24 June 2015

Enam puluh hari setelah perpisahan kita

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Empat puluh dua hari tanpamu

Kemarin adalah tanggal jadianku bersama dengan perempuan yang kini telah menjadi kekasihku, namun empat hari yang lalu adalah tanggal jadian kita, tanggal dua puluh. Aku tahu bahwa lima bulan kebersamaan kita tidak akan pernah jadi bagian yang harus dirayakan. Sehabis memberi kejutan untuk kekasih baruku, aku langsung mengarahkan sepeda motorku menuju rumahmu. Pukul satu dini hari, suara sepeda motor Honda CBR-ku yang sangat berisik itu ternyata tidak membuatmu seketika berada di depan pagar rumah. Ah, padahal dulu kamulah gadis yang selalu aku jumpai di depan pagar rumah ketika baru beberapa detik aku mematikan mesin sepeda motorku. Kamulah gadis yang paling hapal suara sepeda motorku, berbeda dengan kekasih baruku yang bahkan tak pernah menyadari kehadiranku jika aku berada di depan rumahnya.

Aku sangat tahu bahwa kamu tidak akan membaca ini, begitupun aku segera tahu bahwa kamu tak akan peduli pada pria yang merokok di dekat pos siskamling rumahmu, entah menunggu siapa, entah menanti apa. Aku hanya melihat mobilmu terparkir di teras dan itu sudah cukup membuatku merasa damai. Beberapa menit setelah tiga batang rokok habis, ternyata gadis yang aku rindukan berbulan-bulan itu tidak kunjung muncul di depan pagar rumah. Aku memutuskan pergi dengan perasaan hampa sambil memegangi kuat-kuat bekal sahur yang diberikan kekasih baruku.

Aku tidak tahu, menjelang sahur seperti ini, entah mengapa jalanan di Depok terasa lebih dingin, mungkinkah ini karena hatiku kembali patah berkali-kali? Tak bisa kupahami, mengapa setiap mengingatmu, rasa bersalah itu kembali merasuki. Ingin rasanya aku memutar ulang kejadian beberapa bulan yang lalu, saat aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Harusnya, aku tidak melakukan itu semua dan emosi sesaat itu bisa kupendam senormal mungkin. 

Nyatanya, aku kalah. Mungkin, gadis baik sepertimu tidak pantas berada di tangan penjahat sepertiku. Dan, aku biarkan kamu pergi tanpa tahu alasan dan penjelasan dariku. Kamu pun juga pergi tanpa mengemis penjelasan dan alasan dariku. Mengapa kautidak meminta, setidaknya bertanya? Memberi aku waktu untuk menjelaskan segalanya ataukah mungkin kamu sudah mulai merasakan bahwa kejadian seperti kemarin pada akhirnya akan terjadi, sehingga kamu tidak kaget, dan tidak butuh waktu lama untuk melupakanku? Kalau kauingin tahu, hal paling dingin di dunia ini bukanlah salju, tapi ketika aku merasa dilupakan oleh sosok yang sebenarnya aku cintai, namun dengan sangat terpaksa harus aku lepaskan. Mungkin, selama ini yang kautahu aku melepaskanmu karena juga menjalin hubungan dengan kekasih baruku yang sekarang, itupun benar-- tapi sesungguhnya aku melepaskanmu karena terpaksa. Ya, kamu tidak akan memahami ini semua, aku saja tidak mampu memahami keputusanku, apalagi kamu.

Kurasa, dunia ini sudah gila, semenjak tanpamu; hidupku makin berantakan. Begitu juga kuliahku, hatiku, perasaanku, dan pikiranku. Aku tidak pernah menyangka bahwa patah hati bisa sesakit ini, sementara sebagai pria yang ditutut agar tak menangis; aku harus menyembunyikan air mata dan aku tak tahu kapan semua ini akan berakhir. Kaca helmku semakin buram karena berkali-kali aku menghela napas, pikiranku kacau, dan laju sepeda motorku tak beraturan. 

Aku rindu pelukanmu yang duduk di belakang jok sepeda motorku. Aku rindu teriakan kecilmu ketika aku ngebut di jalanan Depok yang ramai. Aku rindu amarahmu ketika aku menerobos lampu merah kemudian kabur dari polisi yang telah melambaikan tangannya memanggil aku dan sepeda motorku. Aku rindu caramu yang kagok menaiki sepeda motorku yang tingginya lebih dari satu meter itu. Aku rindu suara kecilmu menyanyikan lagu Taylor Swift ketika bosan menunggu lampu merah berganti hijau.

Aku rindu mata bulatmu yang tajam dan penuh arti, mata indah yang kupandangi dengan mencuri bayangmu di kaca spion, ketika kamu membuka kaca helm karena kepanasan. Aku rindu mengantarmu sampai depan rumah. Aku rindu menjemputmu di kampusmu tercinta. Aku rindu menemanimu makan sate dan kebab. Aku rindu menjemputmu di stasiun kereta. Aku rindu kesederhanaanmu. Aku rindu suaramu. Aku rindu setiap inci tubuhmu yang dulu bisa aku pandangi kapanpun aku mau. Aku rindu rambutmu, hidung mancungmu, bibir tipismu, dan rahang tegasmu.

Aku rindu jemari kecilmu, jemari yang telah menghasilkan ratusan tulisan. Aku rindu tawamu. Aku rindu caramu menjelaskan apapun yang aku pertanyakan. Aku rindu amarahmu. Aku rindu pesan singkat, chat-mu, dan teleponmu. Aku rindu saat-saat kebersamaan kita. Aku rindu pelukmu. Aku rindu kecupmu. Aku rindu menemanimu menulis di MCD Cibinong. Aku rindu memakan ice cream sundae di sampingmu dan seperti biasa kamu merelakan sisa ice cream-mu untukku. 

Aku rindu menatapmu dari kaca spion, menatap gadis yang masih menunggu sepeda motorku hilang dari pandangan. Aku rindu caramu berterimakasih karena telah mengantarkanmu sampai depan rumah. Aku rindu apapun tentangmu dan aku tak tahu mengapa enam puluh hari tanpamu rasanya masih seneraka ketika pertama kali aku berusaha untuk membiarkanmu pergi.

Gadisku, aku pernah berpikir bahwa dengan membebaskanmu, maka itu bisa membuatmu bahagia; kalau boleh aku bertanya, apakah hidupmu kali ini sungguh bahagia? Biar aku tebak, tentu kamu sudah mendapatkan pria yang lebih baik dari aku. Pria yang tidak menggunakan sepeda motor Honda CBR, tetapi menggunakan mobil Honda Jazz. Pria yang berkuliah di universitas negeri terbaik, bukan  pria bodoh sepertiku yang terjerembab di universitas swasta. Pria seagama yang bisa mengantarmu sampai depan gereja atau bahkan ikut memasuki gereja, bukan pria penuh bualan seperti aku yang mengaku nasrani hanya karena tak ingin kamu pergi. Hidupmu tentu bahagia, novelmu mungkin sudah masuk buku kesembilan, dan kamu sudah berhasil melupakanku. Wahai gadisku, jika kamu memang sudah bahagia, bisakah kamu ajarkan caranya bahagia tanpa pernah merasa menyesal karena telah melepaskan milikku yang terbaik? Karena kamu yang terbaik, aku tak pernah tega untuk merusakmu. Dan, biarlah kita tetap sejauh ini, biarkan aku tidak bahagia dengan kekasih baruku, asalkan aku tahu kamu telah bahagia dengan kekasih barumu. Bukankah itu pengorbanan tertinggi dari cinta? Tapi, tahi kucing dengan pengorbaban yang bikin aku kesakitan ini!

Kini, aku sudah sampai di kamar kosku. Waktu sahur telah tiba. Aku mengganti baju, mencuci tangan, dan memakan bekal yang diberikan kekasih baruku. Setelah itu, aku meminum kopi kemudian kembali membakar satu batang rokok. Asap rokok yang aku masukkan ke dalam tenggorokan dan paru-paru memang tak begitu banyak, namun banyak kenangan tentangmu yang berputar di otakku, lalu aku embuskan asap rokok dengan embusan berat; seakan berusaha keras terlepas dari sisa-sisa luka. 

Aku tak perlu merasa heran lagi, ketika kali ini aku kembali memutar lagu-lagu Taylor Swift, hanya untuk membuatku merasakan kehadiranmu. Aku membayangkan suara Taylor Swift kali ini adalah suaramu, kamu sedang berbisik di telingaku, dan berkata bahwa kamu ingin memelukku sampai matahari lupa caranya terbit.

dari pria yang selalu merasa;
bahwa kehilangan kamu adalah dosa,
yang selalu berhasil membuat dia;
merasa seperti orang gila.

10 June 2015

MOVE ON!

Aku selalu bilang move on itu bukan hal yang mudah, kecuali kita punya niat yang kuat untuk meninggalkan masa lalu sehingga saat berjalan ke masa depan tidak merasa terbebani. Teman-teman juga pasti sudah baca cerita nyataku tentang #SerialTanpamu yang akan terus aku lanjutkan hingga akhir, hingga aku merasa luka dan patah hatiku telah sembuh. Well, setelah putus dan patah hati berhari-hari, aku akuin emang banyak hal yang berubah. Makan jadi nggak teratur, mikir yang nggak-nggak, keseringan nangis, dan bikin kulit wajah jadi kusam nggak karuan.

Hampir satu bulan sebenarnya dan entah mengapa luka hatiku masih terasa sama. Kayaknya baru kemarin cowok itu bilang “Kita sampe sini aja.” sehingga hari ini pun aku masih nangis nggak karuan. Supaya cepat move on salah satunya adalah berbagi cerita ke sahabat. Hal ini rutin aku lakukan bahkan sebelum aku mengalami patah hati, namun saat sedang patah hati malah makin sering curhat sama sahabat aku.

Selesai curhat, emang rutinitas kami adalah hangout dan makan siang bareng. Aku cuci muka dan ke kamar sahabat aku, mau sedikit dandan. Dia pake ngata-ngatain kalau semenjak putus muka aku jadi jelek banget, kusam, dan jerawatan. Sebel, dong, dibilang kayak gitu, tapi dia bilang mau menunjukan sesuatu ke aku, supaya wajah aku cerahan dikit dan cepat dapat pacar baru. Aku, sih, nggak mikir banyak, emang dasarnya dia baik, ya, pas dia nyuruh aku rebahan, aku ngikut aja.

Pas aku tiduran, ada gel yang tiba-tiba menyegarkan kulit aku. Nggak ngerti, ya, itu prosesnya namanya apa, pas sahabat aku memijat wajah aku beberapa menit, rasanya, tuh, kayak dipeluk sama cowok yang paling kamu sayang. Bahagia aja gitu. Sahabat aku nyuruh aku cuci muka lagi dan disuruh bercermin. Nggak percaya, lho, lihat muka aku di cermin, masa wajah kusam berminggu-minggu bisa cerah dan bersih dalam hitungan detik?

Aku langsung kepo, dong, sama temen aku. Dia nggak ngasih tahu, dia cuma ngasih kontak pemesanan gel yang dia pakaikan ke wajah aku. Yaudah, nggak mau kepo terlalu lama langsung aku pesan aja ke kontak yang sahabat aku bilang itu. Emang dasarnya aku yang kurang update kali, ya?
Gel itu ternyata namanya V10 Plus Water Based Peeling. Aku coba nanya sama Om Gugel ternyata produk ini udah nge-HITS banget, rahasia di balik kulit cerah artis-artis Indonesia yang tetap segar walaupun tanpa make up. Prilly Latuconsina, Jessica Iskandar, Nova Eliza, Masayu Anastasia, Jessica Mila, dan masih banyak lagi. Kalau artis saja sudah membuktikan, berarti memang produknya berkhasiat.

Oke fix, aku makin penasaran. Pas pesanan aku sampai, aku baca-baca keterangan produknya dan sejarah singkat V10 Plus ini. Nggak hanya di Indonesia yang nge-HITS, tapi di luar negeri produk ini udah menjamur banget, terkenal dengan hasil maksimal. Produk ini telah dipasarkan di Singapore, Hongkong, Malaysia, dan Jepang.

Sedangkan di Eropa, pemasaran prosuk meluas sampai Perancis, Spanyol, Denmark, dan Finlandia. Dari tahun 2005, V10 merilis 10 serum untuk mengatasi 10 masalah wajah. Ledakan produk membuat perusahaan makin semangat membuat produk baru, nah, tahun 2006 produk water based peeling dirilis. Tahun 2008 sampai 2009 juga ada produk baru yaitu masker wajah dan vitamin untuk wajah. V10 Plus ini juga telah mengantongi banyak penghargaan, total 13 penghargaan dan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Produk V10 Plus ini adalah produk terpilih yang digunakan dalam ajang Miss France 2015 yang di gelar  di Perancis. Tak hanya di Perancis, produk ini juga menjadi produk perawatan kulit resmi di ajang Miss Singapura 2013, Miss Scuba Singapura 2013, Mrs. Singapura dan Mrs. Singapura Klasik pada tahun 2014-2014. V10 Plus juga mengantongi penghargaan seperti:
  1. Singapore Top 25 Prestige Award 2014 dan Top 100 Singapore Excellence Award 2014 
  2. Majalah SimplyHer di Singapura juga memberikan penghargaan untuk produk V10 Plus yaitu Hyaluronic Acid, Ceremide, dan Collagen SerumSelain Singapura 
  3. V10 Plus juga mendapatkan penghargaan dari Filipina yaitu penghargaan Top Brand Asia 2014 Platinum, Global 2014 Excellence, dan Global Brand 2014
Produk V10 plus ini berasal dari Jepang dan tidak menyebabkan ketergantungan bagi pemakai. Kalau kamu pakai perawatan dokter, produk ini sangat mendukung untuk proses penyembuhan kulit wajah kamu yang jerawat, kusam, dan penuh dengan bekas jerawat. Buat kulit sensitif juga aman karena V10 Plus ini berbahan dasar air, jadi tanpa bahan kimia yang berbahaya bagi wajah. Produk ini jelas berbeda dengan produk-produk lain yang berbahan kimia, tidak aman untuk kulit, dan justru membuat pemakai ketergantungan.

Aku udah males percaya sama iklan-iklan bikin wajah ini itu, ternyata malah bikin wajah tambah rusak. Aku udah coba V10 Plus produk water based peeling-nya bener-bener bikin wajah bersih dalam waktu singkat, herbal, dan terbukti produknya. Aku sendiri udah cobain dan fungsinya banyak banget. Bisa mengangkat sel-sel kulit mati, mencegah timbulnya jerawat, membantu regenerasi kulit, membuat make up lebih tahan lama, meningkatkan daya serap kulit terhadap nutrisi perawatan wajah yang sedang kita gunakan, membantu menghilangkan komedo, mencerahkan dan menghaluskan kulit, mengurangi bekas jerawat, dan menyeimbangkan sekresi minyak pada wajah.

Gara-gara V10 Plus ini, aku sama sahabat aku punya hobi baru yaitu peeling wajah bareng habis kita curhat-curhat lucu. Aku dan sahabat aku juga lagi nungguin banget produk V10 Plus berupa 10 serum untuk mempercantik kulit wajah:
1.       V10 Plus Bio Cell Serum,
2.       V10 Plus Ceramide Serum,
3.       V10 Plus Collagen Serum,
4.       V10 Plus Hyaluronic Acid Serum,
5.       V10 Plus Amino Serum,
6.       V10 Plus Licorice Serum,
7.       V10 Plus Placenta Serum,
8.       V10 PlusPycnogenol Serum,
9.       V10 Plus Vitamin A Serum, dan
10.    V10 Plus Vitamin C Serum.


Kalau wajah udah segar dan makin cantik kayak gini, aku bener-bener siap menjalani hari-hari baruku, move on, dan melupakan sakitnya digantungin sama mantan aku. Daripada galau mending langsung pakai V10 Plus Water Based Peeling, harga benar-benar sesuai kualitas dan sesuai kantong. Aku udah membuktikan khasiatnya, sekarang giliran kamu! 

Kalau mau pesan, bisa langsung ke kontak di bawah ini, ya~

CS 1 :
BB Pin : 57B38808/56D323B8
SMS / Whatsapp : +6281286967999
LINE ID : v10plus_indonesia
WeChat : v10plus_indonesia


CS 2 :
BB Pin : 527DB818 / 515E81B4
SMS / Whatsapp : +6285719819888 
LINE ID : v10plus_indonesia2
WeChat : v10plus_indonesia2

Bisa juga segera pesan di Lazada: http://www.lazada.co.id/catalog/?q=v10+plus
Elevenia: V10 Perawatan Wajah


Jangan sampai kehabisan, ya, teman-teman! :) Kalau nggak serbu sekarang bakalan nyesel banget, lho~

06 June 2015

Empat puluh dua hari tanpamu

#SerialTanpamu


Hari ini entah sudah malam minggu keberapa yang aku lewati tanpamu. Aku membiasakan diri menghabiskan malam minggu dengan hal-hal yang tidak berkaitan denganmu. Jadi, atas dasar itu, malam ini aku memilih duduk di samping seorang pria, yang mengenakan kacamata, berhidung mancung, bermata sipit, bersuara merdu, dan sejak tadi mengikuti alunan lagu yang terdengar di radio. Dia duduk di kursi kemudi, mengendalikan mobil menuju tempat yang telah kami bicarakan. Aku mengenalnya beberapa hari yang lalu, kemudian kami memutuskan untuk menciptakan pertemuan untuk yang kedua kalinya.

Kalau kamu mau tahu, walaupun mungkin kamu tak ingin peduli, aku mengenal pria ini saat kami sama-sama ingin meminjam buku psikologi mengenai kepribadian manusia di Perpustakaan Daerah.  Aku menggunakan buku itu untuk melengkapi novelku dan pria yang terdaftar sebagai mahasiswa S2 di salah satu universita ternama itu memanfaatkan buku itu untuk kelengkapan tugasnya. Dari percakapan singkat, ternyata kenyamanan itu berujung pada pertemuan kita malam ini. Jujur, dia sangat mirip denganmu. Setiap melihat matanya yang sipit itu, selalu mengingatkan aku pada sosokmu. Setiap kali melihat cahaya yang berpendar di kacamatanya, aku turut mengingat kamu yang beberapa bulan lalu masih bisa kupandangi hanya dalam jarak beberapa senti. Sekarang? Aku dan kamu seperti Matahari dan Pluto, berjauhan dan mungkin tak akan pernah lagi bersentuhan.

Aku mendengar suaranya ketika menceritakan jurusan kuliah dan rumitnya tugas-tugas yang harus dia kerjakan, namun selama rentan waktu itu yang aku perhatikan sebenarnya hanyalah wajahnya, hanyalah cara dia tertawa, dan hanyalah cara dia mengungkapkan pikirannya dalam susunan kalimat. Dia adalah kamu, namun dia adalah versi yang lebih pintar darimu. Dia lebih bisa diandalkan, lebih dewasa, dan bisa dibilang lebih tahu cara memperlakukan wanita. Namun, kamupun tak kalah luar biasa. Apa luas biasanya kamu? Luar biasanya kamu adalah kamu masih punya tempat di hatiku, meskipun beberapa pria telah datang dan pergi ke dalam hidupku, entah mengapa kamu masih tetap berdiam di sudut hatiku.

Sudah sejak tadi sebenarnya, aku sibuk menahan air mataku, tak ingin aku merusak peristiwa malam ini, yang tentu saja secara normal bisa disebut kencan. Aku kita, dia menyadari itu semua, ternyata naluri psikiaternya muncul saat dia menanyakan kegelisahanku. Dia bertanya mengapa aku terus memandangi sosoknya dengan wajah khawatir. Pertanyaan itu aku jawab dengan enteng, karena dia sangat mirip denganmu, dan pria itu hanya tertawa hangat. 

Dia sudah tahu cerita tentang keretakan hubungan kita, aku yang menceritakan semua dengan bobot yang pas, tidak ada cerita yang dikurangi atau dilebih-lebihkan. Berkali-kali dia menyarankan aku agar segera melupakanmu karena hubungan kita yang hanya berusia tiga bulan itu masih terlalu sebentar dibandingkan dengan puluhan orang yang telah bertahun-tahun bersama, namun pada akhirnya memilih menyudahi semua. Apa yang dia katakan sama seperti yang semua orang katakan. Mereka bilang tiga bulan terlalu sebentar, aku pasti bisa sesegera mungkin melupakanmu. Ya, jelas saja mereka bisa berkata seperti itu, mereka tidak pernah tahu selama rentan tiga bulan itu ada banyak hal manis yang kita lalui berdua. Menurutku, sulit melupakan itu bukan soal waktu, tapi soal banyaknya kenangan yang telah tercipta bahkan dalam waktu yang singkat.

Dia masih terus menceramahiku, bahkan saat kami sedang mengantre tiket nonton di bioskop dalam Margocity. Dia menceramahiku, sambil menggenggam tanganku, menggandeng tanganku hingga kami berdua memasuki bioskop. Bukan memperhatikan film, aku kembali memperhatikan wajahnya, yang sekali lagi sangat mirip denganmu. Sayangnya, dia tidak berbicara dengan dialek Melayu-Bengkulu, kalaupun dia berbicara dengan dialek seperti itu, mungkin aku akan menangis dan meratap di depannya-- karena sosoknya sangat mengingatkan aku pada sosokmu.

Seusai menyelesaikan film, aku mengajak dia makan ketoprak dekat rumahku. Tempat itu dulu sebenarnya sangat ingin aku kunjungi bersamamu, tetapi hubungan kita telah lebih dulu putus sebelum aku sempat mengajakmu ke sana. Saat sedang makan ketoprak, dia menerima sebuah panggilan telepon, dan menjauh dariku. Sebenarnya, aku tak ingin percaya firasat hatiku sendiri, karena senyumnya ketika menatapku sama seperti senyummu ketika menatapku dulu; penuh cinta, penuh rasa peduli, dan penuh perhatian. 

Dia mengantarku pulang dan kami melewati jalanan yang masih padat kala itu. Beberapa kali dia mengajakku berbicara, namun tingkat fokusnya menurun drastis karena sejak tadi dia hanya memperhatikan ponselnya. Saat aku mengintip sesaat, di ponselnya terdapat foto seorang perempuan yang dijadikan wallpaper. Aku tidak cukup bodoh untuk menilai bahwa sosok itu penting, ditambah lagi kegelisahan yang dia tunjukan padaku, didukung dengan cara dia menerima telepon sambil menjauhi sosokku. Ya, bertambah satu lagi pria brengsek yang masuk dalam hidupku.

Ketika aku menuruni mobilnya, aku melambaikan tangan, kemudian tersenyum ramah. Dia membalas senyum itu dari balik jendela mobil. Aku membiarkan mobilnya pergi begitu saja tanpa memperhatikan apakah mobil itu telah menjauh dan manaiki tanjakan di dekat rumahku. Lagipula, mobil itu bukan sepeda motormu, lagipula pengendara mobil itu bukan sosokmu, jadi aku tak perlau merasa kehilangan apapun saat kendaraan itu menjauh dan menghilang. 

Aku masih di depan pagar rumahku, sesegera mungkin mengambil ponselku, kemudian menghapus kontak pria itu. Aku tidak ingin menambah daftar panjang pria-pria yang datang, menyakitiku, lalu pergi tanpa merasa bersalah. Suduh cukup rasanya empat puluh dua hari tersiksa sendiri karena rasa patah hati yang kau berikan padaku. Sudah cukup rasanya menangis diam-diam karena sakit hati yang entah mengapa kian hari makin parah. Sudah cukup rasanya menangisi sosok yang tidak peka sepertimu.

Empat puluh dua hari tanpamu, dan aku masih tidak tahu cara agar tidak merindukan pelukmu, agar tak merindukan suaramu, agar tak merindukan dialek Melayu-Bengkulumu.

dari perempuan
yang masih sering merindukanmu.

05 June 2015

Empat puluh satu hari tanpamu

#SerialTanpamu

Baca sebelumnya: Empat puluh hari tanpamu

Kelas Yoga yang aku ikuti berakhir pukul sembilan malam, sesegera mungkin aku mengganti bajuku, dan segera mencari taksi di jalan sekitaran Margonda. Malam ini, langit Depok bisa dibilang cerah, banyak bintang bertebaran, dan sesekali angin sepoi-sepoi bertiup mesra. Taksi yang aku naiki berjalan tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat, aku memperhatikan jalanan Depok yang masih belum sepi dan terlihat ramai. Dari jendela taksi, bisa kulihat rumah makan kecil tempat dulu kita sering makan sate berdua. Rumah makan itu telah terbakar entah dengan sebab apa, yang kulihat hanya ada garis kuning polisi yang mengelilingi bangunan kecil itu. Lalu, beberapa menit kemudian, kulihat gang kecil tempat kampusmu berada. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah menunggumu dengan cemas karena kamu  mengeluh gigimu sakit dan kamu tak bisa menjalankan aktivitasmu. Ya, semua kenangan itu masih segar dan hangat di otakku.

Aku sampai di lampu merah Juanda. Ingat apa yang terjadi di lampu merah ini beberapa bulan yang lalu? Saat detik lampu merah masih menunjukan waktu enam puluh detik, kamu pernah menarik kencang gas sepeda motor Honda CBR-mu dan puluhan mata segera memelototimu. Dengan pukulan manja, aku menyentuh bahumu, kamu tertawa dari balik helm, dan memperhatikan aku yang sedikit kesal dari kaca spion. Tidak berhenti di situ, kamu tiba-tiba menyanyikan lagu Taylor Swift yang berjudul 22, dengan suara lantang. Aku tidak dapat lagi menahan malu, kucubit pinggangmu, dan cubitan itu kausambut dengan tawa yang kencang. Saat lampu merah berganti lampu hijau, kamu menjalankan sepeda motormu dengan kecepatan ekstra, dan menertawai wajahku yang ketakutan saat memelukmu dari belakang. Diam-diam, aku tertawa dalam hati, kapan semua hal bodoh itu terjadi lagi?

Taksi yang aku naiki perlahan melaju menuju daerah Citayam. Aku turut melewati tempat kita biasa membeli kebab. Aku meminta supir taksi berhenti sesat di pinggir jalan karena aku ingin membeli kebab itu untuk orang rumah. Sang pembuat kebab menyapaku dengan ramah dan aku menyebutkan pesanan yang ingin aku beli. Dalam anggukan mantap, dia menanyakan kehadiranku yang sendirian, bahkan dia turut menanyakan pria yang menaiki sepeda motor dengan modifikasi seperti sepeda motor yang dinaiki pembalap Marquez, serba warna oranye dan merah; intinya, dia menanyakan kamu, Bang. Pertanyaan itu aku jawab dengan jawaban seadanya, dengan kebohongan yang tidak akan menyakitiku atau mengangetkan sang penjual kebab. Aku berkata kamu sedang sibuk dan aku terpaksa pulang menaiki taksi. Pembuat kebab itu hanya menanggapi dengan senyum, kemudian membuat kebab yang aku pesan, dan aku duduk menunggu pesanan di bangku yang dulu kita duduki.

Beberapa bulan yang lalu, sambil mendengar suara aliran Sungai Ciliwung dan suara kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar kita, saat itu kamu menceritakan candaan khasmu yang kamu ungkapkan dengan dialek Melayu-Bengkulu. Aku tertawa terpingkal-pingkal ketika melihatmu sedang melucu dengan wajah yang datar dan bingung. Kenapa kamu bisa membuatku bahagia bahkan dalam suasana yang begitu sederhana? Saat itu, aku memperhatikan wajahmu dan bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku akan seutuhnya membahagiakanmu. Sayangnya, janji itu terpaksa aku pendam sendiri karena empat puluh satu hari yang lalu; kamu telah memutuskan untuk pergi.

Aku sibuk memikirkanmu, bahkan aku tak tahu bahwa kebab yang kupesan telah selesai dibuat. Kubayar pesanan itu, tersenyum ramah kepada sang pembuat kebab, kemudian menaiki taksi yang sejak tadi menungguku. Taksi mulai memasuki jalan sekitaran Stasiun Citayam yang padat dengan sepeda motor juga mobil. Jalanan sempit itu dipenuhi oleh penumpang yang baru turun dari kereta.

Aku melihat jalan sekitar Stasiun Citayam, jalanan yang begitu akrab denganku, jalanan yang hampir setiap hari aku lewati, dan menyisakan kenangan yang tidak kamu pahami, Bang. Setiap melewati jalan ini, kamu selalu memintaku untuk meletakan tasku di depan tubuhmu dan mengencangkan pelukku di pinggangmu. Sepeda motormu yang agak besar itu cukup lihai untuk menyalip dan melewati beberapa kendaraan di depannya. Kita sama-sama menghela napas lega ketika berhasil melewati jalan itu. Sepeda motormu yang besar itu sebenarnya selalu membuatku ketakutan, aku bisa jatuh kapan pun, aku bisa terlempar dari sana kapan pun, namun entah mengapa ketika memelukmu-- seluruh bahaya dan ketakutan seakan sirna.

Kejadian itu memang tak akan pernah terulang. Lihatlah aku sekarang, aku tidak sedang duduk di atas sepeda motormu. Aku duduk di taksi, dengan pendingin mobil yang lumayan dingin, dan tak mendengar suara bising dari knalpot sepeda motormu. Semua sudah berbeda dan tak ada gunanya mengingat hal-hal yang tidak akan terulang lagi. 

Tidak terasa, aku telah sampai di rumah. Aku membayar tarif taksi dan mengambil semua barangku. Taksi telah pergi sementara aku masih di depan pagar rumahku. Aku terdiam beberapa saat sebelum memasuki rumah. Beberapa detik kemudian, aku menatap tanjakan yang ada di dekat rumahku. Dulu, rutinitas sebelum aku masuk ke rumah adalah aku harus memastikanmu hilang dari pandangan, berkali-kali aku menatap tanjakan di dekat rumahku hingga sepeda motormu tak lagi terlihat.

Aku tahu, sepeda motormu sekarang tidak akan pernah terlihat lagi di depan rumahku, dan tidak akan pernah muncul di tanjakan itu. Tapi, entah mengapa, aku masih berharap kamu ada di sana. Aku masih berharap bisa mendengar suara knalpot sepeda motormu yang bising. Entah mengapa, aku masih berharap bisa menatap punggungmu yang menjauh dari pandangan. Entah mengapa, aku masih berharap bahwa kata pisah yang kamu ucapkan hanyalah candaan, dan sesegera mungkin kamu akan tiba-tiba hadir di depan rumahku, memakai kemeja yang membuatmu terlihat semakin tampan, dan menghadiahkanku sebuah pelukan karena selama empat puluh satu hari ini; aku telah bertahan.

Tapi, masa iya, sih, becanda bisa sampai empat puluh satu hari? Terlalu lama untuk ukuran becanda. Namun, kalaupun perpisahan kita ini sungguh hal yang nyata, setidaknya aku masih ingin berharap bisa memelukmu semalam suntuk. Tak apa jika semalam suntuk kamu merokok habis-habisan, tak apa aku sesak napas karena asap rokokmu yang terbang membabi-buta di dekatku, tak apa jika aku harus masker rambut ke salon karena rambutku yang jadi bau tak sedap akibat asap rokokmu, tak apa jika kamu mau melakukan hal sesukamu-- asalkan aku bisa terus memelukmu, kapanpun aku mau.


dari perempuan,
yang hidupnya berhasil kaubuat--
berantakan.

Baca selanjutnya: Empat puluh dua hari tanpamu

04 June 2015

Empat puluh hari tanpamu

#SerialTanpamu


Aku menulis novel kedelapanku sambil mendengar Sam Smith meratap di lagu Lay Me Down. Entah mengapa lirik lagu ini membuat aku merasa perlu diam beberapa saat dan tiba-tiba memikirkanmu. Ingatanku memutar ulang kenangan-kenangan kita dulu, kamu selalu meneleponku sebelum aku menulis novel, pernah beberapa kali aku membentakmu karena kamu menghubungiku di saat yang tidak tepat. Bentakan itu hanya kaubalas dengan kata maaf dan setelah itu entah mengapa aku merasa bersalah, esok harinya aku menemuimu dan meminta maaf, lalu hubungan kita kembali baik-baik saja. Ah, seandainya berakhirnya hubungan kita kemarin bisa teratasi hanya dengan kata maaf dan pertemuan, rasa-rasanya aku ingin melakukan dua hal itu agar bisa mengembalikanmu ke dalam duniaku, walaupun memilikimu kembali adalah hal yang mustahil. 

Apa kabarmu hari ini? Aku selalu berharap kamu baik-baik saja, meskipun saat mengingat kamu pernah begitu menyakitiku, kadang aku pun juga berpikir lebih baik kamu mati saja dimakan gorila, dan khayalan tentangmu di otakku semakin hari semakin aneh saja. Aku mau cerita sedikit mengenai sahabatmu yang di Bengkulu itu, dia selalu menceritakan kabarmu padahal aku tidak menanyakan apapun. Ya, hingga saat ini seluruh dunia masih menganggap aku sangat terluka dan sangat terpuruk. Lukaku memang tak sepenuhnya sembuh, tapi aku yakin akan ada saatnya semua berubah jadi baik-baik saja, dan aku tak perlu menyesali pertemuan kita, apalagi menyesali semua kebohonganmu padaku.

Agar luka itu tak makin parah, aku mencoba untuk tak mencari tahu tentangmu. Namun, sahabatmu selalu bercerita tentangmu, menceritakan betapa bahagianya hubunganmu dengan kekasih barumu. Aku menanggapi cerita itu dengan santai, memangnya apa urusannya denganku jika kamu telah bahagia bersama kekasih barumu? Dan, apakah aku harus merasa tersiksa dan kembali meratapi perpisahan kita? Masa-masa itu sudah terlampau lewat dan untuk saat-saat ini memang aku masih sering merindukanmu, tetapi yang aku lakukan hanya satu, diam dan tak peduli. Diam membuatku tak perlu banyak memikirkanmu dan tak peduli membuatku tidak lagi sakit hati. Bukankah perhatian terlalu banyak hanya akan menghasilkan luka yang sama banyaknya juga?

Sam Smith masih terus berbisik di telingaku dengan lagu yang terus aku ulang. Mungkin, malam ini akan sangat menyenangkan jika aku bisa bersandar beberapa saat saja di lenganmu. Mungkin, malam ini aku akan merasa tenang menulis bab-bab dalam novelku jika beberapa menit saja bisa bertemu denganmu. Tapi, bukankah itu semua tak mungkin lagi aku lakukan? Kamu telah seutuhnya bahagia dan aku tak perlu menganggu kebahagiaanmu yang sekarang.

Harusnya, Bang, Adek juga sudah bahagia seperti Abang, tapi kenapa, ya, Bang, sekarang mencari bahagia itu sangat sulit? Adek diajak sarapan dengan pria dari fakultas sebelah, kami bercanda dan tertawa, namun tak ada kehangatan apapun yang Adek rasakan. Siangnya, Adek menyantap makan siang bersama seorang pria yang jauh-jauh datang dari Bogor, anak IPB jurusan teknik sipil dan lingkungan, namun tak ada hal yang spesial bagi Adek. Banyak pria datang dan pergi, tetapi entah mengapa hingga saat ini belum ada pria yang seperti Abang. Salahkah jika aku selalu berharap ada pria yang seperti kamu, sikapnya mirip denganmu, punya motor Honda CBR juga seperti motormu, berbicara dengan dialek Melayu-Bengkulu juga, berkuliah di kampus seperti kampusmu, berkuliah di jurusan yang sama sepertimu. Adakah pria yang sangat mirip denganmu yang bisa aku miliki seutuhnya dan tidak akan menyakitiku seperti kamu menyakitimu? Oke, pertanyaan ini memang bodoh, tapi aku kangen kamu. Dan, inti dari tulisan berantakan ini adalah aku mau ketemu kamu.

Kamu boleh bilang aku labil, di atas aku seperti perempuan kuat, lalu kemudian aku kembali terlihat lemah. Mengapa aku harus repot-repot berdrama menjadi perempuan paling kuat sedunia sementara seluruh dunia juga tahu ditinggal saat sedang cinta-cintanya adalah salah satu hal yang bisa membuatmu lupa bahwa hidup harus kembali dijalani dengan normal lagi? Bagaimana aku merasa ini semua bisa berjalan dengan normal sementara normal dalam ukuranku adalah tetap di sampingmu dan tetap menggandeng tanganmu? Dan, aku sekarang sedang berusaha sekuat tenaga untuk mengubah anggapan bahwa normalku tak berhubungan denganmu. Butuh waktu? Iya, semua cuma soal waktu, tapi aku pun juga tak tahu sampai kapan harus merasa tersiksa seperti ini.

Jika waktu bisa diputar ulang, aku tentu akan menolak uluran tanganmu saat menyebut nama. Jika waktu bisa diputar ulang, aku akan menolak perkenalan yang kamu tawarkan. Jika tahu akhir cerita kita akan sesedih ini, lebih baik aku tak pernah memulai semua, tak perlu tahu lagi tentangmu, dan tak perlu membalas semua chat-mu kala itu. Jika tahu kamu akan pergi secepat ini, aku tentu tidak akan pernah berkata iya saat kamu menyatakan cinta.

Maaf, untuk segala tulisan tak masuk akal yang aku tulis tentangmu, untuk segala pertanyaan yang tak pernah ada jawaban, dan untuk segala perasaan yang harusnya tak lagi ada. Maaf , jika aku masih saja menulis tentangmu meskipun hubungan kita telah berakhir. 

Dengan menulis, aku merasa kamu masih hidup dalam duniaku. Dengan menulis, aku bisa memelukmu sepuas yang aku bisa. Dengan menulis, aku bisa memilikimu tanpa banyak larangan. Dengan menulis, aku bisa terus memandangimu, menganggap semua perpisahan ini tak pernah terjadi, berandai bahwa kamu sedang di depanku-- merokok saja sepuasmu. Aku tidak akan memarahimu, asal kamu tidak pergi dari hidupku. Nonton anime saja sepuasmu, lakukan sesukamu, tapi tolong jangan tinggalkan aku dengan perasaan remuk dan hancur. Main game online saja sesering yang kamu mau, asal kamu tetap di sini bersamaku.

Sam Smith masih menyanyikan lagu yang sama, sementara aku masih menyimpan rindu yang sama padamu. Ya, aku memang bodoh; bodoh level lima, tolol level tiga, norak level dua. Tapi, dengan kebodohan ini, dulu aku pernah tahu rasanya dicintai dengan sederhana olehmu. Kesederhanaan yang membuatku bahagia pernah menjadi milikmu, walaupun semua singkat.


dari perempuan,
yang mensyukuri kebodohannya,
namun menyesali rasa cintanya,
yang begitu besar padamu.


03 June 2015

Tiga puluh sembilan hari tanpamu

#SerialTanpamu

Baca sebelumnya: Tiga puluh empat hari setelah perpisahan kita

Hubungan yang berakhir tanpa penjelasan tidak pernah sebahagia hubungan yang berakhir karena adalah alasan dan penjelasan. Namun, tidak dapat dipungkiri, perpisahan yang beralasan ataupun tidak beralasan sama-sama menimbulkan rasa sakit yang sama bukan? Meskipun banyak orang bilang cinta itu tanpa alasan, apakah berarti perpisahan yang terjadi harus juga tanpa alasan?

Aku tidak tahu, semua orang merasa kasihan padaku karena ditinggalkan olehmu, padahal selama ini yang aku rasakan adalah kita memang ada dalam satu titik di mana keduanya harus saling melepaskan. Tak ada yang meninggalkan lebih dulu, hanya saja kamu tidak cukup kuat untuk berjuang lebih keras lagi, makanya kamu memilih menyerah dan melepaskanku.

Sudah tiga puluh sembilan hari sejak kamu pergi, dan aku masih terus mencari alasan paling masuk akal, paling positif, yang bisa aku cerna dengan akal sehatku mengenai berakhirnya hubungan kita. Kalau kamu mau tahu, hal itu tidak mudah. Hari-hari tanpamu adalah neraka yang sebenarnya tidak pernah ingin kusentuh, namun terpaksa aku menjalani semua, dengan air mata yang kusimpan sendirian; air mata yang tak akan pernah kamu pahami.

Berat rasanya harus menerima kenyataan bahwa kamu tidak lagi menyapaku lewat chat setiap pagi, berat rasanya harus membiasakan diri tidak lagi mendengar suaramu melalui telepon kita saat malam hari, berat rasanya meyakinkan diriku bahwa kita tak akan bertemu lagi, berat rasanya tidak melihat sepeda motor Honda CBR-mu yang terparkir di depan kampusku ketika kamu menjemputku, berat rasanya tidak lagi mendengar ocehan dengan dialek Melayu Bengkulu-mu yang sangat khas itu, berat rasanya tidak mendengar leluconmu dalam telepon ataupun dalam pertemuan nyata, berat rasanya harus menerima kenyataan bahwa kita tak lagi dapat bergandengan tangan.

Kamu tidak akan pernah mengerti ini semua, kalaupun kamu mengerti dan membaca ini, tentu kamu akan tertawa sangat kencang, menganggap semua berlebihan, kemudian mengabaikan kehancuranku. Kalau boleh jujur, aku sangat remuk hingga saat ini, dan seluruh dunia seakan tak paham apa yang aku rasakan. Entah mengapa setiap hal yang aku lakukan selalu membuatku mengingat sosokmu.

Aku tidak bisa melupakan tatapan mata itu, dalamnya sorot matamu, juga tetesan air mata yang kupikir tulus. Saat aku pernah memutuskan untuk pergi, kamu menahanku untuk tetap mempertahankan ini semua. Dan, aku tak percaya, sekarang kita telah berubah jadi dua orang yang mengasingkan diri, menganggap tak ada hal yang pernah terjadi. Selama ini, aku selalu menyalahkan diriku, ini semua karmaku. Aku tidak menjagamu, ketika kamu seutuhnya menjagaku. Aku tidak menggenggammu, ketika kamu mati-matian menggenggamku. Atau mungkin ini salah kita berdua? Kamu tak pernah mengenalkan aku pada duniamu, pada teman-temanmu, sehingga aku tak pernah sadar bahwa selama ini— aku telah kamu sembunyikan.

Memang, harusnya aku sadar. Jika kamu tak pernah memamerkan hubungan kita, berarti ada seseorang yang lain yang hatinya sedang kamu jaga. Jika kamu tak pernah mengenalkanku pada duniamu, berarti ada seseorang lain yang telah lebih dulu ada dalam duniamu. Bodohnya, aku baru menyadari ini semua justru di akhir. Aku menyesal telah bersalah padamu, karena saat menggenggam jemarimu, aku juga menggenggam jemari yang lain. Berkali-kali aku menyalahkan diri, berkali-kali aku mengutuk diriku sendiri, kupikir ini semua karma yang harus aku dapatkan. Tapi, setelah tahu kamu begitu mudah memulai hubungan yang baru ketika kita berpisah, rasa-rasanya hubungan kita yang terlihat serius namun sebenarnya main-main ini mempunyai karmanya masing-masing. Aku kena getahnya, kamu kena batunya. Dan, aku sangat optimis, berakhirnya hubungan ini tak hanya menyakitiku, namun turut menyakitimu— menyakiti kita berdua.

Inilah yang aku pelajari selama perpisahan kita terjadi. Meskipun rasanya berat melihat punggungmu menjauh, meskipun rasanya sulit melepaskanmu pergi, meskipun rasanya aku tak mampu melewati ini semua, tapi aku dipaksa harus sanggup. Aku dipaksa untuk melupakanmu. Aku dipaksa terbiasa tanpamu.

Dan, ya, aku harus terbiasa tanpamu, Bang.  Menulis novel dengan normal, menulis cerpen dengan normal, membalas curhatan pembacaku dengan normal. Senormal yang aku bisa, pelan-pelan aku bisa mengikhlaskan semua. Pelan-pelan aku akan menganggap perpisahan ini adalah wujud Tuhan mencintaiku dan tak ingin mempertemukanku dengan orang yang salah sepertimu. Pelan-pelan, kenangan tentangmu akan terkubur dan tergantikan dengan peristiwa yang lebih bahagia.


Pelan-pelan, ketika mendengar namamu, aku tak akan lagi merasa terluka.

dari perempuan
yang selalu gagal melupakanmu.


Baca selanjutnya: Empat puluh hari tanpamu