29 July 2013

Ingin dan Butuh

Sebagai manusia normal pada umumnya, kita tentu memiliki keinginan yang selalu dijadikan sebagai tujuan. Seringkali kita berjuang untuk tujuan tersebut tanpa tahu apakah yang kita kejar selama ini adalah hal baik untuk kehidupan kita? Tujuan saya menulis ini sebenarnya sederhana. Saya resah melihat banyak orang yang mengeluh karena tidak masuk unversitas impiannya, tidak diterima di sekolah yang dia idam-idamkan, atau tak masuk dalam jurusan kuliah yang dia pilih. Ini sekadar berbagi; bahwa sekecil apapun hal yang terjadi dalam hidup kita, tetap ada yang mampu dan harus kita syukuri.

Sewaktu masuk SMA, saya sangat ingin masuk di salah satu sekolah unggulan di bilangan Depok, Jawa Barat. Untuk masuk sekolah itu, saya harus menghadapi tes tertulis. Ketika nilai UN sudah diketahui oleh saya dan orangtua saya, saya masih harus belajar agar bisa diterima di SMA unggulan tersebut. Waktu saya habis untuk belajar dan belajar. Namun, pada akhirnya, saya tidak diterima di SMA tersebut. Kecewa? Pasti. Apa yang dirasakan manusia ketika usahanya tak berbuah sama sekali? Kekecewaan itu membawa saya pada sebuah SMA yang terletak di Jalan Raden Saleh, Depok. Tahukah kamu apa yang saya temukan di sana? Saya menemukan sahabat-sahabat yang baik dan bisa memahami saya. Saya mengenal seorang guru bahasa Indonesia terbaik yang pernah saya ketahui. Inilah yang saya butuhkan, yang berbanding terbalik dengan yang saya inginkan. Tuhan memberi hal yang saya butuhkan dan membuka mata saya bahwa hal yang saya inginkan mungkin saja tak sebaik hal yang saya butuhkan.

Kemudian, setelah lulus dari SMA, saya sangat ingin kuliah di Jogja. Jujur, entah mengapa, saya sangat "obsesif kompulsif" dengan banyak hal berbau Jogja. Saya mengikuti SNMPTN 2012, tanggal 6 Juli 2012, pengumuman SNMPTN sudah bisa diketahui hasilnya. Saya diterima di FIB UGM. Rasanya saat itu saya tidak mampu lagi bernapas. Beberapa hari kemudian, saya langsung pergi ke Jogja dan berusaha mengenali UGM. Dari rumah saya di Jogja, yang terletak di daerah Prawirotaman, saya cukup menaiki bus jalur 2. Saya sudah berusaha mengenali jalan menuju UGM. Sebelum waktu daftar ulang tanggal 17 Juli 2012, saya berusaha mengenali komplek UGM. 18 Juli 2012, saya mengikuti tes TOEFL di Balairung UGM bersama ribuan mahasiswa baru angkatan 2012. Selangkah lagi menuju UGM. Kebahagiaan masih merasuki perasaan saya, kebahagiaan itu cukup membuat saya lupa tentang hasil akhir SIMAK UI yang juga saya ikuti.

Sehari setelah mengikuti TOEFL untuk mahasiswa baru UGM, tanggal 19 Juli 2012, pagi-pagi sekali ayah saya menghubungi saya agar membeli koran Kompas dan melihat pengumuman SIMAK UI. Saya bahkan tidak ingat kalau pengumuman SIMAK UI sudah bisa dilihat tanggal 19 Juli, kebahagiaan diterima di UGM masih menyilaukan perasaan saya. Pagi itu, saya segera membeli koran dan mengecek nomor ujian saya. Saya diterima di FIB UI. Entah mengapa, perasaan saya langsung campur aduk. Ayah saya memberikan saya pilihan.Akhirnya, dengan banyak pemikiran, saya memilih UI dan mencoba mengikhlaskan UGM. Saat itu, saya agak was-was dengan pilihan saya. Saya sudah terlanjur mengenal kemudian jatuh cinta dengan hal-hal manis dan menyenangkan di UGM, apakah saya harus memulai lagi mengenal UI lalu mencoba mencintai universitas tersebut?

Saya butuh beberapa bulan untuk membuka mata bahwa yang saya inginkan ternyata berlawanan dengan yang saya butuhkan. Tuhan kembali membantu saya mengenali hal yang sesungguhnya lebih saya butuhkan. Di jurusan kuliah saya sekarang, saya menemukan banyak orang yang memahami saya dan mengerti jalan pikiran saja. Saya juga bersyukur bisa diajari dosen yang kocak, humoris, namun tetap serius. Iya, apa yang kita inginkan seringkali bukanlah yang kita butuhkan. Tuhan pasti membuka jalan dan memberi kita waktu untuk memahami rencanaNya.

Jadi, bagi siapapun yang masih merasa menyesal masuk ke sebuah universitas yang tak diharapkan, masih meratapi nasib tidak diterima di jurusan yang diinginkan, dan masuk ke sebuah sekolah yang tak dijadikan tujuan; percayalah, sebenarnya Tuhan sedang bekerja dalam rencanaNya yang kadang tak benar-benar kaupahami. Apa yang kauinginkan tak selalu pas dengan yang kaubutuhkan.

Tuhan pasti memberitahu, hanya butuh waktu.

27 July 2013

Memilih Pergi dan Berhenti

Aku menghampirimu dengan beberapa buku di genggaman jemariku. Buku-buku mengenai keajaiban-keajaiban yang dilakukan Yesus, mengenai khotbah sehari-hari, dan santapan rohani untuk saat teduh setiap pagi. Kamu tersenyum ke arahku, ketika kutunjukkan buku-buku yang sudah menjadi pilihanku. Sambil berbincang beberapa kalimat, kamu meminta pendapatku mengenai buku yang kamu pilih. Buku mengenai keajaiban saat berpuasa dan terapi salat tahajud. Aku mengangguk setuju, itu buku yang sama menariknya bagiku. 

Lalu, kamu menyodorkan sebuah buku yang lebih dulu kupunya; buku iqro. Kamu berkata dengan suara santai bahwa buku itu bisa membantuku melewati mata kuliah ikhtisar bahasa arab di jurusan kuliahku. Aku menggeleng lemah karena buku itu sudah lebih dulu kubeli ketika awal semester satu. Aku sudah menamatkannya sampai iqro lima. Memangnya kamu lupa? Waktu aku bisa menuliskan namamu dengan tulisan Arab dan seusai itu kamu tertawa setengah mati. Tulisan Arab yang belum sepenuhnya sempurna, dengan harakat tasydid yang belum terlalu rapi. Aku ikut tertawa ketika melihat kamu tertawa. Iya, kita pernah dalam keadaan bahagia dan baik-baik saja.

Sepulang dari toko buku di bilangan Depok itu, kita berjalan menuju parkiran sepeda motor. Seperti biasa, kamu menawarkan diri untuk membawa plastik berisi buku-buku yang kita beli. Kita sampai di depan honda beat merah milikmu, sepada motor yang sering kamu gunakan untuk membelah jalanan menuju cempaka putih, menuju kampus tempat kamu melahirkan kreativitas dan ide cemerlang. Tanpa kuminta, kamu membelai rambutku dengan sentuhan lembut, lantas memakaikan helm di kepalaku. Kamu juga mengenakan helm dan merapatkan jaket jeans birumu. Jaket yang selalu kusarankan untuk dicuci sekali dalam dua hari.

Dalam perjalanan menuju rumah temanku, kita bercerita banyak hal. Kamu berulang kali bercerita tentang telur balado dan ayam goreng. Masakan yang paling kaucintai, namun paling berbahaya bagimu. Aku ingat, Sayang. Kamu sakit maag dan perutmu tak mungkin bersahabat dengan sambal serta makanan berminyak. Lagipula, saat itu kamu juga sedang tidak makan dan tidak minum sampai merdu suara azan magrib menggema. Peristiwa selanjutnya, seperti peristiwa dalam film komedi romantis. Ketika kita berhenti sejenak di lampu merah dekat Jalan Juanda, kamu memutar kaca spion agar bisa menatap wajahku yang ada di belakangmu. Kamu menggenggam erat jemariku sambil melayangkan pandangan matamu ke arah kaca spion. Aku merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. Aku percaya, Sayang, suatu saat nanti kita bisa bahagia dengan atau tanpa perjuangan yang berlebihan.

Aku selalu bahagia ketika bersamamu, entah dalam pertemuan atau dalam percakapan kita lewat telepon. Kamu selalu bilang bahwa yang kaurasakan bersamaku adalah kenyamanan yang tak kaurasakan pada mantan kekasihmu. Aku tersenyum dan merasa hatiku begitu hangat disentuh dengan ucapan seperti itu. Kamu juga selalu minta ditemani, walaupun hanya lewat pesan singkat, ketika mengerjakan tugas kuliahmu atau tugas membuat spanduk untuk karang taruna. Kita sudah begitu dekat, tapi salahku, sekali lagi, yang tak meminta status dan kejelasan padamu.

Sesampainya di depan rumah temanku, aku bermaksud mengenalkan sosokmu pada mereka. Kamu menjawab dengan gelengan mantap, katamu dengan tatapan meyakinkan; bahwa kamu masih harus kembali ke jalan Margonda untuk mengambil stempel. Aku membalas dengan senyuman yang sebenarnya dibalut dalam rasa kecewa. Aku turun dari sepeda motormu dan kamu membuka helm yang kukenakan. Sebelum kamu pamit pergi, kamu yang masih di atas sepeda motor, kembali memegang kepalaku dan membelai helai rambutku. Kamu menarikku dalam pelukan, pelukan yang tidak kubalas sepenuhnya. Aku langsung melepaskan pelukanmu dan mengingatkan padamu agar puasa yang kaujalani tidak makruh. Dengan tawamu yang kurasa tak begitu lepas, kamu akhirnya menerima nasihatku. Kamu melambaikan tangan dan pergi.

Dan, nyatanya, kamu memang benar-benar pergi. Setelah peristiwa itu, kabarmu tak lagi mampir di telingaku, di tatapku, juga di handphone-ku. Kamu menghilang seakan kita dulu tak pernah tahu dan bertemu. Aku bertanya-tanya tentang rasa kehilangan yang sebenarnya tak lagi asing bagiku. Tapi, tidak munafik jika setiap kehilangan pasti menghasilkan perasaan tersendiri; penyesalan, marah, dan rasa takut. 

Kita belum saling memperjuangkan juga saling membahagiakan, namun mengapa kamu sudah memilih pergi dan berhenti?

25 July 2013

Sebelas Minggu setelah Kepergian Kamu

Aku menghela napas, aku merasa bebas. Ternyata, aku bisa hidup tanpamu selama sebelas minggu. Aku masih (terlihat) baik-baik saja meskipun kamu tak lagi sering memberitahu kabarmu. Tapi, tidak munafik jika dalam rentan waktu tanpamu, aku masih sering merindukanmu.

Kamu masih menjadi yang penting di kepalaku. Kamu masih menggenggam hatiku. Dan, betapa aku masih sangat berusaha untuk memungkiri kenyataan itu. Aku sedang berupaya lepas darimu. Sudah sebelas minggu, ketika kamu melambaikan tangan dengan tatapan hangat di dekat perpustakaan universitas kita, tempat aku dan kamu menimba ilmu. Sudah hampir tiga bulan berlalu, ketika genggaman jemarimu terasa masih begitu hangat di jemariku. Sekali lagi, aku menghela napas, berharap kenangan kita tak lagi membuatku merasa perih, yang masih belum bisa kuterima; mengapa kaupergi saat aku sedang cinta-cintanya?

Aku sudah bercerita padamu tentang posisi favoritku di perpustakaan bukan? Tempat aku dan kamu sempat menjadi yang paling bahagia karena sama-sama tahu kita sedang jatuh cinta. Sekarang, ketika duduk di tempat itu sendirian, aku punya kebiasaan yang aneh. Mataku nanar menatap bangku yang kosong di sampingku. Kamu ingat? Sebelas minggu yang lalu, kamu masih duduk di situ; tepat di sampingku. Sambil membelai rambutku yang diikat satu, jemarimu yang lain membaca materi presentasi di tab-mu.

Kita tertawa terbahak-bahak saat itu, Sayang. Tawa yang kurasakan begitu manis dan menghangatkan hatiku. Tawa yang kukira akan selalu kita rasakan dan kita lewati bersama. Sambil menuntun kepalaku agar bersandar di bahumu, kamu mulai mengeluh saat itu. Mencibir betapa sulitnya presentasi esok hari, aku hanya menjawab keluhanmu dengan rangkulan seadanya. Presentasi mengenai siklus haid wanita cukup membuat kepalamu berputar.

Saat itu, aku memang tak bisa membantu dalam banyak hal. Sebagai perempuan yang pernah mengenyam pendidikan SMA di ranah anak IPA, aku sedikit tahu mengenai bahasan presentasimu. Lalu, dengan gaya sok tahu, aku menjelaskan semua yang kutahu, kamu menatapku dan menyimak setiap perkataanku. Ah, Sayang, setiap mengingat peristiwa itu, rasanya aku ingin semua terulang. Rasanya aku ingin kamu kembali hadir di depan mataku. Rasanya, aku ingin kamu kembali nyata dalam duniaku, tak hanya hadir dalam bisikan doaku.

Mengenai percakapan singkat yang tercipta dua hari yang lalu, cukup mampu mengobati rindu. Kita bercakap-cakap dengan sederhana, dengan luka yang begitu cerdas kusembunyikan. Dengan panggilan yang tak lagi "Aku" dan "Kamu", aku merasakan jurang yang selama ini telah menjauhkan kita. Aku sadar betapa selama sebelas minggu ini kita sudah terlalu berjarak.

Seperti biasa, kamu selalu terlihat bahagia dan baik-baik saja. Seperti biasa, aku (berusaha keras) terlihat bahagia juga baik-baik saja. Aku tak tahu apakah selama ini kamu juga merasakan yang kurasakan. Aku juga tak tahu apakah kamu merasakan rindu sedalam yang kurasakan. Kita saling tak tahu, seperti aku yang tak pernah tahu bagaimana sesungguhnya perasaanmu.

Dulu, aku sempat melihat cinta di matamu, Sayang. Aku melihat dunia yang sungguh belum pernah kusinggahi, aku terjebak dalam bayang-bayangmu; dan aku tak mampu lagi menghindar pergi. Aku berhenti pada sosokmu, sementara ketika aku mulai ingin membangun segalanya bersamamu, kamu malah memilih pergi. Kamu sudah bawa aku berjalan terlalu jauh, aku percaya bahwa kamu akan menemaniku sampai perjalanan kita selesai, tapi ternyata kamu tidak menemaniku.

Cahaya Penunjukku, kamu ingin jujur mengenai perasaanmu? Kamu ingin beritahu aku tentang apa yang kaurasakan selama masih bersamaku? Sayang, ini memang salahku, selama kita bersama, aku tak meminta dan mengemis status. Aku hanya menjalani yang kuyakini, aku merasa baik-baik saja meskipun segalanya kita arungi tanpa kejelasan. Lantas, aku menyesali semua, ketika kamu pergi— aku tak dapat menahanmu tetap di sini.

Sayang, sebelas minggu setelah kepergianmu, nyatanya memang tak banyak berubah. Aku masih mencari-cari kabarmu, masih berharap kita bisa kembali seperti dulu, dan masih berharap bahwa Tuhan mengizinkan waktu kembali diputar ulang. Seandainya kamu tahu seberapa dalam lukaku, seandainya kamu paham seberapa besar rinduku, dan seandainya kamu mencintaiku sedalam aku mencintaimu; pasti tak akan ada rasa trauma seperti ini.

Untuk Cahaya Penunjukku yang telah pergi, bisakah kuminta kamu segera kembali?

18 July 2013

Sepuluh Minggu setelah Kepergian Kamu

Tidak disangka, sudah sepuluh minggu sejak aku dan kamu memilih pisah. Ternyata, beberapa bulan ini, segalanya memang terasa tak lagi sama seperti dulu. Aku dan kamu memilih saling menjauh, sebenarnya tak saling, karena yang memilih pergi lebih dulu adalah kamu. Di sini, aku cuma mengimbangi, cuma berusaha menerima kamu yang sudah jauh berbeda.

Selama ini, aku berusaha terlihat baik-baik saja. Tentu saja, ada yang datang dan pergi selama sepuluh minggu ini, Sayang. Tapi, entah mengapa; aku tak berani membuat hubungan baru itu menjadi hubungan yang serius. Aku masih teringat kamu, masih teringat kita, dan masih terlalu takut untuk buru-buru membuka hatiku.

Aku sudah tahu kalau kamu sudah punya penggantiku. Betapa mudah bagimu, Sayang, untuk melupakan segalanya. Aku juga ingin sepertimu yang mudah bahagia tanpa melibatkan kehadiran masa lalu. Kemudian, atas izin Tuhan, aku bertemu dia. Pria yang tak setampan kamu, berkulit sawo matang, rambutnya memang  tidak sesempurna rambut tebal dan hitammu. Hidungnya tidak mancung, dia tidak terlalu humoris seperti kamu. Ah.... bayangkan, Sayang, aku masih membanding-bandingkan banyak pria dengan kamu. Entah sejak kapan postur tubuhmu yang begitu kuingat sudah menjadi patokanku untuk mencari pengganti baru. Mungkin, ini obsesi tersendiri. Aku ingin menghadirkan sosokmu dalam tubuh seseorang yang baru.

Pria baru itu berjanji seperti kamu, Sayang. Dengan tatapan lembut, dengan rangkulan yang pekat, dengan bisikan yang terasa begitu dekat. Awalnya, aku tak ingin memercayai itu. Awalnya, aku ingin mendiamkan kehadirannya dan membiarkan dia bertingkah tanpa kugubris sama sekali. Tapi, sekali lagi, Sayang, aku sedikit menemukan sosokmu dalam kehadirannya. Dia pendengar yang baik, mau memahami imajinasiku, mampu membuatku tertawa. Dan, satu lagi, perlahan-lahan dia hampir membuatku melupakanmu.

Ada dirimu di dalam dirinya, tapi dia sungguhlah orang yang berbeda. Dia pernah bilang padaku, takkan menyakitiku seperti kamu menghempaskanku. Dia pernah berjanji, takkan meninggalkanku seperti dengan mudah kamu menyuruhku pergi. Sorot matanya yang lembut dan hangat, membuat aku (sekali lagi) percaya bahwa itu cinta. Aku mencoba melupakanmu, Sayang. Aku izinkan dia masuk dalam hidupku, menjadi orang yang menggenggam jemariku; jemari yang pernah kaugenggam begitu erat dan kaujanjikan tak akan pernah kaulepaskan.

Pelan-pelan, dia mengobati lukaku. Dalam setiap percakapan panjang kami di ujung telepon, dia selalu membuatku tertawa geli, walaupun leluconnya memang tak sebodoh leluconmu. Oh, iya, dia juga suka menulis, Sayang. Dia mengajariku teknik menulis skenario yang diajari oleh dosennya. Kalau kauingin tahu, dia seangkatan dengan kita, Sayang, hanya saja umurnya lebih muda darimu. Lalu, dengan sikapnya yang manja namun menggemaskan, dia menjelaskan perbedaan antara tokoh antagonis dan protagonis. Sambil menyebut namaku dengan panggilan yang sangat manis, dia mengucapkan kata sayang itu. Kata sayang yang lembut dan deras, sama ketika kamu ucapkan kalimat itu untukku.

Aku yakin dia adalah yang paling berbeda, dia berhasil sedikit demi sedikit membawa matahari ke dalam mendungku. Pertama kali bertemu, dia langsung membawaku ke dalam rangkulannya. Sayang, kamu ingat? Pertama kali bertemu, kamu juga langsung merangkulku. Namun, aku tak sadar, bagi seorang pria; rangkulan berarti hanya menginginkan segalanya sebatas pertemanan, walaupun ada kata sayang dan kata cinta dalam status tersebut. Iya, itu yang kupelajari darimu. Alangkah jahatnya pria-pria macam dia dan macam kamu, semoga cukup aku saja yang merasakan dusta seperti itu.

Dibuatnya perasaanku tak lagi beku, tapi diam-diam pun aku masih merindukanmu. Masih kucuri waktu untuk mencari kabarmu. Masih kusempatkan diri untuk merindukanmu. Masih kusebutkan namamu dalam setiap wirid lemah di ujung malamku. Kamu masih jadi segalaku, Sayang. Entah sejak kapan, kamu sudah memenuhi ruang-ruang sepi di hati dan otakku. Bukan perkara mudah untuk mengusir kamu dengan mengganti seseorang yang baru. Seseorang yang sosoknya justru sering mengingatkanku padamu.

Kamu mau tahu cerita akhirnya? Iya, dia tidak berbeda denganmu. Dia membuatku mulai mencintainya, lalu aku percaya segala perkataannya. Ketika kuharap dia menjadi yang pertama, ternyata dia malah menjadikanku yang kesekian. Dia tinggalkan aku semudah kamu meninggalkanku. Dia pergi semudah kamu memilih pergi. Aku tak tahu, Sayang. Sekarang siapa yang salah? Siapa yang berdusta? Rasanya aku sudah terlalu lelah. Terlalu lelah merindukanmu, juga sudah terlalu lelah mengharapkan seseorang yang lebih baik darimu.

Apakah aku harus berkata hal bodoh ini? Aku ingin kamu kembali.

17 July 2013

Sama Saja

Kamu datang membawa banyak harapan, membawa banyak janji lewat bisikan. Kauhangatkan hatiku yang dingin dengan sesuatu yang kausebut cinta. Kaugenggam lembut perasaanku dengan sesuatu yang kausebut kisah nyata. Lalu, sosokmu masuk dalam hidupku; membawa warna berbeda dalam hari-hariku.

Aku sudah bosan dengan mata bengkak karena menangis, sudah bosan melamun karena disakiti, dan sudah bosan merasa lelah karena terlalu sering dibuat menunggu. Kamu kembali bisikan sesuatu lagi di telingaku, "Aku tidak akan seperti dia." Kamu selalu mengaku begitu, kamu berjanji tak akan menyakitiku seperti beberapa orang yang lebih dahulu datang ke dalam hidupku.

Sayang, aku begitu memercayaimu. Ketika kaudatang membawa sesuatu yang menarik, mataku terlalu silau untuk mengawasi gerak-gerikmu. Pesonamu terlalu berkilau hingga membuatku buta segala. Hatiku kaukendalikan, perasaanku kaueratkan, dan hatiku kaupermainkan. Pelan-pelan, kamu semakin masuk ke dalam hidupku, kamu juga terlibat dalam nasibku. Kita semakin dekat karena percakapan-percakapan manis di ujung telepon, juga sebab kata-kata manismu dalam setiap obrolan bodoh kita di pesan singkat.

Suaramu mengalir di telingaku setiap malam. Menghujaniku dengan kata sayang, mengangkatku dengan kebahagiaan yang kaujanjikan, dan membawaku terbang ke mimpi-mimpi yang pernah kita rancang dengan begitu teliti dan teratur. Hadirmu membuat aku percaya bahwa cinta tak melulu soal air mata. Aku begitu mudah merasa nyaman denganmu, begitu mudah merasa bahwa kamu adalah pengobat lukaku. Kuikuti permainanmu, permainan yang tak kuketahui peraturannya. Aku masuk tanpa persiapan, ketika kaubawa aku berlari, berjalan, dan berhenti; aku masih tetap merasa baik-baik saja. Padahal, diam-diam, kausedang merancang sesuatu. Sesuatu yang ujung-ujungnya malah menyakitiku.

Kamu pernah berjanji, suatu hari nanti hanya kamulah yang bertahan untuk bersamaku. Kamu pernah berkata, bahwa sosokku hanya mampu diimbangi oleh sosokmu. Kamu pernah menjanjikan kita yang bahagia, yang nyata, yang tanpa luka. Tapi, nyatanya? Kamu mengikari janji-janji yang sempat membuatku berharap lebih. 

Kamu sama saja, Sayang. Sama seperti yang lainnya, yang memilih pergi; saat aku sedang cinta-cintanya.

12 July 2013

Sembilan Minggu setelah Kepergian Kamu



Aku pernah jadi yang paling bahagia dalam rangkul pelukmu. Aku pernah berada dalam keadaan baik-baik saja saat jemarimu masih erat menggenggam jemariku. Kita pernah merasa bahwa yang aku dan kamu jalani adalah yang selama ini kita cari-cari, kebahagiaan yang nyata meskipun kita berbeda.

Sudah lewat sembilan minggu sejak kepergian kamu dan ingatanku masih sangat tajam mengenang kita yang dulu pernah ada. Aku pernah kaubuat tertawa dalam setiap canda kita, dalam setiap pesan singkat, dalam setiap sambungan telepon, dan dalam setiap tatap mata. Saat itu, aku percaya bahwa kamulah yang kelak akan membukakan mataku tentang cinta, mengubah persepsiku bahwa cinta tak selalu luka dan dusta. Hadirmu membuat aku percaya, bahwa kita sedang menuju bahagia, aku dan kamu sedang dalam perjalanan menuju ujung pencarian kita. Tapi, akupun yang selalu bicara tentang cinta; ternyata bisa juga salah.

Aku salah mengartikan semuanya. Kupikir perhatianmu sungguh kautunjukkan untukku. Kukira segala ungkapan dan ucapanmu adalah hal mutlak yang menjadi peganganku. Kuterka bahwa yang selama ini kita jalani adalah kekuatan cinta. Ah, aku begitu cepat menduga. Yang selama ini kuberi nama cinta, hanyalah omong kosong belaka. Yang kukira perasaanmu nyata, ternyata hanya rasa iseng yang pura-pura kauseriusi. Dalam pikiranmu, aku dianggap sebagai medan permainan, tempat kaumelarikan kekesalan pada dunia yang tak lagi tunduk pada keinginanmu. Kauperlakukan aku layaknya boneka, kaulumpuhkan hatinya, kaubutakan perasaannya, lalu kauatur segalanya. Kaurancang semuanya, hingga mataku buta, hingga telingaku tuli; hingga aku tak bisa membedakan mana cinta dan mana dusta.

Aku tak tahu, apakah kata sayang yang selama ini kaubisikan dalam setiap percakapan kita, hanyalah bualan yang kaupikir bisa dijadikan bahan candaan? Kamu pernah berjanji, Sayang. Ketika kuceritakan tentang dia yang pernah melukaiku, kamu berjanji tak akan berikan luka yang sama padaku. Kalau aku diizinkan mengungkit segalanya, lantas mengapa kaupergi ketika aku sedang cinta-cintanya?

Setelah kepergianmu, kamu tak pernah lagi pulang. Bahkan untuk sekadar tahu kabarku, bahkan untuk sedikit saja menyapaku; kamu tak mau. Kita berpisah tanpa kata pisah. Kita menjauh tanpa pernah tahu yang sesungguhnya terjadi. Rasanya ingin kukatakan berkali-kali bahwa bukan ini yang kumau, bahwa bukan kepergianmu yang selama ini kutunggu. Kubiarkan kauterus mendekatiku, kuterima kaudalam keadaan terburukmu, kurangkul kaudalam doa dan nyata; tapi nyatanya kaubikin aku begini tersiksa.

Aku menunggu saat-saat aku dan kamu bisa melebur jadi satu. Saat aku dan kamu melupakan perbedaan kita, saat-saat aku tak peduli berapa tebal dompetmu, saat aku tak peduli dengan kendaraan yang kautunggangi. Aku sudah berada dalam titik itu, tapi kauterus diam, tak ingin kuajak berjalan dan melangkah terlalu jauh. Jika selama ini semua terasa begitu manis, mengapa kauberikan aku sesuatu yang sangat pahit di akhir, Sayang?

Sembilan minggu setelah kepergian kamu. Tak banyak berubah. Langitku masih sama, mendungku masih ada. Sakitku masih parah, lukaku masih merah. Hatiku masih lebam, ingatanku masih keram. Kamu datang dan pergi sesuka hati, membiarkanku jadi penonton dalam dramamu. Kamu berganti-ganti topeng sesuka hati, membiarkanku kebingungan membedakan dirimu yang sesungguhnya masih begitu abu-abu.

Tak pantas lagi mengharapmu kembali, kamu yang sembilan minggu lalu masih begitu manis, tiba-tiba sekarang jadi begitu sadis. Kamu yang kukenal baik, lugu, dan tak banyak tingkah; kini sudah berganti wajah. Aku tak paham pria macam apa yang dulu kucintai. Ketololanku semakin lengkap ketika kutahu, kamu begitu mudah punya yang baru, sementara di sini aku masih sibuk menyembuhkan lukaku.

Di antara rasa lelah menunggu, di antara kesabaran merindu; ternyata aku masih berani merapal namamu dalam doaku. Selamat sembilan minggu, Sayang. Kapan pulang?

11 July 2013

Untuk yang terlalu sibuk

Saya menulis ini ketika kamar saya terasa lebih dingin daripada biasanya. Ketika habis menerima seorang teman yang datang ke rumah, malam-malam begini, hanya untuk mengantarkan barang yang saya pesan padanya, dia tak menggubris imbauan saya untuk mengantarkan barang pesanan saya esok hari. Betapa gigih setiap orang berusaha untuk mengejar dunia, tanpa pernah tahu yang tertinggal di rumah; keluarganya.

Saya terpikir untuk menulis ini agar saya dan kamu yang sedang membaca ini, tidak akan pernah menyesal karena melewati segalanya yang harusnya tak pantas untuk dilewatkan. Saya memang cukup keras kepala, saya tidak akan keluar kamar sampai tulisan saya selesai. Sesekali saya keluar untuk mengisi kembali air putih yang habis di gelas saya. Saya juga tak peduli betapa berantakannya kamar saya, betapa buku-buku berserakan di sana sini, boneka-boneka yang terbaring tidak pada tempatnya, alat-alat tulis yang tergeletak tak berdaya, tas serta pakaian yang diletakan tidak pada tempatnya, dan rambut-rambut saya yang rontok di lantai; yang tidak saya sapu selama dua hari. Saat sedang menyelesaikan tulisan, saya egois. Saat terlalu asyik dengan dunia saya, saya tak peduli pada beberapa hal. Mungkin, ini juga yang kita lakukan ketika terlalu asyik dengan pekerjaan, terlalu asyik melakukan yang kita pikir menyenangkan.

Suatu malam, saya sedang menulis cerpen untuk Cerita Horor Kota. Saya sengaja menulis cerita itu malam-malam agar saya merasakan ketakutan dalam diri saya sendiri, agar saya bisa menuliskan rasa takut dengan sederhana tapi benar-benar terasa. Awalnya, saya sendirian di kamar, lalu adik saya masuk ke kamar saya. Jujur saja, kami masih dalam keadaan berkabung, Nenek belum 40 hari kembali ke pelukan Tuhan. Sebagai anak kecil berumur 12 tahun, memang sudah selayaknya dia minta ditemani tidur, karena kamar adik saya dulu pernah menjadi tempat tidur Nenek saya ketika tinggal beberapa hari di rumah saya. 

Saya menolak untuk diajak keluar kamar dan adik saya duduk di tempat tidur saya sambil mengajak saya bicara. Sesekali saya menjawab pertanyaannya, sesekali saya diam dan hanya suara ketikan laptop serta suara pertanyaan adik saya yang tidak menimbulkan jawab. Saat menulis, saya tidak menengok ke arah adik saya barang sedetikpun. Saya juga tidak bertanya-tanya dalam hati ketika adik saya berhenti berbicara. Beberapa jam kemudian, tulisan saya selesai. Saya menutup laptop dan meregangkan badan. Tubuh saya berbalik dan menatap adik saya yang sudah tertidur pulas di tempat tidur saya. Saya menganggap hal itu sangat biasa. Saya membangunkan dia dan mengajak dia ke kamarnya. Saya menemani dia tidur di kamarnya. Sangat biasa.

Beberapa hari berikutnya, entah mengapa malam itu saya ingin membaca ulang hasil draft pertama Jatuh Cinta Diam Diam, memperbaiki kalimat-kalimat yang bagi saya kurang pas, padahal draft tersebut sudah saya kirimkan sebelum saya menulis cerpen untuk Cerita Horor Kota. Saya memutuskan untuk mengerjakan tulisan saya di kamar adik saya. Saya memboyong laptop beserta charge-nya ke kamar adik saya. Pukul 21.00 malam, adik saya bercerita ini itu dan saya tak mampu lagi mendengar celotehannya. Sontak, saya berdiri dari tempat duduk dan mengambil buku Hunger Games, buku yang sebenarnya sudah selesai dibaca adik saya beberapa minggu setelah saya membelikan buku itu untuknya. Saya menyuruh adik saya kembali membaca buku itu dan berhenti menganggu saya dengan celotehannya. Oke. Itu cukup membuat dia diam dan saya tenang membaca tulisan.

Seperti biasanya, saya menulis tanpa memerhatikan keadaan sekeliling saya dan diam yang ditunjukkan adik saya tidak juga menimbulkan tanya. Pukul 03.00 dini hari, saya selesai membaca tulisan tersebut. Saya mematikan laptop dan meregangkan badan. Saya memutuskan untuk segera tidur, ketika berjalan menuju tempat tidur; mata saya diberi pemandangan adik saya sudah tertidur pulas dengan buku Hunger Games di jemarinya. Saya menghela napas dan tidak tahu kenapa saat itu saya ingin menangis. 

Kadang, manusia begitu egois, terlalu tak peduli, pada orang yang setia menunggunya; menunggu untuk ditemani dan diajak bicara. Kadang, kita begitu tak mau tahu, pada yang sabar menunggu.

Untuk,
si bungsu yang setia menunggu.

06 July 2013

Untuk Kekasih Paling Jauh

Kita pernah begitu dekat. Aku dan kamu bertemu, saling tahu, dan sama-sama memahami bahwa ada sesuatu di hati kita; yang tak bisa dijelaskan kata. Aku menatap matamu dengan tatapan mendalam, aku percaya di sana ada cinta. Cinta yang sama-sama kita rasakan, tapi tertahan dalam hati, berdiam dalam jantung, dan enggan menemukan waktu pengungkapan. Bayangkan, Sayang, kita bisa bertahan selama itu. Menjalani kisah yang tak pernah jelas di mana ujungnya. Memulai cerita tanpa memikirkan akhir yang jelas. Teka-teki itu membuat aku dan kamu penasaran, lalu kita memutuskan untuk berjalan bersama, walaupun tak beriringan; walau tak saling bergenggam tangan.

Ketidakjelasan kita membawaku dalam rasa takut. Rasa takut yang belum tentu kaurasakan. Aku tahu, Sayang. Jiwamu terlalu bebas, bahkan aku tak bisa menahanmu untuk tinggal. Kamu pergi dan aku hanya diam menunggumu pulang. Seringkali kaupulang dengan membawa banyak cerita, cerita-cerita manis yang kuharapkan juga ada aku sebagai tokohnya, walaupun tak jadi tokoh utama. Kuharapkan kata rindu terucap di bibirmu, tapi kata itu tak pernah kudengar. Kamu terus bercerita, Sayang. Dan, aku, sebagai pendengar, selalu mendengar; tidak membantah. Sayang, bisakah kaurasakan keteguhan hati seorang perempuan yang tetap diam meskipun dia begitu mencintaimu?

Teman-temanku sering bilang, bahwa harusnya aku tak mempertahankanmu sedalam itu, harusnya aku tak perlu memercayaimu sedalam itu. Tapi, mengapa perasaanku hanya ingin meyakinimu? Mengapa aku enggan melawan ketika kamu menerbangkanku ke angkasa paling tinggi, lalu membiarkanku mengepakkan sayap sendiri? Sayang, mengapa aku percaya bahwa kaujuga punya perasaan yang sama?

Tak mungkin kauterlalu buta untuk memahami semua. Tak mungkin kauterlalu tuli untuk mendengar perhatianku, bisikan hatiku yang inginkan kamu tetap di sini. Tak mungkin kauterlalu bodoh untuk menebak yang ada dalam hatiku, yang tersirat dalam mataku. Sayang, ini cinta, dengan cara apalagi bisa kubilang padamu bahwa aku mencintaimu bahkan dalam kesakitanku?

Untuk kekasih paling jauh, yang telah pergi tanpa mengungkapkan perasaan, yang memilih berlari bersama seseorang yang lain; terima kasih untuk setiap peluk yang kaulepaskan, terima kasih untuk setiap harapan yang kauhempaskan. Aku mengerti, harusnya dari awal aku tak perlu memulai. Harusnya ketika kaudatang, aku tak perlu menggubrismu.

Harusnya kita tak pernah ada; agar aku tak perlu terluka.