26 August 2013

Jika Aku Tak Berbeda

Di ujung malam seperti ini, perempuan pada umumnya sudah berada di tempat tidur. Menarik selimutnya sampai menutup bahu untuk menghindari dingin malam yang mencekam atau dinginnya air conditioner kamar. Ini salahku jika sampai saat ini aku belum terpejam, aku selalu sulit mencari kantuk. Entah mengapa sulitnya mencari kantuk sama seperti sulitnya memahami keinginanmu. 

Saat menulis ini, aku habis memerhatikan isi kicauanmu bersama seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang tampak mesra denganmu, dalam tutur kata, entah dalam dunia nyata. Aku menebak-nebak dan karena teka-teki itulah aku jadi terluka parah. Seharusnya tak perlu kuikuti rasa keingintahuanku. Tak perlu lagi kucari-cari kabarmu dari sudut dunia maya itu, tempat segala kemesraan bisa terjalin tanpa kutahu; apakah itu nyata atau drama belaka.

Begitu cepat kaudapatkan yang baru, Sayang. Sementara di sini, aku masih menunggu kamu pulang. Aku tak temukan tangis dalam hari-harimu, nampaknya setelah perpisahan kita, kamu terlihat baik-baik saja. Tak ada luka. Tak ada kegalauan. Tak ada duka. Kamu masih bisa tertawa, aku tak tahu pria macam apa yang dulu pernah kucintai dengan sangat hati-hati.

Hampir setiap malam atau bahkan setiap saat, aku masih sering merindukanmu. Mengingat betapa dulu kita pernah baik-baik saja. Aku pernah kaubahagiakan, kauberi senyuman, kaubuat tertawa, juga terluka. Pada pertemuan kita belasan minggu yang lalu, kamu menggenggam jemariku seakan memberitahu bahwa kamu tak ingin melepaskanku. Kamu menatap mataku sangat dalam bahkan tak menggubris tab-mu yang penuh dengan chat dan panggilan. Saat itu, aku merasa begitu spesial, merasa begitu penting bagimu. Dan, inilah salahku, mengharapkanmu yang terlalu tinggi. 

Jujur, mungkin saat ini aku memang tak lagi mencintaimu. Tapi, sisa-sisa rasa sakit itu masih ada. Aku belum bisa menerimamu menjauh tiba-tiba seperti itu. Mengapa aku tak bisa menerima semua secepat kamu menerima perpisahan kita? Karena kamulah yang meninggalkanku lebih dulu, menuduhku punya banyak orang yang bisa kujadikan pelarian, mendakwa aku yang berkhianat. Tuan, sungguh aku tak paham maumu. Apa matamu begitu buta untuk melihat bahwa dulu, waktu masih bersamamu, hanya kaulah satu-satunya yang kuperjuangkan dan kuharapkan?

Ingat, kamu pernah bilang bahwa kamu mencintaiku seutuhnya. Sebagai perempuan yang tentu senang diberi harapan, aku tersenyum sambil memainkan rambutmu yang acak-acakan. Aku bersandar di bahumu, sementara tatapan matamu kembali sibuk dengan tab kesayanganmu. Kamu merangkulku sambil jemari kirimu membalas chat dari teman-temanmu. Aku berbisik di telingamu, memberitahu bahwa sudah waktunya salat ashar. Kamu mengangguk memahami maksudku. Kamu tahu apa yang kurasakan saat itu? Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya pun aku terlalu takut. Namun, aku tak sadar, justru ketika kita bisa begitu mesra, hari itu juga adalah hari terakhir kita bertemu.

Malamnya, semua kebersamaan manis kita, yang kuingkan bisa lebih lama itu, berakhir hanya dengan percakapan beberapa menit. Tiba-tiba, kaubilang aku ini berbeda. Tiba-tiba kaubilang aku terlalu sempurna untukmu. Tiba-tiba kaukatakan bahwa semua tak bisa lagi kita jalani. Kenapa baru sekarang kamu ucapkan bahwa kebersamaan kita tak akan bertahan lama? Selama ini kamu ke mana? Selama kamu begitu rajin bilang cinta dan rindu, apakah saat itu kamu tak menyadari perbedaan kita?

Jika aku tak mengalungkan salib di leherku, jika aku tak berbeda seperti yang kaubilang, apakah kauakan mencintaiku sedalam aku mencintaimu?

12 August 2013

Setelah Satu Setengah Tahun



Seperti satu setengah tahun yang lalu, aku menunggumu di depan Pasar Prawirotaman. Siang itu, Jogja begitu terik, panas matahari cukup menjadi penyebab keringat di pelipis. Aku menunggumu sambil sesekali melihat jam tangan. Ketika suara sepeda motormu terdengar, aku segera menegakan kepala. Kamu sudah ada di depanku masih dengan sepeda motor yang sama. 

Tubuhmu terlihat lebih berisi, rambutmu masih begitu; gondrong sepinggang. Rambutmu yang lebat selalu kausembunyikan di dalam bajumu ketika kamu mengendarai sepeda motor. Bola mata kita bertemu, “Rupanya, kamu sudah jago dandan, Dik.” ucapmu dengan suara yang khas. Disapa dengan kalimat menyebalkan itu, aku hanya membalas dengan senyum dan segera menaiki sepeda motormu.

Kali ini memang berbeda dengan satu setengah tahun yang lalu. Setiap bertemu denganku, kamu selalu membawa setangkai mawar putih dan keromantisan itu kubalas dengan memukul lembut helm-mu menggunakan setangkai bunga mawar itu—ucapan terima kasih dalam bentuk berbeda. Aku mendapati diriku yang juga berbeda, aku tidak berani mengajakmu bicara banyak. Dan, inilah yang membuatku merasa kita sudah berjarak. 

Sesampainya di rumahmu, aku bertemu ibumu. Lantas, terjadi percakapan antara tiga orang, percakapan yang tak selalu terjadi setiap hari. Ibumu bertanya soal alasanku lebih memilih UI daripada UGM, memperbincangkan soal kabar terbaru di Jogja, lalu kita tertawa bersama ketika ibu membuka kedokmu. Kata beliau, akhir-akhir ini kamu suka membuat kue sendirian. Aku tidak kaget, karena menurut hasil pengamatan diam-diam yang kudapati dari akun facebook-mu, memang benar kalau kamu sedang rajin-rajinnya membuat kue. Kita tertawa bersama, tawa yang kurindukan selama satu setengah tahun ini, dan barukali ini aku bisa kembali merasakan tawa itu.

Ibu pamit masuk kamar karena ingin menyetrika. Langkah ibumu santai meninggalkan kita, sayup-sayup langsung kudengar suara penggalan nyanyian dalam film Mohabbatein. Iya, sepertinya film Mohabbatein hari itu tayang ulang. Di saat yang sama, aku dan kamu hanya berdua di ruang tamu. Kita tak banyak bicara, sesekali mengalir pembicaraan tentang agama, lalu diam lagi. Berikutnya, mengalir pembicaraan tentang budaya, lalu membisu lagi. Setiap aku berbicara dan tertawa, seringkali kamu berkata, “Suaramu terdengar jauh lebih riang.” 

Jujur, aku tak tahu cara menjawab ucapanmu itu, aku hanya tertawa, walaupun sebenarnya aku tak paham apakah yang kaubicarakan mengandung makna konotasi atau denotasi. Kita berbicara santai saja, meskipun harus kumaklumi hadirnya suara raungan orang utan yang berasal dari Gembira Loka. Kebun binatang yang ada di dekat rumahmu. Aku mulai mengganti topik baru, membuka percakapan tentang surat-surat yang pernah kaukirim dan masih kusimpan. Ketika sampai pada pembicaraan mengenai 1 September 2010, tanggal jadian kita, aku memang tak bisa berkomentar banyak. Jurang pemisah itu memang ada dan aku tak tahu mengapa perubahan ini terasa begitu asing bagiku. 

Aku tak merasa kita pernah putus, nyatanya kita memang masih berkomunikasi. Aku tak tahu selama ini apa yang kita jalani, status kita begitu abu-abu di mataku. Entah aku ini temanmu, pelarianmu, kekasihmu, atau adikmu. Ketika dijauhkan jarak, aku merasa ada rindu dalam setiap percakapan kita di telepon. Ada cinta yang kautunjukkan dalam setiap goresan pena di kertas suratmu. Aku tak mengerti apakah itu sungguh rindu dan cinta, atau semua hanya omong kosong belaka yang dikemas dengan begitu sempurna.

Matahari sudah mulai bersembunyi dari langit Jogja. Aku dan kamu sepakat untuk mengunjungi tempat kencan pertama kita. Mister Burger di Jalan Sudirman. Sore itu, kita kembali membelah jalanan Jogjakarta dengan sepeda motormu. Setiap berhenti di lampu merah, kamu menyanyikan lagu andalanmu dengan lantang, “Akulah putra SMA De Britto. Gagahlah cita-citaku Murni sejati jiwaku!” nyanyian itu terdengar manis di telingaku. Jemarimu memainkan stang sepeda motor seakan benda itu adalah drum.

Aku menghela napas ketika mendengar kamu menyanyikan lagu itu. Kamu pernah berjanji ingin mengajariku agar bisa menyanyikan lagu itu sampai benar-benar hapal. Namun, sepertinya, kamu sudah lupa janji itu. Seperti yang kutahu, perempuan adalah pengingat sejarah yang baik sementara pria adalah pelupa yang ulung. Aku yang lebih sering diam daripada mengingatmu, memilih untuk diam dan tetap memerhatikan jalan. Terlalu banyak kenangan kali ini, rasanya aku ingin segera pergi dan berlari.

Sebelum mencapai Mister Burger, kamu mengarahkan sepeda motormu melalui fly over di dekat UKDW. Di sini tempat pertama kali kita melihat kembang api. Lalu, kita melewati gereja di depan UKDW. Ingat? Waktu pertama aku beribadah di gereja itu bersamamu, aku menggerutu karena tak menemukan kertas liturgi. Kamu, dengan gaya khasmu hanya berkata, “Sabar, Dik.” Padahal, liturgi ibadah ada di depan layar besar di dekat mimbar pendeta. Mengingat kita pernah melewati peristiwa manis itu, rasanya aku ingin tertawa. 

Saat membawaku keliling-keliling di tempat kenangan kita, kamu tak membuka suara. Diam-diam aku memang memerhatikanmu, mencoba memahami arti diammu. Tapi, aku selalu gagal. Bertahun-tahun aku mengenalmu, tapi aku tak pernah tahu apa yang ada dalam hatimu. 

Sesampainya di Mister Burger, aku memilih duduk di tempat kita biasa duduk. Di lantai dua dekat dengan balkon. Satu setengah tahun yang lalu, kita sering duduk di sini. Sambil mendengar deru kendaraan bermotor di Jalan Sudirman. Kita memakan burger dengan lahap, seperti biasa tanpa suara. Aku merasakan udara yang sama dengan satu setengah tahun yang lalu, kamu menggenggam tanganku dan kurasakan ada kekuatan di sana. Kutatap matamu dalam-dalam dan kurasakan ada dunia baru di sana. Tuan, seandainya aku tahu apa yang ada di dalam isi hatimu, ketika kaugenggam tanganku, ketika kautatap mataku; apakah karena kausungguh merindukanku?

Hingga sore berganti malam, kamu memutuskan untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Saat itu, kamu kembali menggenggam tanganku dan menatap mataku dengan lembut. Dalam kehangatan itu, akhirnya kamu kembali membuka suara. Kamu bercerita tentang kekasih barumu masih dengan genggaman tanganmu yang ada di jemariku. Kamu tersenyum ketika bercerita tentang wanita itu, tapi kamu juga terus menatap mataku seakan tak ingin adanya perpisahan di antara kita.

Aku menghela napas berat. Ketika kaumasih terus bercerita tanpa memerhatikan perubahan raut wajahku. Sudah tiga tahun aku mengenalmu, Sayang. Tapi, entah mengapa, aku tak pernah mengerti isi hati dan jalan pikiranmu selama ini?

Sungguh, aku tak tahu pria macam apa yang ada di depanku, yang masih bisa bercerita tentang wanita lain ketika jemarinya hangat menggenggam jemariku. 

05 August 2013

Selamat Ulang Tahun, Cinta Pertama (3)



Sudah satu tahun berlalu sejak tulisan bertema sama telah kutulis. Aku menulis tentangmu yang bertambah satu umur lagi. Saat itu, aku tak tahu kauberada di mana, sedang bersama siapa, dan sedang menempuh pendidikan di mana. Saat ini pun, semua rasanya tak lagi berbeda, aku masih tak tahu apakah kamu masih mengingatku ataukah kamu punya perasaan yang sama terhadapku? Entahlah, memang perasaan itu sudah lama sekali, bahkan sudah menghilang. Tetapi, bukankah manusia adalah mahluk paling sulit untuk melupakan? Perasaan bisa hilang, tapi ingatan tidak.

Seperti tulisanku yang kutulis setahun lalu, nampaknya tulisan kali ini pun juga tak akan pernah kaubaca. Tulisan ini akan teredam oleh banyaknya perhatian yang tertuju padamu. Cerita ini tak akan membekas jadi apa-apa, segera terhapus dengan kehadiran orang-orang baru dalam hidupmu yang sekarang. Aku ingin cerita sedikit tentang pertemuan pertama kita. Kamu, si Anak Baru, masuk di kelasku yang cukup bringas. Kehadiranmu seperti angin segar bagiku, kamu begitu berbeda dari yang lainnya.

Aku masih ingat betapa rambutmu yang keriting, matamu yang tajam, dan hidungmu yang mancung begitu saja menghipnotisku. Dan, aku, yang saat itu masih kelas 3 SD, memang tak melakukan banyak hal selain diam-diam menatapmu dari kejauhan. Aku sungguh tak bisa bilang bahwa perasaan itu adalah cinta. Mungkin, aku hanya suka keterbiasaan kita. Aku hanya terlalu nyaman dengan kehadiranmu di sampingku. Dengan inisiatif yang tak dibuat-buat, kamu menghampiriku yang kesusahan menghitung volume balok. Dengan gaya pemimpinmu, kamu menjelaskan cara menghitung jarak tempuh, waktu tempuh, dan jarak sebenarnya. Sungguh, matematika adalah mata pelajaran yang paling kubenci sedunia, makanya saat ini aku ambil kuliah sastra. Namun, sepertinya justru matematika-lah yang menjembatani pertemuan kita.

Sejak kelas 3 SD sampai 6 SD, kita selalu sekelas. Berlanjut di Sekolah Menengah Pertama, kita pun juga satu sekolah. Sebagai penganut pepatah witing tresno jalaran soko kulino, aku tidak lagi heran jika perkenalan kita selama tujuh tahun itu pasti menghasilkan perasaan yang bisa saja disebut cinta. Iya, aku tak yakin ini cinta, tapi apa namanya perasaan takut kehilangan meskipun tak memiliki?

Kalau kamu membaca ini, mungkin kamu tertawa kencang, tapi, ya, mana mungkin kamu akan membacanya? Aku saja tak pernah jadi yang penting di matamu. Aku terlalu aneh untuk sosok sempurna seperti kamu. Aku selalu merasa kecil di matamu, mungkin itulah sebab aku tak pernah ingin bilang bahwa aku punya perasaan. Dan, itulah yang bisa kulakukan dalam rentan tujuh tahun. Aku hanya bisa melirikmu, diam-diam mencari tahu tentangmu, dan bersembunyi dalam banyak tulisanku. Oh, iya, aku sudah mulai menulis puisi norak tentangmu sejak kelas 6 SD. Saat aku percaya, kamu sudah jadi yang pertama.

Ingat ketika waktu Natal dan Paskah tiba? Di sekolah kita, selalu ada perlombaan menghias kelas setiap menjelang waktu Natal dan Paskah. Aku selalu suka saat-saat itu, saat aku bisa melihatmu tertawa lepas, berlari-larian dengan baju berantakan dan tanpa sepatu sekolah. Saat itu, aku hanya bisa menggunting kertas lipat dan karton, sambil sesekali menatapmu. Betapa dulu aku begitu pendiam dan begitu takut untuk mendekatimu. 

Waktu kelas 3 SD, selalu ada paduan suara ketika menjelang Paskah dan Natal. Aku masih ingat nama guru wanita yang berkacamata itu, guru bersuara merdu yang mengajari kita not-not angka sebagai sarana untuk menyajikan pujian terbaik untuk Tuhan. Saat itu, aku senang menatap alismu yang hampir tersambung, keseriusanmu dalam menyanyikan lagu pujian membuat aku percaya, kamu pun senang menjalin kedekatan bersama Tuhan.

Nampaknya, sudah cukup mengenang peristiwa itu. Aku pun ikut tersipu jika mengingat hal-hal bodoh yang kulakukan. Bahkan aku masih diam, ketika perpisahan SMP selesai. Bodoh, ya, cuma buat bilang “Aku suka kamu.” itu rasanya seperti memasukan diri ke dalam neraka. Sulit setengah mati. Lalu, sampai seterusnya, sampai sekarang, aku hanya berani menulis tentangmu. Mengingat betapa dulu aku dan kamu pernah begitu manis, begitu lucu, dan begitu lugu.

Umurmu sudah bertambah satu, apa yang kaudoakan pada Tuhan? Kalau aku, aku ingin Tuhan terus menjagamu dalam pelukanNya. Semoga kaumakin bersinar dengan caramu yang sederhana tapi memesona. Selamat ulang tahun untukmu, cinta pertama, tetaplah jadi yang terbaik; meskipun kamu hanya hidup dalam masa laluku.

Temui takdirmu. Temui aku? :D

01 August 2013

Dua Belas Minggu setelah Kepergian Kamu

Ini surat yang entah keberapa. Tulisan bodoh dari gadis tolol yang tak pernah kaugubris sama sekali. Tulisan di sini tentu saja tak pernah kaubaca, kaulihat, apalagi kaupahami. Di sini, ada seseorang yang setia menulis tentangmu setiap minggu, setiap hari Kamis, meskipun setiap mengingatmu hatinya selalu teriris.

Kali ini, aku ingin bercerita tentang seorang wanita yang sedang sangat sibuk untuk melakukan banyak hal. Berusaha mencari kesibukan baru agar dia tak lagi punya celah untuk mengingatmu. Wanita ini, tentu saja kaupernah mengenalnya. Dia pernah jadi bagian dalam hari-harimu meskipun hanya satu minggu. Lucu, ya, betapa pertemuan satu minggu bahkan bisa melekat selama dua belas minggu. Wanita ini adalah tempat kausempat berbagi tawa dan canda, sebelum akhirnya kaumembuat dia terluka.
Ini masih awal cerita, sekarang dia sudah jadi wanita yang berbeda. Dua belas minggu setelah kepergian kamu, dia berusaha untuk melepaskan kamu dari hati dan ingatannya. Wanita ini berjuang sangat keras. Dia mencari teman curhat, mencari orang-orang yang senasib dengannya, dan berkenalan dengan sosok-sosok baru. Hingga pada akhirnya dia tahu, bahagimana dirimu yang sebenarnya.
Iya, dia tahu bagaimana dirimu, Sayang. Wanita itu tahu topeng yang selalu kaugunakan. Dia mencari orang-orang yang dulu sempat kausakiti. Teka-teki itu terjawab, penyakitmu memang sama; seringkali meninggalkan wanita saat wanita itu sedang berada dalam posisi sangat tidak ingin kehilangan kamu.

Tapi, kembali ke bagian awal. Dia wanita bodoh, perempuan tolol yang mau-maunya kaujadikan pelarian, bukan tujuan. Bahkan, ketika dia tahu semua kebohonganmu, dia sama sekali tak ingin membencimu. Dalam rasa sakitnya, dia seringkali bertemu Tuhan. Bercerita dengan bulir air mata di pipinya. Mengadu dengan bibir membeku; dia menyesali segala kebodohannya. Mengapa dia menerima kamu begitu mudah namun melepaskanmu begitu susah?
Sayang, wanita itu tahu sekarang kamu sudah lebih bahagia. Dari dunia seratusempatpuluh karakter, dia bisa menduga; bahwa kamu sudah jadi pria yang berbeda. Kamu bukan lagi matahari yang menghangatkan mendungnya. Kamu bukan lagi lembayung yang mewarnai sisi gelapnya. Kamu sekarang jadi awan hitam, Sayang. Kamu jadi biru paling kelabu, sebab air matanya tak pernah surut– selalu mengalir untukmu.
Kali ini, ceritanya masih sama. Wanita ini begitu tahu kamu suka kue keju. Dia mengajakmu bercakap-cakap malam itu. Ada rasa rindu di dadanya, ada rasa hampa karena kekosongan yang selama ini dia lewati tanpamu. Kadang, kamu tak tahu perasaan seseorang yang begitu bahagia bisa berbicara denganmu, meskipun kamu mengartikan pembicaraan itu hanyalah pembicaraan biasa. Tapi, Sayang, wanita ini berbeda. Segala hal tentangmu, tak pernah kecil di matanya.

Cahaya Penunjukku. Waktu menulis ini, wanita yang kuceritakan tadi sudah tak lagi bisa menulis banyak tentangmu. Tepat dua belas minggu setelah kepergian kamu, ternyata dia sadar bahwa ada yang perlu diperjuangkan, selain rasa rindunya terhadapmu. Kamu yang begitu berbeda telah begitu menyakiti hatinya. Mengapa kamu tak tahu, Sayang? Bahwa orang yang paling tersakiti oleh perubahanmu adalah orang yang paling mencintaimu, meskipun kamu selalu menganggap dia abu-abu.

Malam ini, sepertinya masih sama. Wanita itu ingat betapa setiap malam, selama satu minggu itu, kamu selalu menyapa dia dengan sapaan paling manis. Suaramu lembut terdengar dari ujung telepon. Dia bahkan tak tahu mengapa dia harus mencintai pria berantakan seperti kamu. Cintanya meledak begitu saja, ketika kaubuat dia nyaman, ketika kaubuat dia begitu mencintaimu, mengapa kaumalah membiarkan dia mengigil karena kepergianmu?

Dengan bekas lukanya yang belum benar-benar sembuh. Dia masih berusaha terus melupakanmu, dia berusaha melangkah dengan kekuatan sendiri. Kamu tak tahu, Sayang, dia begitu kuat, lebih kuat daripada yang kaubayangkan. Memang, dia belum seratus persen melupakanmu. Tapi, dia percaya waktu itu akan datang, saat dia bebas menertawakan lukanya dan kamu justru yang berbalik menangisinya.

Oke, sudah hampir dua belas peragraf. Wanita ini cuma mau bilang padamu, Cahaya Penujukku, bahwa sebenarnya dia belum bisa melupakanmu. Sebenarnya juga, masih ada cinta dalam hatinya. Tapi, dia berusaha tak lagi menggubris perasaannya sendiri, karena dia tahu; kamu yang seperti dulu tak akan pernah kembali.

Oh, iya, kamu mau tahu, ya, siapa wanita itu? Baiklah. Aku menyerah. Wanita itu adalah....