30 June 2014

Selamat Ulang Tahun, Ksatriaku

Sebelum hari ini berubah jadi kemarin, aku hanya ingin mengucapkan rasa syukurku karena bisa mengenalmu sejauh ini, walaupun pada akhirnya kita tak saling berkenalan sejauh yang kuharapkan. Kepergianmu yang tanpa isyarat itu benar-benar membuatku seakan kehilangan udara. Aku yang sibuk mencari oksigen kebahagiaan seakan kausemburkan asap rokok penuh racun agar semakin merusak paru-paruku. Anehnya, meskipun kamu menyakitiku, aku tak pernah memilih untuk menjauhimu. Bodohkah aku? Ah, kamu tentu tahu, Ksatriaku, wanita bodoh, yang sedang jatuh cinta, tak pernah memikirkan kebodohannya, ia hanya tahu yang ia sebut pengorbanan. Pengorbanan yang mungkin terbungkus secara gaib, pengorbanan yang mengatasnamakan; cinta.

Kamu semakin dewasa dan kuharap beberapa sikapmu bisa berubah. Meskipun mustahil bisa dekat denganmu lagi, meskipun hanya mimpi bisa kembali menggenggam jemarimu, aku hanya ingin berharap suatu hari nanti kaubisa berdiri sendiri, dengan kekuatanmu sendiri, dan aku di sini hanya bisa menatapmu dari jauh, menangis diam-diam, dan menyebut namamu dalam setiap doa panjangku. Tak ada yang lebih masuk akal saat ini, aku hanya bisa mendoakanmu dan berharap Tuhan masih ingin mengasihaniku hingga menarik tubuhmu yang begitu jauh agar segera mendekat ke arahku. Aku ini telah kaubuat begitu gila, hingga aku tak tahu apakah sosokmu memang pantas diperjuangkan atau ditinggalkan saja seperti kamu dengan mudah meninggalkanku. Sayangnya, menjadi perempuan yang tega dengan orang yang sangat ia cintai bukanlah hal yang mudah. Dan, meninggalkanmu walau sesat bukanlah hal gampang yang bisa kulakukan. 

Perasaan ini, Sayang, seperti letupan keras yang bersuara tapi tak bergema. Aku pernah ada, namun untuk selanjutnya aku tak jadi siapa-siapa untukmu. Aku lenyap dalam jutaan pujian dari sekian banyak  orang yang menggilaimu. Sekarang, aku kembali jadi perempuan kesepian, yang menunggu ksatrianya pulang dari perang. Pernah aku ikhlas melepaskanmu dan hal itu membuatku menyesal sepanjang waktu, mengapa dulu tak kutahan saja kaupergi, agar aku tak kausakiti begini?

Sayang, bukan aku ingin mengemis, sungguh kautentu tahu. Aku perempuan yang takut untuk bicara, aku hanya bisa menumpahkan semua kekesalanku, kesakitanku, dan rasa bersalahku dalam tulisan. Aku tak tahu siapa yang salah dan aku tak ingin tahu apalagi menyalahkan siapa yang sesungguhnya harus bertanggung jawab atas semua perih yang kuterima. Tapi, aku mencoba tegar menghadapi ini semua, karena aku yang memilih untuk memperjuanganmu, aku yang memilih mencintaimu, aku yang memilih berdarah-darah untukmu.

Tak akan kusalahkan siapapun. Tak akan kusalahkan kamu, mereka, apalagi dia. Sebagai wanita yang tak bisa apa-apa, izinkan aku memberi lambaian tangan terakhir untuk mengikhlaskanmu pergi, sekarang atau selamanya. Biarkan aku jadi wanita yang sabar menanti, meskipun kutahu ksatriaku tak akan pulang ke rumah. Biarkan aku sibuk menunggu di beranda, meskipun kutahu kautak akan membuka pintu pagar dan memelukku sembari mengucapkan rindu dengan suara yang pelan serta sedikit kaku. Biarkan aku jadi perindu, yang sabar menunggu, meskipun kutahu, ksatriaku tidak pernah meminta untuk ditunggu

Selamat ulang tahun, pria pembawa tawa. Terima kasih telah singgah. Terima kasih pernah hadir. Terima kasih untuk banyak hal yang tidak cukup hanya sekadar dihargai dengan kata terima kasih.

Kalau mau pulang, pulanglah. Berhentilah bertempur, Sayang, kamu butuh pelukan.