31 March 2016

Dear, Gabriel.


Hari ini, semua orang pada akhirnya mengetahui sosokmu. Sosok yang ada dalam usiaku sejak umur enam belas tahun, sosok yang membahagiakanku dengan puisi-puisi dan kata magis, dan sosok yang tahu betul cara membuatku tersenyum. Hari ini, semua orang telah tahu bahwa kehadiranmu membawa banyak perubahan dalam hidupku, meskipun pada akhirnya kamu tidak memilih aku sebagai perhentianmu.

Kamu tentu ingat, saat kita pertama kali berjabat tangan di Halte TransJogja, Jalan Solo, depan De Britto, di terik siang kala itu. Kamu tahu apa yang ada di benak anak enam belas tahun yang menaiki TransJogja demi bertemu "Malaikat Pembawa Kabar Baik" untuknya? Aku hampir meledak, terutama ketika aku harus mendongkak melihatmu. Tinggimu yang 196 sentimeter dan tinggiku yang tidak seberapa ini menyebabkanku merasa bahwa aku bukan sosok yang pas untukmu. Tapi, kamu meyakinkanku, meyakinkan aku saat kita pertama kali menghabiskan waktu di Ambarukmo XXI, Jogja, untuk menyaksikan sebuah film. Tidak ada rangkulan atau gandengan tangan. Hanya tatapan matamu yang teduh kala itu, yang kuingat, yang kuramu, yang kurasa bisa menyelamatkanmu dari luka hati sebelumnya. Kala itu, di bioskop, semua mata tertuju pada kita berdua, namun kamu tetap berjalan santai di sampingku, di samping perempuan yang tinggi badannya jauh 30 sentimeter darimu.

Terima kasih, untuk segalanya, Mas Gabriel. Untuk perpisahan yang kamu tawarkan di Taman Sari kala itu. Terima kasih, untuk pengakuanmu mengenai kecintaamu yang jauh lebih besar pada Tuhan ketimbang cintamu padaku. Terima kasih, untuk keteguhan hatimu karena kamu memilih untuk menjadi pelayan Tuhan daripada menghabiskan sisa umurmu bersamaku. Terima kasih, untuk meninggalkanku secara baik-baik, dan memilih untuk mengejar mimpimu menjadi seorang pastor. 

Karena, bagaimanapun caramu meninggalkanmu, semua orang yang menyaksikan film #RaksasaDariJogja hari ini sangat terbantu untuk menemukan "Malaikat Pembawa Kabar Baik" versi mereka sendiri, dalam kehidupan mereka. Bagiku tidak masalah jika harus berpisah denganmu, karena sudah aku rasakan hari bahagia, meskipun bahagia tidak selamanya abadi.

Kamu selalu bilang, bahwa arti nama Gabriel adalah malaikat pembawa kabar baik. Percayalah, kamu adalah "Si Kabar Baik" yang membawaku menulis novel #RaksasaDariJogja, yang menarik banyak orang untuk ke bioskop agar lebih mengenalmu, yang aku percaya bisa menjadi "Si Pembawa Kabar Baik" bagi orang lain.

Percayalah, meskipun aku tidak tahu sekarang kamu di mana, meskipun nomormu tidak lagi aktif, meskipun akun Facebook-mu telah menghilang-- percayalah, aku tidak pernah berhenti mencintaimu.

Kamu tahu, setiap orang yang bertanya apakah sosok Gabriel nyata? Aku selalu menjawab jujur bahwa sesungguhnya kamu ada. Meskipun tentu isi novel, film, dan kisah nyata berbeda, tapi mungkin kamu tidak mengerti, semua kejujuran itu berarti bahwa aku sangat menghargai kehadiranmu, meskipun aku juga tidak mengerti apakah sampai sekarang aku masih berharga dalam hidupmu?

08 March 2016

Harusnya, tidak perlu ada cinta di antara kita

Aku tidak bisa tidur meskipun aku berusaha untuk memejamkan mataku. Kamu ada di langit-langit kamarku, semakin membesar di dadaku, berlalu-lalang di otakku. Aroma tubuhmu selalu menyeruak setiap kali aku berusaha mengusir sosokmu dari sini. Aku merasa semua tidak lagi adil ketika aku merindukanmu. Tidak adil karena aku tidak bisa segera memelukmu. Tidak adil karena aku tidak bisa langsung menatap wajahmu. Tidak adil karena aku tidak mampu memastikan bahwa di sana kamu baik-baik saja.

Aku duduk di depan laptopku, sambil mendengarkan lagu Michael Buble, Always On My Mind, lagu kesukaanmu. Aku merasa kamu sungguh ada di sampingku, sedang memperhatikanku dengan mata bulatmu, seperti saat beberapa hari yang lalu aku membuat materi untuk mengisi workshop di Semarang. Seandainya, di sampingku sungguhlah dirimu, aku tidak akan berpikir dua kali untuk memelukmu. Seandainya, kamu benar ada di sini, aku ingin mengajakmu bertengkar soal pembicaraan kita mengenai akhir yang bagus untuk kisah cinta kita, untuk kisah cinta yang kubilang ingin aku jadikan novelku selanjutnya, dan kamu membalas semuanya hanya dengan tawa.

Aku rindu menatapmu tertawa dengan sangat lapang, sehingga membuatku cukup bahagia karena beberapa saat kaulupakan sedihmu. Aku rindu dekapan di bahumu, dihangatnya dadamu, ketika aku meminta mengartikan suatu kalimat bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Aku rindu melihat alis tebalmu yang hampir bertemu, ketika kamu sedang memikirkan semua jawaban atas semua pertanyaanku. Aku rindu caramu berpakaian, topimu, jaketmu, tas punggungmu, sepatu olahragamu. Aku rindu semua yang ada dalam dirimu dan seandainya jarak kita tidak tiga ratus kilometer, tentu kita berdua tidak perlu menunggu dan menanti lagi sebuah pertemuan langka berikutnya. Pertemuan belasan jam yang direncanakan selama tiga bulan. Betapa tidak adilnya hidup ini. Betapa tidak adilnya dunia pada kita.

Seandainya kamu sedang di sampingku, maukah kau bercerita tentang enaknya lumpia Semarang yang begitu kaubanggakan itu? Seandainya kamu berada dalam pelukku, maukah kau bercerita tentang Markobar, martabak anak Pak Presiden yang mulai terkenal di kotamu itu? Seandainya kamu ada di sini, maukah kamu menyuapiku beberapa sendok tahu gimbal, dan menemaniku menuntaskan rindu yang makin parah ini? Seandainya kamu ada di sampingku, maukah kaudengan sabar menjelaskan rute-rute perjalanan dari Pandanaran menuju Tembalang? Seandainya kamu ada di sampingku, maukah kaumemelukku dengan sangat rapat, kemudian berjanji tidak akan pergi lagi?

Katakan padaku, bahwa semua hal indah yang kita lewati beberapa hari yang lalu hanyalah sebuah mimpi anak ingusan pada pria dewasa-- yang mustahil untuk menjadi miliknya. Katakan padaku, bahwa caramu membuatku tertawa itu hanyalah rasa belas kasihan karena kamu tahu bahwa sebagai perempuan; aku terlalu banyak disakiti cinta. Katakan padaku, bahwa caramu membuatku bahagia itu hanyalah bualan untuk membuatku merasa tetap optimis pada hidup yang selalu terlihat jahat di mataku. Katakan padaku bahwa kamu tidak mencintaiku. Buatlah aku membencimu, sehingga aku tidak perlu merasakan rindu sesakit ini. 

Aku berharap, pagi ini, aku sedang berada di kotamu. Dan kita bisa menikmati udara pagi Semarang sambil tetap berpelukan. Seandainya, kamu memang hanya satu-satunya milikku, demi apapun-- tidak akan aku melepaskanmu. Pertemuan ini terlalu singkat, kamu tahu kita telah berbulan-bulan merencanakan semua, dan aku... dan aku... aku tiba-tiba tidak ingin kehilangan kamu. Aku tidak tahu ini namanya apa, saat kautunjukan foto kedua anakmu, dan memberikannya untukku. Aku  tidak tahu ini namanya apa, saat kaubercerita mengenai istrimu, dan entah bagaimana aku merasa butuh menghiburmu. Aku tidak tahu, mengapa diusiamu yang kedua-puluh-delapan, aku merasa cukup percaya diri bahwa kelak kauakan dapatkan yang lebih baik nanti. Aku tidak tahu, mengapa sebisa mungkin aku berusaha nampak ingin berpikiran dewasa jika sedang berada di sampingmu.

Jika kehadiranmu dalam hidupku untuk membuatku jatuh cinta, kamu sudah berhasil melakukan misimu. Aku dilarang untuk jatuh cinta padamu dan harusnya memang tidak perlu ada cinta di antara kita. Tetapi, caramu menatapku itu sungguh luar biasa, dan aku tidak bisa menolakmu masuk ke dalam hatiku. Karena tiba-tiba kamu bertahta, sekuat dan sehebat itu, hingga aku tidak tahu cara mengantisipasi rasa sakit kalau suatu saat aku terpisah darimu. 

Aku tidak tahu apa maksudnya, maksud dari pelukmu yang erat, maksud dari kecupmu yang lekat, sebelum workshop di Semarang dimulai. Aku tidak tahu apa maksudmu ketika kamu melarang aku menemui sahabat priaku yang berkuliah di UNDIP sore itu. Aku tidak tahu apa maksudmu, saat kamu memintaku tinggal beberapa hari lagi, agar kita bisa memperpanjang hari-hari yang kita lewati bersama. Aku tidak tahu apa maksud dari ucapanmu, ketika kamu berharap nonton bareng film Raksasa Dari Jogja bisa diadakan di kotamu. Aku tidak tahu apa maksud dari rangkul hangatmu, ketika kamu berkata bahwa kamu akan sangat merindukanku.

Aku duduk diam di depan laptopku, sementara Michael Buble masih mengalun dengan damai. Izinkan aku memutar ulang waktu, agar tidak pernah terjadi pertemuan antara kita, agar aku tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta padamu, agar aku tidak merindukan hangat pelukmu. 

Masalahnya, aku sangat benci kata terlambat. Aku terlambat masuk ke dalam hidupmu. Kamu terlambat masuk ke dalam hidupku. Dan, saat ini, kita bertemu di persimpangan jalan, bertanya-tanya apakah ingin melanjutkan perjalanan ke depan bersama-sama, sementara aku tahu betul-- Tuhan pun benci jika kita tetap bersama.

Beranikah kau melawan Dia?