20 August 2011

Cinta. Agamamu. Agamaku

"Apakah seseorang yang kaucintai harus memeluk agama yang sama denganmu?"

Aku duduk terdiam di depan tempat ibadah itu. Tempat ibadah yang mungkin tidak akan pernah kumasuki seumur hidupku. Tempat ibadah yang selamanya tak akan kubiarkan kakiku menginjak dan merasakan lantai dingin yang mungkin sedikit memberi kesejukan itu, masjid. Aku menunggunya dengan sabar, menunggu kekasihku selesai beribadah. Terlintas pikiran nakal kala itu, "Bagaimana mungkin aku bisa mencintai seseorang yang tempat ibadahnya tak sama denganku?" Tiga menit kemudian, beberapa orang telah meninggalkan tempat ibadah itu. Aku menyibukan kepalaku dengan menggerak-gerakannya, celingak-celinguk kanan kiri mencari sosoknya. Lalu, beberapa detik kemudian seorang pria berlari-lari kecil ke arahku, kekasihku, Idlan.

"Sayang, nunggunya lama ya?" Dengan nafas terengah-engah Idlan menyapaku.

"Enggak kok, tenang aja. Dimuka kamu masih ada air wudhu tuh, aku ada tissue, mau dilap dulu enggak?" Ungkapku sambil memeriksa isi tasku.

"Boleh deh." Jawabnya singkat sambil memerhatikan wajahku dengan seksama, aku terheran.

"Kenapa ngeliatin aku terus sih?" Tanyaku sinis memelototi matanya.

"Kamu cantik, kenapa enggak pake jilbab aja?" Gurau Idlan dengan tawa khasnya.

"Emangnya kalau aku pakai jilbab malah tambah cantik ya?" Tanyaku balik sambil mengacak-acak rambutnya.

"For sure, yes!"

"Cantik itu dari hati kok, bukan dari jilbab." Ujarku pelan sembari menarik tangannya agar melanjutkan perjalanan kita dengan berjalan kaki.

"Iya, Sayang. Tapi..."

"Lagian juga, yang harus dijilbabkan bukan cuma fisik, tapi juga hati." Timpalku memotong pernyataannya.

"Kok jadi dibawa serius sih?" Idlan menahan langkahnya, menarik tanganku agar memberhentikan langkahku.

"Siapa yang bawa serius? Aku cuma enggak suka aja, kalau kamu enggak bisa terima aku yang enggak pakai jilbab ini yasudah. Kalau kamu enggak bisa terima agamaku, maka kamu enggak bisa mencintai aku kan?" Pembicaraan menjadi panas, aku berjalan meninggalkannya. Seperti biasa, dia tak pernah mengejarku, dia tak pernah menahanku untuk tetap tinggal.
***
Ibu menunggu di depan rumah. Wajahnya temaram kelam layaknya menunggu seseorang. Aku menghampiri beliau dengan langkah terburu-buru.

"Mama, kok di luar?" Aku menghampiri mama sambil mengajak beliau memasuki rumah.

"Pulang sama siapa?" Tanya mamaku singkat.

"Sama, Idlan, Ma." Jawabku, juga dengan pernyataan yang singkat.

"Kamu masih sama dia, Nak?"

"Iya, Ma."

"Enggak inget nasehat, Mama?"

"Inget, Ma."

"Yang pertama?"

"Gelap tak mungkin bersatu dengan terang."

"Yang kedua?"

Aku terdiam sejenak, menatap ibuku yang memegang bahuku. Dengan paksa aku melepaskan tangannya, sambil bangkit berdiri aku berkata, "Semua agama itu sama, Ma. Hanya cara menyembahNYA saja yang berbeda!" Bentakku ketus. Mama terdiam.

Dengan kesal aku membanting penting kamar. Aku benci dijejeri pertanyaan sampah seperti itu. Apa salahnya jika aku menjalin hubungan lebih dari teman dengan seseorang yang tidak seagama denganku? Inilah Indonesia, perbedaan harus dianggap sebagai sesuatu yang tak akan pernah bisa disatukan.
***
Seusai ibadah, aku iseng melihat ke celah-celah pintu gereja, ada seorang pria yang sepertinya tengah menunggu seseorang, ia duduk di atas sepeda motornya. Setiap beberapa detik ia selalu melihat ke arah gereja, seakan-akan matanya menyusuri setiap celah-celah kecil gereja itu. Aku seperti mengenal raut wajah pria itu, "Seperti Idlan." Ucapku dalam hati, lirih.

Sekitar pukul 14:00 siang, dengan langkah santai aku meninggalkan tempat ibadahku, gereja. Ternyata benar dugaanku, pria yang sejak tadi bertengger di depan gereja adalah Idlan. Aku mempercepat langkahku, tapi Idlan tetap menghampiriku.

"Zuriel, maaf ya kemarin." Dengan wajah tersipu malu, Idlan menghampiriku.

"Aku selalu memaafkanmu, bahkan sebelum kau meminta maaf." Aku menghentikan langkahku, menatap matanya dan tersenyum sendu saat melihat wajahnya. "Tapi, hubungan kita cukup sampai disini."


Seakan-akan ribuan pedang menghujam Idlan, matanya berair, dia menatapku dengan serius, "Kamu beneran?"

"Ya." Jawabku singkat, sambil mengarahkan pandanganku ke arah lain. Matanya berair, aku tak pernah suka pemandangan itu. Cowok kok sukanya nangis?

"Sesingkat ini?"

"Sesingkat? Hubungan kita sudah satu tahun! Dan, mau tahu hal yang selalu kutahan? Kamu selalu memperlakukanku seperti temanmu bukan kekasihmu. Kamu tidak pernah berusaha menjaga perasaanku. Kamu tak pernah berusaha mentolerir agamaku, maka kamu tidak akan pernah menerima cintaku." Jelasku panjang lebar, membiarkan hatinya teriris.

"Maaf, Riel."
 
***
 
Buat yang ngalamin cinta beda agama, jangan lanjut baca tulisan yang ini, nanti nangis. Berani baca TULISAN INI? :( 

Dan kamu yang pernah TERSAKITI HABIS-HABISAN, BERDARAH TAK KARUAN, PLIS JANGAN KLIK TULISAN INI :( AKU NGGAK TANGGUNG JAWAB KALAU KAMU NANGIS!

13 August 2011

Kalau Aku HAMIL di Luar Nikah, Apakah Kau Tetap Mencintaiku, Bu?

"Jika seorang anak melakukan kesalahan, seseorang yang bukan siapa-siapa selalu marah diawal, sedangkan seorang ibu selalu marah diakhir, karena dia tahu sebab anaknya melakukan kesalahan"

Nafasku tercekat, jantungku berdetak dengan cepat, pembuluh darahku seakan-akan ngebut di dalam jalur peredarannya. Walau aku sangat penasaran, aku tak ingin menatap test pack itu. Meskipun aku sangat tertarik mengetahui hasilnya, tapi aku tak ingin tahu apa yang terjadi dengan test pack itu. Positif atau negatifkah?
***
"Tenang, Sayang. Kita hanya mencoba-coba saja, kalau kau kenapa-napa, aku pasti tanggung jawab kok." Ucapnya sambil memaksa.

"Janji?" Tanyaku singkat menatap matanya.

"Apa aku pernah berbohong?" Dia tak menjawab, hanya bertanya balik.

Itulah, kekuatan dari kelenjar testosteron, menggoda seorang anak muda tanpa tahu apa yang terjadi kedepannya. Seperti aku dan dia, begitu gila. Malam itu, aku seperti tersentuh setan, aku berlaku seperti binatang yang tak bermoral dan beragama. Jelas-jelas dalam kitabNya Tuhan berkata: "JANGAN BERZINAH!" Bukankah peringatan keras itu tidak diucapkan secara lirih oleh Sang Pencipta? Kenapa aku yang bukan siapa-siapa ini begitu lancang melanggar perintahNYA dan malah menyentuh laranganNYA. Tuhan, tapi apa KAU tahu yang kulakukan kala itu? Apa KAU marah? Apa KAU menangis? Tuhan, plisss jangan marah! Hanya detik itu saja aku melupakanMU. Setelahnya, aku hanya menangis, menyesal atas segala kemahatololan yang kubuat sendiri. Menyesal atas kesalahan yang merusak apapun yang telah kubangun dengan susah payah. Pria yang mudah bicara cinta, ternyata lebih banyak menyimpan DUSTA. Memang Tuhan, aturanMU selalu BERALASAN. PerintahMU selalu memiliki tujuan. Tuhan, bisakah KAUmaafkan aku untuk ke miliyaran kalinya?
***
POSITIF! Rasanya aku ingin menggoreskan kaca dilembutnya kulit yang membalut urat nadiku. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada ibuku? Apa yang terjadi akan membuatku malu? Apa yang harus kulakukan pada bayiku? Bagaimana dengan lingkungan sosialku? Apakah mereka akan mencomooh dan menghinaku? Bagaimana dengan mimpi-mimpiku? Bagaimana jika anak ini bertanya tentang ayahnya? Bagaimana cara menghidupi bayi ini? Apa aku siap untuk menjadi ibu? Kala itu, banyak pertanyaan mencuat liar dari otakku, mengacaukan akal sehatku, dan merusak laju kerja jaringan otakku. Tuhan, aku sangat ikhlas jika KAU cabut nyawaku kali ini. "IKHLAS!" Teriakku lantang menggema, bunyi yang memantul dari dinding kamar mandi.

Terpikir jalan pintas. Cerdas! Bagaimana kalau aku makan buah nanas dengan jumlah yang banyak? Bagaimana kalau aku terus-terusan meloncat hingga aku keguguran? Bagaimana kalau aku meminum alkohol dengan konsentrasi larutan 60%? Bagaimana kalau aku melakukan aborsi? Ah, sepertinya tidak terlalu sulit untuk menghadapi masalah "sekecil" ini. Kuabaikan kuliahku, kuseriusi "karya" mendadak yang satu ini. Menggugurkan bayi, dosa yang berdasar pada keinginan untuk tidak merasa malu dikemudian hari.
***
This is it! Bidan ********** Ah, sebut saja Bunga atau Mawar. Bidan ini dikenal sebagai wanita "cerdas" dan "baik hati", siap membantu wanita yang dengan "senang hati" ingin menggugurkan bayinya dengan biaya yang relatif terjangkau. Setelah aku mengambil nomor antrian, aku duduk di bangku ruang tunggu bagian belakang. Awalnya, tempat ini memang tak semenyeramkan apa kata orang. Di bagian depan, aku melihat sepasang kekasih yang masih berumur muda, mungkin sekitar 22 tahun. Sang pria memegang lembut perut kekasihnya, perut yang berisi calon bayinya, sayangnya bayi itu sebentar lagi akan digugurkan. Tapi, tak berapa lama kemudian aku mendengar suara teriakan dari ruang praktek, suara kesakitan. Suster yang berjaga di dekat loket langsung menghampiri ruang praktek dengan raut wajah panik. Suara teriakan itu memang sangat mengagetkan.

Aku menatap sepasang kekasih yang duduk dibangku depan. Sang wanita memasang wajah takut, sang pria hanya menatap lemas kekasihnya. Mereka terlihat saling mencintai, saling melindungi. Tapi, karena umur yang sangat muda, karena pengalaman mereka yang sangat minim, tanggung jawab menjadi orangtua terkesan sangat berat. Makanya, mereka menolak anugerah Tuhan yang disebut dengan anak. Sesakit itukah cara untuk menghindari rasa malu? Dengan menyiksa diri sendiri, dengan merusak sesuatu yang tak pantas untuk dirusak. 

Aku mengasihani diriku sendiri, menatap banyak tapak jalan yang telah kulalui hingga detik ini. Aku memegang perutku yang mulai membesar, mengelusnya lembut sambil menyimpulkan senyum, "Yang ada diperutku ini adalah calon bayiku." Ucapku lirih dalam hati. Dia tidak berdosa, tapi aku yang berdosa. Dia hanya terbentuk dari hasil dosaku, tapi sekali lagi bukan dia yang berdosa. Jadi, kenapa aku harus mematikannya? Jadi, kenapa aku harus merusak jiwa kecintaan Tuhan ini? Bukankah Tuhan telah mempercayai bayi ini untukku? Tanpa disadari, air mata santai menuruni lekukan pipiku. Aku merobek nomor antrian, meninggalkan tempat aborsi laknat itu, lalu menghampiri mobilku di tempat parkir. Tuhan, apa kali ini aku melakukan tindakan yang benar?
***
Aku mengendap-endap masuk ke kamar ibuku, beliau tidur sendirian, dengan wajah lelahnya, dia asik memeluk guling berwarna biru itu. Aku memperbaiki posisi selimutnya, menatap wajah beliau dengan sangat dalam. Sebagai seorang single parent, beliau menjelma menjadi ibu dengan sejuta keistimewaan, mampu menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. Apa aku akan mengikuti jejaknya? Sejak melihat sosok ayah yang begitu buruk dimataku, aku tak lagi memandang laki-laki sebagai mahluk yang harus dicintai.

Aku berbaring disamping ibuku. Merebahkan kepalaku disamping kepalanya, mataku menatap lembut wajahnya. Tanganku bergerak menuju pundaknya, aku menggenggam pundak ibu dengan lembut, pundak seorang ibu adalah tempat seluruh penderitaan melebur menjadi kekuatan. Aku menangis, tenggorakanku sakit, nafasku tersendat, ibu tersadar dari tidurnya lalu menatapku.

"Kenapa, Sayang? Maaf kalau ibu pulang terlalu malam ya. Sebenarnya tadi pas sampai di bandara, ibu pengennya sih langsung pulang, tapi ada sesuatu yang harus ibu kerjakan di kantor dulu. Kamu kesepian ya beberapa hari ini? Pasti kamu marah sama ibu?" Ucap ibu lirih, sambil mengelus rambutku.

"Ibu, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi janji jangan marah yah?" Dengan malu-malu, ku-ucapkan kalimat itu pada ibu.

"Apa ibu pernah memarahimu?"

"Kalau aku hamil di luar nikah, apa kau tetap mencintaiku, Bu?"

Raut wajah ibu tersirat dengan jelas, beliau sangat kaget dengan pertanyaanku. Dia menghela nafas panjang, menarik tubuhku ke dalam peluknya, dengan suara terisak dia menjawab, "Tentu saja, Anakku."

"Sungguh?" Semakin erat, kusambut peluknya, menangis di pundak ibu adalah hal terindah bagi setiap anak yang mencintai ibunya.

"Sayang, dengarkan ibu ya. Ibu membesarkanmu dengan usaha keras walau tanpa ayah, ibu berusaha menjadi dua tubuh dalam satu badan. Menjadi seorang ayah yang bijaksana dan menjadi seorang ibu yang baik, dan yang sedang kau alami kali ini, adalah cobaan yang harus kita hadapi sama-sama. Anugerah Tuhan itu ada untuk dijaga dan dirawat, bukan dirusak." Pernyataan ibu benar-benar menenangkanku. 

"Ketika orang lain mengetahui aku hamil di luar nikah, pasti mereka mencemooh aku. Tapi, inilah yang kutahu, Bu, jika seorang anak melakukan kesalahan, seseorang yang bukan siapa-siapa selalu marah diawal, sedangkan seorang ibu selalu marah diakhir, karena dia tahu sebab anaknya melakukan kesalahan." Senyumku mengembang, pelukku semakin erat.

Inilah ibuku! Wanita kuat dengan wajah sendu. Dipundaknya tersimpan banyak penderitaan, dihatinya tersimpan emosi yang tak bisa ia ungkapkan, tapi dia berusaha tetap terlihat tegar dan kuat. Kali ini, aku sangat tidak sabar menunggu kelahiran bayiku. Aku tidak lagi berpikiran untuk menggugurkan bayiku. Kali ini, aku adalah seorang wanita yang bernafas untuk dua nyawa, untuk diriku dan untuk bayiku.

08 August 2011

Terbiasa Kau Sakiti?

"Entah mengapa, perlakuan kasarmu masih terlihat lemah lembut di mataku."

Aku selalu kehilangan kamu, lalu kembali menemukanmu. Maksudku, apakah kamu tak bisa benar-benar tetap tinggal? Sehingga saat aku membutuhkanmu maka aku tak perlu lagi mencarimu, maka aku tak perlu lagi repot-repot menunggumu untuk meninggalkan kesibukanmu.

Aku selalu bersabar dengan sikap dan tindakanmu, ketika kamu bahkan tak pernah ada disaat seseorang bertanya siapa seseorang yang menjadi sandaran hatiku saat ini. Aku selalu menunggumu ketika kamu bahkan tak akan kembali hari itu. Sebegitu tak berhargakah aku di matamu? Sebegitu tak bernilaikah aku di hidupmu?

Aku tidak pernah berkata BOSAN dan MALAS dengan sikapmu. Aku tak pernah berkata LELAH dengan semua perlakuanmu. Tapi, mengapa kauselalu berkata BOSAN, MALAS, dan LELAH dengan sikapku? Apakah dari semua kesabaran dan keikhlasanku ada hal tersembunyi yang membuatmu resah dan risih? Yang membuatmu tak ingin ditunggu dan tak ingin diharapkan lagi. Aku hanya ingin meminta sedikit saja pengertianmu, sedikit saja perhatianmu agar kautetap menganggapku ada, seperti aku yang selalu menganggapmu ada.

Aku tahu, mungkin kesibukanmu telah mengubah cara berpikirmu, yang juga ikut mengubah perasaanmu. Mungkin, kamu tidak lagi mengharapkanku seperti dulu. Mungkin, aku bukan siapa-siapa lagi di hatimu. Dan, kemungkinan yang tidak pernah ingin kuketahui bahwa kamu tak ingin lagi diingatkan agar tidak telat makan olehku, bahwa kamu tak ingin lagi diperhatikan kesehatannya serta pola makannya olehku, bahwa kamu tak ingin lagi membagi semua kesedihan dan kebahagiaanmu untukku satu-satunya.

Ternyata, kata BOSAN itu sangat berpengaruh dalam suatu hubungan, seiring berjalannya waktu, seiring dengan datangnya orang-orang baru di lingkunganmu sehingga sedikit demi sedikit mereka telah menggantikan tugas wajibku untuk memerhatikan dan mencoba mengerti keinginanmu. Kamu yang sekarang, kamu yang telah berubah, kamu yang tak lagi aku kenal.

Tahukah kamu bahwa aku masih saja meminta Tuhan agar terus menjagamu? Tahukah kamu bahwa aku berkali-kali mengucap namamu dalam setiap doaku?  Meskipun berkali-kali Tuhan memperingatkan bahwa "kasih itu lemah lembut" tapi entah mengapa semua perlakuan kasarmu menjadi sesuatu yang masih terlihat lemah lembut dimataku. Entah karena hatiku yang mulai buta, atau karena aku yang terlalu terbiasa kausakiti.

05 August 2011

Selamat Ulang Tahun, Cinta Pertama

"Kenangan cinta pertama itu tak akan pernah bisa disembunyikan."

Selamat Ulang Tahun, Cinta Pertama! Seorang pria dengan wajah sayu, berhidung mancung, bermata sendu, serta seorang pria dengan pita suara yang dihiasi oleh suara lembut. Di mataku, kautanpa cela. Di hatiku, kaumemiliki peran yang luar biasa.

Mungkin, kautak akan pernah membaca ini, melihat sekejap matapun tidak mungkin, apalagi membaca hingga paragraf akhir. Mungkin, kautidak mengetahui usahaku untuk menulis ini, usahaku untuk mengundangmu kembali berotasi diotakku, mengelilingi poros otak tengah, menjalar ke otak kiri, lalu membias ke otak kanan. Tak ada dasar apapun dan tak ada alasan apapun yang menjelaskan mengapa aku harus membiarkan jemariku menari dan kembali menuliskan semua hal tentangmu. Seseorang yang sempat mengendap dalam sel otakku, seseorang yang pernah terlupakan oleh jemariku yang dulu sering menuliskan tentangmu.

Jika aku bercerita bagaimana pertemuan awal kita hingga perpisahan kita, mungkin tulisan itu akan terakum sempurna menjadi sebuah roman, yang di dalamnya terdapat tokoh sentral. Hanya aku dan kamu, bertemu, berkenalan, berteman, bercanda, bergembira, jatuh cinta, indah, dan berpisah. Jadi, aku tidak akan bercerita tentang itu. Tunggu dulu! Bukannya aku melupakan kenangan itu, aku hanya ingin membuat semua paragraf menjadi sangat berisi dan efektif, walaupun sekali lagi mungkin kautak akan membacanya.

Aku bahkan tidak lagi tahu kabarmu. Di mana tempat tinggalmu? Siapa wanita yang menjadi pilihanmu saat ini? Bagaimana keadaanmu? Tak perlu lagi aku  membiarkan air mataku terbujur kaku, menyerah setelah beberapa saat bertahan dipelupuk mata. Aku yang sekarang adalah wanita kuat yang dulu belum kaukenal. Jika kau melihatku saat ini, kaupasti berkata,"Kamu berbeda!" Ungkapmu dengan rambut menyeringai santai, dengan jambul yang menjuntai.

Kausemakin tua. Aku sedang membayangkanmu saat ini, mungkin hidungmu semakin mancung, mungkin bulu matamu semakin lentik, mungkin pipimu semakin memerah ketika panas menyengat hangat pipimu, mungkin kausibuk dengan kegiatanmu, dan mungkin kautelah melupakanku. Dari jarak sejauh ini, mustahil jika aku bisa lagi menyorot erat bola matamu dan menyerap sinarnya.

Bukankah, kenangan cinta pertama itu tak akan pernah bisa disembunyikan? Bukankah, kekuatan cinta pertama jauh lebih kuat daripada cinta-cinta lainnya? Tapi, apa yang kurasakan saat ini, hanya aku yang tahu, hanya aku yang bisa manafsirkan. Kaumiliki jalanmu, aku mengikuti jalanku, sekarang bukan dulu, kaudan aku bukan lagi bocah ingusan yang suka permainan.

Jadi, untuk segala kemungkinan yang terjadi, biarlah Tuhan menyimpan kemungkinan itu rapat-rapat dalam sela-sela jemariNYA yang penuh kuasa. Diumurmu yang semakin bertambah ini, semoga Tuhan memberkati semua rencana pembahagiaanmu, semoga kautetap dicintai oleh sesamamu, dan semoga aku masih tersimpan aman dalam laci lemari otakmu.

Satu hal yang perlu kauketahui, aku tak pernah mengabaikan kekuatan cinta pertama.

ditulis saat: hidung tersumbat, kegalauan menghambat, nafas tercekat. seorang hipotensi butuh pertolongan pertama tapi dia lebih memilih untuk menulis tentang seseorang yang hidup dimasa lalunya. hebat!

01 August 2011

Posesif dan Caraku Mencintaimu


Aku tahu bahwa mungkin kautidak pernah suka diperlakukan seperti anak kecil, seperti tahanan kota yang dijejeri banyak pertanyaan hanya karena melangkah ke suatu tempat. Aku tahu mungkin kaumuak dengan caraku yang tak bisa disaring oleh logikamu, ketika pria-pria lainnya bebas berpergian kemanapun, tapi aku selalu menahanmu untuk melangkah ke tempat manapun, hanya karena aku tak bersamamu saat kauingin bebas berpergian.

Sayang, inilah caraku untuk melindungimu. Cara yang mungkin tak pernah kauinginkan dan kauharapkan. Mengekangmu terlalu dalam dan membatasi lingkungan sosialisasimu. Mengaturmu layaknya bayi kecil yang tidak boleh kemana-mana tanpa seorangpun yang menemaninya. Dengan begitu gilanya, aku mengkhawatirkanmu, padahal kutahu kaubisa melindungi dirimu sendiri, kaubisa membela dirimu tanpa harus menyertai aku dalam pembelaanmu.

Aku terlalu rajin jika harus bertanya siapa saja wanita yang menghubungimu setiap menit. Siapa saja wanita yang mencoba mendekatimu setiap jam, dan siapa saja wanita yang mengomentari status jejaring sosialmu setiap harinya. Mungkin kaumerasa sangat amat risih dengan tindakanku yang terkesan menjijikan, layaknya koruptor yang takut kehilangan miiyaran hartanya, layaknya ibu rumah tangga yang sangat menyayangi buah hatinya. Posesif, itulah caraku untuk mencintaimu, Sayang.

Aku selalu curiga dengan semua perkataanmu. Aku selalu tak percaya dengan semua pernyataanmu. Jangan berpikir bahwa kauadalah pihak yang paling tersiksa. Jujur, aku sendiri juga sangat tersiksa ketika harus memperlakukanmu seperti penjahat kelas kakap yang harus dipaksa terlebih dahulu baru dia akan mengakui segala perbuatannya. Aku tahu, Sayang. Bahwa kautidak mungkin membohongiku, bahwa perkataanmu pasti dapat dibuktikan.

Kauselalu memaksaku untuk menjelaskan dasar dari perbuatanku yang membuatmu risih dan jera. Cemburu buta itu tak pernah berdasar, sedangkan posesif tak pernah butuh logika agar sibuk bekerja pada bagiannya. Ya! Kausering membandingkanku dengan beberapa wanita yang “dulu” sempat membuatmu bahagia. 

Beberapa wanita yang berjanji membahagiakanmu tapi mereka malah meninggalkanmu. Dan, lihatlah saat ini kaumemilikiku, dengan segala keterbatasan dan kemampuanku. Detik ini, bisakah kaumengerti sedikit saja? Bahwa aku memiliki banyak kelebihan, tapi satu kekuranganku yang tak kausuka adalah melindungimu dengan cara yang salah. Sayang, tapi aku selalu berharap bahwa aku tak akan pernah mencintaimu dengan cara yang salah.