20 December 2011

TIPS Bagi yang Pacaran Jarak Jauh :)



Banyak orang beranggapan bahwa Long Distance Relationship a.k.a LDR a.ka pacaran jarak jauh adalah hal terburuk dalam logika penantian seseorang. Dimana suatu hubungan atas dasar cinta dan kasih terpisah oleh ruang, jarak, dan waktu. Dimana pertemuan nyata tak bisa selalu dilakukan secara intens dan konstan, tapi apakah alasan pertemuan yang jarang dan terpisah oleh batas jarak adalah alasan utama dalam kandasnya hubungan jarak jauh? Berikut ini tips dari saya bagi yang (terpaksa) “menganut paham” long distance relationship. Check this out!

1. Saling Percaya
Setiap hubungan, entah pacaran atau berteman, entah hubungan yang telah berjalan singkat atau pun lama tetap membutuhkan rasa saling percaya. Itulah yang memperkuat langgengnya suatu hubungan, karena melalui tindakan saling percaya itulah, pasanganmu akan lebih merasa dihargai sebagai seseorang yang memang pantas kamu dicintai. Sikap saling percaya secara tidak langsung juga menunjukkan seberapa dalam kamu mengenal pasanganmu, kamu memercayai dia karena kamu mengenal dia dengan begitu dalam. Cinta bukan tentang saling menuduh apalagi saling menerka, cinta itu saling percaya karena kau mencintai dia makanya kau mempercayainya.

2. Saling Menjaga Hubungan dengan Teman-Teman yang Ada Di Jejaring Sosial
Pacaran jarak jauh biasanya mengandalkan beberapa jejaring sosial sebagai peredam rindu walaupun hal tersebut tak menjamin perasaan rindu akan segara hilang, tapi setidaknya jejaring sosial “membantu” melampiaskan rasa rindu itu, walau hanya memandang fotonya, walau hanya membaca tulisan-tulisannya. Jadi, apakah hubungannya antara menjaga hubungan baik dengan teman di jejaring sosial dengan kekasih yang berada jauh disana? Simple! Hubungannya adalah soal kecemburuan yang bisa saja ada karena salah menerka dan salah sangka. Misalnya, kamu sedang wall to wall atau mention-an dengan seorang lawan jenis yang tidak dikenal oleh kekasihmu dan saat kekasihmu online facebook atau twitter dia mencak-mencak dan mulutnya terus saja merancau karena membaca wall to wall dan mention-an kalian, lebih parah lagi kalau ada kata-kata mesra dan emote kiss bertebaran dalam tulisanmu dengan teman lawan jenismu itu. So, tetap jaga caramu berkomunikasi dengan teman-teman dunia mayamu, ingat batasannya, bukan berarti tak sama sekali menggunakan jejaring sosial.

3. Saling Mengerti Kesibukan dan Kegiatan Masing-Masing
Yap! Ini juga adalah hal yang sangat penting, karena ketika kita mampu mengerti kesibukan dan kegiatan masing-masing, tidak ada lagi pertengkaran membabi buta dan cekcok yang sebenarnya tak perlu terjadi. Hal ini yang biasanya jadi kendala, karena pesan singkat tak segera dibalas, karena telephone yang tak diangkat, menyebabkan kecurigaan yang tak beralasan, padahal si dia sedang sibuk dengan tugas-tugasnya, padahal si dia sedang membahas hal yang penting dengan orangtuanya. See? Kalau saling mengerti kesibukan dan kegiatan masing-masing, tentu tak ada yang dapat mengganggu hubungan kalian. Jarak tetaplah jarak, “dia” tak mampu hancurkan perasaanmu.

4. Saling Berpikiran Positif dan Tidak Over Protective
Runtuhnya suatu hubungan jarak jauh bisa saja karena keteledoran dari pikiran orang-orang yang menjalaninya, dan salah satu penyebabnya adalah terlalu sering nefting (negatif thinking) pada seseorang yang dicintai. Pliss, jangan terlalu menurut pada apa yang otakmu katakan, karena kau juga harus melibatkan hatimu saat menilai suatu hal baik atau buruknya, begitu juga dengan pasanganmu. Kau tak boleh terus-terusan menuduh dia ini itu karena kau terlalu dikendalikan oleh pikiranmu yang negatif, dengan perlakuanmu yang seperti itu, dia akan merasa bahwa kau tak menghargai dia sebagai kekasih. Begitu juga jangan terlalu over protective, karena walaupun dia kekasihmu, dia juga harus punya ruang untuk bersosialisasi, jangan batasi lingkungan pergaulannya dengan cara berlebihan. Percayalah pada dia, kekasihmu. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia tidak akan mempermainkan rasa kepercayaanmu.

5. Saling…
Dari semua tips di atas, selalu diawali dengan kata SALING, mengapa? Karena kata SALING berarti dilakukan berbarengan, tidak jalan sendiri-sendiri, dan tidak kuat sendiri-sendiri. Suatu hubungan akan bertahan jika dua orang saling berkorban, bukan hanya satu orang saja yang berkorban. Jika hanya satu orang saja yang berkorban, maka hubungan itu akan timpang, melangkah hanya dengan “satu kaki”. Satu orang berkorban untuk suatu hubungan, maka orang lain juga harus ikut berkorban, itulah yang disebut KEKUATAN.

Gimana tipsnya? SESUATU BANGET kan? :D Oh iya, satu lagi nih dari gue, jangan terlalu takut kalau someday kekasih lo disosor orang lain, kalau kekasih lo sayang sama lo, dia enggak akan serong kanan dan serong kiri, tapi kalau dia berani serong kanan serong kiri, yaaaaah itu pertanda dari Tuhan bahwa dia bukan yang terbaik buat lo, berarti lo MASIH SANGAT PUNYA BANYAK kesempatan untuk menemukan yang lebih baik :) Tetap cintai kekasihmu, walaupun kalian terpisah jarak dan waktu :’)

17 December 2011

Aku Bukan Pilihan

            "Kenapa kamu berubah?" tanyaku perlahan, masih menahan langkahnya.
            "Aku tidak pernah berubah, kamu yang berubah! Egois!" Jawabnya begitu saja, ringan. Seakan-akan dia tak menggunakan otaknya untuk memikirkan ucapannya.
            "Kamu tahu kan kalau aku sayang sama kamu?" Aku masih terus bertanya, aku ingin kepastian.
            "Masa bodoh! Kamu sayang sama aku? Aku enggak peduli! Aku bosan dengan tingkahmu yang terlalu berlebihan itu! Kamu selalu menempatkan dirimu sebagai yang utama, kaukira kaupaling sempurna? Pikirkan caramu, Bodoh!" Dia menghempaskan tanganku, aku hanya menunduk, terdiam.
            Aku hanya menatapnya, tapi dia palingkan wajahnya, "Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang terus kamu sakiti?" Air mata tulus mengalir perlahan, menggenang di pelupuk mata, terjun bebas menuju pipiku. Aku benci kondisi seperti ini. Aku benci ketika aku tiba-tiba saja menangis meskipun aku telah berusaha untuk tetap terlihat kuat.
            Dia menatapku dengan getir, tergesa-gesa merogoh-rogoh isi tasnya, selembar tissue kini ada ditangannya, "Aku hanya ingin melindungi perasaanmu, aku tahu aku bukan yang terbaik, aku tahu kaupernah disakiti mantanmu dengan  begitu dalam. Aku bukan wanita yang konsisten. Wanita-wanita di sekitarmu yang lebih dulu kaukenal jauh lebih konsisten daripada aku. Kenapa kaumasih menahanku?"
            Isak tangis yang kutahan tetap tak mau kompromi pada keadaan, "Kemarin, aku berkata seperti itu karena kamu merancau terus, aku benci wanita yang selalu marah-marah dengan alasan yang tak jelas, terlalu childish! Aku marah sama kamu karena aku sayang sama kamu."
            "Lalu? Kaumau apa? Harusnya kamu menyesal karena telah memilih aku! Kalau kautahu ada wanita-wanita yang konsisten yang jauh lebih baik daripada aku, kejarlah! Biarkan aku pergi!" Ucapnya dengan nada tinggi, sambil sesekali menatap kekasih barunya dengan wajah khawatir.
            Aku semakin frustasi dibuatnya, wanita memang selalu pandai memutar-mutar masalah hingga tak jelas lagi inti dari masalah tersebut. Aku menatapnya geram, dengan cepat kuulurkan tanganku, kuraih tubuhnya, kini dia rasakan lenganku menghangatkan tubuhnya, "Salahku, yang terlalu cepat mengambil keputusan. Salahku, yang mengenalmu dengan begitu instan. Menyatakan cinta dengan begitu cepat, padahal kita belum saling mengenal, belum saling tahu. Tapi, kenapa kaubisa begitu menyakitiku? Apakah yang instan selalu membawa kesedihan?"
            Dia memang tak membalas pelukku, tapi dia mematung, aku tahu dia turut larut dalam hangatnya suasana kali itu, hanya pada saat itulah kami bisa berbicara dengan begitu dekat, dengan pelukan lekat, "Kalau sudah seperti ini, siapa yang pantas disalahkan? Tuhan? Ah, kautahu Tuhan memang punya wewenang tertinggi dalam hidupmu dan hidupku, tak pantas kalau aku dan kamu menyalahkan Dia. Cintamu dan cintaku terlalu buta, kita membiarkan diri kita sendiri tertabrak oleh cinta dengan brutalnya. Lalu, cinta berwujud menjadi sesuatu yang dia suka dan kita terjebak! Kalau sudah seperti ini, bagaimana mau terlepas dari jeratannya?"
            Sialan! Wanita yang awalnya kuanggap seperti anak kecil ini ternyata mampu membuatku menangis untuk kedua kalinya, "Tapi, sebodoh-bodohnya cinta, setolol-tololnya cinta, dia tetap terasa nyaman kan?"
            "Iya, nyaman sekali, disatu sisi aku memang senang berada di dekatmu, di sisi yang lain aku tak mampu mengimbangi kesempurnaanmu. Ini jalan terbaik kan? Tidak membiarkan diriku dan dirimu tersiksa dalam suatu hubungan, aku tahu kau pun sebenarnya tersiksa." Jelasnya perlahan, sesekali kurasakan tangannya menyambut pelukku, lalu dia lepaskan lagi, takutkah dia pada kekasihnya?
            Aku menarik nafas, menenangkan diri, sesakit inikah perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukannya, "Berjanjilah padaku bahwa kauakan bahagia bersama pilihanmu, meskipun kebahagiaanmu tak lagi membutuhkan sosokku. Percuma mengharapkan kamu yang dulu kembali, kamu berubah menjadi seseorang yang tidak lagi kukenal. Aku memang bukan pilihan."
            "Kamu yang memaksaku berubah."
            "Jadi, sampai disini?"
            "Ya, sampai disini."
            "Kautidak mau merasakan semur daging buatanku?"
            "Tidak, lain kali mungkin."
            "Aku akan merindukanmu."
            "Begitu juga aku."
            "Pergilah."
            "Jaga dirimu baik-baik." Desahnya perlahan, kubiarkan tubuhnya lepas dari pelukanku. Dia melenggang santai menuju pria di sudut sana yang sejak tadi menunggunya. Dia mencium pipi pria itu dengan begitu mesranya, semesra kala dia mencium pipiku. Dia menggandeng pria itu dengan begitu hangatnya, sehangat dia menggendeng tanganku dulu.
            Sementara aku masih mematung menatap kepergiannya, punggungnya telah berlalu, tangisku belum juga reda. Perpisahan memang kadang butuh air mata.

AKU yang DIA Sembunyikan



Aku tak pernah bebas mencintai dia. Dia lebih suka kucintai secara diam-diam. Dia lebih suka kucintai tanpa harus ada banyak orang yang tahu. Itulah kita, dengan kemesraan yang kami sembunyikan, dengan sapaan sayang yang tak pernah terdengar di muka umum. Seringkali, ada rasa sakit yang menyelinap secara nyata dalam “kerahasiaan” ini, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak pernah mampu melawan dia yang tetap saja mengatakan sayang meskipun aku selalu dia sembunyikan.

Kami memang terlihat seakan-akan tak memiliki hubungan khusus, kami memang seringkali terlihat seakan-akan tak punya perasaan apa-apa. Padahal, saat kami hanya berdua, perasaan itu membuncah dengan liarnya, rasa cinta itu mengalir dengan derasnya. Tak ada orang lain yang tahu bahwa kami telah bersama, karena dia selalu berpendapat bahwa suatu hubungan memang tak butuh publikasi berlebihan. Tapi, menurutku, ini bukan hanya sekadar pubikasi yang dia ceritakan, nyatanya aku benar-benar disembunyikan, nyatanya saat dia bersama teman-temannya, aku seakan-akan tak pernah ada didekatnya, aku diperlakukannya seperti orang lain. Ada rasa sakit yang sebenarnya diam-diam menyiksaku, tapi aku masih sulit memutuskan tindakan yang harus kulakukan.

Memang, di depannya aku tak pernah mempermasalahkan pengabaiannya, tapi justru tindakan itulah yang membuatku tersiksa di belakangnya. Aku memang bahagia saat bersamanya, tapi apa gunannya kalau dia hanya sanggup untuk menyembunyikanku? Aku memang merasa hangat jika dalam peluknya, tapi apa gunanya jika pelukan itu semu dan tak bisa terus menghangatkanku? Aku terpaksa menunggu dihubungi lebih dulu, jadi dia akan datang padaku ketika dia hanya membutuhkanku? Padahal aku merindukannya, padahal aku ingin menghubunginya lebih dulu.

Aku seringkali merasa bukan seseorang yang penting dalam hidupnya, karena memang dia jarang memperlakukanku layaknya orang penting dalam hidupnya, padahal aku selalu menganggap dirinya penting dalam hidupku, bahwa sebagian diriku ada bersamanya. Lupakan makan malam romantis, lupakan gandengan tangan yang manis, lupakan boneka yang tersenyum dengan bengis, dia memang tak seromantis pria-pria lainnya, dia memang selalu lupa untuk memperlakukanku layaknya wanita. Mungkin, aku sudah terbiasa disakiti olehnya. Mungkin, perasaanku buta akan cinta sesungguhnya, sehingga perlakuan yang menyakitkan pun tetap kuanggap sebagai perlakuan yang membahagiakanku.

Dia bahkan tak mempertegas status kita. Seringkali aku bertanya, inikah cinta yang kucari jika dia hanya bisa menyakiti? Inikah dunia yang kuharapkan jika aku merasa frustasi?  Inikah hubungan yang akan membahagiakanku jika dia tak pernah menganggapku ada dan nyata?

Apakah ini saatnya untuk melanjutkan, atau berhenti di tengah jalan?

12 December 2011

Kita (mungkin) Belum Benar-Benar Putus



Mungkin, dulu aku tak benar-benar mencintaimu, ketika jantungmu berdetak lebih cepat saat bertemu denganku, aku tak merasakan jantungku berdetak dengan hebat ketika bersamamu. Perkenalan kita begitu singkat, pertemuan kita cukup beberapa saat, lalu kaukatakan cinta, lalu ka tunjukkan rasa, lalu kaubahagia dengan cinta "instan" yang kita lalui berdua. Ya, aku bahagia, tapi tidak benar-benar bahagia, karena (mungkin) aku tak merasakan perasaan yang sama denganmu, karena (mungkin) aku asal menjawab saja ketika ka memintaku menjadi saru-satunya dalam hidupmu.

Aku tak pernah mempedulikanmu! Aku tak pernah mau tahu kabarmu! Aku hanya bertingkah seolah-olah kaukekasihku, karena masih ada labirin-labirin kosong dihatiku, yang tak mampu terisi olehmu. Ya, kita bertingkah layaknya pasangan kekasih yang sangat bahagia, tapi apa yang kurasakan? Genggaman tanganmu, kosong! Pelukanmu, semu! Tutur katamu, tak penting bagiku! Senyummu, tak mampu membuat jantungku menderu menggebu! Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan pria-pria itu! Bermesraan dengan mereka tanpa kautahu apa yang kulakukan dibelakangmu. Sebenarnya, apa yang salah denganku? Sebenarnya, ini salahku atau salahmu?

Awalnya, semua berjalan biasa saja, tapi aku mulai risih dengan tingkah bodoh dan keanehanmu! Aku tak tahan dengan semua hal bodoh yang kauperlihatkan padaku. Aku tak suka caramu mengatakan cinta dengan hal setolol itu! Kenapa kaselalu membuatku marah? Kenapa kautak pernah berusaha menumbuhkan cinta dalam hatiku? Kenapa aku tak bisa mencintaimu walaupun kutahu kautelah berkorban banyak untukku?

Tapi, Tuhan memang adil, Tuhan berikanku rasa sakit untuk menyadarkanku dari kesalahanku. Kata putus yang kulontarkan dengan begitu mudahnya, tanpa tangis tapi penuh tawa ternyata tak selamanya menjadi tawa bagiku. Selang beberapa hari memang semua berjalan normal, tapi aku merasa ada mozaik yang hilang dalam hidupku; kamu yang kutinggalkan dengan sengaja dan dengan kejamnya. Pesan singkatmu, tawa renyahmu, senyummu, kata-kata cintamu, tak ada ada lagi hal-hal manis yang dulu kuanggap seperti sampah itu. Tak ada lagi kamu yang mengisi hari-hariku dengan lelucon bodoh dan tampang tolol itu. Tak ada lagi kamu yang diam-diam mencium pipiku ketika aku sibuk dengan handphone dan laptopku. Aku merasa sendirian. Aku benar-benar merasa kehilangan. Kini, aku semakin percaya bahwa kita baru benar-benar mencintai seseorang ketika kita kehilangan sosoknya, dan hal itu kini terjadi padaku.

Memang, setelah berpisah denganmu, aku dengan begitu mudahnya mendapat seseorang lagi yang berusaha mengisi hari-hariku, tapi dia tak sebodoh kamu, dia tak setolol kamu, dia tak mampu menggantikan kamu. Dia hanya berhasil mengganti statusku yang single menjadi in relationship, dia tak benar-benar mampu menggantikan kamu yang (tanpa kusadari) telah mengisi hatiku. Aku semakin mengerti bahwa tak ada seorangpun yang mampu menggantikan sosokmu.

Meskipun kini aku telah bersamanya, dan kaujuga telah menemukan seseorang yang baru, tapi perasaanku tak berubah sedikitpun. Aku justru sangat mencintaimu ketika kini kautelah bersamanya. Saat melihat kaudengan dia, ada rasa sakit yang menikamku dalam-dalam, ada kenangan yang diam-diam mendesakku kembali ke masa lalu, sambil berkata dalam hati: "Dulu aku pernah menggenggam tanganmu, tapi sekarang dia yang mampu melakukan itu, kekasih barumu."

Hanya itu yang bisa kulakukan, MENYESAL! Membiarkanmu mencintaiku tanpa mempedulikan perasaanmu, membiarkanmu memberi kejutan tanpa pernah memerhatikan usaha kerasmu, aku sadar bahwa ternyata dulu kamu benar-benar mencintaiku. Cuma itu yang bisa kulakukan, menangis diam-diam ketika kulihat barang-barang pemberianmu masih kusimpan dengan rapi. Kita memang telah berpisah, tapi perasaanku belum bisa lepas darimu. Kita memang telah putus, tapi kenanganku tentangmu belum benar-benar putus.

Aku takut kehilangan seseorang yang tak lagi kumiliki... kamu.

01 November 2011

Terima kasih, Cina.

"Terkadang, suatu hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau tanpa kata putus."

"Anak kita nanti bernama Bagas, Lintang, Langit, dan Laut." Ucapnya lugu seraya menarik-narik ingus yang membuat suaranya terdengar lucu. Aku hanya membalas perkataannya dengan tawa kecil yang tidak memekikan telinga.
"Matahari, Bintang, Langit, dan Laut. Sepertinya nama-nama anak kita nanti menyejukkan sekali ya. Mereka pasti jadi anak yang baik, tumpuan segala harapan kebaikan." Aku menanggapi pendapatnya, nampaknya dia sangat suka dengan ucapan yang kulontarkan tadi. Lalu, kami saling tertawa bersama. Mengganti topik nama anak menjadi topik agama dan ras.
Ya, pembicaraanku dengannya selalu saja berat, selalu saja tidak seperti pembicaraan orang yang sedang berpacaran. Seringkali kami berdiskusi banyak hal, persoalan yang awalnya buta dan gelap menjadi hal yang terlihat dan terang. Itulah masa yang tidak pernah aku temukan lagi saat ini, karena selalu saja masa lalu yang kita inginkan kembali, tidak akan pernah kembali.
Dia seorang mahasiswa berkacamata dengan tinggi badan sekitar 180 sentimeter. Bermata sipit, berhidung cukup pesek, berkulit putih, dan wajahnya memang tercipta sangat oriental dan sangat cina. Dia kuliah di fakultas teknik pertambangan, di salah satu universitas di daerah Yogyakarta. Seringkali dia menjelek-jelekan universitas tersebut karena tujuan awalnya adalah masuk Institut Teknologi Bandung atau lebih familiar disebut ITB. Dia sangat suka fotografi, tapi tak suka memotret manusia, "Aku lebih suka motret pemandangan daripada manusia. Motret manusia malah bikin grogi." Ungkapnya santai dengan tawa renyahnya. Pikirannya sangat idealis, dia punya konsep tersendiri tentang Tuhan dan agama. Dia punya konsep tersendiri tentang Yesus, Allah, Roh Kudus, dan Bunda Maria. Ya, dia selalu mengikuti jalan pikirannya, dia selalu tahu bagaimana cara melangkah mengikuti alur pikirannya.
Semua berjalan begitu absurd, tapi tak dapat dipungkiri bahwa segala hal yang kita lewati memang mengalir begitu indah. Dia mengatakan bahwa dia tak pernah seperhatian itu pada wanita, kecuali pada saya. Ya, awalnya dia memang sangat dingin, seringkali menghilang, seringkali berbicara seenak jidatnya, tapi semua bisa terlampaui begitu sukses, dia berubah, dia menjadi begitu indah. Itulah yang kami sebut cinta, mampu mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih baik.
Saya adalah ciri-ciri wanita yang agak sedikit penuntut. Ya, maksud saya menuntut seorang pria yang saya cintai menjadi lebih baik, saya menuntut pria tersebut melakukan perubahan dalam hidupnya, selama dia menghabiskan waktunya dengan saya, maka saya harus mengubahnya, maka dia harus berubah untuk saya dan untuk hubungan kita. Maka, kami harus berubah, menjadi dua orang yang saling jatuh cinta atas dasar kasih bukan atas dasar nafsu dan ketertarikan fisik. Seringkali cinta menciptakan penuntutan, penuntutan untuk mengubah pribadi menjadi lebih baik. Jujur, saya seringkali jatuh cinta pada pria penurut yang mudah diatur. Saya sangat menghargai seorang pria yang mau berubah untuk hal yang baik.
Dia pernah jadi seseorang yang penting dalam hidup saya. Dia pernah menjadi penenang amarah saya, dia pernah menjadi penyebab dari senyum saya, tapi itu dulu, masa dimana masih ada dia, masa dimana hanya ada tawa dan senyum malu-malu yang menghiasi perjalanan kita. Dia mengenalkan saya pada budayanya, dia mengenalkan saya pada dunianya, dia menjelaskan konsep Tuhan yang ia tahu pada saya. Ya, dia mengajari dan mengayomi saya, dia tahu persis bagaimana memperlakukan perasaan saya.
Jelas, kami pernah bertengkar hebat. Hingga beberapa hari kami tak saling berhubungan, tapi cinta tetaplah cinta, rindu tetaplah rindu, sulit untuk disembunyikan dan dilupakan. Hingga pada suatu ketika dia menulis di note facebooknya, bercerita tentang hubungan kami yang berjudul "Untitled 16". Saya terharu membacanya, saya menyangka bahwa pria sedingin dan secuek dia tidak mungkin bisa menulis sedalam itu. Saya tahu ini yang namanya cinta, selalu punya alasan untuk memaafkan.
Pertengkaran kecil kami yang detailnya tidak pernah saya lupakan, seringkali menggelitik rindu setiap mengingatnya.
"Matamu!" Ucapku kasar mengetuk keras gendang telinganya.
"Sipit, Cuk!" Timpalnya dilanjut dengan tawa lepasnya.
"Cino nyebahi!" Aku tak mau kalah, masih saja aku menggoda perasaannya.
"Jowo marai emosi!" Dia juga tak mau kalah, semonyong-monyongnya bibirnya dia lakukan hanya untuk menghujani saya dengan pertengkaran kecil yang disertai canda itu.
Cino dan Jowo, seringkali menjadi perpaduan yang baik jika berada di tempat yang seharusnya. Tapi, bisa jadi malapetaka jika tak bersatu pada tempat yang seharusnya.
Ah, tapi yah, sekali lagi saya katakan semua hanya kenangan, semua hanya pecahan puing-puing retak yang terpecah dari asalnya. Dia menjalani hidupnya sendiri, sayapun harus menjalani hidup saya sendiri. Memang tak pernah terpikirkan kita akan berpisah, karena semua mengalir dengan begitu indah. Tapi, ya memang semua harus berakhir, walau tanpa kata pisah dan kata putus, walau tanpa kalimat perpisahan dan kalimat mengakhiri. Terkadang, suatu hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau tanpa kata putus.
Sekarang, dia mungkin sedang berbahagia dengan pilihannya. Dan, sekarang saya bahagia dengan pilihan saya. Saya tak perlu tahu apakah dia bahagia dengan pilihannya, yang saya tahu cerita kita pernah ada, walaupun memang sudah berakhir.
Terima kasih telah mengenalkan saya pada Seno Gumira Ajidarma dan karya-karyanya. Terima kasih pernah mengharapkan saya sebagai ibu dari anak-anakmu. 

17 October 2011

Beri Aku Waktu, Tuhan

"Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali."

Aku hanya bisa mematung seusai mendengar vonis dokter yang saat ini masih tak kupercayai realitanya. Aku hanya bisa mematung dan berpikir, aku mencoba menyelami labirin-labiran dalam otakku yang semakin rumit dan tak kumengerti. Aku mencoba mengungatkan langkahku dan menegakan ketegaran hatiku. Tapi, aku muak untuk terlihat menjadi kuat! Aku muak berpura-pura menjadi seseorang yang terlihat kuat! Aku lelah harus terus terlihat seakan-akan aku percaya bahwa aku segera sembuh, bahwa aku dituntut agar tidak terlihat lemah karena penyakit yang masih saja menggerogoti tubuhku. Aku lelah berpura-pura dalam kesakitanku. Aku lelah dalam kepalsuan. Aku ingin menangis tapi nyatanya aku hanya bisa menyembunyikan air mataku.

Aku iri dengan mereka yang bisa tersenyum bahagia tanpa kepalsuan. Aku iri dengan mereka yang bisa berlari dan bergerak bebas dalam sandiwara yang skenarionya telah dipersiapkan Tuhan. Aku ingin seperti mereka yang menghabiskan waktunya tanpa khawatir akan hadirnya kematian yang bisa saja menghampiri mereka tiba-tiba. Aku ingin seperti mereka! Aku ingin menjadi pelakon dalam sandiwaraku sendiri, aku ingin menjadi pemeran utama dalam sandiwara yang Tuhan izinkan terjadi itu. Tapi, nyatanya, aku hanya menjadi seorang penonton! Aku hanya bisa duduk diam! Aku hanya bisa menunggu datangnya kematian!

Kalau manusia diizinkan untuk marah dengan takdir yang Tuhan rancang, mungkin aku akan terus menjadi pemarah yang tidak henti-hentinya merapal kata-kata kekesalanku pada Tuhan. Kalau manusia berhak untuk merancang takdirnya sendiri, aku pasti mampu merancang kebahagiaanku sendiri, dengan kekuatanku sendiri, dengan kemampuanku sendiri. Tapi, inilah aku dalam keterbatasanku. Aku hanya bisa diam! Aku hanya bisa duduk memperhatikan! Aku hanya bisa melakukan kepalsuan! Aku hanya bisa bahagia walau dalam kepura-puraan.

Aku hanya ingin sembuh, Tuhan. Aku hanya ingin helaan nafasku tidak berhenti secepat ini. Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali. Aku lelah menahan sakit. Tuhan, bisakah sekali lagi kita bercakap dalam doa? Aku masih belum siap bercakap denganMu secara langsung, akan kujelaskan padaMu bahwa aku masih butuh waktu. Aku belum siap Kau jemput. Beri aku waktu, Tuhan.

15 October 2011

Monolog: Cinta dan Agama


Aku tak mengerti mengapa perbedaan masih saja dianggap sebagai sesuatu yang asing. Aku tak mengerti bagaimana pola pikir seseorang yang menganggap perbedaan adalah sampah. Dimana perbedaan tak dapat dihargai, dimana perbedaan tak mendapat tempat se-inchi pun dalam kehidupan sosial masyarakat. Indonesia, negara yang katanya menghargai perbedaan, tapi menyentuh perbedaan pun rasanya amat menjijikan. Jadi, untuk apakah Sang Garuda mencengkram tulisan "Bhineka Tunggal Ika" jika perbedaan masih saja menjadi sesuatu yang tabu?

Agama. Sesuatu yang kadang terkesan maya tapi ada. Sesuatu yang kadang tak diketahui tetapi berusaha untuk dipahami. Sesuatu yang diluar otak manusia tapi berusaha untuk dicapai oleh otak manusia. Agama dan perintah Tuhan, apakah selalu mengekang? Seringkali agama menjadi jurang yang tak mampu dijembatani oleh cinta. Agama dan cinta, sesuatu yang Tuhan ciptakan tapi secara brutal dirusak oleh manusia!

Aku tahu, diluar sana ada ribuaan atau bahkan jutaan pasangan yang saling jatuh cinta walau dalam perbedaan. Bukankah kehidupan pasti butuh perbedaan? Kalau semua hal sama, bukankah membosankan? Pasangan yang berbeda dalam banyak hal, terutama yang paling kontras adalah perbedaan agama. Mereka berusaha sekuat mungkin untuk menunjukan bahwa mereka bukanlah sampah yang harus dikucilkan karena pola pikir masyarakat. Mereka bertahan walau dalam kesakitan, mereka berteriak walau dalam kebisuan, nurani mereka terpasung oleh sesuatu yang (katanya) disebut DOGMA AGAMA. Sesulit itukah mempertahankan cinta, ketika mereka tahu bahwa mereka bukanlah pasangan yang direstui oleh DOGMA AGAMA? Mereka mencoba menutup telinga dari cemooh masyarakat yang tak mengerti apa itu CINTA dan apa itu AGAMA. Mereka bertahan untuk sesuatu yang tak tahu dimana ujung dan akhirnya. Itulah cinta, yang mampu membuat dua orang yang terikat menjadi begitu kuat untuk menghadapi cobaan terhebat.

Cerita lainnya, pasangan dengan dua agama, pasangan berbeda yang telah diikat oleh tali pernikahan. Di depan altar suci mereka berikrar janji. Bertahun-tahun mereka bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Setiap minggu pagi, sang wanita pergi ke gereja, mengucap Pengakuan Iman Rasuli dan mengujar Doa Bapa Kami. Pagi-pagi sekali, sang suami menghadap Tuhan, bersujud haru dibawah telapak kaki Tuhan, sambil membaca surat-surat dengan bahasa arab. Salahkah kalau dalam perbedaan mereka tetap berbahagia? Salahkan jika ada dua Tuhan dalam satu rumah tangga? Salahkan jika ada dua Allah dalam satu cinta? Bukankah dengan begitu cinta bisa mempertegas tugas utamanya? Menyatukan dua orang yang penuh perbedaan tanpa peduli apa kata orang!

Hey, kalian! Kenapa kalian tercengang mendengar ceritaku? Kenapa kalian membisu ragu mendengar dentuman gelisahku? Jadi, kalian baru sadar kalau disekitar kalian ada orang yang tersiksa karena DOGMA AGAMA? Jadi, kalian baru sadar ada pasangan yang begitu sulit untuk saling jatuh cinta karena AGAMA? Yak, kamu yang berjilbab! Pernahkah kamu berpikir bahwa dari jutaan wanita berjilbab ada beberapa orang diantara mereka yang jatuh cinta pada seseorang yang beribadah di gereja? Yak, kamu yang berkalung salib! Pernahkah kamu berpikir bahwa dari jutaan orang yang berkalung salib ada beberapa diantara mereka yang jatuh cinta pada seseorang yang beribadah di masjid? Jadi, apakah salahnya CINTA jika dia hanya menjalankan tugasnya untuk menyatukan perbedaan? Pantaskah AGAMA untuk ikut campur?

Inilah Indonesia! Pikirannya yang masih (sok) ketimuran! Menganggap perbedaan adalah pemerkosa kesatuan! Menganggap perbedaan layaknya pekerja seks komersial yang harus diarak dan dilempari batu hingga mati! Inikah Indonesiaku yang (katanya) punya slogan Bhineka Tunggal Ika itu? Hanya slogan ya? Tidak dilakukan melalui tindakan? Memalukan! Tapi, sebenarnya, kita pun tak pernah berhak untuk menyalahkan DOGMA AGAMA. DOGMA AGAMA bilang mencintai seseorang yang berbeda agama sama saja seperti mencintai gelap. Terang tak mungkin dapat bersatu dengan gelap. DOGMA AGAMA bilang seperti ini, DOGMA AGAMA bilang seperti itu, DOGMA AGAMA bilang........ Ah! Aku benci ketika manusia malah menjadikan DOGMA AGAMA sebagai Tuhan, bukan malah menjadikan TUHAN sebagai TUHAN!

Agama mengajarkan cinta dan kasih, agama mengajarkan bagaimana mencintai dan mengasihi seseorang yang berbeda. Cinta mengajarkan manusia menjadi manusia, cinta menjadikan manusia menjadi mahluk sosial. Cinta dan agama, sulit dimengerti, sulit untuk disatukan, tapi ada dan nyata.

Mengapa Tuhan menciptakan perbedaan jika DIA hanya ingin disembah dengan satu cara? Pertanyaan yang sulit kujawab dengan logiku yang sungguh terbatas, tapi jawaban akhir yang bisa kusimpulkan adalah cinta sejati berasal dari Tuhan, makanya itu Tuhan menciptakan cinta agar yang berbeda bisa saling menyatu.

06 October 2011

Aku Tidak Ingin Makan Telur Dadar kalau Bukan Buatan Ibuku

"Apa gunanya menginginkan kembali masa lalu ketika sebenarnya masa itu tak akan pernah terulang?"



Aku hanya memainkan nasi dan telur dadar dengan sendok dan garpuku. Menatap kosong ke arah sarapan yang memang tidak membuat dirinya agar berselera sehingga aku ingin melahapnya. Kulempar pandanganku ke jendela ruang makan, sinar matahari mulai mengintip malu-malu dari balik kaca kaku bertralis besi tersebut. Aku sangat benci suasana seperti ini, suasana sepi seakan-akan rumah ini tak berpenghuni. Aku duduk sendirian di meja makan sambil berpangku tangan. Dengan mata setengah mengantuk, kembali kutatap sarapanku lagi, nasi dan telur dadar, sederhana. Aku masih tak berselera untuk melahapnya, karena telur dadar ini bukan buatan ibuku. Aku tidak ingin makan telur dadar kalau bukan buatan ibuku. Aku semakin benci suasana ini, karena pagi ini adalah pagi yang sama, lagi dan lagi tidak ada ibuku yang menemaniku sarapan. Pemandangan pagi ini juga sama, di ruang tamu terlihat ayahku sedang bergelayut manja dipundak ibu baruku. Sebenarnya, aku sangat tidak sudi memanggil dia dengan sebutan “Ibu”, karena seseorang yang pantas kupanggil ibu adalah ibuku sendiri, tidak ada seorang pun yang berhak menyandang panggilan itu dari bibirku kecuali untuk ibuku.
***
Ibuku memang seorang wanita yang terlihat lemah, tapi di balik kelemahan seorang wanita yang terlihat oleh mata, ada kekuatan sangat besar yang tak terlihat mata. Didukung oleh wajah jawanya yang halus, dihiasi dengan mata redupnya yang bening, beliau selalu menjadi aktris utama yang kujadikan idola dalam drama kehidupanku. Ibuku memang jarang berbicara, dia lebih suka bertindak lalu melakukan, dalam pada membuang-membuang waktu untuk sekedar berdebat. Ibuku lebih suka memeluk daripada mengungkapkan, karena lewat sepasang lengannya ada desir kehangatan tersendiri yang menjawab banyak pertanyaan. Ibuku adalah wanita paling baik yang pernah kukenal, hanya seorang bodohlah yang mampu menyakiti ibu dengan perlakuan dan perkataannya, ayahku.
***
Tiga bulan yang lalu, ibu masih sibuk bangun pagi-pagi hanya untuk memasak telur dadar kesukaanku, telur dadar untuk aku, ayahku, dan ibuku. Kami bertiga duduk dalam satu meja, tanpa ungkapan dan ucapan, karena bahkan hanya lewat tatapan ada “pembicaraan” bisu yang “terdengar” oleh hati. Sesaat sebelum kamu berangkat, aku pamit lalu ibu mencium pipiku serta memelukku, begitu juga perlakuan yang sama diberikan untuk ayahku, tapi ayahku hanya meresponnya dengan tatapan dingin. Memang, kala itu ada hal yang sangat kutakutkan, ketika aku mencoba membuat persepsi bahwa cinta ayahku pada ibuku memudar. Padahal ibuku itu nyaris sempurna, memangnya ayahku butuh seseorang yang seperti apalagi? Ah... tapi kembali kuingat nasehat ibuku saat aku mulai nakal dan membuat persepsiku sendiri. “Pindahkan otakmu dan matamu ke hatimu, mereka tidak bisa bekerja sendiri-sendiri.” Ucap beliau sambil memelukku lebih erat dan hangat.
***
Ah ya! Belakangan kutahu bahwa ibu baruku (yang tetap tak sudi kupanggil ibu) adalah “selingan tak berguna” yang sempat mengganggu hubungan ayahku dan ibuku saat mereka masih berpacaran dulu. Lalu, untuk apa si jalang itu kembali? Satu hal yang kutahu, wanita jalang memang selalu datang tidak dalam waktu yang tepat. Aku benci ibu baruku, tepatnya aku benci dengan wanita jalang yang tiba-tiba datanng ke dalam hidupku. Aku hanya menginginkan ibu. Itu saja. Tapi, sekali lagi aku berpikir, apa gunanya menginginkan kembali masa lalu ketika sebenarnya masa itu tak akan pernah terulang?
***
Kali ini, pandanganku kosong menatap ibu. Berkali-kali aku mengusap-usapnya dengan sentuhan lembut sambil berusaha untuk tersenyum. Aku bercerita banyak hal, soal prestasiku, soal tulisanku, soal perkembanganku, dan soal ketertarikanku pada seseorang yang kini mengisi kekosongan hatiku. Aku sama sekali tak bercerita tentang ibu baruku (baca: wanita jalang), aku tak ingin ibu bersedih karena ayahku memilih seseorang yang salah. Tapi, tak bisa kututupi perasaan khawatirku tentang ayah dan ibu baruku itu, karena ibuku selalu tahu walapun aku berusaha menyembunyikan perasaanku. Aku membersihkan rumput-rumput yang tumbuh liar di atas tanah basah itu, kutaburi bunga-bunga beraroma lembut yang sesekali menyengat hidungku ketika angin menyebarkan aromanya. Untuk kesekian kalinya, aku mencium nisan ibuku. Aku tahu kalau beliau sangat suka dengan kecupan hangatku. Beberapa detik terbesit di dalam pikiranku tentang ayah yang tak berjumpa dengan ibu beberapa bulan ini. Entah beliau telah merencanakan untuk berjumpa tapi lupa atau beliau terlalu sibuk dengan pekerjaannya? Ah... memang beberapa laki-laki selalu mudah melupakan kenangannya.

Untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini

Aku bosan ketika bangun pagi hari hingga tidur malamku selalu diisi pertengkaran kecil dan bahkan pertengkaran yang cukup besar. Di mana dia selalu ingin menjadi pemenang, di mana dia selalu ingin menjadi aktor utama. Sementara aku, hanya pemain figuran yang tidak berhak melawan, posisiku hanya seseorang yang pasif yang mencoba mengerti semua perlakuannya walaupun ada banyak gejolak untuk melawan.

Ada saja hal-hal kecil yang dia jadikan sebagai acuan untuk berdebat panjang. Masalah komunikasi, masalah perhatian, masalah waktu, dan masalah-masalah lainnya yang selalu terlihat besar saat ia melebih-lebihkannya. Memangnya aku ini tempat sampah, "tempat" dimana ia menumpahkan segala kekesalan dan amarahnya saat ia merasa lelah dengan dunianya? Apa dia tak pernah berpikir bahwa aku sama seperti dia, yang juga punya perasaan? Apa dia tahu, bahwa menjadi aku bukanlah hal yang mudah?

Seringkali aku merasa risih dengan semua hal yang ia lakukan padaku. Rasanya sehari seperti sebulan lamanya. Seringkali aku terdiam melihat semua mengalir tanpa persetujuan dan keinginanku. Seringkali aku ingin lepas, tapi aku merasa jeratan itu masih terlalu kuat. Aku lelah menjalani hubungan yang hanya berjalan di tempat, di mana hanya ada satu orang yang berkorban demi satu orang lainnya. Di mana hanya ada aku yang berlelah sendirian hanya untuk menjaga yang seharusnya kulepaskan.

Dan, untuk kamu, ya kamu! Pria yang dulu pernah kucintai dan kukagumi sebelum aku bertemu dengannya. Jujur, aku merindukanmu. Merindukan sosok dewasa yang dulu pernah menopang dan menegakkan langkahku. Aku merindukan suaramu yang dulu menelusup lembut ke dalam telingaku. Aku merindukan sosok sederhanamu dengan tinggimu yang 196 sentimeter itu. Sekarang, aku tahu bagaimana rasanya bila tidak ada kamu yang mengisi hari-hariku. Sekarang, aku tahu rasanya jika saat bangun pagi tak ada sapamu di inbox handphoneku. Aku benar-benar kehilangan sosokmu. Aku benar-benar takut kehilangan sebagian dari diriku saat aku juga kehilangan kamu.

Ingin rasanya kembali ke masa lalu, ketika masih ada kamu, ketika aku masih bisa tersenyum saat bangun pagi hingga tidur malamku. Saat kamu masih menganggapku lebih dari teman, saat ungkapan rindumu masih sering kudengar dari bibir tipismu, saat kehadiranmu bagai aktor utama drama yang kutunggu-tunggu kemunculannya. Aku masih saja sering memerhatikan nomor handphonemu, menimbang-nimbang apakah aku harus mengirim pesan terlebih dahulu atau aku saja yang menunggumu? Ah... tapi kamu terlalu sibuk, bahkan hanya untuk sekadar sms apalagi menanyakan kabarku.

Setelah kuputar ulang lagi rekaman otakku yang berisi tentangmu, aku mencoba untuk kembali mengingat perlakuan lembutmu dan perlakuan kasarnya. Aku mencoba  mengingat kesabaranmu saat menghadapiku, aku mencoba mereka-reka kembali ucapanmu saat menenangkan amarahku, aku mencoba mengintip kembali usaha-usaha yang kaulakukan agar hubungan kita tidak berjalan di tempat. Bayanganmu berputar-putar di otakku, suaramu terdengar menusuk-nusuk telingaku. Aku benar-benar kecanduan kamu, aku benar-benar kecanduan masa lalu. Aku semakin sadar bahwa tidak ada seorangpun yang bisa membuatku merasa berarti dan luar biasa selain kamu. Aku semakin yakin bahwa kamu adalah seseorang yang berusaha memperbaiki kesalahanku agar aku menjadi seseorang yang baru. Kamu menerimaku lalu menjaga perasaanku, dia menerimaku tapi berusaha merusak perasaanku.

Kali ini, aku tak merasakan kantuk sama sekali, rasa kantuk itu tak benar-benar berarti sampai aku bisa menuliskan ini, sampai aku bisa menikmati hadirmu lewat tulisanku. Aku menyesal kenapa semua hal-hal yang indah seringkali tak bisa terulang? Aku frustasi. Aku kebingungan. Aku butuh hadirmu. Aku butuh kata rindumu. Di mana kamu? Kautahu? Sejak kemarin aku mencarimu! Hubunganku dengannya diujung tanduk saat ini! Selamatkan aku, bukan selamatkan hubunganku!

Untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini
06102011 01:37
aku merindukan suara beratmu.

05 October 2011

Gelang Bali

"Kenangan mampu mengalahkan perasaan seseorang."



                 Aku berlari-lari kecil ke arahnya, dengan wajah berseri-seri aku berusaha meraih posisi dimana ia berdiri. Saat dia tersenyum ke arahku, aku segera meraih tangannya dengan lembut. Sekali lagi, dia hanya memperdengarkan gelak tawanya yang menggemaskan.
                "Ada apa? Kamu kok narik-narik tanganku sih?" Ucapnya lugu sambil memainkan rambut sebahunya.
                "Kemarin pas liburan aku ke Bali, aku beliin kamu ini." Jawabku seadanya, kuletakkan benda itu di atas telapak tangannya.
                "Wah, gelang ya? Makasih ya, Dicto." Sambil melengkungkan senyumnya yang manis, dia menyibukkan dirinya dengan memasangkan gelang itu pada pergelangan tangannya.
                "Susah ya masangnya?" Tanyaku sambil memperhatikan ketidak-mampuannya untuk memasangkan gelang itu.
                "Iya, To. Gimana masangnya ya?"
                "Sini aku yang pasangin. Cuma aku yang bisa memasangkan gelang ini dipergelangan tanganmu." Ucapku tersipu malu sambil memasangkan gelang itu. Dia tersenyum ke arahku, aku menunduk dengan perasaan berkecamuk.
                Taman kanak-kanak kala itu sudah terlihat sepi. Aku menunggu ibuku yang selalu terlambat menjemputku, dia menunggu ayahnya yang punya rasa ketidak-peduliaan tinggi. Kembali aku menatap senyumnya, merasakan sejuk tatapannya, lalu melirik iseng ke gelang sederhana itu. Sejak saat itu, gelang pemberianku selalu nyaman terpasang di pergelangan tangannya. Entah sampai kapan, ia akan memasangnya.
***
                Aku terbangun dari mimpiku, sialan! Mimpi itu lagi! Teman masa kecil lagi! Sesuatu yang tak bisa kulupakan sampai saat ini! Kulihat jam dinding yang berdetak angkuh, pukul 02:22 dinihari. Di sampingku, istriku masih sibuk dengan alur mimpinya, aku berusaha untuk kembali memejamkan mata, memeluk dan mendekap istriku dengan begitu dekat, tapi selalu tak pernah aku merasa hangat.
***
                Pernikahan kami sudah berjalan 6 tahun, dikaruniai 2 anak sehat dengan kepribadian yang memikat. 6 tahun? Kalian pasti berpikir bahwa pernikahanku terlihat begitu bahagia, ya memang, aku bahagia, hanya terlihat bahagia, bukan benar-benar bahagia.
                Aku tidak benar-benar mencintai istriku, dia kunikahi karena ibuku mau aku menikahi dia. Itu permintaan terakhir almarhumah ibuku sebelum dia mendiami pusaranya. Apakah membahagiakan orangtua berarti mengikuti pilihannya? Meskipun anaknya tersiksa dengan pilihan itu?
                Pertemuan pertama kami tak dihiasi dengan senyum tersipu malu, dengan tatapan lugu, dan dengan percakapan merayu. Pertemuan pertama kami diisi dengan penentuan tanggal pernikahan! Tanpa basa-basi, tanpa memikirkan perasaan kami masing-masing.
                Setahun pernikahan kami, aku masih sangat bisa mentolerir semua keegoisannya, aku mengira bahwa setahun adalah masa perkenalan dan adaptasi. Dua hingga enam tahun, semua masih tetap sama. Aku selalu berusaha mencintai istriku, dengan segala kekurangannya, tapi kenyataan yang tidak kusuka adalah ternyata cinta tak bisa datang karena paksaan.
                Intinya, yang kujalani selama 6 tahun bukanlah karena aku mencintai, tapi karena kewajibanku untuk berusaha mencintai seseorang yang sulit untuk kucintai. Cinta tidak selalu datang karena terbiasa, cinta itu soal perasaan, bukan teori.
***
                Sebenarnya aku sudah tidak ingin menghabiskan waktuku dengan wanita yang sulit untuk kucintai, tapi bagaimanapun juga, ia adalah ibu dari anak-anakku. Ditambah lagi kota ini, kota Bali. Kota yang terlalu menyesakkan bagiku, entah bagi keluargaku. Aku sangat ingin pulang ke Jakarta. Dimana kenangan-kenanganku menempel lembut disana.
***
                Semenjak aku menikah dan semenjak hidupku terlihat bahagia, aku tak lagi bertemu dengan teman masa kecilku itu. Bisa juga dibilang, cinta pertamaku, Theodora Immaculata.
                Mungkin sekarang dia telah hidup bahagia dengan suami dan anak-anaknya. Menetap dalam suatu kota yang menyimpan kebahagiannya. Aku merindukan kotaku, aku memutuskan untuk pulang. Aku kangen ibu, aku ingin mengunjungi beliau dan mencium lembut nisannya.
***
                Inilah kota tempatku seharusnya pulang, aku tidak akan menyebut kota ini sebagai kota persinggahan, karena kota ini sesungguhnya adalah Rumahku. Rumah adalah tempat seseorang untuk pulang, bukan untuk sekedar singgah.
                Di rumah orangtuaku, aku menemukan kebahagiaan yang tidak kutemukan di Bali. Bali memang indah, tapi tak selalu yang terlihat indah akan membawa kebahagiaan. Kutatap haru kamarku dulu, penuh dengan coretan dinding semasa aku ada di taman kanak-kanak sampai masa kuliah. Mataku terpaku pada tulisan yang berantakan dan hampir pudar, ada nama Theodora Immaculata yang terususun dalam huruf-huruf bisunya. Aku hanya mengembangkan senyum. Aku ingin ke tempat yang menyimpan banyak kenangan itu, taman kanak-kanak.
***
                Aku melenggangkan mobilku hingga ke depan bangunan tua yang masih terlihat sama seperti dulu, seperti 30 tahun lalu. Di samping taman kanak-kanak itu, masih berdiri bangunan untuk Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Melihat bangunan-bangunan tua itu, aku hanya menggigit bibir. Bahkan, benda mati pun mampu mengingatkan seseorang pada masa lalunya.
                Kakiku melangkah seiring kemauanku. Memasuki taman kanak-kanak yang memaksaku untuk mengunjunginya sesaat saja. Ternyata masih sama, beberapa permainan berwarna-warni masih mematung di halaman yang besar itu. Hanya warna catnya saja yang diganti.
                Angin yang baru saja memainkan rambutku dan menggelitik kulitku mengingatkanku pada ayunan yang biasa kutunggangi bersama dengan dia, wanita itu, yang kuceritakan sejak tadi itu.
Saat langkahku masih berjalan, pandanganku tertuju pada seseorang yang sedang duduk diayunan itu. Aku duduk di ayunan samping, sambil iseng menghampiri wanita tersebut.
                Aku menatapnya, memperhatikan wajahnya dan sesuatu yang dikenakannya, gelang dari Bali itu, gelang yang pernah kupasang dipergelangan tangan seorang wanita.
                "Ima?" Sapaku dengan nada bertanya.
                Dia memalingkan wajahnya ke arahku, wanita itu mulai mengembangkan senyumnya,"Dicto!" Ujarnya dengan nada tinggi.
                Buru-buru dia bangkit dari dudukan ayunan itu, berdiri di depanku, lalu membungkuk, memelukku. Nafasku memburu kala itu, aku mendengar helaan nafasnya dan suara kecil isak tangisnya. Lalu, dia melepaskan pelukan itu, kembali duduk dalam ayunan. Tangannya sibuk menghapus air matanya. Hingga tiba pada momen gelangnya terlepas.
                "Tanganmu ternyata kecil sekali ya?"
                "Aku kurus ya?"
                "Sedang saja, tanganmu kecil sekali, aku kaget."
                "Ah! Iya, mungkin." Jawabnya pendek sambil sibuk memasangkan gelang itu pada pergelangan tangannya. Kulihat ada cincin yang terpasang pada jari manisnya. Aku menghela nafas, "Sudah punya orang lain ternyata." Ucapku lirih dalam hati.
                Aku tersenyum menatap peristiwa itu, segera saja kugenggam tangannya. "Kalau ini terlepas, cuma aku yang bisa memasangkan kembali gelang ini dipergelangan tanganmu." Ucapku sambil memasang gelang itu pada pergelangan tangannya. Ah, sama seperti 30 tahun yang lalu. Dia hanya tertawa, tawa yang menghilangkan mata sembabnya. Selalu saja, kenangan mampu mengalahkan perasaan seseorang.