tak lagi bersama? Ya... Mereka tetap ada dalam pikiranku, menjadi kenangan yang membisu, menjadi pembisik rindu saat aku mengingatmu, mengingat aku dan kamu... yang sempat menjadi kita. 

Siapa wanita pilihanmu saat ini? Betapa beruntungnya dia bisa menjadi milikmu, betapa senangnya dia bisa menjadi penyebab tawamu, dan betapa serunya dia bisa masuk dalam hidupmu. Bukan seperti aku yang mengendap-endap keluar dari hatimu, lalu menyesal telah melakukan kebodohan itu.

Untukmu, seseorang yang sempat menjadi penambang rindu di hatiku

Pernah beberapa kali aku merindukanmu, merapal namamu dalam doa, dan memikirkan kamu saat Doa Bapa Kami mengalir melalui ucapan bibirku. Masih bolehkah aku melakukan hal-hal yang dulu aku lakukan saat masih bersamamu? Merindukanmu, mencintaimu, memerhatikanmu, dan mendoakanmu. Masih bolehkah aku menghubungimu secara berkala? Masih bolehkah aku memarahimu ketika kautak makan hingga malam menjelang? Masih bolehkah aku merindukanmu meskipun kini kautelah bersama dia?

Rasanya, semua kini berbeda. Wajahmu yang Cina dan wajahku yang Jawa, tapi dulu kita bisa saling jatuh cinta. Tak peduli bagaimana cinta itu datang dan tiba-tiba saja mengetuk pintu hatimu dan hatiku. Awal yang sederhana, melalui pesan singkat, berlanjut ke sambungan telephone, lalu kita saling bercerita dan berbagi. Betapa indahnya masa-masa itu, betapa indahnya masa lalu, masa dimana masih ada kamu.

Masih ingatkah kamu pada dua rekaman di-handphoneku yang berisi suara kita saat sedang berbicara melalui sambungan telephone? Aku tertawa cekikian ketika mendengarmu menyanyikan lagu berjudul C.I.N.T.A dan Mau Dibawa Kemana, aku iseng menyuruhmu untuk menyanyikan lagu itu berulang-ulang, berkali-kali juga kamu mengulang lagu yang sama. Lalu lagu itu di medley dengan Garuda Pancasila, sampai akhirnya kamu kelelahan dan berkata, “Udahlah, Yang. Ganti lagu la, Daniel Sahuleka? How? Don't sleep away this night my baby. Please stay with me at least 'till dawn. Atau I Adore You? You Make My World So Colourful? Atau Rossa aja deh! Kumenunggu. Cepetan!”

Akhirnya, aku pun mengikuti lagu yang kauinginkan, suaraku mengalun dan kauterdiam, sepertinya kamu begitu menikmati suaraku. Kamu memaklumi aku yang tak terlalu mengingat lirik lagu tersebut, pada akhir lirik, kamu memperdengarkan suara tepuk tangan. Jujur, aku sangat merindukan masa-masa itu. Aku sangat rindu malam-malam di mana kamu mau menemaniku begadang, aku rindu malam-malam di mana aku bisa terus mendengar suaramu untuk mengantarku dalam lelap, walaupun suaramu lembut mengalir hanya melalui sambungan telephone.

Untukmu, Cina. Si mata sipit yang belum pernah kurasakan sinar matanya

Cin... Kita memang belum pernah bertemu, kita memang belum pernah saling menggenggam tangan, kita belum pernah saling menatap, kita belum pernah saling berpeluk, tapi sadarkah kamu kalau cerita kita begitu nyata? Absurd tapi menyenangkan, maya tapi menyisakan kenangan. Aku benar-benar merasa kehilangan.

Cin... Bisakah kauberhenti menjual bayang-bayang?  Aku benci ketika harus terus mengingatmu ketika bahkan kutahu kau tak mengingatku! Bisakah kauberhenti merasuki malam-malamku? Aku takut ketika harus memikirkanmu ketika bahkan kusadar kautak memikirkanku. Tolonglah, Cin... Ini permintaan terakhirku. Bisakah kenangan tentangmu berhenti menganggu hari-hariku? Aku muak dipermainkan kenangan! Aku bosan dipermainkan otakku sendiri! Aku lelah, Cin... Aku sangat amat lelah.

Sempat terpikir untuk melupakan sosokmu, sempat terencana untuk menghapus semua tentangmu, pernah terbesit harap untuk tak lagi merindukanmu, tapi... ternyata aku belum cukup kuat untuk melakukan itu. Aku terlalu lemah... untuk melupakanmu.

Dari wanita yang berjarak 5 tahun denganmu
wanita yang masih saja rela
dipermainkan kenangan

22 January 2012

Cinta Pertama Itu...

Perpustakaan, 18 Januari 2012

Untukmu, pria yang kubenci sejak 3 SD, namun begitu kucintai saat 6 SD.

Boleh basa-basi sedikit? Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu? Tiga tahunkah? Bagaimana wujudmu saat ini? Masihkah pipimu merah ketika cahaya matahari  menciumi lembut pipimu? Masihkah rambutmu keriting dan klimis ketika keringat membasahi tempurung kepalamu? Masihkah kamu membawa saputangan untuk membasuh keringatmu? Apakah semua telah berbeda?

Untukmu, si unik dengan senyum fantasti.

Aku bertanya-tanya, bagaimana sinar matamu saat ini? Masihkah sejuk dan beningnya seperti dulu? Seperti kala kita membagi bekal bersama. Saat anak-anak yang lain sibuk bermain, aku dan kamu malah duduk di bangku kelas, hanya berdua. Sambil mengunyah nasi yang masih penuh di mulutmu, kaubercerita banyak hal padaku. Sewaktu itu, kaumasih bercita-cita ingin menjadi pilot, dan aku bercita-cita ingin menjadi insinyur teknik sipil, mengikuti papaku. Mengingat kenangan memang indah, mampu membuat seseorang tersenyum walaupun masa itu tak akan pernah kembali.

Untukmu, yang sekarang entah berada di mana

Dulu, saat pertama kali bertemu, aku sangat membencimu. Aku benci ketika tahu kauberada diranking tiga dan aku berada diranking dua. Kamu anak baru! Kenapa ingin mengejarku dan langsung melesat masuk ke peringkat tiga? Hey! Kaubuatku gila! Sampai duduk di bangku kelas 6 pun, kita masih saja sekelas. Astaga Tuhan, siksaan apalagi ini? Tapi, entah mengapa, ada titik dimana kita tak seperti musuh, ada saat di mana kita tiba-tiba menjadi dekat, dan aku tak pernah tahu mengapa rasa benci itu berubah menjadi begini. Entah mengapa rasa iri itu berevolusi menjadi cinta dalam usia dini.

Saat paduan suara Natal, aku tahu kamu sering melirikku diam-diam, karena berkali-kali aku menangkap basah kamu sedang menatapku. Saat aku jadi dirigen upacara setiap hari Senin, kauselalu berbaris di barisan depan, kauselalu menyanyi dengan suara lantang. Hey! Saat itu kita masih duduk di bangku sekolah dasar! Mengapa kauajarkan perasaan aneh itu padaku? Dulu... Kita masih terlalu dini untuk mengerti cinta, apalagi menafsirkannya.

Untukmu, yang mungkin tidak akan membaca tulisan ini

Sedang apa kamu di sana? Apakah kaumasih ingat sosokku dan bentuk wajahku? Apakah kaumasih ingat banyak hal yang terjadi saat kita SD sampai SMP belajar di sekolah yang sama? Ah... Mungkin kaulupa, aku masih mengingat kenangan-kenangan itu karena aku punya perasaan yang berbeda denganmu. Entahlah... mungkin perasaanmu tak sama dengan perasaanku.

Aku masih ingat perpisahan kita kala itu, saat legalisasi ijazah di SMP kita, kaumengucapkan selamat, karena nilai UN-ku lebih tinggi dari nilai UN-mu. Yap! Aku selalu berhasil mengalahkanmu. :p Saat itu kita juga membicarakan rencana sekolah saat SMA nanti, kita berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Langkahmu dan langkahku terhenti, kita saling menatap, jantungku bereaksi dengan hormon adrenalin, detaknya begitu kencang, kaumenggetarkan bibirmu, "Baik-baik ya, Dwita."

"Iya, kamu juga ya." jawabku singkat, dengan lengkungan senyum getir di bibir.

Tanpa pengungkapkan. Lalu kita terpisah, di persimpangan gerbang sekolah, karena berbeda arah.

dari seorang perempuan 
yang tak pernah lupa tanggal ulang tahunmu
yang masih saja sering merindukanmu


17 January 2012

Penyebab Tangisku? KAMU!

Kelas Bahasa Mandarin, 17 Januari 2012

Untuk Penyebab Tangisku,

Kupandangi lagi foto-foto itu, kuingat lagi kenangan-kenangan itu, kuingat lagi sosokmu, yang sempat menghancurkan aku.

Sudah beberapa hari sejak peristiwa itu, saat pertengkaran hebat kita memuncak pada kata putus, saat cekcok yang kita alami berujung pada kata pisah. Bukan karena kita, bukan karena aku ataupun kamu, tapi karena mantanmu. Dia begitu menggilaimu. Dia begitu mencintai kamu. Dia masih saja sulit melupakan kamu. Dia masih saja mengharapkan kamu, meskipun dia tahu bahwa kala itu kamu telah bersamaku.

Pesan singkatnya masih saja mengisi inbox handphone-mu, dan tahu bagaimana perasaanku saat itu? Rasanya aku ingin membentakmu dengan keras, rasanya aku ingin meronta pada ketidaktegasan yang kamu tunjukkan padanya. Ingin rasanya aku menyadarkanmu, menggoyang-goyangankan tubuhmu, "Dia mantanmu! Dia masa lalumu! Aku kekasihmu! Aku masa depanmu!"

Tapi, kautetaplah pria baik yang sama seperti pertama kali kukenal, kauselalu takut untuk menolak orang-orang yang ingin kembali masuk ke dalam hidupmu, meskipun dia telah mengiris-iris perasaanmu, meskipun dia telah merusak dan mematahkan hatimu. Dan, kebaikanmu yang terlalu berlebihan itu berimbas padaku, menyebabkan cemburu mengalir deras di darahku, dari vena sampai arteri, hanya ada emosi yang tiba-tiba merasuki. Apa salahku sehingga kamu berbuat begini?

Kautahu? Sebenarnya aku masih mencintaimu, sebenarnya tak ada yang lain yang bisa membuatku tersenyum, selain kamu. Tapi, semua telah terlanjur terjadi, kata putus yang kulontarkan dengan emosi kini menjadi sesal yang tak terganti.

Sempat kala itu kaumengajakku untuk kembali, seperti dulu, saat mantanmu tak lagi mengganggumu, saat kita bisa bahagia dengan jalan kita, aku dan kamu yang dulu satu. Tapi, entah mengapa, aku ragu untuk kembali bersatu denganmu. Entah mengapa masih ada yang mengganjal dalam hatiku. Entahlah... Semua terjadi di luar perkiraanku, kita seperti dipermainkan takdir, sedangkan aku dan kamu tak sempat membaca aturan main.

Aku tidak pernah berbohong kalau aku berkata rindu. Aku tak pernah menggunakan topeng ketika aku berkata tentang cinta padamu. Aku mencintaimu, setulus dan sesederhana itu.

Aku bukan seperti mantanmu, yang seringkali menyiksamu, yang seringkali membakar emosimu. Tapi, sekeras apapun perjuanganku, mengapa tetap saja sulit membuatmu, menatapku?

Dari mantanmu
yang kadangkala membasahi selimut tidurnya
dengan air mata
yang terjatuh untukmu 

14 January 2012

Sepotong Senja Untuk Mantanku*

13264570972014735991


“Bagas, Lintang, Langit, Laut! Itulah nama anak-anak kita.” ucapmu semangat, dibalut senyum yang mengembang di sudut bibirmu.

“Matahari, Bintang, Langit, Laut? Artistik sekali ya?” jawabku menanggapi pernyataanmu.

“Jelas!” ujarmu singkat, tawamu tetap menyeruak.

Sudah beberapa bulan sejak peristiwa itu, namun ingatanku masih begitu kuat tentangmu. Masih tersulut tawa renyahmu, masih kuingat caramu mengungkapkan rasa, dan masih begitu lekat suaramu menggelitik gendang telingaku. Dulu, aku dan kamu sempat menjadi kita, kita yang saling menyatukan rasa. Sosokmu yang penuh tanya, memaksaku untuk terus mencari jawabnya. Inikah yang disebut cinta? Selalu butuh tanya dan jawaban.

Jarak antara Jogjakarta dan Bogor memang masih setia membusungkan dada, menyombongkan diri atas prestasi yang ia tekuni, memisahkan dua orang yang saling mencintai, menjauhkan dua insan yang masih saling berbagi rindu. Jarak memang tak selalu mampu kita tembusi. Sehingga kita berkencan dengan waktu, dan orang-orang menatapnya penuh tanya. Aku dan kamu menelan rindu diam-diam. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa, ketika jarak memang mempunyai hak untuk menjauhkan.

Semua mengalir dengan begitu indah, hingga pada sewaktu-waktu kamu mengatakan hal yang mencengangkan, “Ibuku tidak terlalu menyukai wanita Jawa.”

“Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana dengan kita?” tanyaku cemas.

“Tapi, aku menyukaimu.” Jawabmu singkat, aku tertegun. “Ibu baik kok, yang berhak memilih kan aku.”

Beberapa menit kemudian, kita berseteru. Percakapan yang mengalir lewat mata berkaca, kali pertama aku mendengar suara tangismu, begitu lembut, begitu tulus. Aku masih ingat usaha kerasmu untuk menguatkan langkah kita, agar tak ada yang merasa tersakiti di tengah jalan. Seandainya tak ada jarak, mungkin kita bisa saling menguatkan. Tapi, apalah daya yang kaupunya dan kupunya? Kita hanyalah dua manusia angkuh yang nekat melawan arus perbedaan. Aku dan kamu hanya ditakdirkan untuk berkenalan bukan untuk menjadi pasangan kekasih Tuhan.

Rindumu dan rinduku tak lagi saling menyapa. Aku dan kamu takkan mungkin bisa seperti dulu, semua berbeda, semua berubah. Aku dan kamu tak mungkin lagi menjadi kita, karena di sana mungkin kautelah bersama pilihanmu, dan di sini bersama pilihanku.

Kutahu kaubegitu mencintai senja dan kilau lembutnya. Kutahu kausempat memimpikan bisa melihat senja bersama dengaku, bersama dengan anak-anak kita. Tak sempat kulihat wajah Bagas, Lintang, Langit, dan Laut, karena perpisahan tergesa-gesa menjalankan tugasnya, untuk membuat aku dan kamu seakan-akan tak pernah saling mengenal.

Maaf, karena aku tak mampu memberi keindahan dalam hidupmu. Maaf, karena aku tak bisa menggambarkan senja di bola matamu. Maaf, karena kubiarkan kamu memasuki hidupku. Harusnya kuakhiri segalanya, ketika kubiarkan kaumasuki hidupku. Jadi, takkan pernah ada kita dalam dongeng sebelum tidur ataupun dalam sejarah yang tak dibukukan.

Biarkan saja angin bersenandung sendiri
Biarkan saja wajahmu menggantung dalam sunyi
Biarkan saja tawa renyahmu menghantui hari
Itulah tanda
bahwa aku membiarkan diriku
untuk tetap merindukanmu
Hingga sekarang, masih ada doa yang mengaliri malam-malammu
Masih ada doa yang menghakimi kebahagiaanmu
Masih terucap lirih doaku, untuk menuntunmu pulang
ke sini…
pulanglah…
aku merindukanmu

26 Juli, ponselmu dan ponselku jadi saksi, dua hati menjadi satu, melebur dalam perbedaan. Kamu pria yang sempat menjadi senja dan malamku, pria yang menjadi teman begadangku, si mata sipit yang pernah menjelma menjadi tangis dan tawaku.

*Terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma

06 January 2012

Inilah Kisah Mereka, Tuhan

“Aku percaya kepada Allah Bapa yang Maha Kuasa, khalik langit dan bumi. Dan kepada Yesus Kristus AnakNya yang tunggal Tuhan kita.”

Ucap seorang wanita di sudut sepi sebuah gereja yang kudus. Seluruh orang beribadah dengan khusu.

“Bismillahirahmannirahim. Alhamdulillahirabbil alamin.”

Lembut suara pria itu mengalun, menambah suasana hikmat di masjid kala itu.

Yang dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria. Yang menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam Kerajaan Maut.”

Lanjut wanita itu dengan mata tertutup, dia begitu menikmati persekutuannya dengan Tuhan yang mendengar seruan pengakuan iman rasuli dari bibirnya.

“Arrahman nirrahim. Malikiyau middin”

Bibir pria itu masih saja mengamit haru, dia membayangkan bahwa Tuhan sedang menatap wajahnya yang begitu tampan seusai dibasuh oleh air wudhu.

“Pada hari yang ketiga, bangkit pula dari antara orang mati. Naik ke Sorga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang Maha Kuasa. Dan dari sana Ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.”

Perlahan-lahan wanita itu semakin tenggelam dalam suasana kudus dan menyejukkan yang membuat tubuhnya seakan-akan dipeluk seseorang, begitu hangat.

“Iyya kana’budu waiyya kanas ta’in. Ikhdinassiratal mustaqim.”

Pria itu mengarahkan hatinya bulat-bulat pada Tuhan. Tuhan semakin tersenyum dengan lebar, menatap umat kecintaanNya semakin mencintaNya dan menyadari keberadaanNya yang nyata.

“Aku percaya kepada Roh Kudus. Gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus. Pengampunan dosa. Kebangkitan daging. Dan hidup yang kekal.”

Hatinya bergetar, bibirnya berhenti berkata-kata, wanita itu merasakan kehadiran Tuhan begitu dekat, wanita itu merasakan Tuhan sedang berada di sampingnya, sedang memeluknya.

“Siratallazi na an’am ta alaihim. Ghairil maghdu bialaihim. Waladdolin, amiin.”

Pria itu menengadahkan kepalanya, hatinya bergetar dengan hebat, kembali dia rasakan kehadiran Tuhan di dekatnya, begitu lekat.

Wanita itu menduduki bangkunya, sambil kembali menatap liturgi ibadah, hatinya mendesah, “Lindungi kekasihku yang sedang berada di masjid kali ini, Tuhan. Percayalah, dia juga mencintaiMu, dia hanya menyebut namaMu dengan sebutan yang berbeda.”

Seusai itu, ia mengucap surat Al-Ikhlas, hatinya tergetar, doa lirih terdengar dari hatinya, “Tuhan, kekasihku sedang berada di gereja. Kau tahu? Dia juga mencintaiMu, sama seperti aku, meskipun tempat ibadahnya berbeda dengan tempat ibadahku.”

Sang wanita melanjutkan ibadahnya, memuji Tuhan dengan hati tulusnya. Sang pria bersujud menyembah, memuja Tuhan dengan hatinya yang seluas samudera. Dalam hati, mereka mengamit resah, “Apa Tuhan melihat kisah kita?”

Sepertinya Aku Mencintaimu

Awalnya, matamu dan senyummu tak berarti apa-apa bagiku. Sapa lembutmu, tutur katamu, bukan menjadi alasan senyumku setiap harinya. Semua mengalir begitu saja, kita tertawa bersama, kita menghabiskan waktu bersama, tanpa tahu bahwa cinta diam-diam menyergap dan menyeringai santai dibalik punggungmu dan punggungku. Kita saling bercanda, menertawakan diri sendiri, tanpa tahu bahwa rasa itu menelusup tanpa ragu dan mulai mengisi labirin-labirin hatimu dan hatiku yang telah lama tak diisi oleh seseorang yang spesial.

Tatapan matamu, mulai menjadi hal yang tak biasa di mataku. Caramu mengungkapkan pendapat, tak lagi menjadi hal yang kuhadapi dengan begitu santai. Renyah suara tawamu menghipnotis bibirku untuk melengkungkan senyum manis, menyambut lekuk bibirmu yang tersenyum saat menatapku. Aku tahu semua berubah menjadi begitu indah, sejak pembicaraan yang sederhana menjadi pembicaraan spesial yang begitu menyenangkan bagiku. Aku bertanya ragu, inikah kamu yang tiba-tiba mengubah segalanya jadi merah jambu?

Tanpa kusadari, namamu sering kuselipkan dalam baris-baris doa. Diam-diam aku senang menulis tentangmu, tersenyum tanpa sebab sambil terus menjentikkan jemariku. Tanpa kesengajaan, kauhadir dalam mimpiku, memelukku dengan erat dan hangat, sesuatu yang belum tentu kutemukan dalam dunia nyata saat aku terbangun nanti. Hari-hariku kini terisi oleh hadirmu, laju otakku kini tak mau berhenti memikirkanmu, aliran darahku menggelembungkan namamu dalam setiap tetes hemoglobinnya. Berlebihan kah? Bukankah mahluk Tuhan selalu bertingkah berlebihan ketika sedang jatuh cinta?

Saat menatap matamu, ada kata-kata yang sulit keluar dari bibirku. Saat mendengar sapa manjamu, tercipta rasa yang begitu lemah untuk kutunjukkan walaupun aku sedang berada bersamamu. Aku diam, saat menatap matamu apalagi mendengar suaramu. Aku membiarkan diriku jatuh dalam rindu yang mengekang dan membuatku sekarat. Aku membiarkan diriku tersiksa oleh angan yang kauciptakan dalam magisnya kehadiranmu. Astaga Tuhan, ciptaanMu yang satu ini membuatku pusing tujuh keliling!

Setiap malam, ketika dingin menyergap tubuhku, aku malah membayangkanmu, bagaimana jika kamu memelukku? Bagaimana jika ini? Bagimana jika itu? Ah, selain indah ternyata kamu juga pandai menganggu pikiran seseorang, sehingga otakku hanya berisi kamu, kamu, dan kamu dalam berbagai bentuk!

Sepertinya aku mencintaimu…

Pada setiap percakapan kecil yang berubah menjadi perhatian sederhana yang kauperlihatkan padaku.

Sepertinya aku mencintaimu…

Dengan kebisuan yang kausampaikan padaku. Kita hanya berbicara lewat tatapan mata, kita hanya saling mengungkapkan lewat sentuhan-sentuhan kecil.

Sepertinya aku mencintaimu…

Karena aku sering merindukanmu, karena aku bahkan tak tahu mengapa aku begitu menggilaimu

Sepertinya aku mencintaimu…

Kepada kamu, yang masih saja tak mengerti perasaanku.

04 January 2012

Hey, Tuan Egois!

Aku muak dengan semua kelakuanmu. Aku jengah dengan pola pikirmu. Aku lelah dengan caramu memperlakukanku. Aku jera dengan tutur kata dan caramu membentakku. Aku menyerah pada caramu menghakimi semua kesalahanku.

Kaupikir kaupengendali hidupku? Kaupikir kaupemilik jalan hidupku? Hingga begitu mudahnya kaumengatur pola pikirku, hingga begitu saja kamu ubah keputusanku. Hey, Tuan Egois! Kamu selalu menjadikanku kelinci percobaanmu, kamu ubah diriku seperti yang kau mau, karena kamu hanya mencintai perubahanku bukan aku yang apa adanya!

Kausudutkan aku dalam dimensi penuh aturan mainmu, di mana kamulah yang jadi pemeran utama, di mana kamulah yang jadi aktor utama. Sementara aku hanya pemeran pembantu, yang tak kaubiarkan untuk berkembang, yang selalu kauatur sesuai keinginanmu. Hey, Tuan Egois! Aku bukan binatang peliharaanmu, yang tetap setia tanpa alasan yang tak jelas!

Apakah aku mainan kesayanganmu? Hingga selalu kausalahkan aku ketika aku kadang mengecewakanmu. Hingga kausudutkan aku ketika aku tak mampu menjadi seperti yang kaumau? Apakah aku boneka terindah milikmu? Yang bisa kaugerakkan seenak jidatmu, yang bisa kaumainkan sesuka hatimu. Kaupikir hatiku terbuat dari baja? Kaupikir otakku terbuat dari besi? Hingga kaumemercayai bahwa aku tak mampu merasakan sakit sama sekali!

Kauselalu membandingkan aku pada semua wanita yang mengelilingi kamu. Hey, Tuan Egois! Kenapa kautak memilih mereka saja sebagai boneka barumu? Kenapa kautak memilih mereka yang lebih konsisten daripada aku yang selalu kauanggap salah di matamu? Di mana otakmu, Tuan Egois? Otak yang selalu kauagungkan ketika aku selalu kausalahkan!

Kauselalu ingin diutamakan. Kauselalu menganggap pernyataanmu benar. Tuan Egois, dengarlah! Tak semua hal yang menurutmu persepsimu baik juga akan baik dalam persepsi orang lain. Tuan Egois, kamu kelewat egois! Kaumemutarkan fakta, kaubelokkan realita, untuk menjadikanku sebagai tersangka utama! Sedangkan dunia tak melihatku sebagai korban! Kaukah itu, Tuan Egois? Orang yang pertama kali kukenal dengan begitu manis.

Siapakah aku di matamu? Apakah aku hanyalah seonggok sampah yang tak terlihat di pelupuk matamu? Apakah aku hanya benalu yang menghalangi pertumbuhanmu? Apakah aku hanya batu sandungan yang menjungkalkan langkahmu? Kapan kaumenganggapku sebagai anjing setia yang mencintaimu walau dalam keadaan terburukmu sekalipun? Kapan kau menghargai usahaku? Kapan kau menatap mataku dalam-dalam dan berkata “Aku mencintaimu begitu juga kekuranganmu”? Tapi, ternyata aku bukan siapa-siapa di matamu, aku tak pernah ada saat kaumelihat dunia. Aku selalu kaulupakan. Aku hanyalah sepi yang merindukan suasana hangat tapi kehangatan itu tak kudapatkan darimu.

Aku lelah mengikuti aturan mainmu, Tuan Egois. Aku kalah dan lelah. Aku jengah dan menyerah. Jatuh cintalah pada wanita yang mau kauatur jalan hidupnya. Jatuh cintalah pada wanita yang mau kaujadikan boneka kesayangamu. Jatuh cintalah pada wanita tolol yang menurutmu jauh lebih konsisten daripada aku. Kautak pernah sadar bahwa wanita-wanita seperti itulah yang suatu saat akan membuatmu mengemis perhatian.

Akan ada saatnya kaumenangisi kepergianku

Akan ada saatnya kaumenyesal telah menyia-nyiakan aku

Akan ada saatnya…

02 January 2012

2 Januari dan Kamu

13255079651046653122


Silahkan, lihat tulisan sebelumnya yang saya posting 2 Januari 2011 lalu: “2 Januari Begitulah Kita yang Berbeda

Aku hanya memerhatikanmu dari sudut dunia maya yang tak tersentuh. Aktivitas sehari-harimu kupantau lewat tulisan bisu bernama status Facebook. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, sudah sebulan sejak aku pertama kali menambahkanmu sebagai teman di Facebook, sudah sebulan aku memerhatikanmu diam-diam, tanpa berani menyapamu lebih dulu, tanpa mau mengusik aktivitasmu. Itulah aku, yang diam-diam memerhatikan sosokmu.

Kala itu, 2 Januari 2010, masih ingatkah dengan sepotong kata itu? Satu kata yang mampu mengubah semuanya, satu kata yang mampu mengisi tahun itu dengan kebahagian-kebahagiaan kecil, satu kata yang mampu menjadikan hari-hariku begitu berwarna. Kata "hey" yang mampir dalam chatbox-mu benar-benar membawa kebahagiaan kecil buatku, kaujawab dengan santai dan ringan, lalu kita tertawa, lalu kita bercanda, lalu kita saling berbicara, walau hanya sekadar lewat tulisan, walau hanya melalui jentikan jemari di atas keyboard laptop.

Sementara aku dan kamu membiarkan semuanya mengalir, entah mengapa selalu ada senyum kecil tiap kali sms-mu nongol di inbox handphone-ku. Entah mengapa selalu ada kupu-kupu yang menari di perutku setiap kali perhatian sederhana yang kauberikan menghangatkan hari-hariku. Kamu sempat menjadi sebab senyum dan tawaku setiap harinya.

Kamu, pria cerdas yang begitu mencintai PSS Sleman dan Arsenal. Pria dengan pola pikir yang berbeda dari orang-orang lainnya. Menurutku, cara pikir seperti kamulah yang akan mengubah sepakbola Indonesia! Ingat waktu kita pernah becanda banyak hal tentang sepakbola Indonesia? Kamu ketua PSSI, aku ketua PSS Sleman. Kamu memajukan sepakbola Indonesia, aku memajukan sepakbola Yogyakarta. Alangkah indahnya masa-masa itu, masa dimana masih ada kamu. Masa di mana aku masih begitu mudah untuk menghubungimu.

Kamu, si wajah oriental dengan mata sipit. Si kulit putih yang juga jago motret. Si cerdas mantan anggota presidium. Siswa salah satu sekolah homogen pria di Yogyakarta. Si cangkeman yang jadi pentolan yel-yel DBL. Penderita buta warna parsial yang mendesain replika kaos latihan PSS Sleman untuk dijual sebagai salah satu usaha untuk penambahan dana. Anak IPA dengan jiwa sosial yang tinggi. Pecinta group musik Mocca. Penyuka musik jazz. Cino jowo dengan wajah boyband korea. Pria yang punya pendapat berbeda tentang tempat prostutusi di Yogya a.k.a Sarkem. Ah, apa yang tidak kuketahui tentangmu? Semua hal tentangmu tak pernah kecil di mataku.

Dua tahun sudah peristiwa itu berlalu, kini aku lanjutkan hidupku, dan kaulanjutkan hidupmu. Kini kautemui wanita pilihanmu, dan aku temui pria pilihanku. Kita punya jalan masing-masing, kita punya ruang dan waktu masing-masing. Kamu di Yogya, aku di Bogor. Jarak tak pernah adil; tak mampu menyatukan kita yang begitu berbeda.

Setidaknya, kaupernah datang dalam hidupku dan mengajariku banyak hal. Dalam waktu singkat aku mengenalmu, dalam waktu yang lama, aku masih mengingatmu. Masih ingatkah kamu dengan lagu pertama yang kamu berikan padaku? "This Conversation" yang dinyanyikan oleh Mocca. Ada syair yang sama-sama kita suka, "Oh, I can't tell, cause you make me feel so loved." yayaya! Kamu memang membuatku jatuh cinta! Entah bagaimana perasaanmu?

Aku menulis ini ketika "This Conversation" menyentuh lembut gendang telingaku. Tiba-tiba wajahmu muncul, perhatianmu hadir kembali, sungguh aku tak mau peduli, lagu ini benar-benar menyudutkanku setengah mati! Sebuah lagu memang mampu menjebloskan seseorang kembali mengingat masa lalunya. Lagu kedua yang kudengar, ya lagu yang dulu aku dan kamu juga suka. Bulan yang Sama! Bait yang paling kita suka, "Lihatlah bulan yang sama agar kita merasa dekat!" yayaya! Tiba-tiba saja aku merindukanmu! Sial! Padahal sudah lewat dua tahun! Padahal kita sudah benar-benar tak saling komunikasi. Tapi, itulah sebabmu hadir dalam hidupku, menghasilkan rindu walau pertemuan tak pernah terjadi hingga saat ini. 2 tahun kisah itu ada, 2 tahun pula kita tak pernah saling bertatap mata.

Selamat 2 Januari :) Goalkeeper dengan jutaan prestasi, Goalkeeper calon ketua umum PSSI!

Masih ingin memajukan sepakbola Indonesia.... bersamaku? :)