31 May 2014

Aku yang Kamu Sembunyikan

Pertemuan kita bukan suatu kebetulan. Aku selalu percaya itu dan entah dengan keajaiban apa, Tuhan menyebabkan kita saling berkenalan. Perkenalan itu tak menimbulkan kesan apapun pada awalnya. Aku menganggapmu pria biasa, yang ingin berkenalan, berbagi cerita, berbagi apapun yang bisa dibagi. Kamu tak pernah benar-benar tahu tentangku, seperti aku tak benar-benar tahu tentangmu. Kamu tak tahu aku penulis, yang kamu tahu aku hanyalah gadis lugu yang berkuliah di salah satu universitas ternama di Depok, yang kautahu aku hanya gadis belasan tahun yang punya banyak mimpi, dan yang kautahu aku hanyalah perempuan biasa yang tak banyak berdandan dan bersolek di depan cermin.

Kamu mengungkapkan kekagumanmu, aku pun juga mengungkapkan kekagumanku. Setelah banyak cerita, akhirnya kita memutuskan untuk bertemu. Langit Depok yang cerah kala itu menjadi saksi bahwa dua orang anak manusia dipertemukan semesta untuk jatuh cinta. Aku tak tahu hal ini dinamakan apa, kita berkenalan memang belum terlalu lama, namun rasanya aku selalu ingin berada di dekatmu juga berada di sampingmu. Kamu tak menuntutku untuk menjadi wanita yang seutuhnya bisa kauatur, kamu memperlakukanku semanis mungkin, menggenggam jemariku seakan tak mau kehilangan. Tahukah kamu, dari semua perlakuanmu padaku itu membuat aku semakin takut kebersamaan kita tiba-tiba terbelah karena komunikasi kita yang berantakan.

Aku tak tahu arti tatapan matamu setiap kali kamu membicarakan cinta padaku. Fakta-fakta yang tak bisa kupungkiri adalah dunia hanya sebesar daun kelor. Kita ternyata pernah satu sekolah dasar, sangat Depok sekali, sama-sama senang menertawakan diri sendiri. Aku tak mengerti arti genggaman tanganmu setiap kali kaubilang kaumulai mencintaiku dan tak ingin aku hilang dari pandanganmu. Aku tak tahu arti rangkulanmu di tengah hujan di kota Depok kala itu. Aku tak tahu arti janjimu untuk mengajakku ke gereja, ingin memperkenalkan aku pada ibumu, ingin ke rumahku bertemu dengan orangtuaku. Aku tak tahu, Hasianku, dan kenyataan yang harus kuterima adalah nampaknya aku mulai mencintai pria Batak yang selalu datang dan pergi ini. Nampaknya, aku mulai mencintai kamu.

Aku berjalan mengarungi hari bersamamu, menghadapi datang dan pergimu, bergelut dengan rindu yang mungkin tidak kaumengerti. Kamu terlalu gaib untukku, Hasian, kamu terlalu jauh untuk kugapai, dan aku yang sedang dalam keadaan sangat berharap ini sedang ketakutan jika kautiba-tiba pergi seakan tak pernah terjadi apapun di antara kita. Malam ini, aku sedang dalam keadaan mempertanyakan semua, mempertanyakan perasaanmu padaku, mempertanyakan apa tujuan hubungan yang kita jalani selama ini, mempertanyakan semua arti pelukan, candaan, bisikkan cintamu yang selalu berhasil memabukkanku.

Dalam keadaan sering kehilangan kamu, aku selalu mempertanyakan apa yang Tuhan mau. Aku melihat dirimu sebagai sosok pria yang tangguh, seiman, menyenangkan, humoris, dan pendengar yang baik. Kamulah pria yang selama ini kehadirannya selalu kutunggu. Pria sepertimulah yang langka bagiku, yang sangat jarang masuk ke dalam hidupku. Ketika menemukanmu, aku seperti menemukan oase menyegarkan yang menghilangkan dahagaku. Dahaga karena terlalu sering berlari dan mencari hal yang tak pasti, haus yang dihasilkan karena aku terlalu sibuk melompat dari satu hubungan ke hubungan lain, hingga aku lupa sebenarnya apa yang kucari selama ini.

Aku menatap matamu dan menyadari betapa semua ini bisa saja berakhir jika kaubosan. Aku ingin bilang padamu bahwa aku menginginkan status dan kejelasan, karena selama ini kausudah tunjukkan dunia yang membahagiakan untukku. Tapi, setiap kali melihat matamu, setiap kali mengingat perkenalan kita yang nampaknya tak lebih dari persinggahan buatmu, rasanya aku semakin merasa kecut. Aku ingin menangis dan air mata ini belum tentu kaupahami. 

Rasanya aku ingin memberhentikan pencarianku padamu. Rasanya aku ingin kaujadi akhir dari pelarianku. Rasanya aku ingin hubungan kita bisa lebih lama dari yang pernah kubayangkan dan kutakutkan. Rasanya aku ingin bertanya, apakah kaumulai mencintai sosok wanita yang tak pernah mengakui bahwa di luar dia adalah wanita hebat sementara bersamamu dia merendahkan hatinya, mengecilkan egoisnya, melumat habis gengsinya; karena dia sangat mencintai kamu. Rasanya aku ingin berkata padamu, bahwa aku menunggu kamu tak lagi menjadikanku pelarian, aku menunggumu tak lagi menjadikanku persinggahan. Aku menunggumu menjadikanku tujuan, menjadi tempat kauselalu pulang, menjadi peluk tempat kamu meletakkan tangis.

Jika kautahu wanita ini sudah tersakiti bergitu parah, sudah pernah dilukai habis-habisan oleh pria lainnya, masa, sih, kamu tak ingin bahagiakan dia dengan memberikan dia kejelasan status? Walau selalu terlihat tertawa dan jenaka, sebenarnya di dalam hati ini ada perasaan yang masih kusembunyikan; aku mencintaimu dan sedang dalam keadaan sangat takut kehilangan kamu.

Hasianku, maukah kau memperkenalkanku pada ibumu? Maukah kamu kuperkenalkan pada ibuku? Maukah kau berhenti menyembunyikanku dari sorotan mata dunia?

Sayang, aku butuh pengakuan.

dari perempuan
yang selalu mendengar bisikan ini darimu:
"kamu terlalu baik, Sayang."

27 May 2014

Setelah Satu Minggu

Untuk Pria bertatapan mata sendu, berbehel abu-abu, bersuara merdu.

Terima kasih untuk satu minggu yang penuh warna-warni, penuh hujan dan pelangi, penuh tanya dan misteri. Terima kasih untuk percakapan manis dalam setiap pesan singkat kita, dalam setiap sambungan telepon, dalam setiap tawa meskipun baru satu kali aku menatap matamu. Terima kasih untuk kisah-kisah baru yang membuat aku lengkap sebagai perempuan. Terima kasih kamu masih di sini, membiarkan aku membangun mimpi-mimpi baru, meskipun hingga saat ini kamu tak sadar; kamulah jawaban dari semua mimpiku.

20 Mei 2014, godaan yang tak kuharapkan mendapat balasan itu, ternyata kaugubris dengan hangat dan syahdu. Beberapa kata yang berujung pada percakapan intens melalui pesan pribadi di Twitter. Aku menyapamu dengan satu kata, "hey" yang kaubalas dengan tiga balasan, dengan satu emoticon senyuman. Saat membaca itu semua, kembang api lebaran segera melesat di dadaku, jentikkan jemariku di laptop semakin bersemangat ketika membalas pesanmu. Kita saling membuat janji, berkolaborasi dalam sunyi, mengawali yang belum pernah terjadi, mewujudkan semua yang hanya jadi mimpi-mimpi. Aku semakin dibuai dan terlena oleh kehadiranmu, rasanya aku tak ingin perkenalan ini dibatasi oleh ruang dan waktu. Rasanya aku ingin semua tak berjalan instan, atau kalau boleh aku sedikit berharap, aku ingin kauabadi dalam jengkal napasku.

Aku tahu kita berbeda dalam banyak hal, kamu pendiam, aku meledak-ledak. Kamu tak ingin bercerita banyak hal, sementara aku pun juga begitu, diam namun jahil dalam tulisan. Aku tahu, Sayang, media kita saling mengungkapkan cinta itu berbeda. Kaudengan candaan khasmu, aku dengan tulisanku, dan kita lengkap walaupun berbeda. Kehadiranmu sejujurnya berbeda dari pria-pria lainnya, yang membisikkan mimpi dan membiarkanku terlelap dalam tidur panjang. Kamu tidak begitu, Sayang, kamu pelan-pelan mengetuk pintu hatiku dan menyodorkan bunga mawar merah yang tak kusadari indah namun penuh duri.

Berkenalan denganmu ternyata bukan hal yang mudah. Aku merasa kamu terlalu sempurna untukku, aku terlalu lemah dan terlalu rendah untukmu. Sebagai wanita yang bukan siapa-siapa, aku hanya bisa melamunkan betapa suatu hari nanti kita bisa lebih dari sekadar teman bercanda. Lamunan itu seketika buyar ketika kutahu aku mungkin tak pernah terlihat lebih di matamu, mungkin kaupikir aku hanya akan jadi tempat singgah yang asik, sementara aku mengharapkanmu tetap tinggal dan tidak akan pernah pergi.

Iya, ini yang kubilang berharap terlalu tinggi. Salahku yang menginginkan semua lebih dari ini, salahku yang berharap kita bisa berjalan lebih jauh dari ini. Sayangnya, Sayang, ada jarak yang memisahkan kita, aku tak tahu jarak itu berbentuk apa, tapi aku merasa kita sangat jauh meskipun rasanya kauselalu ada di sini menemaniku meskipun hanya lewat pesan singkat dan telepon. Entah bagaimana caranya, kamu berhasil merenggut perhatianku tanpa sisa, kamu sudah jadi satu-satunya meskipun kamu memperlakukanku sebagai salah satunya. Sayang, luka karena aku mulai mencintaimu ini awalnya tak terasa perih, namun semakin aku mengenalmu, semakin aku merasa jauh darimu.

Setelah satu minggu perkenalan kita, rasanya aku perlu mendeklarasikan ini, membuat sebuah peringatan kecil bahwa kamu pernah hadir dan singgah, meskipun hingga sekarang kauhanya datang dan pergi. Setidaknya kamu pernah ada, membawa sesuatu yang kupikir cinta, memberi sesuatu yang ternyata berujung luka. Aku masih ingin menunggu kamu yang ramah dan hangat itu kembali, bukan kamu yang dingin, kamu yang memberi jarak, kamu yang tak sadar betapa aku sangat mencintai dan menggilaimu.

Atas semua perasaan aneh yang sebenarnya juga tak kupahami ini, aku ingin bilang sesuatu. Aku kangen kamu. Iya, kamu, malah noleh!

dari pengagummu
yang sedang ketakutan
takut perjuangannya diabaikan
takut cintanya dipermainkan.

26 May 2014

Tanpa Kabar darimu

Sekarang, aku harus membiarkan diri untuk bernapas tanpa perhatianmu. Aku mengawali hari, sambil menatap ponselku yang sepi tanpa kabarmu. Aku mencoba menerima kenyataan ini, sebagai gadis yang bukan siapa-siapamu, aku tak bisa menuntut banyak. Aku hanya bisa mencintaimu dari sini dan jika rindu; yang kulakukan hanya satu.... membaca ulang pesan singkat kita.

Pagi tadi, aku melawan panasnya udara di kotaku untuk mengurus banyak hal yang tak pernah kautahu. Aku berkeliling dari Polres Bogor sampai Polres Depok, dari Bank Mandiri hingga Bank BRI. Sambil tetap berharap kaumenyapaku barang sedetik saja, entah mengucap halo atau mengingatkan agar tidak telat makan, atau mungkin berkata rindu setelah beberapa hari kita tak bertemu. 

Abaikan itu semua, Sayang, kautahu sejak awal aku adalah wanita yang tahan banting disakiti berkali-kali jika sudah terlalu mencintai. Namun, semakin lama, semakin kusadari, mencintaimua dalah ketololan yang harusnya tak kulanjutkan. Aku harusnya tak perlu seberlebihan ini, tak perlu berharap terlalu banyak, tak perlu memimpikanmu agar memiliki perasaan yang sama. Tak perlu, Sayang, lupakan gadis tolol yang masih umur belasan ini, lupakanlah bahwa kita pernah berada dalam keadaan baik-baik saja, lupakanlah semua kata cinta dan rindu itu; bualanmu yang harusnya tak kupercayai dari awal.

Aku terlalu meyakinkan diriku bahwa suatu saat nanti kauadalah sosok yang akan membahagiakanku. Aku telah memimpikan banyak hal, kauakan membawakan matahari untukku dan mengusir semua mendung yang menutupi hariku. Kauakan bawa aku ke langit paling cerah, membawaku terbang; melihat betapa di kotaku yang padat ini masih ada bunga-bunga yang bisa membuat kita tersenyum. Kamu akan membawaku pulang ke hatimu dan kita membuat banyak daftar mimpi baru untuk kita wujudkan bersama, namun aku salah, Sayang, kamu tidak sehebat itu. Kamu tak cukup hebat untuk kuperjuangkan mati-matian.

Siang tadi, sepulang mengurus berkas-berkas yang menguras tenagaku, aku masih menatap ponsel berkali-kali, berharap itu kamu yang mungkin saja sama rindunya denganku. Sayang, kautahu aku ini gadis yang senang marah-marah tapi di dalam hati ini ada rindu yang ingin ikut meledak dalam amarah. Seperti janji-janji kita pada setiap percakapan telepon, suatu hari nanti, entah kapan Tuhan mau inginkan hal itu terjadi, kita pasti akan berpeluk secara nyata. Doa yang kusebutkan saat malam itu pasti menemukan jawabannya dan jawabannya itu adalah kamu. Tapi, aku tak tahu kapan saat itu datang, aku tak tahu harus bersabar berapa lama lagi. Aku tak tahu harus menunggumu sampai kapan lagi.

Jemari ini telah lelah mencoba menyentuh hatimu yang dingin. Kaki ini telah tak sanggup lagi melangkah karena enggan kaubawa lari jauh-jauh lagi, aku takut di persimpangan jalan sana, kauakan meninggalkanku, mengejar tujuanmu sendiri tanpa menyertakan aku dalam langkahmu. Adakah kautahu, Sayang, gadis yang selalu menunggumu pulang ini tak akan secerewet ini jika sehari saja kaukabari dia, kausapa dia, kauberi sedikit cium meskipun cium itu masih berbentu emoticon dan tulisan.

Aku sendiri kesepian, aku kehilangan senyumku, senyumku seakan-akan tergantung pada kehadiranmu. Kaujauh di sana entah sedang menyelamatkan mimpi siapa, mungkin di sana kaujuga lupa ada yang diam-diam mendoakanmu, melipat tangannya, menitikan air matanya, saat berkali-kali namamu tak absen dalam doanya.

Sayang, tolong kembalikan senyumku. Eh, tapi tadi aku sedikit senyum, deh. Aku tadi sedikit tersenyum karena senyum tukang mie ayam yang waktu itu kuceritakan padamu itu, lho. Pria yang namanya tak pernah kuketahui, kios mie ayam yang tak pernah kusinggahi, namun entah bagaimana pria itu bisa jadi sumber cerita dalam buku Jatuh Cinta Diam-diam. Aku ingat sekali, ketika aku bercerita tentang ini, kamu tertawa geli. Mungkin, maksudmu adalah menertawakan kepolosanku, menertawai betapa aku percaya saja menceritakan semua padamu. Aku serius banget ini tapi tukang mie ayam itu senyumin aku dan tiba-tiba aku ingat senyum kamu, aku ingin candaan kita, aku ingin semua; dan mengingat hal itu justru semakin membuatku perih. Aku kangen kamu, ingin ketemu kamu, dan kamu belum tentu mengerti semua itu. 

Ya, pokoknya singkat kata, kamu pulang, ya. Cepet! Aku kangen kamu, kangen kita, kangen semua. Tolong, jangan pergi lagi.

dari penggemarmu
yang tak tahu diri
tak tahu apa-apa
hanya tahu; mencintaimu.

24 May 2014

Kapan Kamu Pulang?

Untuk Pengundang Tawaku...

Di malam minggu sedingin ini, mungkin kamu sedang berpeluk dengan seseorang, sedang merasakan hangatnya kotamu, sedang mendengarkan alunan musik di sebuah kafe yang penerangannya begitu romantis, atau mungkin malah sedang bermain biola sambil menertawakan dirimu sendiri. Malam ini, sambil mendengar lagu Firasat yang dilantunkan Dewi Lestari, aku bermaksud mengantarkan perasaan rindu ini padamu, rindu yang tak kauketahui, rindu yang tak kaupahami, rindu yang tak kaugubris sama sekali.

Hari ini, kamu tak menyapaku sama sekali. Aku berusaha mencari-cari alasan untuk menenangkan diriku sendiri. Pasti kamu sibuk, kamu sedang melakukan banyak hal, kamu sedang mengurus sesuatu yang membuatmu tak bisa terus menggenggam ponselmu. Aku tak peduli, Sayang, hingga saat aku menulis ini; aku masih ingin menunggumu. Bodohkah aku? Tololkah aku? Iya, sejak kamu hadir mengguncangkan hari-hariku, aku tak lagi bisa bedakan mana kebenaran dan ketololan. Semuanya berkiblat ke arahmu, otakku dan hatiku. Semakin hari aku semakin sadar, aku sedang dalam keadaan sangat mencintaimu.

Aku tak tahu apa arti semua ini, Sayang. Apa arti kedekatan kita? Apa arti kebersamaan kita? Apa arti komunikasi hangat kita yang terjalin selama beberapa hari ini? Aku tak tahu dan tak ingin mencari tahu. Aku hanya tahu kamu tiba-tiba hadir, membawa perasaan berbeda dalam duniaku, dan kau menyelinap ke dalam hatiku; yang pernah aku kunci rapat-rapat untuk siapapun yang ingin singgah. Aku berharap kautak hanya singgah di sini, aku berharap kauakan tinggal dan menetap, serta berjanji tak akan pergi lagi.

Aku tak tahu apa arti semua ini. Aku tak tahu mengapa kauizinkan aku melangkah pelan, masuk ke dalam duniamu, dan kaubiarkan aku mengganggu aktivitasmu, kauizinkan aku bertanya banyak hal, kautak marah ketika aku mengganggu keseriusanmu. Aku tak kamu posisikan sebagai pengganggu, kaubuka tanganmu lebar-lebar, namun kautak mengajakku masuk ke dalam pelukmu. Aku tak tahu apa arti pesan singkat kita. Apa arti kalimat "I love you, too" di akhir percakapan telepon kita. Aku tak tahu, namun aku masih ingin menjalani hari-hari ini bersamamu. Tak ingin semua berakhir dengan cepat. Aku ingin semua ini tetap ada dan terus ada, terutama kamu yang selama ini kugilai setengah mati.
Aku sadar, Sayang, aku bukan siapa-siapa di matamu. Aku juga sadar, aku hanya gadis pemimpi yang mendambakan ksatria tangguh yang suatu saat akan membangunkanku dari tidur, namun kutahu sosok itu bukan kamu. Iya, bukan kamu, dan aku sangat terluka mengetahui kamu tak akan pernah jadi siapapun, serta aku tak akan pernah jadi siapa-siapamu. Jarak kita begitu jauh, jarak kasat mata yang tak terbaca indra, jarak yang hanya mampu dibaca oleh isyarat; di baca oleh hati kita masing-masing.

Lihatlah, Sayang, aku masih mabuk kepayang mengenai pertemuan kita 23 Mei 2014 lalu. Saat pada akhirnya aku bisa merasakan tatapanmu, mendengar jelas suaramu, menikmati suara medokmu, memandangi behelmu, menjamah tas biolamu; namun masih tak berani menyentuh sosokmu. Sepulang kuliah, aku langsung menyusulmu ke sana, ke tempat semua rindu pulang, ke tempat semua pelukan pergi. Kita berdua duduk berhadapan, di bawah terik matahari kota Tangerang, dihiasi dengan desing suara pesawat yang pergi dan mendarat, di antara suara Damri dan taksi warna-warni, juga bersama suara pengumuman pesawat yang telah siap terbang. Aku tidak menyangka kita bisa melangkah sejauh ini. Aku bisa menikmati sosokmu tanpa batasan layar kaca. Aku bisa, Sayang, aku bisa melihatmu, tepat di depanku. Aku bisa melihat senyummu, tawamu, mendengar suara beratmu, dan aku percaya ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang kuperjuangkan setengah mati. Hari itu, aku pertama kali bertemu dengammu, tapi satu jam lagi kamu harus pergi. Bisakah kaubayangkan rasanya jadi aku? Saat aku sedang rindu-rindunya sama kamu.

Kamu pulang dengan janji akan kembali, aku tak tahu kapan kaukembali dan ke mana kauakan kembali, karena ini bukan kotamu, ini bukan kota kita. Kotamu di sana, bersama masa lalumu, namun aku masih bertanya-tanya apakah kota ini, kotaku, akan menjadi kota kita jika kau memutuskan diri untuk menetap di sini? Aku tak mau berandai-andai, aku tak ingin berharap terlalu banyak, aku hanya ingin bertemu denganmu lagi, di sebuah tempat yang belum pernah kita singgahi, bukan di tempat saat aku harus membiarkanmu pergi. Di mana kauakan menghabiskan masa depanmu, Sayang? Apakah kauakan bersamaku, gadis pemimpi yang telah lama mengagumimu dari layar kaca? Aku masih merasa mabuk, terbang, dan tak ingin pulang ke bumi. Aku ingin terbang bersamamu dan biarlah kita sama-sama jatuh ke bumi, dalam keadaan saling berpeluk, dalam keadaan berjanji tak akan saling meninggalkan.

Aku menunggu saat-saat itu, saat kamu ke sini dan kita bertemu seperti pertama kali kita bertemu. Di saat itu, mungkin kita bisa saling merasakan yang disebut kehangatan ketika jemari kita bergenggaman, dan sumpah demi apapun, aku tidak akan membiarkanmu pergi, menjauh barang sejengkal pun. Aku sudah cukup sakit menahan rindu, menahan perih, menahan jarak; jangan lagi siksa aku dengan kepergian dan pengabaianmu.

Aku memang tak tahu di mana kota tempatmu kembali, namun maukah kaumemilih Jakarta sebagai tempat pulangmu yang baru? Maukah kaupulang ke sini menghabiskan rindu yang selama ini menjadikanku gadis paling menyebalkan? Maukah kaupulang dan berjanji tak akan pergi lagi?

Maukah kaumemilihku sebagai tempatmu pulang?

 dari pengagummu
yang hanya dungu menyimpan rindu
gagu saat bertemu
menangis tersedu saat memelukmu.

23 May 2014

Berjanjilah, Kamu tidak akan Pergi

Saat mengetahui sosokmu harus meninggalkan Jakarta, aku hanya bisa gigit jari. Di otakku sudah terbayang betapa kerasnya rindu yang menyesakkan dada jika aku tak lagi melihatmu di layar kaca. Aku sudah membayangkan, hari-hari berikutnya aku tentu hanya memperhatikan channel Youtube dan mencari-cari sosokmu di sana, mengobati rindu dengan cara konyol. Aku tentu bisa menikmati senyummu, medokmu, suara beratmu, behelmu, kulit hitam manismu, terutama alunan biolamu; tapi semua maya, tidak nyata.

Aku telah lama mengagumimu, diam-diam memperhatikan televisi hingga larut malam hanya untuk melihatmu membuat seluruh orang di Indonesia tertawa. Sayangnya, kepolosan ini tak mungkin tersentuh oleh sosokmu yang telah punya banyak penggemar, bergelimang pujian, penuh dengan bujuk rayu hangat para fansmu. Aku ini siapa? Aku hanya gadis pemimpi yang mengagumi sosok sempurna sepertimu. Aku hanya perempuan biasa yang senang menulis tentangmu dan begadang sampai pagi demi melihat semua videomu. Aku ini hanya satu dari jutaan orang yang mencintai kamu dan cinta yang sederhana serta nampak kecil ini tentu akan tertutupi oleh jutaan cinta yang menderas mengalir untukmu.

Dari dulu, aku tak pernah berharap kita bisa dekat, namun Tuhan memutarbalikkan semua. 20 Mei 2014, mention-ku ternyata dibalas olehmu. Aku yang telah lama menyadari bahwa sosokmu telah lama diam di hati; langsung tertawa geli. Apakah ini bukan mimpi? Lalu, semua berlanjut dengan percakapan manis diselipkan beberapa emoticon yang rasanya tak bisa lagi kupercaya. Serius ini kamu? Kamu yang selama ini kugilai setengah mati? Kamu yang sosoknya selalu kupantau hanya dari layar kaca? Kamu yang kupikir tak akan tersentuh dan terjamah? Iya, kamu. Dan, aku mengikuti gayamu mengucapkan kalimat magis itu, dua kata yang selalu berhasil menghipnotis para penonton ketika mendengar suara beratmu mengantarkan pada ledakan-ledakan lucu, ledakan-ledakan rindu.

Setelah percakapan itu, kita lanjutkan pembicaraan lewat obrolan hangat di telepon. Kamu mungkin tak tahu, aku sangat berlebihan kala itu, air mataku mengalir tipis-tipis, aku sesenggukan tak karuan. Sesenggukan yang kaupikir drama, tangis yang membuat kamu tertawa. Suara medokmu menggelitik telingaku, kamu bercerita tentang profesimu selama menjadi guru, kita bercerita tentang Taylor Swift, tentang musik di masa Renaissance, kita membicarakan partitur musik Bach hingga Mozart, kita membicarakan cinta, berucap rindu, juga sesekali merendahkan nada saat saling mengungkapkan rasa ingin bertemu.

Aku merasa sudah mengenalmu, tapi di sisi lain kamu abu-abu, samar-samar, dan sulit kusentuh. Ksatria berbehelku adalah sosok misterius yang tak ingin bercerita tentang banyak hal, diam yang dia tunjukkan membuat aku semakin takut pada kehilangan. Rahasia yang tak ingin dia bagikan membuat aku semakin takut bahwa semua tak akan berakhir bahagia. Semua ketakutan itu harusnya tak perlu aku pikirkan. Dalam setiap percakapan, aku selalu merasa bahagia denganmu.

Kehadiranmu menghapus mendung kelabu hari-hariku, setiap kali kamu menyapaku, aku merasa ada matahari baru yang menyinari sudut hatiku. Wahai Mas Medokku, ketahuilah bahwa perasaan ini sudah mulai membunuh dan nampaknya aku mulai mencintai kamu. Tapi, sosokmu mengingatkan aku pada trauma yang telah sembuh, peristiwa yang terjadi saat aku masih jadi mahasiswi baru. Peristiwa ketika aku berkenalan dengan seorang pria seperti dirimu, yang kerjaannya mengundang tawa setiap orang, namun pada akhirnya dia meninggalkanku ketika aku dalam keadaan sangat mencintai dia. Aku bukan wanita yang pandai memaki dan menghakimi, aku hanya bisa mengabadikan dia dalam tulisanku yang berjudul "Dalam Tawa" di buku Jatuh Cinta Diam-diam. Aku harap kaubukan bagian dari pria yang berlomba-lomba menyakitiku. Aku harap kamu adalah sosok baru, malaikat pembawa kabar baik, yang membawa perubahan baru dalam setiap langkah dan hari-hariku. Ksatria pemain biolaku, maukah kauberjanji tetap di sini dan tidak akan meninggalkanku ketika aku dalam keadaan sangat mencintaimu?

Aku menunggu pertemuan nyata. Aku menunggu kamu dan aku menjadi kita.

untukmu yang tak percaya
cinta bisa hadir
tanpa tatapan mata.

11 May 2014

Aku Menunggumu di Jakarta

Tuan, saya menulis ini ketika pertengkaran kita entah yang telah keberapa kembali meledak lagi. Masalahnya sepele dan selalu sepele, selalu aku yang lebih dulu tersentak dan tersentuh. Aku tak tahan lagi dengan jarak yang menjauhkan kita, dengan rasa sakit yang tidak kaupahami, dengan ribuan hasutan banyak orang agar tidak mempercayaimu, dengan teriakan hati yang masih ragu akan kehadiranmu, dengan kata cinta yang selalu kaubisikkan itu, dengan perbedaan kita, dengan status kita yang serba tak jelas, terakhir; dengan jalan keluar yang tak juga kita temukan.

Aku tak tahu, Sayang, apakah langkah untuk mencurigaimu adalah hal yang benar atau hal yang salah. Mungkin, aku merasa terlalu tolol dan bodoh untukmu, aku merasa kamu terlalu sempurna dan terlalu baik untukku. Lihatlah dirimu. Kamu tampan, muda, punya segalanya, bekerja di pertambangan, dipuja banyak wanita, punya segalanya, punya penggemar, punya kharisma yang menghipnotis setiap wanita. Sedangkan, aku.... siapa aku di matamu, Sayang? Aku ini terlalu kecil, terlalu kedil, aku hanya seorang gadis semester empat, di jurusan kuliah yang banyak orang mengira hanya bisa membuat puisi dan sajak, aku kalah cantik dengan wanita-wanita yang menggilaimu serta memujamu. Aku tetap merasa bukan siapa-siapa meskipun ribuan janji dan kata cinta kamu luapkan padaku.

Aku lelah pada semua khayalan itu. Pada janjimu untuk bertemu, pada bayang semu yang kausuguhkan, pada kata cinta yang mungkin saja bualan, pada ucapan rindu yang masih abu-abu, pada rencana-rencanamu yang mungkin tak kupahami, pada maksud terselubungmu untuk mendekatiku. Kamu masih sangat buram di mataku, kamu menjelma menjadi awan kabut yang begitu sulit tersentuh matahari, kaubangun kemegahanmu sendiri, dan aku nyaman pada segala yang tak pasti, yang kauberikan dengan berani, yang seakan semua terlihat bukanlah sekadar mimpi.

Aku lelah pada setiap percakapan yang hanya bisa kita jalin lewat pesan singkat dan telepon. Aku lelah dengan ceritamu tentang mantan-mantanmu. Aku lelah menerima kenyataan bahwa aku sangat sulit masuk ke dalam duniamu. Aku sengsara mengetahui hal yang sebenarnya bahwa mungkin saja kita tak benar-benar mencintai, mungkin saja aku dan kamu hanya terjebak dalam ketertarikan sesaat, ketertarikan tolol yang selama ini kita deskripsikan sebagai cinta. Aku tak tahu, Sayang, aku sungguh tak tahu apa maksud dan tujuanmu untuk mendekatiku. Masa iya, sih, pria seberlian kamu mau saja dengan gadis tanah liat seperti aku?

Kamu tidak lelah dengan jarak dan perbedaan ini? Dengan amarah dan emosiku yang naik turun setiap kali kita menjalin percakapan di telepon, dengan angkuhnya perbedaan yang membuat kita seakan berjarak, dengan setiap air mata yang terjatuh; air matamu dan air mataku yang tiba-tiba saja terjatuh padahal kita tak pernah bertemu sebelumnya, tak pernah saling menggenggam tangan, tak pernah saling berciuman, tak pernah saling bertatap mata, tak pernah terlihat seperti pasangan normal lainnya.

Di antara semua rasa lelah itu, Sayang, sebenarnya aku menyukai kehadiranmu, dan perkenalan kita selama satu bulan ini benar-benar mengajariku banyak hal. Kamu yang begitu tampan hampir saja mengubah persepsiku bahwa tak semua pria menilai wanita dengan fisik, kamu tidak menuntut segalanya, kamu meluangkan waktumu di antara kesibukanmu, kamu berkata sayang ketika aku butuhkan banyak perhatian, kamu layaknya kakak, kekasih, belahan jiwa. Dan, atas semua dasar perasaan itu; aku semakin takut kehilangan kamu.

Aku takut kebersamaan yang telah membuatku nyaman ini, ternyata hanyalah drama yang kaubuat sedemikian rupa hanya untuk menghancurkan yang selama ini kubangun. Aku takut bahwa semua kata cinta dan janji itu hanyalah kebohongan yang kaulontarkkan karena bisa saja kamu sakit jiwa. Aku takut, sungguh sangat takut memikirkan banyak wanita yang mendekatimu dan memujamu, kamu bisa saja berpaling, menjauh, dan melupakanku ketika aku tak lagi membuatmu penasaran.

Setiap kita bertengkar, kamu selalu membuat suaramu terdengar seperti menangis dan parau. Aku tak tahu apakah benar di ujung pulau sana kaubenar-benar meneteskan air mata yang sungguh-sungguh? Aku tak tahu drama macam apa yang kaumainkan, tapi sekali lagi aku masih berada di tengah-tengah, dalam keadaan sangat mencintaimu tapi di sisi lain sangat ragu padamu, dalam keadaan sangat mencurigaimu tapi masih sangat ingin percaya bahwa semua sungguh nyata dan bukan bualan belaka.

Aku ketakutan, Sayang, namun dalam percakapan telepon tadi, kamu masih meyakinkanku. Kamu, dengan suaramu yang tak terlalu berat itu memintaku bersabar lebih lama lagi. Kamu, pria yang selalu mempercayaiku untuk mendengar segala keluh-kesahmu mengenai pekerjaanmu itu menangis dan memohon, agar aku tak lagi merengek untuk meminta pertemuan nyata. Kamu meyakinkanku, berkali-kali, bahwa pertemuan kita akan terjalin, cepat atau lambat, dan senjatamu selalu itu-itu terus, "Ingat judul bukumu yang keempat, Jodoh Akan Bertemu." Sialan! Gombalan yang berkali-kali kamu ucapakan namun tak membuatku muak.

Malam ini, dalam percakapan kita, kamu bercerita bahwa kamu sengaja pulang lebih cepat dari kilang minyak karena ingin membicarakan banyak hal bersamaku. Waktu kita memang hanya ada saat malam minggu, saat aku dan kamu berusaha tidak menyibukkan diri, dan kita sama-sama berbicara tentang mimpi (yang kita harapkan segera menjadi nyata). Kamu selalu bilang, Senin sampai Jumat, kamu jarang punya waktu untukku, maka di hari Sabtu; kamu seutuhnya milikku. Itu gombalan yang tidak membuatku muntah meskipun berkali-kali kamu ucapkan. Kamu selalu memintaku untuk bersabar menunggu, untuk setia menyimpan rindu, sampai Tuhan mengizinkan kita bertemu.

Kamu selalu memintaku untuk bersabar menunggumu di Jakarta, karena kamu akan pulang, membawa banyak sekali cerita dari pulau tempatmu bekerja, membawa banyak kenyataan yang dulunya hanya bisa kita bicarakan lewat telepon, membawa pelukan, kecupan, rangkulan, dan membalas dendam pada jarak yang selama ini menganggap bahwa kita akan kalah lebih dulu.

Oke, kutunggu kamu di Jakarta. 
Pulanglah lebih cepat.
Saya sekarat.

Saat hujan di kota penghujan
02:44, sehabis berbicara dengamu
di ujung telepon.