08 March 2014

Setelah Bertemu Kamu



Aku berada di antara ratusan rak buku yang seakan-akan memandangiku dan bertanya-tanya. Jantungku berdebar-debar menunggu kamu, mungkin pertanyaan itu yang disimpan para rak buku dan bangku serta meja yang menungguku memberi jawaban. Pesanmu yang kubaca kembali membuat senyumku mengembang, kamu sudah di lantai dua, dan janji kita untuk bertemu sebentar lagi akan tergenapi. Aku menatap wajahmu, kamu menatap wajahku.

Siang itu, udara Depok sangat terik. Sambil melihat isi lini waktu Twitter, aku berharap kebosanan saat menunggumu bisa segera mereda. Tiba-tiba, suara berat itu menyapaku, kamu menjabat tanganku, tersenyum malu-malu, dan memperbaiki kaca matamu. Aku terkejut, setelah berminggu-minggu kita menjalani hubungan yang entah-harus-disebut-apa, akhirnya kita bisa bertatap mata. Seperti yang kukatakan sejak awal, rasa terkejutku dibarengi dengan suasana kedap suara yang hanya bisa ditemukan dalam novel-novel cinta. Dan, kalau kamu mau tahu, kalau kamu mau memaklumi sikapku, aku merasakan apa yang terjadi dalam novel-novel itu; semua kedap suara. Hanya suaramu yang terdengar, hanya suaramu yang mengalun pelan, aku tak tahu ini apa, terlalu terburu-burukah jika kusebut cinta?

Perpustakaan Pusat UI kala itu seperti memahami kita, aku dan kamu duduk berdua, bersebelahan, berbagai cerita,  dan kita bertatapan mata. Aku mulai ragu, setiap memadang matamu dan menelusup ke balik kaca matamu. Ada perasaan rindu yang tersembunyi di sana, kecemasan yang tidak kupahami ketika kamu sebut nama kekasihmu.

Aku menghela napas, rasa sakit itu menyeruak dan menganga lebih besar lagi. Amarahku tiba-tiba membuncah, amarah yang kutahan, kupendam, selama berbulan-bulan. Kamu bercerita tentang kekasihmu dan kamu masih sempat memanggilku dengan panggilan 'sayang'. Aku menelan ludah, menghela napas pasrah, berharap ini semua hanya permainan yang akan segera berakhir, dan yang kumau aku bisa keluar menjadi pemenang. Tapi, setiap mengingat itu, aku takut justru akulah yang kalah, dan aku hanya bisa melihatmu dan kekasihmu bahagia, kemudian menerima kenyataan bahwa aku tak pernah ada di mata dan hatimu.

Aku hanya tersenyum saat mendengar ceritamu, senyum yang semakin lebar saat berkali-kali kau menyebut nama dia, namun jemarimu menggenggam tanganku, rasa sakit yang semakin dalam saat kulihat wajah wanita itu berada dalam wallpaper ponselmu setiap kali kamu menyentuh layar benda kecil itu. Setiap kali kaucerita tentang dia, aku berusaha tertawa geli, begitupun saat malam hari kamu kembali menarik wanita itu dalam setiap percakapan kita di telepon. Aku merasa posisiku sangat kecil. Aku merasa kamu semakin jauh. Aku merasa aku mulai mencintaimu, ketika kutahu aku mulai cemburu dan takut kehilangan kamu.

Aku tak tahu bagaimana perasaanmu padaku, apakah kamu menganggapku penting atau hanya menganggapku halte tempat kamu singgah sebentar kemudian pergi lagi bersama kekasihmu. Aku tak tahu apakah kata sayang yang kamu ucapkan, kamu bisikkan ketika kamu memegang tanganku adalah isyarat yang sungguh terjadi, ataukah semua yang kita jalani selama ini hanya bualan semu dan aku tertipu terlalu jauh?

Siang itu, saat kamu pamit meninggalkanku dan kembali ke kampusmu, aku hanya memberi sedikit senyuman dan menepuk bahumu. Aku berdoa dalam hati agar kita bisa bertemu lagi. Namun, ketika kutelusuri lagi matamu, kuselami lagi dunia dalam jelaga matamu, rasanya aku tak ingin semua ini berakhir. Rasanya aku tak ingin kamu pergi. Rasanya aku ingin memilikimu seutuhnya walaupun pada akhirnya kamu akan kembali pada kekasihmu.

Terima kasih untuk hari yang menyenangkan. Sepertinya aku mulai menggilaimu.

Untuk pria berkacamata

yang sibuk dengan dunianya

sibuk dengan kekasihnya

namun masih sempat menaruh hati

pada perempuan tak tahu diri...

Aku.