29 May 2015

Tiga puluh empat hari setelah perpisahan kita

#SerialTanpamu

Baca sebelumnya: Dua puluh empat hari setelah perpisahan kita

Dan, ternyata telah lewat sebulan lebih setelah perpisahan kita. Ingat, apa yang terjadi setiap tanggal 20? Tanggal yang beberapa bulan terakhir kuanggap sakral seakan kehilangan maknanya. Di tanggal jadian kita yang gagal dilaksanakan, 20 Mei 2015, kamu mengirimiku sebuah ucapan. Terselip kata rindu dan ingin bertemu di sana, tapi sekeras hati; aku tak membalas pesan singkatmu.

Kenapa? Kenapa? Karena untuk apa lagi? Kita sama-sama telah berdua, telah sama-sama memiliki kekasih, walaupun aku juga sangat merindukanmu serta mencemaskanmu, rasanya akan sangat tak adil jika kita saling bertemu lagi hanya untuk melepas rindu. Walaupun sejujurnya aku pun juga rindu kamu, rindu suaramu, rindu tawamu, rindu candaanmu, rindu manjamu, dan rindu banyak hal yang tidak akan mungkin bisa aku kembalikan ke duniaku yang sekarang.

Sewaktu tanggal 24 Mei 2015 kemarin, kamu kembali mengirimiku pesan, mengenai kepergianmu ke Bengkulu untuk memenuhi panggilan pembicara dalam seminar di sana. Aku menyesal tak bisa menemanimu sesuai janjiku dulu. Aku ingat beberapa bulan yang lalu, wajah itulah yang membuat aku menjadi pria yang lebih bersemangat dan tahu ingin mengarahkan hidupku ke mana. Kamulah muara dari segala pencarianku dan ketika kamu bercerita ingin ke Bengkulu, tanpa pikir panjang-- aku langsung menjanjikan semua.

Waktu itu, bagiku tak akan sulit menepati janjiku padamu. Kita masih begitu dekat dan masih sangat mungkin melakukan banyak hal berdua. Aku berjanji ingin mengenalkanmu pada orangtuaku, pada saudara-saudaraku, lalu kita makan bakso, bermain di Pantai Panjang, dan mengunjungi Pulau Tikus. Tidak, aku tidak akan memaksamu memakan makanan khas Bengkulu, karena kamu selalu bilang padaku bahwa makanan Bengkulu bukanlah kesukaanmu, tapi kamu sangat menyukai pria Bengkulu seperti aku. Ya, dan sekali lagi semua itu membuatku rindu.

Terlalu banyak mimpi yang kurajut denganmu dan sekarang harus aku hancurkan satu per satu, berusaha sebisa mungkin meneruskan mimpi-mimpi itu bersama kekasih baruku. Aku menyesal, sungguh menyesal, Gadisku, mengapa selama tiga bulan kita bersama, kautidak menuntutku untuk pergi ke mana-mana? Kenapa kamu tidak jadi gadis serba banyak mau sehingga bisa aku turuti keinginanmu? Kenapa kamu tidak meminta makan di restoran mahal, atau mengajakku ke bioskop, atau meminta aku menemanimu meeting bersama produser film di Jakarta, boleh juga ke karaoke kalau kaumau, serta berenang di manapun kasuka. Mengapa kautak minta itu semua? Mengapa kaupuas dengan makan sate ayam di pinggir jalan bersamaku? Mengapa kausudah cukup bahagia bisa makan kebab di pinggir jalan, bahkan dekat pinggir kali, denganku? Mengapa kamu merasa sangat senang memelukku di bawah hujan, di atas sepeda motorku, yang selalu membuat tas putihmu kotor karena kecipratan jalan becek? Mengapa kamu sudah cukup puas dengan itu semua? Harusnya kamu bisa meminta segalanya, segalanya! Tapi, kamu hanya memintaku untuk tersenyum setiap saat, itu saja. Dan, semua kesederhanaanmu membuat aku merasa semakin sedih, mengapa aku menyia-nyiakan malaikat sepertimu.

Rasanya begitu berat melewati tiga puluh empat hari tanpa tahu bagaimana sosokmu saat ini. Karena ketika kubaca di akun Twitter-mu, saat di Bengkulu kamu demam. Pasti kamu tidak cocok dengan udara di sana, dan kamu lupa membawa obat, dan kamu hanya memikirkan bagaimana nanti menjelaskan banyak hal pada peserta seminar sementara kamu sama sekali tidak mempedulikan kesehatanmu. Mantan kekasihku, kalau saat itu aku sedang di sampingmu, aku bersumpah demi apapun tidak akan membiarkanmu melangkah dengan badan yang masih lelah.

Aku tak mengerti harus menulis apalagi, kebuntuan luar biasa sedang menghantuiku saat ini. Aku sedang dalam keadaan tidak mengerti bagaimana hubunganku dengan kekasih baruku dan semakin tak mengerti lagi mengapa rasa cintaku padamu justru makin besar ketika aku telah meninggalkanmu.  Pepatah pernah bilang, kita baru benar-benar merasa kehilangan kalau orang itu pergi, dan tidak akan kembali lagi. Dan, sekarang, akulah orang bodoh yang sedang mengisap rokokku yang kelima, mendengarkan lagu Taylor Swift berulang-ulang, dan masih berharap waktu bisa kuputar kembali-- agar aku masih bisa memilikimu dan bebas memelukmu kapanpun aku mau.

dari seorang pria
yang masih sering:
merindukanmu.


Seandainya aku tahu, bagaimana kabarmu hingga hari ini. Apakah kamu sama terlukanya denganku?

19 May 2015

Dua puluh empat hari setelah perpisahan kita

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Delapan belas hari tanpamu

Aku menonton anime sendirian di depan laptopku, di kamar kosku yang sepi, dan pengap. Seven Deadly Sins adalah anime kesukaanku, entah mengapa hari ini aku tak berselera menyaksikan episode terbaru. Setiap mendengar opening lagu dari Seven Deadly Sins, Nanatsu No Taizai, tiba-tiba aku merasakan pelukmu yang hangat. Aku ingat saat kamu bergelayut di bahuku dan menemaniku menonton Seven Deadly Sins. Dan, sekarang? Tak ada perempuan manapun yang bergelayut di bahuku, tidak ada seseorang yang bersenandung lirih lagu Taylor Swift, dengan kata lain; tidak ada sosokmu di sampingku.

Besok tanggal 20 Mei, itu artinya jika kita masih bersama, maka hubungan kita berusia empat bulan. Setiap aku mengulang cerita ini pada teman-temanku, mereka hanya mengumpatku dengan sedikit candaan, dilanjut dengan menyemburkan asap rokok ke wajahku. Aku tidak tahu, apa yang salah dari terlalu mencintai seseorang yang bahkan baru aku kenali hanya dalam hitungan bulan? Aku tak tahu mengapa di mata mereka aku seperti laki-laki hina yang mudah saja melupakan semua. Banyak temanku bilang, lebih baik tinggalkan dan lupakan saja, jalani hidup senormal mungkin, seperti semua tidak terjadi apa-apa. Bagaimana mungkin aku menganggap tak pernah terjadi apa-apa jika selama bersamamu aku merasakan kenangan dan kebahagiaan yang luar biasa?

Karena tak berselera dengan Seven Deadly Sins, aku menyalakan rokokku. Langkahku berjalan menuju balkon kosan. Hari ini aku telah menghabiskan satu bungkus rokok, tapi siapa yang akan marah jika aku menghabiskan rokok satu bungkus? Yang kutahu, satu-satunya hanya dirimu yang rela mengingatkanku berkali-kali agar tidak merokok. Pacar baruku? Tidak. Dia tidak peduli aku menghabiskan berapa bungkus rokok, rokok bukan masalah baginya, satu-satunya masalah bagi dia adalah ketika aku tidak memberi kabar seharian. Ah, sama sepertimu yang akan mengeluarkan jurus ngambek jika aku tidak mengabarimu seharian.

Rokok yang menempel di bibirku mulai memendek. Setiap kali aku mengembuskan asap dari mulutku, setiap itu juga aku merasakan kekosongan dan kesesakan di dadaku. Semakin sesak waktu aku melihatmu berjalan dengan seorang pria bermata sipit menuju Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia tadi siang. Kalian begitu bahagia dan aku ingin mengumpat diriku sendiri mengapa aku tidak bisa terlihat sebahagia dan setenang dirimu. Harusnya, siang tadi aku tidak perlu makan siang di tenda biru sekitaran Stasiun Pondok Cina. Harusnya, tadi aku di kampus saja, tidak perlu menunggumu lewat tiba-tiba di depan tenda biru.

Mungkin, ini rahasia yang tak pernah kamu tahu. Setelah aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan denganmu, aku juga memutuskan untuk diam-diam menunggumu. Selesai perkuliahan di kampusku usai, cepat-cepat aku berlari ke tenda biru, berharap gadis lugu itu lewat di depanku. Satu hari, enam hari, satu minggu, dua minggu, kamu tidak terlihat. Namun, siang ini, aku melihatmu dengan seseorang yang aku curigai adalah kekasih barumu. Terbukti sudah dugaanku, kegalauanmu hanyalah topeng agar seluruh dunia mengasihanimu. Lihatlah! Kamu sudah punya yang baru. Secepat dan semudah itu? Memang kamu gadis murahan! Termurah di seluruh Kota Depok!

Oh, iya, pertengkaranku dengan sahabatku belum reda. Sahabatku adalah orang yang pertama memelukmu ketika kamu menceritakan keretakan hubungan kita. Dia adalah satu-satunya tempat ceritamu, juga tempat ceritaku, tapi mengapa dia seenaknya memelukmu ketika aku tidak di sampingmu? Atau memang sudah dari sananya kamu dan sahabatku sama-sama murah, kalian bahkan bisa saling berpelukan tanpa memikirkan sesaknya dadaku. Sudah kuduga, dia sangat mencintaimu seperti aku mencintaimu. Tentu dalam hatinya, dia begitu bahagia ketika tahu hubungan kita telah berakhir.

Siang tadi, hatiku telah panas melihatmu dengan pria baru. Lalu, dengan entengnya sahabatku datang dengan kabar bahwa kamu telah melupakanku. Dia bilang, kekasihmu sekarang adalah pria dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia. Ya, pria impianmu tentu bukan pria Sistem Informasi dari Universitas Gunadarma sepertiku, bukan? Ah, perempuan berselera tinggi, aku sangat membencimu saat ini, tapi jauh di lubuk hatiku aku lebih mencintaimu daripada membencimu.

Esok hari, aku akan tetap mengingatmu, mengingat gagalnya hubungan kita, serta mengenang usia empat bulan yang tak bisa kita rayakan, atau tak akan pernah kita rayakan. Esok hari, di gagalnya empat bulan hubungan kita, aku akan tetap mengingatmu sebagai perempuan yang begitu aku cintai, namun terpaksa aku lepaskan karena aku tak ingin kamu terluka dan terlalu berharap pada hubungan kita. 

Ini rokokku yang terakhir dan dalam kesepian hatiku, aku kembali masuk ke kamar kosku, memutar lagu Taylor Swift dengan volume sekencang mungkin. Aku berharap kamu ada di sampingku, memelukku, bergelayut di bahuku, atau memukul tubuhku sambil menangis seperti saat kamu cemburu melihatku dengan perempuan lain. Dan aku tak percaya, suara Taylor Swift bisa membuat pipiku basah oleh air mata, atau karena aku terlalu sibuk mengingat kenangan kita?

dari pria
yang pernah jadi tempat menangismu.

13 May 2015

Delapan belas hari setelah perpisahan kita

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Tujuh belas hari tanpamu

Malam ini tidak ada bintang, pertanda langit Depok akan segera menurunkan hujan, tak lupa menyertakan udara dingin yang menusuk tulang. Semestinya aku tak perlu lagi memikirkanmu dan seharusnya kamu sudah tidak perlu lagi mampir dalam ingatanku, tapi entah mengapa; kamu berdiam di kepalaku. Kamu justru semakin mendominasi ketika aku sedang berusaha keras melupakanmu. 

Gerimis mulai turun satu-satu, disusul dengan deras hujan yang membasahi jalanan. Aku duduk di balkon lantai dua, menatap kosong, dan lurus ke depan. Jalanan di depan kosku sangat lengang dan sepi, aku sendirian di sini. Teman-temanku sebenarnya mengajakku untuk menghabiskan waktu bersama, tapi dengan perasaan tidak karuan seperti ini rasanya aku tak ingin mengotori kesenangan mereka. Cukup aku yang merasakan ini sendiri.

Aroma hujan bercampur dengan tanah dan aspal jalanan. Aku ingat aroma ini, kemudian ingatanku terbang menuju kencan pertama kita. Masih kuhapal bulat matamu yang menatapku dengan bingung, kamu tidak ingin menaiki sepeda motorku yang tingginya hampir satu meter di atas permukaan aspal. Namun, kamu tidak mampu menolak, hanya ini yang aku miliki untuk mengantarmu pulang ke rumah. Agar tidak membuatmu kesal, kita makan sate terlebih dahulu, dan apakah kamu sudah tahu bahwa rumah makan kecil tempat favorit kita itu terbakar beberapa minggu yang lalu? Mungkin, tidak penting bagimu untuk tahu, karena tentu sekarang telah ada laki-laki yang tidak akan mengajakmu makan di pinggir jalan.

Saat makan sate, kamu mengajakku Doa Bapa Kami. Aku terdiam beberapa saat, tak percaya dengan yang aku lihat. Ternyata kita berbeda. Aku berpikir sejenak, apakah kamu harus tahu bahwa ibadahku adalah lima waktu, bukan Doa Bapa Kami yang kausebut itu? Dan, ya, aku tidak perlu mengaku. Dengan modal mata sipit, alis tebal, serta kulit yang putih tentu aku bisa terus berdrama menjadi pria yang beribadah di gereja. Kamu percaya dan aku berdalih untuk menyuruhmu berdoa sendiri, aku mengikuti. Setelah kamu ucapkan amin, ada rasa bersalah yang menjalar di dadaku. Saat itu kencan pertama kita dan aku telah membohongimu. Aku takut harus selalu membohongimu di hari-hari berikutnya. Senyummu yang tidak menunjukan kecurigaan apapun selalu membuatku merasa bersalah. Memang, pria berdosa sepertiku harusnya tidak layak bersanding dengan gadis lugu sepertimu.

Saat ini, hujan makin deras. Tiga bulan yang lalu, aku sangat ingat pelukmu yang ketakutan karena pertama kali menaiki sepeda motorku yang tinggi dan berisik. Aku bisa merasakan cengkraman penuh cinta ketika kita melewati jalanan Depok yang licin. Sekarang, aku sangat rindu peluk itu, peluk yang membuatku merasa bahwa aku dibutuhkan sebagai lelaki. Aku rindu teriakan kecilmu ketika aku ngebut di jalanan, aku rindu semuanya tentangmu. Kamu, gadisku, mantan kekasihku, yang mungkin tak akan pernah lagi memelukku sehangat kemarin.

Aku benci harus terus mengingat semua, ketika aku seharusnya berfokus pada kuliahku, keluargaku, juga kekasih baruku. Memikirkanmu adalah siksa bagiku, telah banyak cara aku lakukan, seperti menghabiskan waktu bersama kekasih baruku terus-terusan. Tapi, bukan ini yang aku inginkan, kamu selalu ada, selalu hadir, membekas, dan aku tak tahu bagimana cara terampuh untuk mengusirmu pergi. Kekasihku terus menghubungiku, mengemis untuk bertemu, namun aku beralasan sedang banyak tugas. Kali ini, aku seakan tak berselera untuk mencintai siapa-siapa. Terasa tak adil untuk dirinya, lebih menyakitkan lagi untukku. Semua makin keos dan berantakan, kini aku tahu rasanya berjalan tanpa menggandeng tanganmu.

Sebenarnya, aku sangat ingin tahu bagimana hidupmu yang sekarang. Aku tak tahu harus bertanya ke siapa, harus pergi ke mana agar aku tahu apakah kini kamu telah bahagia atau sama tersiksa seperti yang aku alami. Mulailah aku membuka blog-mu dan aku kembali tersesat dalam duniamu. Kamu begitu pandai menceritakan semua, begitu lihai mengungkapkan perasaamu dalam tulisan, dan tentu saja itu bisa mengobatimu-- menyembuhkanmu dari patah hati.

Dari tulisanmu yang kubaca, sepertinya kamu tidak bahagia. Kamu menulis bahwa hampir setiap hari kamu menangis, berbeda denganku yang hanya menangis dalam hati. Kamu repot-repot ke Bali hanya untuk melupakan lukamu, memang tolol, namun ternyata kamu masih gadis lucu yang menggemaskan buatku. Kamu tersiksa dengan berakhirnya hubungan kita dan kalau kamu ingin tahu, aku pun sama tersiksanya, aku juga sama gilanya, dan rokokku tak mampu mengobati semua.

Sekarang, lagu Taylor Swift masih menggema. Dan aku tak tahu apakah di sana kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu.

Dari pria yang pernah merasakan pelukmu;
di bawah hujan.

12 May 2015

Tujuh belas hari setelah perpisahan kita

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Enam belas hari setelah perpisahan kita

Langit Depok malam ini tidak bertabur bintang, hanya angin kencang sesekali berembus-- pertanda mendung. Udara malam bercampur dengan desiran angin yang tidak menyejukan, bukan udara yang baik untuk tetap berada di luar rumah.

Di balkon depan kamar kosku, aku sedang menyeruput kopiku yang semakin pahit. Lima batang rokok telah habis dan gadis di sampingku masih tak menunjukan tanda-tanda ingin undur diri. Dia kembali bersandar di bahuku dan bibirnya kembali menceritakan hal-hal ambigu yang masuk telinga kiriku, lalu keluar telinga kanan; tak menimbulkan kesan apapun. 

Kamu selalu bilang, kamu ingin aku bahagia bersama wanita seagama. Sekarang, gadis itu ada di sampingku. Kamu belum mengenalnya, aku pun belum terlalu mengenal dia. Dua hari setelah mengakhiri hubungan denganmu, aku langsung menarik dia dalam jeratan hidupku. Itu semua aku lakukan agar dengan cepat aku bisa melupakanmu. Karena, aku sangat yakin bahwa kamu tentu telah memiliki kekasih, bahkan satu jam setelah kita putus. Aku sudah membayangkan kamu yang masih bisa tertawa lepas, masih bisa makan sate dengan nikmat, dan masih mampu menyantap kebab dengan lahap. Oh, makanan kesukaanmu, dan aku masih tak bisa melupakan semua hal tentangmu. 

Kekasih baruku ini cukup baik. Karena dalam agamaku wajib menutup aurat, gadis di sampingku ini turut melaksakan kewajiban itu. Aku tak perlu waktu lama untuk menyatakan cinta padanya, dia hanya mengangguk malu dan kecanggungan menyelimuti kami berdua. Dia sederhana, tentunya bukan penulis luar biasa sepertimu. Hanya mahasiswi biasa, dari universitas biasa, bukan sepertimu yang kuliah di universitas terbaik di Indonesia. Meskipun tahu bahwa dirinya bukanlah dirimu, entah mengapa aku selalu ingin menemukan kesamaan dalam diri kalian berdua. Tanpa kusadari, ternyata dia punya rahang pipi sepertimu, dan atas dasar ini-- aku semakin rindu pipimu yang menggemaskan. 

Dia masih saja terus bercerita, dia memang lebih cerewet darimu, aku akui itu. Tapi, entah mengapa hingga detik ini aku tak menemukan kecocokan dalam pembicaraan kami. Rasanya begitu sulit untuk menahan diri agar tidak membandingkan dirinya dengan dirimu. Aku rindu percakapan kita yang tak memiliki alur, namun terus menyambung seperti selokan yang berujung di kali Ciliwung. Oh, ya, analogiku memang jelek, kamu yang bagus menganalogikan segalanya. Maklum, kamu anak sastra, aku anak informatika. Aku mencoba memaafkan semua kekurangan yang ada dalam dirinya karena tak mungkin ada orang yang sama dalam tubuh berbeda. Aku yang bodoh, mengharapkan dia bisa seindah dan sebaik dirimu.

Rokok masih menempel di bibirku, semakin aku sering mengingat masa lalu kita, semakin aku tak paham apa yang gadis ini bicarakan padaku. Malam ini, aku sangat berharap bisa memelukmu dengan erat tanpa beban, tentu dengan syarat aku harus mematikan rokokku selama memelukmu. Ya, gadis ini tidak melarangku merokok, dia membebaskanku melakukan apapun. Aku terbiasa dengan pengekanganmu, dengan cemburumu, dengan amarahmu ketika tahu ada gadis yang menggodaku. Aku terbiasa dengan itu semua dan kekasih baruku ini.... dia terlalu santai. Aku tak tahu siapa yang salah, apakah salahnya yang terlalu percaya padaku atau salahku yang terbiasa dengan sikap cemburu yang kamu tunjukkan padaku?

Aku tidak tahu, Dek, ini hari ketujuh belas setelah perpisahan kita, namun bayangmu masih ada di mana-mana. Kamu seperti hantu saja, kamu ada dalam setiap sudut saat aku memandang. Kamu hadir dalam setiap detik ketika aku bernapas. Kamu ada dalam langit malam, kamu abadi dalam asap rokokku, tawamu terdengar sayup-sayup, dan aku semakin ketakutan bahwa bayang-bayangmu yang mengikutiku bisa membuatku jadi pria paling gila karena patah hati. 

Gadis di sampingku masih terus berbicara, aku tahu dia tidak akan beranjak pergi hingga sejam dua jam kemudian. Aku pamit meninggalkan dia sebentar, menyalakan laptopku, dan memutar lagu Taylor Swift dengan kencang. Dengan langkah malas, aku kembali duduk di sampingnya. Dia tersenyum padaku dan kembali bersandar di bahuku. Kehangatan yang hampa bagiku.

Aku memejamkan mata sambil mendengar lagu Taylor Swift, lagu kesukaanmu, dan membayangkan kamulah yang sekarang bersandar di bahuku. Ah, andai gadis yang di sampingku sungguhlah dirimu, aku berani sumpah demi apapun; aku tidak akan lagi melepaskanmu pergi.


Dari Abangmu,
yang selalu kaunilai tidak peka di matamu,
namun diam-diam seringkali menangisimu.


11 May 2015

Enam belas hari setelah perpisahan kita

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Delapan Hari Tanpamu

Aku terbangun karena teriakan teman kosku, dia berteriak dari ventilasi kamar, dan berkata bahwa terjadi kebakaran di kamar kos bawah. Aku terbangun kelimpungan dan ternyata aku dikerjai habis-habisan. Aku hanya mengumpat dia beberapa kali, kemudian berbaring lagi. Kutatap langit-langit kamar yang putih dan perasaan hampa itu datang lagi. Aku tak tahu perasaan ini namanya apa, aku juga tak ambil pusing harus sibuk menamai perasaan aneh ini, tapi rasanya yang aku jalani semakin berbeda, dan diam-diam aku namakan perasaan ini adalah perasaan kehilangan kamu.

Aku meraih ponselku yang kini tidak lagi menggunakan backround picture foto kita berdua. Hanya ada beberapa pesan dari grup jurusan kuliahku, tentu saja tidak ada pesan darimu. Ini adalah pagi keenam belas, setiap pagi sebenarnya adalah hal tersulit bagiku; karena aku harus meyakinkan diri bahwa kamu tidak akan lagi meneleponku pagi-pagi sekali. Aku sempat berpikir bahwa melepasmu pergi bukanlah masalah besar bagiku, aku akan menjalani pagiku seperti biasa, nyatanya itupun tak semudah yang aku pikirkan. Aku yang dulu berusaha untuk melepaskanmu, namun mengapa sekarang malah aku merasa paling kehilangan kamu?

Seusai mandi dan membersihkan diri, aku mengunci kamar kosku. Aku memakai sepatu dan duduk di depan balkon lantai dua. Belasan hari yang lalu, aku ingat betul, gadis berambut gelombang dengan dua lesung pipi itu selalu menghadiahkanku pelukan hangat, dan dia sudah membawa dua porsi sarapan. Namun, gadis itu tidak ada lagi di sana, kamu tidak lagi ada di sana. Saat memakai sepatu, aku merenung sebentar. Aku jadi ingat bagaimana leluconmu menceritakan banyolan standup comedy yang baru kamu tonton, kamu beranggapan bahwa candaan comic itu sangat lucu, tapi entah mengapa saat itu aku merasa candaan yang kamu ceritakan sama sekali tidak lucu. Berkali-kali aku menyemburmu dengan ucapan bahwa selera humormu rendah, kamu hanya memasang wajah cemberut, dan untuk menghapus sedih di wajahmu-- aku menghadiahkan pelukan, giliran aku yang memelukmu. 

Jika diingat-ingat, ternyata kita manis juga, atau kamu yang mengubah pria dingin sepertiku berubah jadi romantis dan manis? Aku merelakan diri untuk mengubah diriku, demi membahagiakanmu. Aku tidak tahu apa arti bodoh dan tolol, yang jelas melihat senyummu adalah kedamaian tersendiri bagiku, meskipun mungkin senyum itu juga kamu berikan untuk pria lain. Setelah kita putus pun, aku masih tak yakin bahwa aku adalah satu-satunya yang memiliki dirimu. Kamu itu bintang yang gemerlap, bulan pun akan silau melihat sosokmu, tidak mungkin laki-laki tidak ingin memilikimu. Aku selalu merasa, pria sederhana seperti aku hanyalah mainan yang segera kamu tinggalkan saat kamu di puncak kebosanan. Dan, aku masih tak paham apakah hubungan kita benar-benar hubungan yang kamu perjuangkan?

Aku bersiap berangkat ke kampus, sepeda motorku dengan knalpot berisik itu siap menyapu jalanan dengan bunyinya yang tak karuan. Setiap menaiki sepeda motor ini, aku merasa seperti raja jalanan, terutama jika sedang memboncengmu di belakang. Aku benar-benar jadi raja yang sangat bahagia memiliki ratu serba bisa sepertimu, ratu yang pada akhirnya harus aku lepaskan karena aku merasa menjadi raja untuk ratu yang sempurna sungguhlah sangat melelahkan. 

Sepeda motorku melaju pelan di bilangan Margonda, Depok. Jalan-jalan yang kita lewati berdua, aku sengaja melewati jalan yang sering kita lewati saat mengantarmu ke kampus. Aku masih ingat bagaimana eratnya pelukmu dan lembutnya suaramu ketika kamu mengajakku bicara di atas sepeda motor. Aku masih hapal dengan jelas lirik lagu Taylor Swift yang selalu kamu lantunkan. Sebenarnya, aku sangat benci lirik-lirik cengeng yang dinyanyikan penyanyi perempuan kesukaanmu itu, tapi entah mengapa; jika kau yang bernyanyi, rasanya aku tak ingin kamu berhenti. Enam belas hari ini, aku tidak mendengar suaramu, dan aku menyesal kenapa aku tidak meneleponmu untuk yang terakhir kalinya sewaktu aku memutuskan ingin mengakhiri semua. 

Beberapa menit kemudian, aku sampai di depan kampusmu. Melepas helmku dan menatap mahasiswi yang terburu-buru memasuki gedung perkuliahan. Aku berharap kamu ada dalam puluhan mahasiswi yang berlalu-lalang di depanku. Dan, kamu tidak ada di sana. Aku berharap kejadian itu bisa terulang lagi, saat kamu turun dari sepeda motorku, memberikan satu kecupan kecil di pipiku, lalu melambaikan tangan sebelum memulai perkuliahan. Hari ini, itu tidak terjadi, dan sekali lagi aku harus membiasakan diri untuk kehilangan rutinitas-rutinitas yang dulu sempat aku lakukan bersamamu.

Mengingat jam makin dekat dengan waktu dimulai perkuliahan di kampusku, aku segera mengendarai sepeda motorku menuju kampus. Aku berusaha menyibukan diri, dengan banyak aktivitas yang membuat aku semakin cepat melupakanmu. Aku lebih banyak bicara dengan teman-temanku tentang anime terbaru yang segera rilis di situs kesukaanku. Dengan segala kesibukan itu, aku berharap bisa dengan cepat melupakanmu. Aku juga mempelajari banyak metode baru untuk mengutak-atik komputer serta jaringan sambil diam-diam berharap agar semua yang aku lakukan bisa membuatku sedikit saja lupa soal kenangan kita.

Hari telah berganti malam, aku telah sampai di kamar kosku. Tempat ini semakin sepi saja. Aku semakin benci kalau harus sendiri lagi, karena kesendirian membuat aku seringkali mengingatmu. Setenang mungkin, aku berusaha menerima keadaan dan kesepian ini. Kuseruput kopiku dan aku telah menghabiskan dua batang rokok. Laptopku berkali-kali memutar suara gadis itu, gadis yang dulu kubenci setengah mati karena kegalauannya yang luar biasa. Aku sendiri juga heran, rutinitasku yang dulu bermain game online setiap malam, kini berubah jadi mendengarkan lagu Taylor Swift.

Dengan begini, aku merasa tenang. Dengan cara seperti ini, setidaknya aku merasa, kamu seakan ada di sampingku.


Dari  pria biasa
yang tidak banyak mengerti cinta.



04 May 2015

Delapan Hari Tanpamu

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Empat hari tanpamu

Kamu boleh bilang aku bodoh dan tolol, sejak mengenalmu, aku memang merasa makin bodoh dan tolol. Kamu membutakan semua dan menggelapkan pandanganku tentang cinta. Aku mencintaimu dan aku tak tahu mengapa pelukmu yang hangat itu selalu membuat aku merasa ingin pulang ke arahmu, meskipun sejak dahulu harusnya aku sadar; kamu bukan tempat pulang yang tepat.

Delapan hari tanpamu akhirnya bisa aku lewati. Ternyata, berminggu-minggu tidak bertemu denganmu tidak membuat aku mati. Aku masih mampu menjalani hidupku sendiri meskipun aku terus mengingatmu berkali-kali. Semua memang tak mudah, Tuan, aku mulai merangkak dan berjalan sendiri. Aku mencari duniaku lagi, membangun semua dari awal lagi, dan membiasakan diri untuk melangkah tanpa bisikan semangat darimu. Dan, selama delapan hari ini, aku bisa melewati itu semua.

Bali cukup menolongku, suasana di sana cukup meneduhkan bagi aku yang sedang remuk. Mungkin, sampai sekarang kamu tak akan tahu bagaimana hancurnya aku, bagaimana aku berjuang mati-matian untuk mengembalikan diriku yang sempat kaucuri. Mungkin, kamu juga tak peduli bagaimana aku mengobati lukaku sendirian. Tentu di sana, kamu tengah berbahagia dengan serial anime terbaru yang kautunggu-tunggu, kamu tak mungkin peduli dengan perempuan yang pernah menghabiskan waktunya bersamamu. Pria sepertimu tak akan pernah paham arti sakit hati yang sesungguhnya. 

Maafkan kebodohanku karena pernah sempat beberapa kali menghubungimu. Dan, telepon serta pesan singkatku memang tidak kaugubris, sesuai dengan perkiraanku. Itu sudah cukup jadi bukti, kamu tak ingin tahu lagi kabarku dan keadaanku. Ya, malam itu, aku berpikir untuk segera menghapus semua nomormu, yang dalam artian luas adalah memutuskan untuk melupakanmu. Malam itu, langit Uluwatu jadi saksi, bahwa aku siap membasuh darahku sendiri dan memaafkan kamu yang menggoreskan jemari tajammu di hatiku.

Beberapa hari ini aku juga tak melanjutkan menulis kisah-kisah tentangmu. Tidak menulis cerita lima hari tanpamu, enam hari tanpamu, tujuh hari tanpamu; karena kurasa luka itu tak perlu dihitung-hitung dan ratapanku tentangmu tak perlu lagi aku umbar-umbar meskipun kalau boleh jujur-- aku sangat tersiksa. Kamu tak akan tahu sakitnya ditinggalkan saat sedang cinta-cintanya, mungkin sosok keras kepala sepertimu hanya akan mempercayai apa yang kaupikir benar dan kaupikir aku tak pernah terluka karena sikapmu. Kamu salah besar, lukaku sudah cukup dalam, dan luka ini akan jadi tabungan karmamu. Kamu tinggal menunggu waktu, saat ada seorang wanita lain memberimu sakit hati yang sama, seperti kamu dengan mudahnya membuangku seperti sampah.

Aku cukup berada di sini. Jadi penonton dari jauh dan tinggal menunggu waktu, siapa yang akhirnya tertawa lebih lepas dan lebih keras. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan melakukan balas dendam, karena aku tahu balasan dari Tuhan akan jauh lebih menyadarkanmu kelak. Air mataku cukup sampai di sini, tangisku harus reda sekarang, dan izinkan aku memulai hidupku yang baru tanpa jeratan darimu.

Tiga bulan ini, kamu mengurungku dalam hubungan yang aku pikir cinta. Kamu sangat tahu bahwa aku bisa sangat baik pada pria yang aku cintai, lalu kamu memanfaatkan semua agar aku bisa jadi bonekamu yang paling setia. Kamu lakukan apapun yang diinginkan wanita, agar aku merasa kamu pun juga turut jatuh cinta. Aku membuka mata dan pada akhirnya aku tahu semua palsu semata.

Sekarang, kamu tidak menyesali kepergianku, tapi bisa aku jamin beberapa bulan kemudian, kamu adalah orang yang merasa paling menyesal karena melepaskanku begitu saja. Ingatlah satu hal ini, apa yang kauperbuat menjadi apa yang kautuai. Jika kautelah menyakitiku, tentu suatu saat kamu juga akan menuai rasa sakit yang sama. Tuan, mungkin saat itu kamu baru menyadari, betapa meninggalkanku adalah kebodohan yang harusnya tak kamu lakukan.

Biarkanlah kamu pergi tanpa penjelasan, aku juga tak butuh lagi penjelasan darimu. Kalaupun kauingin menjelaskan semua, aku yakin hanya kebohongan-kebohongan lain yang akan kamu ucapkan padaku. Pergilah dengan perasaan pengecut, Tuan, selamanya aku akan mengingatmu sebagai pria tak tahu diri yang hanya bisa mengemis tanpa mau berusaha. Dan sekuat mungkin aku berdoa, anak-anakku kelak tidak akan pernah bertemu dengan yang brengsek-brengsek sepertimu.

Terima kasih untuk tiga bulan yang berkesan, menyenangkan, sekaligus menciptakan ketakutan. Terima kasih untuk peluk dan kenangan yang sempat membuatku percaya bahwa ini semua cinta sejati. Terima kasih pernah membuatku tertawa walau sesaat. Terima kasih untuk segala hal yang bisa membuatku cukup bahagia.

Aku marah, tidak mungkin jika manusia tidak marah jika ditinggalkan begitu saja. Tapi, percayalah, aku akan selalu mengingatmu sebagai bahan pembelajaran bahwa aku tak akan melakukan kesalahan yang sama. Aku percaya, patah hati seperti ini akan sembuh dengan cepat, lalu aku akan menulis novel baru, kemudian sakitku terobati. Patah hati kali ini tentunya akan seperti patah hati yang lainnya, aku akan sembuh dengan sendirinya.

Abang, jaga dirimu baik-baik. Aku akan tetap jadi orang yang paling merindukan dialek Melayu Bengkulu-mu. Kita akan tetap menjadi teman baik yang akan saling melupakan seiring berjalannya waktu. Tetaplah jadi Titanium Helium Einsteinium Osmium-ku yang manis, hingga akhirnya kamu menemukan gadis yang menemanimu salat, karena gadis berkalung salib sepertiku; tak akan mampu menyodorkan kebahagiaan kecil itu untukmu.


dari  mantan kekasihmu
yang masih sulit melupakanmu.

Sebagai gadis yang pernah dan masih mencintaimu, aku juga ingin tahu kabarmu. Bagaimana kabarmu sekarang?