17 October 2011

Beri Aku Waktu, Tuhan

"Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali."

Aku hanya bisa mematung seusai mendengar vonis dokter yang saat ini masih tak kupercayai realitanya. Aku hanya bisa mematung dan berpikir, aku mencoba menyelami labirin-labiran dalam otakku yang semakin rumit dan tak kumengerti. Aku mencoba mengungatkan langkahku dan menegakan ketegaran hatiku. Tapi, aku muak untuk terlihat menjadi kuat! Aku muak berpura-pura menjadi seseorang yang terlihat kuat! Aku lelah harus terus terlihat seakan-akan aku percaya bahwa aku segera sembuh, bahwa aku dituntut agar tidak terlihat lemah karena penyakit yang masih saja menggerogoti tubuhku. Aku lelah berpura-pura dalam kesakitanku. Aku lelah dalam kepalsuan. Aku ingin menangis tapi nyatanya aku hanya bisa menyembunyikan air mataku.

Aku iri dengan mereka yang bisa tersenyum bahagia tanpa kepalsuan. Aku iri dengan mereka yang bisa berlari dan bergerak bebas dalam sandiwara yang skenarionya telah dipersiapkan Tuhan. Aku ingin seperti mereka yang menghabiskan waktunya tanpa khawatir akan hadirnya kematian yang bisa saja menghampiri mereka tiba-tiba. Aku ingin seperti mereka! Aku ingin menjadi pelakon dalam sandiwaraku sendiri, aku ingin menjadi pemeran utama dalam sandiwara yang Tuhan izinkan terjadi itu. Tapi, nyatanya, aku hanya menjadi seorang penonton! Aku hanya bisa duduk diam! Aku hanya bisa menunggu datangnya kematian!

Kalau manusia diizinkan untuk marah dengan takdir yang Tuhan rancang, mungkin aku akan terus menjadi pemarah yang tidak henti-hentinya merapal kata-kata kekesalanku pada Tuhan. Kalau manusia berhak untuk merancang takdirnya sendiri, aku pasti mampu merancang kebahagiaanku sendiri, dengan kekuatanku sendiri, dengan kemampuanku sendiri. Tapi, inilah aku dalam keterbatasanku. Aku hanya bisa diam! Aku hanya bisa duduk memperhatikan! Aku hanya bisa melakukan kepalsuan! Aku hanya bisa bahagia walau dalam kepura-puraan.

Aku hanya ingin sembuh, Tuhan. Aku hanya ingin helaan nafasku tidak berhenti secepat ini. Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali. Aku lelah menahan sakit. Tuhan, bisakah sekali lagi kita bercakap dalam doa? Aku masih belum siap bercakap denganMu secara langsung, akan kujelaskan padaMu bahwa aku masih butuh waktu. Aku belum siap Kau jemput. Beri aku waktu, Tuhan.

15 October 2011

Monolog: Cinta dan Agama


Aku tak mengerti mengapa perbedaan masih saja dianggap sebagai sesuatu yang asing. Aku tak mengerti bagaimana pola pikir seseorang yang menganggap perbedaan adalah sampah. Dimana perbedaan tak dapat dihargai, dimana perbedaan tak mendapat tempat se-inchi pun dalam kehidupan sosial masyarakat. Indonesia, negara yang katanya menghargai perbedaan, tapi menyentuh perbedaan pun rasanya amat menjijikan. Jadi, untuk apakah Sang Garuda mencengkram tulisan "Bhineka Tunggal Ika" jika perbedaan masih saja menjadi sesuatu yang tabu?

Agama. Sesuatu yang kadang terkesan maya tapi ada. Sesuatu yang kadang tak diketahui tetapi berusaha untuk dipahami. Sesuatu yang diluar otak manusia tapi berusaha untuk dicapai oleh otak manusia. Agama dan perintah Tuhan, apakah selalu mengekang? Seringkali agama menjadi jurang yang tak mampu dijembatani oleh cinta. Agama dan cinta, sesuatu yang Tuhan ciptakan tapi secara brutal dirusak oleh manusia!

Aku tahu, diluar sana ada ribuaan atau bahkan jutaan pasangan yang saling jatuh cinta walau dalam perbedaan. Bukankah kehidupan pasti butuh perbedaan? Kalau semua hal sama, bukankah membosankan? Pasangan yang berbeda dalam banyak hal, terutama yang paling kontras adalah perbedaan agama. Mereka berusaha sekuat mungkin untuk menunjukan bahwa mereka bukanlah sampah yang harus dikucilkan karena pola pikir masyarakat. Mereka bertahan walau dalam kesakitan, mereka berteriak walau dalam kebisuan, nurani mereka terpasung oleh sesuatu yang (katanya) disebut DOGMA AGAMA. Sesulit itukah mempertahankan cinta, ketika mereka tahu bahwa mereka bukanlah pasangan yang direstui oleh DOGMA AGAMA? Mereka mencoba menutup telinga dari cemooh masyarakat yang tak mengerti apa itu CINTA dan apa itu AGAMA. Mereka bertahan untuk sesuatu yang tak tahu dimana ujung dan akhirnya. Itulah cinta, yang mampu membuat dua orang yang terikat menjadi begitu kuat untuk menghadapi cobaan terhebat.

Cerita lainnya, pasangan dengan dua agama, pasangan berbeda yang telah diikat oleh tali pernikahan. Di depan altar suci mereka berikrar janji. Bertahun-tahun mereka bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Setiap minggu pagi, sang wanita pergi ke gereja, mengucap Pengakuan Iman Rasuli dan mengujar Doa Bapa Kami. Pagi-pagi sekali, sang suami menghadap Tuhan, bersujud haru dibawah telapak kaki Tuhan, sambil membaca surat-surat dengan bahasa arab. Salahkah kalau dalam perbedaan mereka tetap berbahagia? Salahkan jika ada dua Tuhan dalam satu rumah tangga? Salahkan jika ada dua Allah dalam satu cinta? Bukankah dengan begitu cinta bisa mempertegas tugas utamanya? Menyatukan dua orang yang penuh perbedaan tanpa peduli apa kata orang!

Hey, kalian! Kenapa kalian tercengang mendengar ceritaku? Kenapa kalian membisu ragu mendengar dentuman gelisahku? Jadi, kalian baru sadar kalau disekitar kalian ada orang yang tersiksa karena DOGMA AGAMA? Jadi, kalian baru sadar ada pasangan yang begitu sulit untuk saling jatuh cinta karena AGAMA? Yak, kamu yang berjilbab! Pernahkah kamu berpikir bahwa dari jutaan wanita berjilbab ada beberapa orang diantara mereka yang jatuh cinta pada seseorang yang beribadah di gereja? Yak, kamu yang berkalung salib! Pernahkah kamu berpikir bahwa dari jutaan orang yang berkalung salib ada beberapa diantara mereka yang jatuh cinta pada seseorang yang beribadah di masjid? Jadi, apakah salahnya CINTA jika dia hanya menjalankan tugasnya untuk menyatukan perbedaan? Pantaskah AGAMA untuk ikut campur?

Inilah Indonesia! Pikirannya yang masih (sok) ketimuran! Menganggap perbedaan adalah pemerkosa kesatuan! Menganggap perbedaan layaknya pekerja seks komersial yang harus diarak dan dilempari batu hingga mati! Inikah Indonesiaku yang (katanya) punya slogan Bhineka Tunggal Ika itu? Hanya slogan ya? Tidak dilakukan melalui tindakan? Memalukan! Tapi, sebenarnya, kita pun tak pernah berhak untuk menyalahkan DOGMA AGAMA. DOGMA AGAMA bilang mencintai seseorang yang berbeda agama sama saja seperti mencintai gelap. Terang tak mungkin dapat bersatu dengan gelap. DOGMA AGAMA bilang seperti ini, DOGMA AGAMA bilang seperti itu, DOGMA AGAMA bilang........ Ah! Aku benci ketika manusia malah menjadikan DOGMA AGAMA sebagai Tuhan, bukan malah menjadikan TUHAN sebagai TUHAN!

Agama mengajarkan cinta dan kasih, agama mengajarkan bagaimana mencintai dan mengasihi seseorang yang berbeda. Cinta mengajarkan manusia menjadi manusia, cinta menjadikan manusia menjadi mahluk sosial. Cinta dan agama, sulit dimengerti, sulit untuk disatukan, tapi ada dan nyata.

Mengapa Tuhan menciptakan perbedaan jika DIA hanya ingin disembah dengan satu cara? Pertanyaan yang sulit kujawab dengan logiku yang sungguh terbatas, tapi jawaban akhir yang bisa kusimpulkan adalah cinta sejati berasal dari Tuhan, makanya itu Tuhan menciptakan cinta agar yang berbeda bisa saling menyatu.

06 October 2011

Aku Tidak Ingin Makan Telur Dadar kalau Bukan Buatan Ibuku

"Apa gunanya menginginkan kembali masa lalu ketika sebenarnya masa itu tak akan pernah terulang?"



Aku hanya memainkan nasi dan telur dadar dengan sendok dan garpuku. Menatap kosong ke arah sarapan yang memang tidak membuat dirinya agar berselera sehingga aku ingin melahapnya. Kulempar pandanganku ke jendela ruang makan, sinar matahari mulai mengintip malu-malu dari balik kaca kaku bertralis besi tersebut. Aku sangat benci suasana seperti ini, suasana sepi seakan-akan rumah ini tak berpenghuni. Aku duduk sendirian di meja makan sambil berpangku tangan. Dengan mata setengah mengantuk, kembali kutatap sarapanku lagi, nasi dan telur dadar, sederhana. Aku masih tak berselera untuk melahapnya, karena telur dadar ini bukan buatan ibuku. Aku tidak ingin makan telur dadar kalau bukan buatan ibuku. Aku semakin benci suasana ini, karena pagi ini adalah pagi yang sama, lagi dan lagi tidak ada ibuku yang menemaniku sarapan. Pemandangan pagi ini juga sama, di ruang tamu terlihat ayahku sedang bergelayut manja dipundak ibu baruku. Sebenarnya, aku sangat tidak sudi memanggil dia dengan sebutan “Ibu”, karena seseorang yang pantas kupanggil ibu adalah ibuku sendiri, tidak ada seorang pun yang berhak menyandang panggilan itu dari bibirku kecuali untuk ibuku.
***
Ibuku memang seorang wanita yang terlihat lemah, tapi di balik kelemahan seorang wanita yang terlihat oleh mata, ada kekuatan sangat besar yang tak terlihat mata. Didukung oleh wajah jawanya yang halus, dihiasi dengan mata redupnya yang bening, beliau selalu menjadi aktris utama yang kujadikan idola dalam drama kehidupanku. Ibuku memang jarang berbicara, dia lebih suka bertindak lalu melakukan, dalam pada membuang-membuang waktu untuk sekedar berdebat. Ibuku lebih suka memeluk daripada mengungkapkan, karena lewat sepasang lengannya ada desir kehangatan tersendiri yang menjawab banyak pertanyaan. Ibuku adalah wanita paling baik yang pernah kukenal, hanya seorang bodohlah yang mampu menyakiti ibu dengan perlakuan dan perkataannya, ayahku.
***
Tiga bulan yang lalu, ibu masih sibuk bangun pagi-pagi hanya untuk memasak telur dadar kesukaanku, telur dadar untuk aku, ayahku, dan ibuku. Kami bertiga duduk dalam satu meja, tanpa ungkapan dan ucapan, karena bahkan hanya lewat tatapan ada “pembicaraan” bisu yang “terdengar” oleh hati. Sesaat sebelum kamu berangkat, aku pamit lalu ibu mencium pipiku serta memelukku, begitu juga perlakuan yang sama diberikan untuk ayahku, tapi ayahku hanya meresponnya dengan tatapan dingin. Memang, kala itu ada hal yang sangat kutakutkan, ketika aku mencoba membuat persepsi bahwa cinta ayahku pada ibuku memudar. Padahal ibuku itu nyaris sempurna, memangnya ayahku butuh seseorang yang seperti apalagi? Ah... tapi kembali kuingat nasehat ibuku saat aku mulai nakal dan membuat persepsiku sendiri. “Pindahkan otakmu dan matamu ke hatimu, mereka tidak bisa bekerja sendiri-sendiri.” Ucap beliau sambil memelukku lebih erat dan hangat.
***
Ah ya! Belakangan kutahu bahwa ibu baruku (yang tetap tak sudi kupanggil ibu) adalah “selingan tak berguna” yang sempat mengganggu hubungan ayahku dan ibuku saat mereka masih berpacaran dulu. Lalu, untuk apa si jalang itu kembali? Satu hal yang kutahu, wanita jalang memang selalu datang tidak dalam waktu yang tepat. Aku benci ibu baruku, tepatnya aku benci dengan wanita jalang yang tiba-tiba datanng ke dalam hidupku. Aku hanya menginginkan ibu. Itu saja. Tapi, sekali lagi aku berpikir, apa gunanya menginginkan kembali masa lalu ketika sebenarnya masa itu tak akan pernah terulang?
***
Kali ini, pandanganku kosong menatap ibu. Berkali-kali aku mengusap-usapnya dengan sentuhan lembut sambil berusaha untuk tersenyum. Aku bercerita banyak hal, soal prestasiku, soal tulisanku, soal perkembanganku, dan soal ketertarikanku pada seseorang yang kini mengisi kekosongan hatiku. Aku sama sekali tak bercerita tentang ibu baruku (baca: wanita jalang), aku tak ingin ibu bersedih karena ayahku memilih seseorang yang salah. Tapi, tak bisa kututupi perasaan khawatirku tentang ayah dan ibu baruku itu, karena ibuku selalu tahu walapun aku berusaha menyembunyikan perasaanku. Aku membersihkan rumput-rumput yang tumbuh liar di atas tanah basah itu, kutaburi bunga-bunga beraroma lembut yang sesekali menyengat hidungku ketika angin menyebarkan aromanya. Untuk kesekian kalinya, aku mencium nisan ibuku. Aku tahu kalau beliau sangat suka dengan kecupan hangatku. Beberapa detik terbesit di dalam pikiranku tentang ayah yang tak berjumpa dengan ibu beberapa bulan ini. Entah beliau telah merencanakan untuk berjumpa tapi lupa atau beliau terlalu sibuk dengan pekerjaannya? Ah... memang beberapa laki-laki selalu mudah melupakan kenangannya.

Untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini

Aku bosan ketika bangun pagi hari hingga tidur malamku selalu diisi pertengkaran kecil dan bahkan pertengkaran yang cukup besar. Di mana dia selalu ingin menjadi pemenang, di mana dia selalu ingin menjadi aktor utama. Sementara aku, hanya pemain figuran yang tidak berhak melawan, posisiku hanya seseorang yang pasif yang mencoba mengerti semua perlakuannya walaupun ada banyak gejolak untuk melawan.

Ada saja hal-hal kecil yang dia jadikan sebagai acuan untuk berdebat panjang. Masalah komunikasi, masalah perhatian, masalah waktu, dan masalah-masalah lainnya yang selalu terlihat besar saat ia melebih-lebihkannya. Memangnya aku ini tempat sampah, "tempat" dimana ia menumpahkan segala kekesalan dan amarahnya saat ia merasa lelah dengan dunianya? Apa dia tak pernah berpikir bahwa aku sama seperti dia, yang juga punya perasaan? Apa dia tahu, bahwa menjadi aku bukanlah hal yang mudah?

Seringkali aku merasa risih dengan semua hal yang ia lakukan padaku. Rasanya sehari seperti sebulan lamanya. Seringkali aku terdiam melihat semua mengalir tanpa persetujuan dan keinginanku. Seringkali aku ingin lepas, tapi aku merasa jeratan itu masih terlalu kuat. Aku lelah menjalani hubungan yang hanya berjalan di tempat, di mana hanya ada satu orang yang berkorban demi satu orang lainnya. Di mana hanya ada aku yang berlelah sendirian hanya untuk menjaga yang seharusnya kulepaskan.

Dan, untuk kamu, ya kamu! Pria yang dulu pernah kucintai dan kukagumi sebelum aku bertemu dengannya. Jujur, aku merindukanmu. Merindukan sosok dewasa yang dulu pernah menopang dan menegakkan langkahku. Aku merindukan suaramu yang dulu menelusup lembut ke dalam telingaku. Aku merindukan sosok sederhanamu dengan tinggimu yang 196 sentimeter itu. Sekarang, aku tahu bagaimana rasanya bila tidak ada kamu yang mengisi hari-hariku. Sekarang, aku tahu rasanya jika saat bangun pagi tak ada sapamu di inbox handphoneku. Aku benar-benar kehilangan sosokmu. Aku benar-benar takut kehilangan sebagian dari diriku saat aku juga kehilangan kamu.

Ingin rasanya kembali ke masa lalu, ketika masih ada kamu, ketika aku masih bisa tersenyum saat bangun pagi hingga tidur malamku. Saat kamu masih menganggapku lebih dari teman, saat ungkapan rindumu masih sering kudengar dari bibir tipismu, saat kehadiranmu bagai aktor utama drama yang kutunggu-tunggu kemunculannya. Aku masih saja sering memerhatikan nomor handphonemu, menimbang-nimbang apakah aku harus mengirim pesan terlebih dahulu atau aku saja yang menunggumu? Ah... tapi kamu terlalu sibuk, bahkan hanya untuk sekadar sms apalagi menanyakan kabarku.

Setelah kuputar ulang lagi rekaman otakku yang berisi tentangmu, aku mencoba untuk kembali mengingat perlakuan lembutmu dan perlakuan kasarnya. Aku mencoba  mengingat kesabaranmu saat menghadapiku, aku mencoba mereka-reka kembali ucapanmu saat menenangkan amarahku, aku mencoba mengintip kembali usaha-usaha yang kaulakukan agar hubungan kita tidak berjalan di tempat. Bayanganmu berputar-putar di otakku, suaramu terdengar menusuk-nusuk telingaku. Aku benar-benar kecanduan kamu, aku benar-benar kecanduan masa lalu. Aku semakin sadar bahwa tidak ada seorangpun yang bisa membuatku merasa berarti dan luar biasa selain kamu. Aku semakin yakin bahwa kamu adalah seseorang yang berusaha memperbaiki kesalahanku agar aku menjadi seseorang yang baru. Kamu menerimaku lalu menjaga perasaanku, dia menerimaku tapi berusaha merusak perasaanku.

Kali ini, aku tak merasakan kantuk sama sekali, rasa kantuk itu tak benar-benar berarti sampai aku bisa menuliskan ini, sampai aku bisa menikmati hadirmu lewat tulisanku. Aku menyesal kenapa semua hal-hal yang indah seringkali tak bisa terulang? Aku frustasi. Aku kebingungan. Aku butuh hadirmu. Aku butuh kata rindumu. Di mana kamu? Kautahu? Sejak kemarin aku mencarimu! Hubunganku dengannya diujung tanduk saat ini! Selamatkan aku, bukan selamatkan hubunganku!

Untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini
06102011 01:37
aku merindukan suara beratmu.

05 October 2011

Gelang Bali

"Kenangan mampu mengalahkan perasaan seseorang."



                 Aku berlari-lari kecil ke arahnya, dengan wajah berseri-seri aku berusaha meraih posisi dimana ia berdiri. Saat dia tersenyum ke arahku, aku segera meraih tangannya dengan lembut. Sekali lagi, dia hanya memperdengarkan gelak tawanya yang menggemaskan.
                "Ada apa? Kamu kok narik-narik tanganku sih?" Ucapnya lugu sambil memainkan rambut sebahunya.
                "Kemarin pas liburan aku ke Bali, aku beliin kamu ini." Jawabku seadanya, kuletakkan benda itu di atas telapak tangannya.
                "Wah, gelang ya? Makasih ya, Dicto." Sambil melengkungkan senyumnya yang manis, dia menyibukkan dirinya dengan memasangkan gelang itu pada pergelangan tangannya.
                "Susah ya masangnya?" Tanyaku sambil memperhatikan ketidak-mampuannya untuk memasangkan gelang itu.
                "Iya, To. Gimana masangnya ya?"
                "Sini aku yang pasangin. Cuma aku yang bisa memasangkan gelang ini dipergelangan tanganmu." Ucapku tersipu malu sambil memasangkan gelang itu. Dia tersenyum ke arahku, aku menunduk dengan perasaan berkecamuk.
                Taman kanak-kanak kala itu sudah terlihat sepi. Aku menunggu ibuku yang selalu terlambat menjemputku, dia menunggu ayahnya yang punya rasa ketidak-peduliaan tinggi. Kembali aku menatap senyumnya, merasakan sejuk tatapannya, lalu melirik iseng ke gelang sederhana itu. Sejak saat itu, gelang pemberianku selalu nyaman terpasang di pergelangan tangannya. Entah sampai kapan, ia akan memasangnya.
***
                Aku terbangun dari mimpiku, sialan! Mimpi itu lagi! Teman masa kecil lagi! Sesuatu yang tak bisa kulupakan sampai saat ini! Kulihat jam dinding yang berdetak angkuh, pukul 02:22 dinihari. Di sampingku, istriku masih sibuk dengan alur mimpinya, aku berusaha untuk kembali memejamkan mata, memeluk dan mendekap istriku dengan begitu dekat, tapi selalu tak pernah aku merasa hangat.
***
                Pernikahan kami sudah berjalan 6 tahun, dikaruniai 2 anak sehat dengan kepribadian yang memikat. 6 tahun? Kalian pasti berpikir bahwa pernikahanku terlihat begitu bahagia, ya memang, aku bahagia, hanya terlihat bahagia, bukan benar-benar bahagia.
                Aku tidak benar-benar mencintai istriku, dia kunikahi karena ibuku mau aku menikahi dia. Itu permintaan terakhir almarhumah ibuku sebelum dia mendiami pusaranya. Apakah membahagiakan orangtua berarti mengikuti pilihannya? Meskipun anaknya tersiksa dengan pilihan itu?
                Pertemuan pertama kami tak dihiasi dengan senyum tersipu malu, dengan tatapan lugu, dan dengan percakapan merayu. Pertemuan pertama kami diisi dengan penentuan tanggal pernikahan! Tanpa basa-basi, tanpa memikirkan perasaan kami masing-masing.
                Setahun pernikahan kami, aku masih sangat bisa mentolerir semua keegoisannya, aku mengira bahwa setahun adalah masa perkenalan dan adaptasi. Dua hingga enam tahun, semua masih tetap sama. Aku selalu berusaha mencintai istriku, dengan segala kekurangannya, tapi kenyataan yang tidak kusuka adalah ternyata cinta tak bisa datang karena paksaan.
                Intinya, yang kujalani selama 6 tahun bukanlah karena aku mencintai, tapi karena kewajibanku untuk berusaha mencintai seseorang yang sulit untuk kucintai. Cinta tidak selalu datang karena terbiasa, cinta itu soal perasaan, bukan teori.
***
                Sebenarnya aku sudah tidak ingin menghabiskan waktuku dengan wanita yang sulit untuk kucintai, tapi bagaimanapun juga, ia adalah ibu dari anak-anakku. Ditambah lagi kota ini, kota Bali. Kota yang terlalu menyesakkan bagiku, entah bagi keluargaku. Aku sangat ingin pulang ke Jakarta. Dimana kenangan-kenanganku menempel lembut disana.
***
                Semenjak aku menikah dan semenjak hidupku terlihat bahagia, aku tak lagi bertemu dengan teman masa kecilku itu. Bisa juga dibilang, cinta pertamaku, Theodora Immaculata.
                Mungkin sekarang dia telah hidup bahagia dengan suami dan anak-anaknya. Menetap dalam suatu kota yang menyimpan kebahagiannya. Aku merindukan kotaku, aku memutuskan untuk pulang. Aku kangen ibu, aku ingin mengunjungi beliau dan mencium lembut nisannya.
***
                Inilah kota tempatku seharusnya pulang, aku tidak akan menyebut kota ini sebagai kota persinggahan, karena kota ini sesungguhnya adalah Rumahku. Rumah adalah tempat seseorang untuk pulang, bukan untuk sekedar singgah.
                Di rumah orangtuaku, aku menemukan kebahagiaan yang tidak kutemukan di Bali. Bali memang indah, tapi tak selalu yang terlihat indah akan membawa kebahagiaan. Kutatap haru kamarku dulu, penuh dengan coretan dinding semasa aku ada di taman kanak-kanak sampai masa kuliah. Mataku terpaku pada tulisan yang berantakan dan hampir pudar, ada nama Theodora Immaculata yang terususun dalam huruf-huruf bisunya. Aku hanya mengembangkan senyum. Aku ingin ke tempat yang menyimpan banyak kenangan itu, taman kanak-kanak.
***
                Aku melenggangkan mobilku hingga ke depan bangunan tua yang masih terlihat sama seperti dulu, seperti 30 tahun lalu. Di samping taman kanak-kanak itu, masih berdiri bangunan untuk Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Melihat bangunan-bangunan tua itu, aku hanya menggigit bibir. Bahkan, benda mati pun mampu mengingatkan seseorang pada masa lalunya.
                Kakiku melangkah seiring kemauanku. Memasuki taman kanak-kanak yang memaksaku untuk mengunjunginya sesaat saja. Ternyata masih sama, beberapa permainan berwarna-warni masih mematung di halaman yang besar itu. Hanya warna catnya saja yang diganti.
                Angin yang baru saja memainkan rambutku dan menggelitik kulitku mengingatkanku pada ayunan yang biasa kutunggangi bersama dengan dia, wanita itu, yang kuceritakan sejak tadi itu.
Saat langkahku masih berjalan, pandanganku tertuju pada seseorang yang sedang duduk diayunan itu. Aku duduk di ayunan samping, sambil iseng menghampiri wanita tersebut.
                Aku menatapnya, memperhatikan wajahnya dan sesuatu yang dikenakannya, gelang dari Bali itu, gelang yang pernah kupasang dipergelangan tangan seorang wanita.
                "Ima?" Sapaku dengan nada bertanya.
                Dia memalingkan wajahnya ke arahku, wanita itu mulai mengembangkan senyumnya,"Dicto!" Ujarnya dengan nada tinggi.
                Buru-buru dia bangkit dari dudukan ayunan itu, berdiri di depanku, lalu membungkuk, memelukku. Nafasku memburu kala itu, aku mendengar helaan nafasnya dan suara kecil isak tangisnya. Lalu, dia melepaskan pelukan itu, kembali duduk dalam ayunan. Tangannya sibuk menghapus air matanya. Hingga tiba pada momen gelangnya terlepas.
                "Tanganmu ternyata kecil sekali ya?"
                "Aku kurus ya?"
                "Sedang saja, tanganmu kecil sekali, aku kaget."
                "Ah! Iya, mungkin." Jawabnya pendek sambil sibuk memasangkan gelang itu pada pergelangan tangannya. Kulihat ada cincin yang terpasang pada jari manisnya. Aku menghela nafas, "Sudah punya orang lain ternyata." Ucapku lirih dalam hati.
                Aku tersenyum menatap peristiwa itu, segera saja kugenggam tangannya. "Kalau ini terlepas, cuma aku yang bisa memasangkan kembali gelang ini dipergelangan tanganmu." Ucapku sambil memasang gelang itu pada pergelangan tangannya. Ah, sama seperti 30 tahun yang lalu. Dia hanya tertawa, tawa yang menghilangkan mata sembabnya. Selalu saja, kenangan mampu mengalahkan perasaan seseorang.

04 October 2011

Sepotong Sore dan Hujan

"Bagaimana aku bisa mencari orang sepertimu?"



Hujan selalu menyimpan tanda tanya. Kadang, hujan bisa juga menjadi jawaban. Dia membisu, datang malu-malu, tanpa isyarat dan kata, tiba-tiba dia mengguyur saja sesukanya, seenak hatinya. Seringkali hujan disalahartikan sebagai pembawa duka, sebagai sebab seseorang mengingat kenangannya, sebagai terdakwa yang menyebabkan seseorang takut akan takdirnya. Hujan buatku adalah penenang dalam kerinduan, pembawa air mata, dan pengingat rasa kehilangan. Selalu saja, sesuatu yang harus seseorang lupakan adalah sesuatu yang justru jauh tersimpan begitu dalam, kenangan.

***
Seorang pria, sederhana saja. Senyumnya menyimpan banyak tanda tanya, tatapannya mengganggu laju kerja otak, dan gerak-geriknya memaksaku agar tidak melewati setiap inci perpindahannya.

Lalu, semua terjadi begitu saja. Saat sapa lembutnya menjaring nyata menyentuh gendang telinga, saat percakapan kecil yang tercipta berubah menjadi deretan narasi nyata, aku dan dia, mengalir, begitu saja, seperti curah lembut hujan yang jatuh ke permukaan. Sederhana sekali, cinta memang selalu menuntut kesederhanaan.

Dia mengajariku banyak hal. Cara menari dalam hujan, cara tertawa dalam kesedihan, cara menghargai perbedaan, dan cara bermimpi walau dalam kemustahilan.

Seringkali aku menatapnya dalam-dalam, menyelami sejuk matanya, tercebur dalam hatinya, lalu terpeleset dalam aliran darahnya. Aku sangat ingin menjadi bagian dalam setiap detak jantungnya, aku ingin ikut berhembus saat helaan nafasnya. Tapi, apa semua ingin dan harapku akan menyentuh kenyataan? Inilah yang disebut mimpi, selalu terlalu tinggi.

Tahu-tahu, sosoknya menjadi sangat penting dalam setiap bangun pagi hingga tidur malamku. Sedetik, semenit, sejam, seharian, hanya dia saja yang begitu rajin menghampiri otakku. Aku ragu kalau dia tak punya kerjaan lain selain mengganggu pikiran dan imajinasiku.

Ah, kala itu, cinta tak lagi menjelma menjadi sesuatu yang sederhana, berangsur-angsur tingkatannya berbeda, hingga ia menjelma menjadi dua kata, luar biasa. Perasaan itu tak lagi sekadar teman biasa, tapi dia berevolusi menjadi lebih dari teman biasa.
***

Aha! Hujan ternyata masih jadi peran antagonis, dia kembali mengingatkanku padamu! Kamu yang dua tahun ini meninggalkanku tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa isyarat dan pengungkapan.

Ah... berdosakah aku kalau masih saja memikirkanku? Dua tahun lalu, hanya kau saja yang mengajariku menghargai rintik hujan, menghargai deras rindunya, menghargai butir-butir kenangan halusnya.

Hujan kali ini, di sepotong sore yang dingin, benar-benar mengingatkanku pada rasa kehilangan, tentu saja rasa yang begitu dalam. Hilang? Saat aku berniat untuk mencari, pasti aku akan menemukan. Tapi, bagaimana aku bisa mencari orang sepertimu? Di mana aku bisa menemukan seseorang yang mau berjanji untuk tidak meninggalkanku?

Sayang. Ah! Sayang? Panggilan yang tak pernah terucap sekalipun dari bibirmu. Hujan kali ini memang deras sekali, aku tak membayangkan kamu yang terbaring lemah disana, apa kau kedinginan? Oh ya, sudah sebulan aku tidak mengunjungimu ya? Apa kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu? Tidak usah dijawab! Aku tidak ingin mendengar jawaban dingin itu! Begini saja, besok aku akan mengunjungimu, membersihkan rumput-rumput liar yang mencoba menjamah nisanmu. Jangan menolak! Aku punya alasan sederhana untuk menjelaskan pemaksaanku. Aku hanya rindu. Itu saja. Sederhana. Rindu memang selalu sederhana kan?

01 October 2011

Ibu, Kapan Pulang?

"Kesepian itu datangnya dari hati dan perasaan, bukan dari suasana yang sebenarnya"



            Aku berjalan acuh tak acuh melewati koridor kelas. Langkahku terus maju, tak peduli adanya segerombolan anak-anak berstatus "gaul" sedang duduk santai di lantai. Mereka adalah sekelompok anak-anak (sok) populer yang meng-eksklusif-kan diri, seakan-akan merekalah yang paling terkenal dan paling penting di sekolah ini. Terdengar bisik-bisik nakal yang sampai hingga gendang telingaku,"Si autis tuh!" Bisik si anak dari ekstrakulikuler basket, lalu pendengarnya, si anak dance ikut menggumam,"Stress kali, biasa deh nasib anak broken home." Aku tak mempedulikan bisikkan itu, toh aku tak mengenal mereka, mereka juga tak benar-benar mengenalku. Yang tahu baik buruknya aku adalah diriku, bukan mereka yang asal menilaiku.
            Aku berjalan sambil memeluk erat buku-buku yang sejak tadi menempel dan menghangatkan dadaku. Langkahku terhenti di sebuah ruang dengan pintu coklat dengan genggaman pintu yang berwarna pucat pasi. Aku membuka pintu itu lalu memasukinya dengan langkah santai.
            "Bianca, lho kok enggak masuk kelas?" Sapa seorang wanita yang duduk di belakang meja tamu perpustakaan.
            Aku sibuk menulis di buku tamu perpustakaan. Seusai itu, aku menjawab pertanyaan beliau,"Iya, Bu. Saya enggak masuk kelas. Suntuk! Pelajaran Fisika."
            "Kalau dicari gurunya gimana?" Ucap Ibu penjaga perpustakaan sembari sibuk dengan laptop mungilnya.
            "Ya enggak apa-apa, setidaknya saya menghindari pelajaran tersebut bukan karena alasan ingin melarikan diri ke kantin, saya di perpustakaan dan saya ingin membaca." Jelasku panjang lebar.
            "Itu buku yang kemarin ya? Mau kamu balikin atau mau lanjut dibaca?"
            "Mau dibalikin, Bu. Saya sudah selesai membacanya. Bukunya bagus, teori filsafatnya cerdas, dogma dan ajarannya yang rumit dijelaskan secara sederhana."
            "Buku kayak gini cuma selesai sehari? Gimana bacanya?"
            "Ya dibaca terus-menerus, Bu."
            "Terus kamu enggak ngerjain PR ya?"
            "Enggak, Bu. Saya hanya ingin mengerjakan PR untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Mandarin, bahasa Inggris, Sejarah, dan seni. Pelajaran lainnya tidak saya kerjakan."
            "Kamu IPA kan?"
            "Yup, 12 IPA 5."
            "Udah kelas 12 kok enggak semangat?"
            "Sejak awal memang tidak, saya dipaksa masuk jurusan IPA oleh ayah saya. Kadang, sesuatu yang bersifat paksaan mampu menyenangkan hati seseorang, salah satunya orangtua.”
            Aku lalu menghilang diantara rak-rak buku, menyelami ratusan buku yang menggoda pandanganku, selang beberapa menit aku mendapatkan buku yang kelihatannya menarik, aku menarik buku itu setelah berdesak-desakan dengan buku-buku lain yang menjepitnya,"Sesak nafas ya dijerat terus-terusan oleh buku-buku lain? Sama seperti aku yang sesak dijerat orang-orang lain." Ucapku dalam hati sambil berjalan menuju meja baca.
            Inilah yang kusuka, sendirian di tempat yang sepi, bersama meja dan buku. Aku selalu pusing dikeramaian. Aliran darahku selalu tak mengalir dengan biasanya kala aku berada di keramaian. Setelah ibu meninggalkan rumah, aku lebih suka menyendiri, menghabiskan waktu dengan diriku sendiri, dan menghibur kesedihanku dengan usahaku sendiri. Beberapa hal juga mampu membuatku tersenyum dalam hati, seperti saat cerpenku dimuat di media cetak dan media online. Aku menumpahkan kekecewaanku pada tulisan, aku menumpahkan kesedihanku pada tulisan. Saat menulis, aku menemukan bagian diriku yang hilang.
            "Sendirian?" Ujar Ibu penjaga perpustakaaan, mengagetkanku.
            "Iya, Bu. Memangnya kapan saya tidak sendirian? Saya selalu sendirian, setiap saat, setiap waktu. Cuma buku-buku ini yang mengajak saya bicara dengan bahasanya yang berbeda tapi berusaha saya pahami."
            Ibu penjaga perpustakaan menatapku gamang, sinar matanya meredup perlahan, mungkin dalam hatinya ia berucap,"Aku tidak tahu derita apa yang dihadapi anak ini. Tapi, dia berusaha tetap bertahan meskipun lukanya semakin dalam."
***
            Supirku membawakan tasku, beliau bercakap macam-macam denganku tapi aku tak mempedulikannya, ucapannya berlalu dengan desahan angin, tatapanku menatap ke depan, kosong. Langkahku masih saja lurus, langkah bisu menderu melawan debu.
            "Setelah ditinggal ibunya, kerjaannya cuma bengong doang. Kasihan ya? Punya segalanya tapi gila sama imajinasinya." Tungkas seorang perempuan yang berdandan berlebihan untuk ukuran anak sekolahan. Aku bisa menebak kalau dia anak cheerleaders yang merasa (sok) populer dan selalu ingin meng-eksklusif-kan dirinya dari anak-anak kurang populer di sekolah.
            Aku mengehentikan langkahku, menatap tajam perempuan busuk itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, aku turut menatap empat temannya yang selalu mengekor kemanapun perempuan busuk itu pergi. Aku mendekati perempuan busuk itu,"Perek! Mau sekolah atau mau jual diri?" Bentakku dengan penuh amarah. Perempuan busuk itu berusaha menampar wajahku, tapi supirku menarik tangannya lalu memutar-mutar tubuhnya hingga perempuan busuk itu kelimpungan pusing. Aku memberi isyarat pada supirku agar segera menuju tempat ia memarkir mobil.
            "Non, lain kali kalau ada yang ngejek-ngejek kayak gitu diemin aja." Kata supirku dengan suara khasnya. Suara berat yang disebabkan oleh keseringan menghisap nikotin.
            "Untuk menyadarkan seseorang, kita juga butuh tindakan, bukan cuma perkataan." Pembelaanku singkat menutup pembicaraan tak direncanakan itu.
***
            Senja berganti menjadi awan-awan hitam yang berarak menuju malam. Suara azan magrib nyaring dan berbisik-bisik resah ditelingaku. Jalan komplek perumahan yang ramai oleh sepeda motor, kerincingan lonceng sepeda, dan derap langkah anak kecil yang berlari-larian sejak tadi mulai tak terdengar. Hanya ada kesunyian kala itu, hanya ada semilir angin yang berhempus ganas menusuk tulangku, hanya ada suara nyamuk-nyamuk yang berusaha memangsa hemoglobin dalam darahku.
            Suasana seperti ini terus berulang setiap saatnya, setiap jamnya, setiap harinya. Seperti dejavu yang terus-menerus menyiksaku. Aku duduk di teras rumah dari sore, senja, hingga menjelang malam. Aku menunggu ibu pulang. Aku berharap wajah beliau yang lelah mampu mengembalikan senyumku yang hilang. Sumarni namanya, beliau bekerja di salah satu Lembaga Sosial Masyarakat yang mengurusi persoalan anak jalanan dan anak-anak bayi yang ditelantarakan karena kelahirannya yang tak diharapkan. Ibuku mulia sekali, hanya seorang idiotlah yang berusaha menyakiti dan mematahkan hatinya, ayahku.
            Malam mulai menghampiri awan di atas rumahku, angin yang berhembus ganas semakin menggangguku, aku menatap pagar depan, kekecewaan yang selalu datang berulang, ibu tidak pulang.
***
            Aku benci kalau setiap pagi harus berpamitan dengan pria brengsek itu, ayahku. Pria yang memberiku fasilitas, harta benda, dan segalanya, tapi dua hal yang tak pernah dia berikan padaku, perhatian dan kasih sayang. Kuketuk pintu kamar ayahku, seorang wanita yang tak kukenal menjawab ketukan pintu itu,"Papamu masih tidur." Ucapnya dengan nada pelan.
            "Anda siapa?" Tanyaku penasaran.
            "Kania. Kekasihnya" Jawaban singkat disertai dengan bantingan halus pintu itu. Aku mematung, memberi isyarat supirku untuk beranjak dan segera mengantarku ke sekolah.
Wanita lain lagi ternyata, aku ingat setiap aku mengetuk pintu kamar ayah, selalu ada wajah dan nama wanita-wanita baru yang tak kukenal. Seminggu yang lalu bernama Nanda, lima hari yang lalu Abigael, tiga hari yang lalu Hana, dua hari yang lalu.... Ah! Aku hanya membebani otakku dengan hal-hal yang seharusnya tak kuingat.
***
            Hari ini semua pelajaran penyiksa seperti Biologi, Matematika, Kimia, dan Fisika bersekongkol untuk membunuhku perlahan-lahan. Aku sengaja tak masuk sekolah, toh tidak ada seorang pun yang peduli, paling hanya guru-guru yang rajin memeras dana dari ayahku saja yang membicarakanku.
            Aku meminta pada supirku untuk mengantarkanku ke LSM manapun, tapi jangan ke LSM yang pernah kukunjungi, aku ingin ke LSM yang baru, bertemu dengan wajah-wajah baru. Aku rindu mengunjungi anak jalanan dan bayi-bayi mungil yang ditinggal ibunya. Supirku kewalahan menuruti permintaanku, hampir setiap LSM sekitaran rumahku dan sekolahku telah ku kunjungi. Atas dasar kewalahan itu, maka supirku membanting stirnya ke arah yang cukup jauh dari rumahku.
            "Kemana ya, Non?" Ucap supirku sambil memasang pandangan kedepan.
            "Ke tempat yang ada anak jalanannya, ada anak bayinya juga." Jawabku seadanya.
            "Di tempat pembuangan akhir sampah aja gimana, Non? Coba liat aja, agak bau emang tapi pasti Non suka."
            "Yaudah kesana aja." Ucapku pasrah mengikuti saran supirku.
***
            Disana kulihat tumpukan sampah menggunung dimana-mana, banyak pemulung membungkuk-bungkuk mencari sampah yang bisa didaur ulang. Aku berjalan menuju LSM sekitar tempat sampah yang menggunung itu, sambil menggenggam plastik berisi beberapa coklat dan mainan kecil.
            Sesampainya disana, kulihat ada banyak anak kecil yang mendatangiku, respon mereka sangat baik walaupun mereka tak mengenalku. Beramai-ramai mereka mengerumuniku, salah satu diantaranya bertanya,"Darimana, Kak? Pemerintah atau swadaya?" Ucap anak menggemaskan yang segera mencium tanganku.
            Aku mulai sibuk tertawa dan tersenyum dengan mereka, aku mulai melempar pandangan mataku kebanyak arah. Saat kulihat seorang wanita di ujung sana, aku fokuskan mataku menatap wanita tersebut. Kulitnya putih, pipinya tirus, rambutnya diikat simple, penampilannya sederhana, aku menghampiri wanita itu. Dia sedang menggendong seorang anak bayi, bayi yang ditelantarkan orangtuanya sendiri. Wanita itu menatapku dengan senyum penuh kelegaan. Orang yang kutunggu ternyata pulang kesini, orang yang kurindukan ternyata melabuhkan hatinya disini, dan orang yang kucari-cari ternyata bersembunyi disini. Aku mendekati wanita itu.
            "Ibu, kapan pulang?" Ucapku lugu, menahan gerimis yang jatuh dari pelupuk mataku.