21 November 2015

Tujuh Bulan Tanpamu



#SerialTanpamu

Hari-hariku disibukan oleh menulis buku kesembilanku berjudul "Cerita Kita = Cinta", setelah buku itu terbit; aku kembali menyibukan diriku dengan tugas kuliah, dengan tugas-tugas yang membuatku lelah. Semua aku lakukan agar aku tidak punya waktu untuk mengingatmu, agar aku tidak lagi menangisimu.

Sehari setelah kamu pergi, aku merasa duniaku tidak lagi berotasi dengan normal. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa menatap senyummu, tanpa melihat sosokmu, tanpa membaca pesan singkatmu, dan tanpa mendengar suaramu. Hari-hari yang aku lewati tanpamu adalah hari-hari penuh ketakutan. Dalam hati, aku berharap kamu pulang, namun nampaknya wanita yang telah bersamamu saat ini tidak mungkin mengikhlaskan dirimu kembali padaku.

Satu minggu menangisimu, nyatanya belum cukup bagiku. Aku masih meratapi kepergianmu bahkan saat satu bulan kita berpisah. Dua bulan ketika kamu tidak lagi bersamaku, entah mengapa semua rasa sesak masih tidak beranjak. Setiap kali aku menatap salah satu sudut di FIB UI, selalu mengingatkan aku pada sosokmu. Aku ingat saat kamu membiarkan tubuhmu basah oleh hujan senja kemudian kamu menjemputku di depan salah satu kafe di FIB UI. Hingga saat ini, setiap kali aku menatap tempatmu berdiri saat itu, rasanya aku ingin memutar ulang kejadian tujuh bulan yang lalu. Saat kamu masih seutuhnya milikku, saat aku duduk di sepada motor Honda CBR-mu, saat aku memelukmu begitu erat dan kita menyanyikan lagu Taylor Swift seperti orang kesetanan saat menunggu lampu merah.

Karena tahu melupakanmu bukan perkara mudah, tiga bulan berikutnya— aku memutuskan untuk mengasingkan diri ke Uluwatu, Bali. Namun, nyatanya, bayang-bayangmu kian membesar. Semua kenangan kita, yang harusnya aku lupakan itu, justru makin membesar setiap kali aku melihat deburan ombak di pantai sekitaran Bali. Kamu menjelma menjadi apapun yang aku lihat serta aku rasa, dan aku semakin membenci diriku sendiri karena tidak mampu melupakanmu.

Sakit hatiku ternyata masih berusia panjang, di empat bulan dalam proses melupakanmu, aku masih menemukan diriku yang masih sering menangisimu. Bahkan, di lima bulan setelah kamu pergi, menariknya Wat Arun di Bangkok dan gemulai banci-banci di pementasan Alchazar, Pattaya, tidak kunjung membuat kesedihanku pergi. Cerahnya matahari di Thailand tidak memunculkan kebahagiaan apapun. Kamu masih di sini, di relung hatiku yang sepi.

Setelah enam bulan kepergianmu, aku menyadari bahwa selama ini hari-hari yang berjalan terlihat semakin menakutkan. Aku sudah melupakan rasa sakit saat pertama kali kamu tinggalkan, tapi setiap kali mengingatmu— perlahan air mataku jatuh tidak terkendali. Aku memaksa diriku untuk berubah, untuk segera melupakanmu, untuk melupakan kenangan saat kita makan sate berdua di sekitaran jalan Margonda, untuk melupakan logat Bengkulu-mu, untuk melupakan suara berisik sepeda motormu, untuk melupakan kita; tapi aku tidak bisa.

Kemarin, 20 November 2015 adalah tanggal jadian kita dulu. Selamat gagal tujuh bulan untukmu dan selamat gagal tujuh bulan karena aku tidak berhasil melupakanmu. Kini, aku merasa semakin bodoh, karena aku tidak sekuat dan seikhlas itu untuk menerima kenyataan— bahwa kita tak lagi sejalan.

Baca semua #SerialTanpamu di sini :)