26 June 2019

Gol Pertamamu

Aku senang mengetahui bahwa kamu baik-baik saja di sana. Aku bahagia ketika melihat kamu dalam kondisi paling prima. Meskipun ratusan jarak melampaui akal sehatku untuk memelukmu, setidaknya aku percaya; kita masih bisa saling berpeluk dalam doa.

Hey, apa kabarmu? Aku rasa, jika kita masih bersama, tentu aku dan kamu sudah tersiksa dengan rindu yang sama beratnya. Untungnya, kita sudah tidak lagi jalan beriringan, sehingga kamu bisa mengejar mimpimu, dan aku di sini bisa serius menjalani cita-citaku.

Aku berharap, kamu bisa meletakan hatimu di kota Bumi Manuntung itu. Gol pertamamu di tim kebanggaan barumu telah cukup menjadi bukti, hatimu telah kamu berikan sepenuhnya untuk tim kebanggaanmu.

Tentu berat untukmu, terseok-seok dari satu kota ke kota lain hanya agar bisa menembus mimpi-mimpimu. Aku tahu, menjadi dirimu bukanlah hal yang mudah. Tapi, percayalah, tetes-tetes doaku selalu berjalan mengikuti detak langkahmu.

Dalam diam, aku pun setengah berharap. Mungkinkah kamu akan segera kembali ke tim kebanggaan Ibu Kota itu? Agar, ya, kalau boleh sedikit berandai-andai, supaya aku dan kamu bisa mengulang "kita" yang dulu pernah ada.

Kita dulu pernah begitu sempurna. Aku dan kamu yang saling mengalirkan tawa. Kamu yang memelukku dalam derasnya hujan sebelum kita memasuki McD di PGC Cilitan, kala itu. Kamu yang melempar senyum ke arahku setiap kali aku menungguimu latihan sepak bola di Lapangan Sutasoma, Halim Perdanakusumah. Atau, kamu yang membisikan setiap inci kata cinta di telingaku.

Haha. Aku pernah begitu bahagia ketika bersamamu. Dan, kamu pernah begitu menangis, ketika kamu harus meninggalkan Jakarta untuk kembali ke kotamu tidak jauh dari Makassar sana. Sayangku, apa arti dari seluruh air matamu?

Apakah itu artinya, kita diam-diam masih saling merindukan?

- dari penulis yang menemanimu menonton Pengabdi Setan.

19 February 2019

Aku Rindu Pelukmu

Hey, apa kabar kamu? 

Aku tidak tahu, tulisanku tentang kerinduanku terhadap tatapan matamu ternyata meraup perhatian dari banyak orang. Kemarin, mereka kerap menebak siapa dirimu. Seluruh DM Instagram-ku penuh dengan tebakan siapa namamu, di posisi mana kamu bermain di tim sepak bola kesayanganku, bahkan berusaha mencari tahu nomor punggungmu. Ah, biarlah segalanya menjadi rahasia kita berdua. Biarkan kisah yang tidak pernah terjamah ini tersimpan rapat hanya di benakku. Karena, aku tahu, di hatimu; kisah kita mungkin tidak pernah ada.

Ketika menulis ini, aku mendengarkan lagu Chasing Stars. Lagu asli milik Snow Patrol yang dinyanyikan cover oleh Chase Eagleson. Masih ingatkah kamu dengan lagu ini? Sewaktu workshop penulisan novel di Semarang, aku tidak sengaja mendengar lagu ini, sebagai lagu yang mengalun ketika aku menyetel televisi di hotel. Setelah aku bercerita mengenai lagu ini, kamu ternyata langsung mendengarkan lagunya. Dan, reaksimu, sungguh menenangkan buatku. Kamu turut menyukai lagu ini.

Saat-saat itu, adalah saat bahagia bagiku. Karena aku dan kamu masih ada dalam keadaan baik-baik saja. Aku bahkan sering menyusulmu ke Lapangan Sutasoma, hanya sekadar untuk menyaksikan kamu latihan sore. Itupun atas permintaan dan izinmu.

Kamu ingat? Saat latihan sore, kamu berlatih untuk menendang ke gawang. Gol yang kamu ciptakan turut spektakuler di mataku. Ratusan tepuk tangan berhasil kamu raup dari seluruh fansmu. Aku tidak mengerti, mengapa setelah mencetak gol, kamu langsung berlari ke arahku, dan tersenyum sesaat. Sungguh, aku tidak bisa melupakan tatapan itu. Senyummu terlanjur masuk menjadi racun dalam darahku. Dan, aku tidak menemukan penawarnya agar aku bebas dari rasa mabuk kepayang terhadap sosokmu.

Seusai latihan sore, kamu memintaku menunggu di gerbang belakang mesmu. Beberapa menit kemudian, kamu muncul dengan keringat yang masih tersisa di pelipismu. Aku tidak mengerti, mengapa detik itu, kamu langsung memelukku. Jemarimu kerap menyentuh setiap helai rambutku. Tidak ada kalimat apapun yang terlontar dari bibir kita. Tapi, detak jantungmu, helaan napasmu, sentuhanmu; sudah cukup menjawab segalanya. Kamu ternyata menyimpan rindu yang sama, seperti rindu yang aku punya.

Malam itu, masih jadi malam yang terindah buatku. Bahkan, hingga saat ini, aku masih ingat, seberapa erat pelukmu menahanku untuk tidak segera pulang ke rumah. Tidak bisakah hal itu kembali terulang? Tidak bisakah detik bergerak mundur, hingga aku tidak pernah kehilangan kamu? Tidak bisakah kenangan kita kembali terjadi lagi, hingga aku tidak pernah merasakan perihnya perpisahan?

Tidak ada yang tahu, seberapa jauh aku dan kamu telah melangkah. Segalanya kita simpan rapat-rapat berdua. Segalanya aku simpan dalam diam semata. Hingga puncaknya, aku terpaksa harus kehilangan kamu.

**

Sudah baca sebelumnya di Aku Rindu Tatapanmu? Baca "Aku Rindu Tatapanmu" >> di sini
 
Tuh, kan, nangis bacanya :') Sudah baca novel #TidakPernahAdaKita, siapa tahu tangismu bisa melegakan perasaanmu. Pembelian novel #TidakPernahAdaKita di Whatsapp, silakan klik >> di sini

17 February 2019

Aku Rindu Tatapanmu

Hey, kamu apa kabar? Sudah lama sekali aku tidak mendengar kabarmu. Nomormu sudah berubah, sama seperti hatimu yang kini sudah berubah. Dan, haruskah aku menerima kenyataan itu?

Tidak ada kabar terbaru yang aku ketahui darimu. Yang aku dengar kemarin hanya soal kakakmu, dia  bermasalah dengan suporter yang tidak sengaja dia pukul ketika pertandingan timnya berlangsung. Dari ruang Instagram, aku membaca tulisan kakakmu. Tulisan kakakmu itu tak sengaja muncul di explore. Ya, secara tak sengaja juga, aku kembali mengingatmu.

Ada ribuan memori di kepalaku yang seluruhnya bercerita tentangmu. Lucunya, tadi sore aku baru saja selesai menyaksikan tim kebanggaanku berlaga. Dari tempat duduk VVIP, aku melihat seorang pria yang berfoto dengan jersey yang pernah kamu gunakan. Dengan nama yang sama. Dengan nomor punggung yang sama. Di dalam kepala, aku bertanya-tanya, "Apa maksudnya ini semua?"

Aku tersentak menatap pria itu, yang aku kira kamu. Tapi, aku juga tahu, itu tentu bukan kamu. Kamu sekarang entah berada di mana. Kamu sekarang hilang dan dalam rasa rinduku; sering kali aku melihat sisa fotomu. Sisa foto berdua kita.

Kamu ingat? Kita berdua, dengan bodohnya, pernah menangis di McD PGC Cililitan. Tangisan tanpa suara, tapi sama-sama memerah di mata. Aku menangis karena melihat kamu lebih dulu menangis. Matamu berair, napasmu pelan, satu-satu kamu hela dengan berat. 

Katamu, kamu tidak siap jika harus kembali ke Makassar. Padahal, kepulanganmu ke Makassar adalah untuk menemui seluruh keluargamu. Hey, kamu akan liburan! Tidak akan ada latihan pagi dan sore yang mendera harimu. Tidak ada ujian berat setiap harinya yang akan kamu terima dari pelatihmu. Tapi, arti pulang ke kotamu berarti tandanya meninggalkan aku yang ada di Jakarta.

Kita berdua sama-sama menangis. Dua orang bodoh yang tidak terikat status apa-apa, tapi saling memeluk dan memanggil sayang, saling menangisi dalam diam. Aku dan kamu ternyata turut menyimpan rahasia masing-masing. Kamu dengan perasaan yang tidak pernah aku ketahui. Dan, aku, dengan cinta yang tidak pernah aku ungkapkan padamu.

Aku rindu tatapanmu, seperti kamu menatapku, dengan sisa-sisa air mata yang kamu tahan dengan begitu terpaksa. Aku rindu tatapanmu, seperti saat kamu menatapku di McD PGC saat satu hari sebelum kepulanganmu ke Makassar.

Andai waktu bisa aku putar ulang. Aku hanya ingin menatapmu, lebih lama, jauh lebih lama, agar kamu pun tahu; pergimu adalah tangis paling diam yang hingga sekarang masih aku sembunyikan.

Aku merindukanmu. Maaf.

**

Sudah baca "Aku Rindu Pelukanmu" belum? Kalau belum, baca >> di sini

Tuh, kan, nangis bacanya :') Sudah baca novel #TidakPernahAdaKita, siapa tahu tangismu bisa melegakan perasaanmu. Pembelian novel #TidakPernahAdaKita di Whatsapp, silakan klik >> di sini