26 October 2015

Telah Terbit Novel Dwitasari berjudul "Cerita Kita #SamaDenganCinta"




Judul Buku: Cerita Kita = Cinta
Penulis: Dwitasari
Penerbit: Bukune, 2015
Ketebalan: 180 halaman
Harga: Rp48.000

TELAH TERBIT
Di toko buku Gramedia, Gunung Agung, TM Bookstore, dan Togamas terdekat di kota kamu~ 

Sinopsis:

“Aku hanya ingin bertemu dan menatapmu lebih dekat. Ada sesuatu yang ingin kulihat dari wajahmu, dan mungkin sesuatu itu adalah cinta. Aku tidak yakin, tetapi paling tidak, aku telah berusaha walaupun sebatas surat seperti ini.”

Pede banget mau nemuin, lagian siapa juga yang mau? ketus Zia dalam hati. Zia yang pendiam dan tidak banyak bicara itu memang sering melakukannya. Dia banyak memendam keluhan dalam hati.

Hidup Zia mulai berubah sejak dia mendapatkan surat cinta misterius di loker sekolahnya tiap pagi. Dia tak pernah menyangka kalau surat itu justru dikirim oleh Valent, pria paling eksis di SMA Cipta Mulia yang dia sukai. 



Di sisi lain, Valent berusaha mendapatkan perhatian Zia dengan menjadi sosok yang misterius dan romantis, oleh karena itu dia meminta bantuan Lily. Lily adalah penulis muda yang karyanya diisukan plagiat. Gadis itu sempat kehilangan kepercayaan dirinya untuk menulis, tapi pertemuannya dengan Aldo mengubah semuanya.



Melalui tokoh-tokoh dalam buku ini, Dwitasari menuturkan segala hal tentang pertemuan, rindu, takut akan kehilangan, hingga rasa sakit yang dikemas dalam bentuk cerita yang saling berkaitan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya. Dan jangan lupa, kisah yang setiap tokoh dalam buku ini alami, juga adalah kisahmu. Selamat membaca kisahmu sendiri dalam buku ini!

16 October 2015

Apakah kita akan bertemu?



Aku masih belum tidur meskipun tubuhku lelah dihabisi gerakan Yoga malam tadi. Dan, aku masih di depan laptopku, mendengarkan suara air conditioner yang makin lama membuat kamarku makin sunyi. Hidupku semakin sunyi, apalagi semenjak kamu pergi.

Mataku masih menatap layar laptop sambil terus memperhatikan barisan abjad yang harus aku koreksi ulang. Buku kedelapanku, Sama Dengan Cinta, segera terbit, buku yang aku ceritakan padamu, yang dengan bangga kausambut dengan tepuk tangan riuh. Mas, betapa aku rindu candaanmu, betapa aku rindu hangatnya perhatianmu, dan betapa aku kedinginan menantimu pulang meskipun hujan yang turun tidak akan membuatmu segera pulang ke rumahmu-- ke rumah kita.

Aku sedang membaca bagian "Pemuja Rahasia" di buku kedelapanku. Seketika, aku sedang memposisikan diriku yang memujamu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kamulah gambaran pria sempurna yang aku impikan. Manis, humoris, kulit eksotis, memesona, pandai, gondrong, mendhok, sangat Jawa sekali. Singkatnya, aku tidak bisa menolak untuk tidak mencintaimu. Kamulah jawaban dari semua doaku. Aku mengira kamulah yang akan tetap tinggal, hingga setiap doaku selalu terselip namamu, hingga setiap jantungku mendenyutkan namamu. Namun, nyatanya? Kamu pergi begitu saja, menganggapku sama seperti perempuan lainnya, memposisikan aku sebagai pemuja, bukan pencinta. Padahal, kalau boleh sedikit berbisik di telingamu, aku ingin mengatakan bahwa aku bukan sekadar fansmu, aku penggemarmu nomor satu, yang dengan senang hati; akan berjanji membahagiakanmu-- jika suatu hari kamu milikku nanti.

Kepergianmu yang tiba-tiba adalah kiamat kecil bagiku. Tahukah kamu rasanya menjadi seorang perempuan yang setiap hari menatap ponselnya hanya untuk menunggu chat-mu? Tahukah kamu rasanya jadi seseorang yang diam-diam memperhatikan seluruh sosial mediamu hanya untuk mengobati perih dan sakitnya rindu? Tahukah kamu betapa menderitanya jadi seorang gadis yang hanya bisa berprasangka, hanya bisa mengira, hanya bisa menerka bagaimana perasaanmu padaku selama ini? Tahukah kamu begitu tersiksanya hidup menjadi orang yang selalu bertanya-tanya, ke sana ke mari, mencarimu ke mana-mana, sementara kamu melenggang seenaknya seakan tidak terjadi apa-apa di antara kita? Tahukah kamu perihnya menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dahulu karena aku begitu tahu diri bahwa kita tidak pernah ada dalam status dan kejelasan? Tahukah kamu lelahnya menjadi orang yang terus berharap, terus berkata dalam hati, begitu percaya bahwa suatu hari kamu akan kembali?

"Dia pasti chat aku, kok. Satu hari lagi. Dua hari lagi. Satu minggu lagi. Dua minggu lagi. Tiga minggu lagi. Satu bulan." Dan, aku masih menghitung hari, menunggu kamu pulang, menunggu ingatanmu kembali padaku. Tahukah kamu betapa tersiksanya aku ketika kamu tidak memberi kabarmu, ketika kamu tidak menyapaku, ketika tak ada lagi percakapan di antara kita, dan ketika kamu tiba-tiba menghempaskanku ke dasar daratan, ketika kita sedang asik-asiknya terbang bersama? Katakan padaku, bahwa aku terlalu berlebihan, aku terlalu berdrama, aku terlalu membawa perasaan. Aku tidak peduli apa kata orang, mereka tidak pernah paham betapa dalamnya perasaanku, seperti kamu yang tidak pernah mengerti betapa aku mencintaimu.

Aku merindukan caramu memperlakukanku seperti perempuan Sunda, memanggilku dengan panggilan "Teteh", padahal kamu jelas tahu-- rumah simbahku dan rumah ayahku yang ada di Prawirotaman, Jogja itu. Aku rindu semua pertanyaan yang kamu lontarkan padaku di tengah-tengah kesibukanmu. Aku rindu caramu membalas pesanku dengan tergesa-gesa, lalu meninggalkanku lagi untuk beberapa jam, lalu menyapaku setelah pekerjaanmu selesai. Betapa aku rindu menit-menit singkat yang aku lewati, meskipun aku harus melewati belasan jam dalam sehari, hanya untuk enam puluh menit berharga bersamamu.

Mungkin, kamu selalu bertanya, mengapa aku bisa dengan mudah jatuh cinta padamu? Kalau aku bercerita panjang lebar, tentu ceritaku akan jadi buku kesembilanku. Dengarlah, duduklah di hadapanku, dan tatap mataku dalam-dalam. Aku sudah memperhatikanmu, bertahun-tahun, bahkan sebelum kita saling mengenal, bahkan sebelum insiden kamu salah mengirim chat, bahkan sebelum kita begitu dekat. Aku sudah menjadi pemuja rahasiamu, bahkan sebelum kita saling menyapa. Aku sudah mencintaimu jauh-jauh hari, meskipun aku tidak pernah tahu siapa dirimu, bagaimana keseharianmu, siapa saja kekasihmu, siapa saja gebetanmu. Bagiku, semua itu tak penting. Aku mencintaimu. Mencintaimu. Mencintaimu. Dan, akan terus begitu. Meskipun kamu, sekali lagi, tidak akan pernah tahu.

Aku masih menanti, suatu hari kamu akan memperlakukanku sehangat kemarin. Dan kita tertawa, bercanda, memeluk awan, meraih bintang, menari bahagia di permukaan Saturnus. Aku masih menunggu, hari-hari saat kamu kembali. Dan aku bisa rasakan hangatnya pelukmu yang dulu pernah menjadi mimpi kecilku, bisa aku rasakan desah napasmu ketika kamu berbisik di telingaku, bisa aku rasakan denyut jantungmu ketika peluk kita begitu erat hingga sulit dilepaskan, bisa aku dengar suara mendhok-mu yang menyanyikan lagu JKT48, bisa aku rasakan rapatnya jemarimu ketika memegang jemariku, dan aku bersumpah demi apapun tidak akan melepaskanmu.

Aku masih menanti, pertemuan kita yang segera terjadi. Beberapa hari lagi, aku akan ke kotamu, ke kota kita, Jogjakarta. Aku dan penerbitku menyapa para sahabat pembaca di Jogjakarta, Solo, dan Semarang; dalam acara Meet And Greet bersama Dwitasari. Sungguh, aku tidak berharap lebih. Seandainya bisa bertemu denganmu, aku hanya ingin menatap sinar matamu, mata yang entah mengapa selalu membuatku percaya, masih ada cinta di sana.

Sungguh, aku tidak berharap lebih. Keinginanku sederhana. Kita duduk berdua saja, di Alun-alun Selatan Jogjakarta. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya hati kita yang saling menghampiri. Kamu menggenggam jemariku, aku menggenggam jemarimu. Kita menghela napas sesaat, masih tak percaya bahwa pada akhirnya kita sampai di titik ini. Dulu, aku hanya bisa menatap chat-mu, namun pada akhirnya aku bisa benar-benar menatapmu. Lalu, kamu memandangiku, aku memandangimu. Kamu mendekat. Semakin dekat. Bisa aku rasakan aroma tubuhmu. Bisa aku rasakan rambut gondrongmu menyentuh wajahku. Kita.....

Beranikah? Aku menantangmu.

Dari Dwita-mu,
yang memuja kepolosanmu.

08 October 2015

Dwitasari Workshop di Malang :)


Halo, Malang! Udah pernah ngerasain belajar nulis bareng aku, talk show, curhat bareng aku, dan praktek menulis langsung bareng aku? Kalau belum, mending langsung ikutan seminar yang diadakan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang, yuk! :)

Di Seminar ini bakalan ngapain aja?
1. Dikasih motivasi supaya makin semangat nulis (oleh Pak Jefri Akbar, motivator nasional, HRD Manager PT Malindo Feedmil)
2. Langkah-langkah penulisan karya ilmiah yang baik dan yang benar (oleh Bu Heny Kusdiyanti, Dosen FE UM, Ketua Asosiasi Sarjana dan Praktisi Administrasi Perkantoran Indonesia)
3. Belajar bareng mengenai cara menulis karya fiksi (novel dan cerpen) dengan baik bersama Kak Dwitasari
4. Curhat bareng Dwitasari
5. Praktek nulis langsung bersama Dwitasari
6. Talkshow bersama Dwitasari
7. Bawa buku yang ditulis Dwitasari, ya! Bisa sekalian minta tanda tangan juga. :")

Kapan dan di mana seminar diadakan?
Tanggal: Kamis, 22 Oktober 2015 (07.00-13.00)
Tempat: Aula Gedung D4 Lt. 4, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang

Berapa Harga Tiket Masuk (HTM)?
Umum: Rp30.000
Pelajar/Mahasiswa: Rp25.000
Dapet sertifikat, makan siang, dan seminar kit :)

Pesan tiketnya ke mana?
WA/SMS: 0857-9047-1289 (Sultan)
PIN BB: 74537435
Stand Tiket depan SIGMA, Gedung E4, FE Universitas Negeri Malang

Yuk, ajak temen, sahabat, sahabat yang nusuk dari belakang, pacar, gebetan, mantan, calon mertua, buat belajar nulis bareng! :D Bisa curhat bareng Kak dwitasari juga, lho~ Hanya tersisa 200 tiket, ya! Siapa cepat, dia yang dapat! Sampai jumpa di Malang! :*

07 October 2015

Seandainya kamu tahu

Keinginanku sederhana, bisa memelukmu begitu erat, di bawah langit Jogja, yang dihiasi kembang api malam ini. Selamat merayakan ketidakmungkinan di antara kita. Selamat ulang tahun Jogjakarta.

03 October 2015

Aku Berharap Itu Kamu

Aku termangu di depan laptopku dengan sisa-sisa kekuatan yang aku punya. Aku baru saja membaca layout buku Sama Dengan Cinta yang akan terbit akhir Oktober ini. Setiap detail dalam buku itu benar-benar aku perhatikan, aku menyibukan diriku demi melupakanmu. Untungnya, aku sedang sibuk mengerjakan novel kedelapanku, dan ini sedikit membantuku untuk melupakan kenangan tentangmu, meskipun tak seutuhnya membantu.

Mungkin, kamu tidak akan membaca tulisan ini, tapi Dwita-mu akan selalu menulis tentangmu, meskipun aku pun tahu-- kamu tidak akan pernah tahu. Kamu tidak akan pernah tahu betapa tersiksanya hari-hariku tanpa mengetahui kabar darimu. Kamu tidak akan mengerti betapa dadaku sesak setiap memikirkanmu. Kamu tidak akan pernah menyadari betapa rindu di dadaku layaknya kelinci nakal yang memaksa keluar kandang meskipun tahu bahwa dunia luar sungguhlah tidak aman untuk sang kelinci, meskipun aku tahu duniamu bukanlah dunia yang aman untukku.

Berhari-hari, aku berusaha mengisi waktu luangku, dengan apapun yang bisa aku kerjakan agar aku tidak punya waktu bahkan sedetik saja untuk mengingatmu. Karena kamu sudah begitu lekat di sana, karena dirimu sudah punya tempat tetap di sana; di hatiku yang nyatanya belum dihuni orang lain selain dirimu. Dan, aku belum menemukan cara terbaik untuk menghilangkanmu, kamu selalu kembali teringat lagi ketika aku berusaha mengusirmu pergi. Entahlah, mungkin memang kamu diciptakan untuk tetap tinggal, meskipun sebenarnya kebersamaan aku dan kamu tak lagi ada.

Aku memaksa diriku untuk melupakan rambut gondrongmu, untuk tak lagi mengingat suara mendhok-mu, untuk membakar semua memori tentang kebahagiaanmu saat bercerita tentang JKT48, untuk memudarkan senyummu di otakku, untuk menghilangkan jutaan deretan huruf dan angka yang muncul dalam chat kita, untuk mengusir semua rasa cinta-- dan aku mutlak gagal. Aku harus menerima kenyataan bahwa kamu mungkin akan selalu berdiam di sana, di hatiku yang telah kamu patahkan berkali-kali, namun aku maafkanmu lagi dan lagi.

Salahkan aku jika ini berlebihan, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertarik padamu. Pertama kali melihat semua karyamu, melihat polah tingkahmu, mendengar suaramu, melirik senyummu, dan membaca semua chat kita-- sungguh aku tak bisa menahan diri untuk tidak mencintaimu. Meskipun aku tahu mencintaimu adalah awal tragedi buatku, karena aku pasti harus cemburu pada ribuan fansmu, aku harus makan hati karena chat-ku tidak dibalas berkali-kali, dan aku harus berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankanmu. Ya, perjuanganku untuk mencintaimu memang sangat berat, bahkan aku sudah kehilanganmu sebelum aku sempat memilikimu. 

Tulisan ini sungguh sangat tidak penting, hanya berisi tangis seorang gadis berumur belasan yang meminta kejelasan. Lalu, apa artinya chat kita hingga larut malam yang bisa membuatku tertawa tak henti itu? Lalu, apa maksudnya kata-kata lembutmu yang bisa menyihirku dalam asa semua? Lalu, apa tujuan dari semua ketika aku mulai jatuh cinta lalu kaupergi seenaknya? Nah, jika kamu membaca ini, tentu kamu akan balik bertanya, "Memangnya kamu siapa?" Aku jelas bukan siapa-siapa dan mungkin aku hanyalah perempuan bodoh yang terlalu menggunakan perasaan, yang tak berpikir bahwa berlian sepertimu tak mungkin jatuh cinta pada tanah liat sepertiku. Seharusnya, aku memang sadar diri, sejak awal percakapan kita itu, aku semestinya tak perlu berharap lebih.

Aku pun ingin berpikir logis, aku pun ingin menggunakan logikaku, dan aku pun ingin tidak sepeka pria, karena menjadi perempuan peka sungguhlah melelahkan. Aku pun ingin tak berharap lebih, tapi aku sudah mencintaimu, dan bagaimana caranya mengantisipasi semua luka jika kamu tidak akan pernah kembali lagi untuk sekadar mengobati perihku? Aku pun ingin melupakanmu, tapi saat tahu bahwa bersamamu sungguhlah menyenangkan, rasanya sangat sulit untuk melupakanmu hanya dalam hitungan hari. Aku pun ingin menjauh dari semua bayangmu, tapi diriku selalu menginginkanmu, mataku hanya mau membaca semua chat darimu, dan hatiku hanya menuju padamu. Lantas, di dinginnya kota Bogor malam ini, aku hanya menyesali semua air mata yang terjatuh sia-sia untukmu.

Aku sungguh jatuh cinta padamu dan rasanya sangat sulit menerima kenyataan bahwa kita tidak lagi bercakap-cakap sesering dulu lagi. Dalam kesibukanmu, aku selalu menatap ponselku. Setiap ada pemberitahuan masuk, aku berharap itu kamu. Setiap ponselku berdering, aku berharap itu kamu. Setiap sebuah chat masuk, aku berharap itu kamu. Setiap layar ponseku menyala, aku berharap itu kamu. Setiap ponselku berbunyi, aku berharap itu kamu.

Aku berharap itu kamu, yang memegang jemariku kala aku kebingungan menentukan arah hidupku. Aku berharap itu kamu, pria yang dengan lembut memelukku ketika aku kelelahan menghadapi dunia. Aku berharap itu kamu, yang menemaniku keliling-keliling Jogjakarta, di bawah sinaran lampu jalanan, dan aku memelukmu layaknya orang yang paling takut kehilangan. Aku berharap itu kamu, pria yang mengecupku dengan sangat pelan, menenangkan tangisku yang sesenggukan, dan berkata bahwa semua akan tetap berjalan.

Aku berharap itu kamu, wahai penghulu malaikat yang berperang melawan setan dan kejahatan. Aku berharap itu kamu, racunku yang juga adalah penenangku. 


dari Dwita-mu,
yang masih terus diam-diam;
menunggumu.