23 December 2013

Sebelum Kita Berpisah

Insiden semalam cukup membuatku terpukul. Sebenarnya hanya peristiwa sederhana, kamu tidak mengangkat panggilan teleponku karena ketiduran, namun entah mengapa sinyal yang semakin ingin kutolak itu akhirnya terasa juga. Semoga ini bukan pertanda bahwa kamu bukan lagi pria yang kukenal. Aku belum tahu apakah semua perubahanmu hanya karena kamu telah bosan denganku yang selama ini tak mengirimkan tanda atau mungkin kamu sudah menemukan wanita lain yang bisa membuatmu merasa nyaman dan utuh.

Aku berusaha diam dan hanya bisa mengamatimu, pertemuan kita terakhir sudah jadi alasanku merasa sedih beberapa hari ini. Kita jarang bertemu dan tentu kautahu jarak kita yang sangat jauh membuat aku dan kamu jarang-jarang bertatap muka dan mata. Tapi, kamu sia-siakan waktu pertemuan kita sambil berbicara dengan rekan-rekanmu yang lain, lalu kamu asik dengan ponsel yang selalu ada dalam genggamanmu. Entah dengan jemarimu itu kausedang bercakap dengan siapa.

Selama ini aku mencoba tak bicara, aku mencoba menerima bahwa kita kini tak lagi sama. Perbedaan itu semakin terasa, ketika kaumulai berbicara soal wanita-wanita berjilbab yang mencuri  perhatianmu. Kamu tak tahu betapa saat itu perasaanku sangat terpukul dan aku tak tahu selama ini kauartikan apa kebersamaan kita yang menginjak satu tahun dua bulan ini. Maksudku, apa kamu berusaha memberiku sinyal bahwa kamu meminta aku menjauh dan tak lagi berharap kita bisa sedekat dulu lagi. Apa kauingin aku memahami, bahwa kekuranganku yang tak bisa menemanimu lima waktu itu adalah kesalahan yang harus kusadari?

Gara-gara menulis ini, aku kembali mengingat awal perkenalan kita yang manis, yang melupakan jauhnya jarak dan segala perbedaan. Ini salahku, tentu, saat itu kamu sedang cinta-cintanya denganku, namun aku malah asik dengan pria lain di luar sana yang bagiku terlihat menarik. Aku mengabaikanmu, aku tak ingin dengar bisikkan cintamu, lalu kita menjalin hubungan dengan status yang entah harus disebut apa. Sejujurnya, aku tahu dari awal kamu tak dekat dengan siapapun kecuali aku, tapi aku tak mau hargai kesetiaanmu, aku malah membagi hati pada pria-pria yang bibirnya manis dan pandai menenggelamkan aku pada harapan palsu. Aku sadar bahwa perubahanmu adalah kesalahan yang harusnya kusadari sejak awal, tololnya aku baru menyadari semua ini ketika tiba-tiba kamu berubah jadi pria yang sangat berani, pria yang tak ingin kutindas lagi, pria yang mungkin suatu hari nanti akan meninggalkanku tanpa basa-basi.

Setiap mengingat ini, rasanya aku ingin menangis. Aku baru sadar bahwa ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku baru menyadari betapa kamu mencintaiku justru saat kamu telah berubah jadi seseorang yang tak lagi terlihat mencintaiku. Saat pria-pria itu pergi, akhirnya aku tahu ternyata selama ini aku mengejar hal yang salah. Selama ini aku terlalu asik dengan duniaku dan mengesampingkan perasaanmu. Kuingat lagi masa-masa itu, saat kamu jauh-jauh datang dari kotamu namun aku justru pergi mencari pria yang memberi bayang-bayang semu, padahal jelas-jelas ada kamu yang nyata dan ada. Aku menyesal pernah melakukan hal itu padamu dan saat kauberubah seperti ini, rasanya aku ingin mengulang waktu agar aku bisa memelukmu, menggengam tanganmu, dan merasakan embusan napasmu sehangat kemarin. 

Kali ini, aku merasa kamu semakin jauh. Hubungan kita saat ini seakan seperti formalitas karena masih ada hal yang belum terselesaikan. Hal itu kutahu ketika kutatap matamu, tak ada teduh rindu yang kutemukan lagi di sana. Saat kaugenggam jemariku, tak ada lagi hangat dari eratnya penyatuan jari-jari kita. Kembali kuingat percakapanmu tentang wanita jilbab itu, aku tak bisa terus menahanmu untuk mempertahankan hubungan ini.

Aku tahu, kamu pun tak ingin munafik. Seorang pria muslim pasti ingin menjadi imam untuk wanita yang salat bersamanya, memimpin salat jamaah bersama dengan buah hati mereka, dan kamu tentu ingin naik haji bersama seorang wanita yang sangat kaucintai. Aku tahu itu dan aku sebagai wanita yang merayakan hari raya di tanggal dua puluh lima Desember hanya bisa berharap, kauselalu bahagia meskipun suatu saat nanti kita harus berpisah.

dari perempuan
yang selama ini
kauanggap; adik.

17 December 2013

Terima kasih telah menyembunyikanku

Kita sudah hilang kontak sejak lama, sejak aku meninggalkan Jogja untuk beberapa bulan. Alasanku cepat-cepat pergi karena masih banyak hal yang harus kuselesaikan di sini. Kuliahku, tulisanku, dan beberapa lagu-lagu rindu yang sebenarnya hanya tertuju untukmu. Dengan mata yang terantuk kantuk sehabis mengerjakan tugas kuliah ini, tiba-tiba aku ingin menulis tentang kamu. Tentang pria yang selalu datang pergi, hadir dan hilang, dekat dan menjauh; kamu.

Aku tak tahu apakah liburan kali ini aku bisa pulang ke Jogja. Aku juga tak mau berjanji jika bisa menemuimu akhir tahun ini, seperti beberapa tahun lalu kita menghabiskan tahun baru di gereja depan UKDW, sambil melihat kembang api di dekat alun-alun utara dan menikmati dinginnya Jogja di malam hari. Seandainya kautahu, di sini aku setengah mati merindukanmu. Denyut napas dan helaan jantung juga turut menginginkan kamu ada di sampingku, sedekat ketika kita saling menatap di lantai dua Mister Burger di Jalan Sudirman. Semua hal tentangmu masih hinggap di kepalaku, juga saat kaugenggam jemariku, kautuntun aku menari di bawah hujan di area Plengkung Gading kala itu.

Ingatanku kembali menyerap sosokmu lagi, saat kamu datang ke rumah dan simbahku berkali-kali bertanya soal kita. Aku  bisa jawab apa? Hanya dengan tawa miris yang sebenarnya begitu sulit kutunjukkan. Kamu mengangguk lemah dan dengan bahasa Jawa halus kaujelaskan segalanya. Kaubilang aku adalah kekasihmu, kebangganmu, kecintaanmu nomor satu. Simbahku tersenyum, seakan beliau merasakan yang ia rasakan dulu bersama kakekku.

Kita berpamitan sebelum meninggalkan rumah, kamu mencium tangan simbahku sembari berpamitan. Aku memerhatikan kejadian itu, seakan tak percaya bahwa kaulah pria yang kukenal selama ini. Setelah kita putus, rasanya aku tak ingin mengaku bahwa hubungan kita telah berakhir di depan banyak orang yang bertanya soal kebersamaan kita saat ini. Karena, aku dan kamu berusaha terlihat baik-baik saja, kamu masih sering datang ke rumah, mengajakku makan malam, memintaku menemanimu melihat beberapa bangunan di Jogja untuk kaugambar. 

Aku pernah sangat mencintaimu, pernah sangat mengerti bahwa kita dulu punya perasaan yang sama. Di atas sepeda motormu yang suaranya selalu kubenci, kamu memintaku memelukmu sangat erat. Aku ingat saat itu sedang lampu merah di dekat Jalan Solo. Ketika melewati sekolah SMA-mu dulu, kamu memekik Mars De Britto sambil ketawa cekikikan. Aku tak tahu apa yang kautertawakan, aku juga tak tahu apakah tawa itu adalah tawa yang kaupaksakan karena tahu esok hari aku akan meninggalkan Jogja lagi.

Kauarahkan sepeda motormu ke Jalan Sudirman, kita berhenti di tempat biasa kita menikmati suara kendaraan bermotor sambil bercerita banyak hal megenai aku dan kamu. Kamu menyentuh pipiku, rambutku, dan mencubit hidungku sampai merah. Entah mengapa, aku tidak melawan, karena hari itu adalah hari terakhir aku bisa menatapmu sedekat ini. Setelah ini, aku tak perlu lagi bersembunyi dan kamu tak perlu lagi menyembunyikanku. Selamanya, aku akan jadi adikmu, mantan kekasih yang diam-diam masih sering merindukanmu.

Sambil menatap matamu yang teduh, sesekali kuperhatikan jari manismu. Kamu memberiku undangan dengan namamu dan nama seorang wanita yang beberapa minggu lagi menjadi satu daging bersamamu. Benda itu sudah cukup jadi alasan agar aku mematikan perasaan.

Terima kasih untuk persembunyian yang menyenangkan, terima kasih untuk peluk hangat yang diam-diam kauberikan untukku meskipun saat itu kekasihmu mengirimi pesan singkat berkali-kali; pesan yang tak kaugubris sama sekali. Ah, rasanya setiap mengingat ini, aku ingin lari. Pria macam apa yang bisa kucintai sampai berdarah-darah begini?

30 November 2013

Menemukanmu di Udara

Waktu itu aku masih terlalu dini untuk memahami cinta, yang kutahu aku sangat suka sepak bola hingga aku rela mengejar Bambang Pamungkas, Charis Yulianto, dan Isnan Ali hingga ke Stadion Sawangan. Aku  masih ingat saat itu kiper Timnas Indonesia masih Markus Horison dan Ferry Rotinsulu. Jaraknya stadion dari rumahku adalah empat puluh kilometer. Perjuanganku terbayar ketika peluh keringat tergantikan dengan kebahagiaan berlipat, kita bertemu, waktu itu usiamu tiga tahun di atasku.

Aku tak tahu apa itu namanya perasaan cinta atau kamu hanya memanfaatkan waktu-waktu sempit saat kamu turun minum. Selama ini, setelah kucoba pahami, sepertinya benar kalau itu cuma kertarikan sesaat, ketika kehilangan kabar darimu; aku tak punya keinginan untuk mencarimu. Mungkin, karena aku tahu tak ada yang perlu dilanjutkan ke hubungan yang serius. 

Di stadion tempat pertemuan kita, aku masih ingat kamu selalu menghampiriku yang duduk di dekat rumput pinggir lapangan. Sambil melihat pemain tim nasional berlatih, sesekali kamu mengajakku berbincang, dan aku masih ingat kamu marah besar ketika tahu tim favoritku adalah Persija dan Manchester United. Kamu suka biru, tak suka merah atau orange, kamu suka Persib dan Chelsea. Ah, semua tentangmu ternyata belum benar-benar terhapus dari ingatanku. 

Tubuhmu yang atletis dan peluh yang menetes di pelipismu belum bisa kulupakan. Tim nasional menggunakan lapangan bawah dan kamu yang bergabung di U-19 salah satu tim sepak bola yang tersohor kala itu berlatih di lapangan atas. Sambil menunggu Bambang Pamungkas, pria yang kucintai setengah mati itu turun ke lapangan untuk latihan, sesekali aku melihatmu yang sibuk berlatih di lapangan atas. Tentu aku ingat, kamu melambaikan tanganmu dan memanggil namaku dengan lantang, entah mengapa caramu memperlakukan aku selalu membuatku canggung. Aku, gadis berumur empat belas tahun kala itu hanya bisa tersenyum malu-malu, dan hanya berani mengabadikan namamu dalam ingatan. 

Memang, aku tak menunggumu selesai latihan. Kamu selesai latihan pukul lima, sementara aku harus memerhatikan idolaku yang mulai latihan pukul empat sore. Kamu tentu memahami perasaanku. Namun, aku tak tahu apakah kamu paham arti debar jantungku ketika kamu meminta nomor handphone-ku? Selanjutnya, seperti yang kubayangkan, kita bertukar kabar melalui pesan singkat dan percakapan di telepon. Sejak saat itu, aku selalu menunggu kamu. Sejak saat itu juga, aku mulai takut kehilangan kamu. 

Aku hancur ketika tahu kamu harus pindah ke Jogjakarta untuk melanjutkan mimpimu. Ketika kamu mengucap kata pisah, aku hanya bisa mengangguk lemah. Kita tak pernah terikat dalam hubungan apa-apa, rasanya terlalu naif jika aku harus menangis di depanmu atau terlihat sangat rapuh kala itu. Kubiarkan kamu pergi meninggalkan remuk redam hatiku yang lebam kala itu. Bayangkan, anak SMP bisa patah hati? Akhirnya aku tahu, ini bukan ketertarikan sesaat, ini adalah cinta yang berusaha aku hindari dan kamu pungkiri.

Tadi pagi, aku membuka koran dan rasanya sangat manis bisa melihat namamu tertulis di kolom olahraga. Ini bukan perasaan yang asing, kutemukan diriku yang selalu tersenyum ketika membaca, mendengar, dan melihat namamu di surat kabar, media online, dan media lain yang kupantau dengan ujung jemariku. Kamu berhasil meraih mimpimu bukan? Aku bahagia ketika tahu kamu sudah berhasil menjadikan dirimu seperti yang dulu sering kauceritakan padaku.

Di penerbangan JT567, Adisucipto-Soekarno Hatta ini, aku terbangun dari tidurku karena mendengar dengkuran yang sangat keras. Aku menatap tajam pria yang duduk di sampingku, pria yang cukup tampan dengan sedikit kumis halus di dekat bibirnya. Hidung yang tak terlalu mancung dan rahang yang tegas. Kuperhatikan sosok pria itu semakin dalam, pria yang wajahnya baru tadi pagi kulihat di surat kabar. Oh, ternyata kamu. Kali ini, Tuhan mau bikin apa lagi? Mau bikin hatiku remuk untuk kedua kali? 

Hahaha!

Kamu ingat foto ini? Foto ini kuambil ketika kamu menempelkan kepalamu di kepalaku, untuk melihat gambar yang ada di kamera digitalku. Andai jemariku seperti jemari Tuhan, aku ingin waktu saat itu terhenti.


dari pengagummu
yang masih takut
kehilangan kamu.

02 November 2013

Aku Ingin Kamu Pergi

Untuk Si Tukang Galau,

Aku sudah baca tulisanmu mengenai kesedihan yang selalu kaulebih-lebihkan itu. Mengapa kamu begitu mudah menikmati perasaan sedihmu dan melarikan segalanya ke dalam tulisan? Dewasalah, Sayang, seharusnya setelah kutinggalkan; itulah kesempatan kaubisa belajar banyak hal. Jangan dikira aku tidak membaca tulisanmu, diam-diam aku memerhatikan curahan hati di blog-mu dan saat jam-jam segini, aku sering mengintip lini waktu akun Twitter-mu, mencari-cari adakah sosokku dalam rintihan kegalauanmu?

Sambil mengisap rokok yang asapnya selalu kaubenci, juga menyesap kopi yang rasanya selalu kaucaci;  aku berusaha keras menulis ini. Semoga apapun yang kukatakan secara jujur di sini, tak akan membuatmu kecewa. Aku memang kuliah di Jogja, dengan budaya Jawa yang sangat kental, tapi di sini aku tak akan memberi sanepa atau kode atau isyarat seperti kamu selalu memberiku bahasa-bahasa perasaan aneh itu lalu memintaku menerjemahkan segalanya. Aku benci keegoisanmu tapi entah mengapa malam ini aku sangat merindukanmu.

Di ponsel jadul yang ada di samping laptop-ku ini, yang hanya bisa digunakan untuk menerima telepon dan membaca pesan singkatmu, ada banyak kenangan yang tak bisa kulupakan. Jangan dikira aku sudah melupakanmu, di ponsel ini masih ada pesan singkatmu, masih ada nomor kontakmu, dan masih saja kubiarkan kata-kata cintamu di pesan singkat; abadi dalam kotak masuk. Sayang, aku pun sebenarnya rapuh, tapi aku tidak seperti kamu yang bisa dengan mudah menujukkan kerapuhanmu pada dunia. Aku tidak bisa seperti itu, aku pria dan aku dituntut untuk menerima semua rasa sakit tanpa harus menujukkan air mata. Kuharap kamu memahami itu, Sayang, agar kautak selalu menyalahkanku atas perpisahan ini.

Detik ini, wajahmu mampir di otakku. Saat kamu membawakanku minuman dingin, aku tak bisa melupakan wajah polosmu. Senyummu sangat manis kala itu, rambut yang diikat satu, baju garis-garis hitam pink, jam tangan pink, anting emas putih, dan kalung salib. Tinggimu yang sebahuku membuatku begitu mudah untuk meraih bahumu, aku langsung menggenggam pergelangan tanganmu. Tahukah kamu saat itu aku sangat ingin memelukmu, mencium bibirmu, mengecup telingamu, melumat habis pipimu, dan berakhir dengan kecupan kecil di kening; seperti perjanjian kita mengenai hal yang akan kulakukan ketika pertama kali bertemu kamu.

Tapi, aku canggung. Aku tidak berani menyentuhmu terlalu lama dan tak berani bilang bahwa aku sangat senang jika kamu melihat aksiku menjadi zombie pada teater yang kupentaskan. Sesungguhnya, aku sangat ingin memelukmu kala itu, namun aku takut pada ratusan mata yang menyorot kita, aku takut dandananku yang lusuh mengotori bajumu, dan aku takut aroma tubuhku yang tidak beraroma parfum seperti tubuhmu akan merusak aroma wangi tubuhmu. Dan, ketika melihatmu, pertama kali melihatmu, aku sadar kamu terlalu tinggi untukku, kamu terlalu sempurna untuk sosok sederhana seperti aku. Sayang, inilah rasa sakitku yang tak kaupahami, yang selalu kauartikan bahwa aku pergi karena aku tidak mencintaimu lagi.

Aku menyesal telah pergi meninggalkanmu, aku menyesal telah meminta status kita yang sempat spesial harus kembali lagi menjadi status hanya teman. Kupikir, untuk saat ini, hal itulah yang terbaik. Aku belum siap menghadapi gemerlapnya kamu. Aku takut silaunya duniamu membuat aku tak siap menghadapi apapun yang akan menerjang hubungan kita kelak. Aku tidak siap menjadi pendampingmu, menjadi kekasih yang kisahnya harus selalu kaubawa dalam tulisanmu. Jadi, kuizinkan wanita itu masuk ke dalam hidupku, wanita yang selama ini mengejarku namun kuabaikan karena kaupernah hadir dalam hidupku. Dia hanya mahasiswi biasa, Sayang, bukan penulis skenario film juga bukan penulis novel seperti kamu. Tapi, dia tidak bisa seperti kamu, dia tidak kuat begadang, dia tidak mengerti jalan pikiranku seperti kamu mengerti jalan pikiranku.

Saat aku membicarakan soal sastra feminis, dia hanya geleng-geleng kepala. Mengingat kita pernah berbicara perihal sastra feminis sampai berbusa di tengah malam itu, aku jadi rindu sosokmu yang blak-blakan. Aku rindu kamu yang beberapa kali membantuku menyelesaikan tugas kuliah. Ah, kita sama-sama Sastra Indonesia, namun kaujauh sekali di sudut kota sana. Aku berusaha mencari-cari sosokmu dalam diri wanitaku, namun kautak ada di sana, kamu hanya satu di dunia. Dan, perempuan tukang galau tapi bisa membuatku nyaman selama ini hanyalah kamu. Kamu yang saat ini berusaha kujauhi, berusaha kubenci, dan berusaha kubunuh dalam hati.

Kita telah berpisah dan ini menyebabkanku ingkar janji. Aku pernah berjanji ingin mengajakmu ke kamar kontrakanku, yang ada di dekat vokasi UGM, dekat air terjun, yang suara gemerisik airnya selalu membuatmu tenang ketika berbicara denganku di telepon. Janjiku dulu, aku ingin membuat kamu mabuk dengan ciu atau dengan beer murah yang hanya sanggup kubeli dengan uang saku yang kumiliki. Pokoknya, apapun minumannya, aku ingin kita mabuk berdua. Lalu, aku membawamu ke dalam pelukan, menikmati wajahmu yang pusing dan hampir ambruk. Sesekali, di keremangan kamarku, kamu pasti bertanya soal poster Sapardi Djoko Damono yang kutempelkan di kamarku, lalu bertanya mengenai udara Jogja yang semakin malam semakin dingin. Itu masih dalam khayalanku. Khayalan yang kautolak mentah-mentah, dengan tawa pecah, ketika aku ungkapkan keinginan itu padamu.

Wahai gadisku yang senang bergalau ria di dunia seratus empat puluh karakter, meskipun kita tak lagi bersama, maukah kausering-sering datang ke Jogja; supaya aku tahu, apa yang sesungguhnya kaucari selama ini? Apakah kausungguh mencintaiku atau hanya menginginkan kisah kita untuk jadi bahan tulisanmu?

dari Zombie-mu
yang seringkali
tak tahu diri.

27 October 2013

Kukira Kita saling Jatuh Cinta

Untuk Zombie-ku,

Aku tidak pernah sesedih ini ketika membuka layar handphone. Dulu, ketika melihat pesan singkatmu di ponselku, aku selalu tersenyum, dan seharian kita bertukar kabar, malam harinya kita saling mendengar suara lewat ujung telepon. Namun, akhir-akhir ini, pesan singkatmu adalah hal yang selalu membuatku takut untuk melirik handphone, cacian dan bentakanmu membuatku sadar, aku kehilangan dirimu yang dulu.

Ketika menyadari kamu telah berubah, setiap hari aku berusaha mengembalikan dirimu yang dulu. Mengingatkanmu pada mimpi-mimpi kita dulu, memintamu memahami bagaimana dulu kita pernah saling mencintai, membuatmu paham ada seseorang yang tak ingin diam ketika melihatmu tiba-tiba jadi seseorang yang berbeda. Telah kutinggalkan semua, Sayang, pria-pria itu sesuai kemauanmu. Telah kulepaskan semua, demi kamu yang kupikir akan membahagiakanku.

Kuputuskan saatnya untuk bertemu kamu, walaupun dalam pesan singkat kamu sudah bilang lelah dengan segala sikapku, bosan dengan semua perjuanganku. Tapi, Sayang, aku ingin kamu tahu, aku baru akan berhenti jika kaujelaskan mengapa kaujadi berubah begini.

Perempuan mana yang tidak kecewa melihat orang yang dia cintai tiba-tiba memilih lari dan pergi tanpa alasan dan penjelasan? Kamu tahu aku perempuan yang dibesarkan untuk meminta semua penjelasan dari apapun yang kualami dan terjadi. Aku tak bisa menerima kepergianmu dan perpisahan kita seperti perempuan yang digambarkan di banyak media, yang harus sabar menunggu, yang harus diam menanti. Aku berbeda, Sayang, dan kuharap kaumampu memahami kerasnya sikapku ini. Apakah aku terlalu egois untuk tahu alasanmu?

Malam itu, sebenarnya aku pun ragu untuk menghampirimu. Rencananya, seusai menonton kamu pentas teater, aku ingin meninggalkan FIB UGM. Meninggalkan kenangan-kenangan yang pernah kita buat di sana. Melupakan setiap sudut yang mengingatkan aku padamu. 

Ketika kita bertemu di pelataran Margono FIB UGM, akhirnya aku bisa melihat bagaimana sinar matamu ketika melihatku. Kamu memegang pergelangan tangan kananku dan memegang bahuku. Sebelum berniat menemui kamu, aku membelikanmu minuman yang kuberikan untukmu, walaupun bukan segelas air putih hangat yang menjadi minuman kesukaanmu. Kamu mengucapkan beberapa kata yang berusaha kupahami di tengah riuhnya suasana seusai pementasan teater yang kaumainkan. Aku membelai rambutmu yang berantakan, juga wajahmu yang didandani merah-merah menyeramkan layaknya zombie betulan.

Kamu malu-malu, akupun begitu. Kamu bertanya soal supirku yang menjemput di depan FIB UGM. Lalu, kita berbasa-basi sebelum kamu pergi dan melaksanakan evaluasi. Kita tak berbicara soal perasaan atau membahas soal kejelasan status kita. Aku pergi, iya, akupun pergi begitu saja. Kamu tidak mengejarku dan di parkiran FIB UGM semalam, air mataku meleleh habis-habisan.

Pagi ini, sepulang dari gereja di depan UKDW itu, aku membuka ponsel yang sengaja kutinggalkan di rumah. Kubaca pesan singkatmu yang meminta aku menjauhimu karena kamu telah memiliki kekasih. Aku memejamkan mata dan berkata dalam hati, secepat itu? Sampai saat menulis ini, aku masih remuk dan tak percaya pada keputusanmu.

Kukira kita saling jatuh cinta, ketika kaubilang kamu mulai penasaran ketika ada sosok perempuan yang memilih UI lalu meninggalkan UGM. Kukira kita saling jatuh cinta, saat percakapan tengah malam yang diselipkan dengan beberapa kata sayang dan rindu itu terucap dari bibirmu dan bibirku; bibir kita. Kukira kita saling jatuh cinta, saat kaubilang kautelah berubah menjadi pria lemah lembut ketika berbicara denganku. Kukira kita saling jatuh cinta, ketika kamu ucapkan kata sayang tanpa memberika status dan kejelasan.

Aku sudah meninggalkan semua, datang padamu, entah dengan cara tolol agar kamu kembali. Aku menginginkan kamu yang dulu, kita yang dulu, yang masih baik-baik saja. Apa aku salah jika aku meminta penjelasanmu atas perubahanmu yang sampai saat ini tak bisa kupahami? Kenapa sampai saat ini kaumasih sulit percaya pada perasaanku? Mengapa kaubilang aku dekat pada banyak pria yang sebenarnya mereka semua adalah temanku? Aku sudah datang padamu, tapi kamu tidak ingin pulang, dan kaulebih lebih asik pada orang-orang yang mungkin tak memahamimu sedalam aku memahamimu. Aku sudah meninggalkan semua yang kaubenci, demi memintamu kembali, tapi kamu malah pergi tanpa alasan dan penjelasan.

Semoga keputusanmu bukan karena kamu selalu bilang perempuan dengan status sosial seperti aku tak ingin menghabiskan sisa hidup dengan pria sederhana. Semoga kepergianmu bukan karena kamu takut pada kesetiaanku pergi menghadap Tuhan setiap hari Minggu, sementara kauingin mengajakku lima waktu. Semoga bukan karena perbedaan itulah, kamu menyerah memperjuangkan perasaanmu.

Berbahagialah dengan wanita pilihanmu, semoga dia memahami sikap kasarmu, seperti aku berusaha memahami amarahmu mengeluarkan seluruh ini gembira loka dan safari ketika kamu marah dan lelah.

dari si tukang galau
yang cintanya berkali-kali kauanggap mainan
yang perasaan berkali-kali kauhancurkan.

15 October 2013

Merangkulmu Sehangat Tadi



Kamu menjabat tanganku dengan erat dan menatap mataku dengan pandangan pekat, seakan kaumerindukan dunia yang sejak dulu ingin kauselami. Dengan balutan jas hitam, celana bahan hitam, sepatu hitam; kautampak sangat formal sore itu. Aku menyambut genggaman tanganmu dengan senyum yang sama lebarnya dengan senyummu, kutatap matamu dalam-dalam, sinar terang yang kulihat beberapa minggu yang lalu, kembali terlihat lagi. Sebenarnya bibirku sudah ingin berucap sejak tadi. Aku merindukanmu dan bertahan beberapa minggu untuk menunggu pertemuan kali ini pun terasa amat menyakitkan. Kita bertahan dalam percakapan terbatas, hanya tulisan yang teretas. Seandainya kaupaham, ini bukan perasaan sederhana, sesederhana yang dulu pernah kaubilang; sebatas teman kerja.

Lewat pesan singkat tadi, aku sudah bilang ingin duduk di sampingmu. Tanpa pikir panjang, kamu menyetujui hal itu. Pikirmu, mungkin, aku ingin bertanya banyak soal kerjaan kita, soal tugas kita, dan soal rencana kita ke depan. Namun, tahukah kamu, alasanku mengajakmu duduk di sampingku hanya karena aku merindukanmu dan ingin melihat bola matamu lama-lama, tanpa dibatasi jarak, tanpa gangguan terangnya lampu, dan tanpa digugat oleh kehadiran orang lain? Alasan yang absurd memang, tapi sejujurnya itulah yang kuinginkan.

Teman, rasanya sakit sekali jika hingga detik ini aku hanya bisa menganggapku sekadar teman kerja. Rasanya perih sekali apabila sampai saat ini aku cuma mampu jadi pendampingmu dalam mengejar mimpi, namun hanya sebagai teman kerja, bukan kekasih. Dan, keinginanku pun terwujud walaupun aku harus menunggu beberapa waktu hanya untuk duduk di sampingmu. Kita duduk di tribun atas, ramai namun tak seribut di lantai bawah.

Saat semua mata hanya tertuju pada panggung, saat musik berdegup kencang, saat suasana mulai gelap tapi lampu sorot warna-warni di dekat panggung sibuk berkelap-kelip; aku merangkulmu dengan rapat. Entah karena kekuatan apa, kamu menggeser posisi dudukmu, lebih rapat ke arahku. Kamu seakan paham kalau aku butuhkan kehangatan darimu. Dirimu seakan mengerti, aku merindukan sentuhan yang berasal dari dekapanmu. Aku tak tahu perasaan ini patut dinamakan apa, tapi kita saling mengerti bahwa dalam kesepian hati, kaudan aku mampu saling mengobati. 

Status kita memang hanya sebatas teman kerja, namun kautahu; aku rasakan sesuatu yang lebih dari itu. Sebenarnya, aku pun tahu kamu ingin semua tak hanya sekadar rekan kerja, kamu juga ingin yang lebih bukan? Kemesraan di pesan singkat cukup membuatku mengerti isi hatimu. Tapi, aku dan kamu belum siap ke tahap itu. Cukuplah kita jadi rekan kerja, yang bertemu sebulan sekali untuk mempererat rencana kita. Jarak yang sangat kurang ajar antara Jakarta dan Bandung bisa mengganggu pekerjaan kita, apa enaknya digerogoti rindu sementara pekerjaan kita sudah super duper ribet seperti ini?

Rangkulanku pun bervariasi. Kadang, kugenggam jemarimu, kusandarkan kepalaku di bahumu, kubelai rambutmu hingga ke belakang lehermu, dan kurapatkan rangkulanku sambil memegang pinggangmu. Tapi, kamu ini memang dasar pecinta kerjaan, bahkan saat kepalaku bersandar di bahumu pun, kamu masih sempat-sempatnya bercerita tentang rencana kita ke depannya. Iya, kauberikan aku ruang untuk bermanja-manja tapi ceritamu tetap sama; perihal kerjaan. Inilah yang kusuka, ketika kauberbisik di telingaku saat suasana terlalu riuh oleh musik yang berdegup. Tahukah kamu saat itu aku merasa kita seperti.... sepasang kekasih. Ah, andai itu terjadi!

Aku masih menyandarkan kepalaku di bahumu, lalu sebuah panggilan masuk ke ponselmu. Kamu menjawab panggilan itu dengan suara lembut, selembut ketika kamu berbicara denganku. Masih dengan genggaman tanganmu yang berada di jemariku, kamu mengakhiri percakapan di ponsel dengan kalimat, "Aku pulang agak malam. Iya, aku juga sayang kamu."

Ucapanmu terakhir itu membuatku tersenyum miris. Aku menatap matamu dan mengajakmu bicara. Jarak antara wajah kita hanya beberapa sentimeter, kutatap matamu yang bening itu, juga wajahmu yang terlihat lebih tampan dalam keremangan. Mungkinkah kaurasakan degup jantungku kala itu? Degup jantung yang bilang bahwa ada perempuan yang takut pada jam-jam yang mendekati malam, jam-jam yang menunjukkan perpisahan. Dan, mimpinya akan segera berakhir, seperti Cinderella yang takut pada dentang jam tengah malam, seperti itu juga aku takut pada jam menuju adzan magrib. Saat-saat mendekati perpisahan kita, saat-saat acara seminar yang kita datangi harus berakhir. Lantas, aku harus kembali ke dunia nyata, harus kehilangan kamu lagi, dan kembali bergelut dengan kesibukan serta pekerjaan.

Sebelum lampu yang sangat terang dinyalakan, aku mendekapmu lebih erat. Tanpa kuberitahu pun, tentu kaupaham aku tak ingin kehilangan kamu, aku tak ingin menunggu waktu sebulan lagi untuk bertemu kamu. Aku ingin merangkulmu sehangat ini setiap hari, bahkan setiap saat kalau Tuhan izinkan aku menguasai waktu. Seminar usai dan lampu-lampu segera dinyalakan, kita tak mampu lagi berdrama, aku terhempas dari dunia mimpiku. Rekan-rekan kerja kita yang lain langsung mendekati kita, mengajak bicara tentang strategi dan rencana baru. Kamu kembali menjauh, jadi orang lain yang tak kukenali. Kamu dengan rekanmu, aku dengan rekanku, dan hanya mata kita yang sesekali bertemu; mengucap sesuatu entah apa itu.

Di akhir pertemuan, kita bersalaman. Berkali-kali kautanyakan apakah aku ingin cepat pulang? Aku tak mengangguk juga tak menggeleng, aku hanya menyentuh bahumu lama, menggenggam tanganmu sangat erat, dan menatap matamu sangat dalam. Aku tak ingin kita pisah lagi, aku tak ingin percakapan kita dibatasi tulisan lagi. Kamu memberi isyarat terima kasih atas kedatanganku hari itu, kusambut isyarat itu dengan ucapan, "Semoga bisa segera bertemu lagi."

Senyum itu mengembang tak selebar ketika awal kutemui kamu. Kamu menatap pria yang sudah menggenggam erat tanganku, dari eratnya genggaman tangan itu, kamu sudah bisa menilai; pria ini hanya ingin agar aku cepat pulang. Kamu ularkan tanganmu untuk bersalaman dengan pria di sampingku, "Pacar kamu semangat banget kerjanya." ucapmu dengan tawa yang kedengarannya dipaksakan.

Aku meninggalkanmu dan kulambaikan tangan sekali lagi sebelum kamu benar-benar jauh. Kamu tak menatapku, matamu malah menatap jemariku yang digenggam erat pria di sampingku. Lalu, beberapa detik setelahnya, kaumenatapku lagi, tersenyum penuh arti; seakan kauberbisik dengan sangat lirih.... jangan pergi.

Aroma tubuhmu sangat memabukan. Kapan kita bisa bertemu lagi? Tolong, secepatnya!

Untuk kamu yang pernah bilang
nangis tak akan menyelesaikan apapun.
Selamat bekerja!
 

05 October 2013

Ruang untuk Kita

Selamat malam Tuan yang entah mengapa terasa semakin jauh. Aku datang baik-baik untuk bertanya mengenai hal-hal manis yang kita jalani selama ini. Sejak dua puluh enam agustus tahun dua ribu tiga belas, kamu menyelip dalam ruang hatiku, menjadi sosok baru yang nampaknya menarik jika kunikmati dari berbagai sisi. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu sudah jadi seseorang yang kuhargai keberadaannya, kutunggu pesan singkatnya, dan kurindukan suara beratnya. Kamu sudah jadi teman malamku, sapaan renyah pagiku, dan terik matahari siang yang membakar semangatku.

Kita sudah saling tahu sejak satu tahun lalu. Saat kautahu aku lebih memilih UI dan menanggalkan pengumuman diterima di UGM melalui jalur SNMPTN. Penasaran, itulah caramu menjelaskan awal perkenalan kita. Saat pesan singkatmu menggetarkan handphone-ku untuk pertama kalinya, saat tulisan besar kecil dengan tanda baca penuh itu memenuhi kotak masuk poselku; demi bumi dan langit, aku tak ingin membawa hubungan itu ke jenjang lebih serius. Cukup jadi teman.

Lalu, setahun kemudian kamu muncul dengan gaya baru. Bahasa yang tertata rapi yang membuatku kagum setengah mati. Jaket kuningku bersanding dengan jaket abu-abu kehijauan milikmu. Percakapan kita malam itu diawali dengan membandingkan UI dan UGM, tidak ada ketegangan, hanya rasa canggung yang kurasakan. Aku tak pernah berbicara senyaman ini dengan orang asing yang wajahnya belum pernah kutatap secara langsung. Pembicaraan panas itu merambat ke pembicaraan hangat, saat kauberbicara tentang puisi Chairil Anwar, cerpen Seno Gumira Ajidarma, serta kekagumanmu pada guru besar FIB UI; Sapardi Djoko Damono.

Hampir setiap malam, kamu menjadi bagian dalam hari-hariku, jadi tawa yang membawa damai sebelum tidur malamku. Tak hanya itu, kaudan aku rela terlelap hingga subuh, hanya karena tak ingin saling melepaskan. Terlalu terburu-burukah jika aku mencoba menyebut ini cinta? Jika terlalu tergesa-gesa, lalu apa namanya perasaan tak ingin melepaskan meskipun kutahu kamu tak mungkin berada dalam genggaman?

Dan, kedekatan kita, Tuan, sepertinya memang bukan lagi sebatas teman. Ketika kauberani mengganti "Dwit", menjadi "Ntaa." Singkatan dari cinta, katamu; yang berhasil membuatku muntah pelangi berak surgawi. Oke, jelek, ya, diksi yang kugunakan? Maaf, ya, siapalah aku ini dibanding sastrawan serba misterius seperti kamu? 

Awalnya, semua ini baik-baik saja. Sampai pada akhirnya aku tak tahan dengan kelancanganmu menyebut semua penghuni Gembira Loka dan Safari, saat kita bertengkar, soal pesan singkat yang kubalas lama, telepon yang tidak kujawab, dan isi mention bersama seorang pria yang tidak kaukenal. Aku membuka suara, kita sudah bicarakan hal ini berkali-kali. Aku sempat tak ingin membawa semua ke arah yang lebih serius karena kita berbeda, tolong garis bawahi itu, dan kauterima pendapat itu dengan lapang dada. 

Awalnya, Tuan, kita membuat kesepakatan, namun nampaknya cinta itu seperti kekuatan brengsek yang membuat aku dan kamu juga ingin melawan dalam ketidakberdayaan kita. Oke, kita sepakat tak pernah membawa semua ini ke dalam hubungan serius, tapi aku dan kamu ternyata mematahkan komitmen itu. Kita berontak, marah sama keadaan, marah dengan jarak, marah sama cinta, marah dengan kesepakatan awal. Aku dan kamu terlalu gengsi untuk membawa hubungan ini ke arah yang lebih serius. Selain terlalu gengsi, juga merasa belum siap pada jarak, pada perbedaan kita, pada masalah rindu, pada kurang ajarnya sinyal ponsel, pada ratusan kilometer jarak antara Bogor dan Jogjakarta. Kita marah sama siapapun, sama apapun yang membuat aku dan kamu selalu emosi setiap mendengar kalimat "Sebenarnya status kita ini apa? Siapa kita? Apa yang kita rasakan?"

Setelah lelah marah pada keadaan, kamu menyuruhku untuk mencari penggantimu. Aku tertawa, bergelak kencang sekali. Lalu, setelah tawaku diam, kamu berikan alasan. Kamu ingin lihat aku bahagia dengan yang lain, agar kamu punya alasan untuk melepaskanku dan tidak lagi mengharapkanku. Aku tertawa semakin geli, tapi mataku basah karena tertawa terlalu kencang. Kusambut saranmu dengan menyuruhmu juga mencari yang lain, agar aku bisa melepaskanmu dan melihatmu bahagia; meskipun kebahagiaanmu tidak lagi membutuhkanku.

Sekarang, rasanya keinginan kita sudah terwujud. Keinginan dua orang bodoh yang terlalu gengsi menyatakan perasaan, terlalu takut meminta kejelasan, dan terlalu takut melawan keadaan. Kamu entah dengan siapa sementara aku dengan dia. Hahaha! Terluka.

Ini bodoh, sungguh, maksudku apa susahnya bilang kalau aku dan kamu inginkan penyatuan? Punya satu tujuan? Mau saling memperjuangkan? Iya, berbicara cinta dan sayang memang tak mudah, tapi bukankah lebih menyakitkan jika kita hanya bisa saling gengsi, saling diam, tapi juga cemburu? Bukankah lebih menyedihkan jika aku dan kamu hanya bisa tertawa sebenarnya kita sangat tersiksa?

Bisakah kaubayangkan rasanya jadi dua orang yang saling mencintai tapi mereka termakan gengsi sendiri? Bisakah kaurasakan sakitnya dua orang yang saling merindukan, tapi hati mereka tak saling menyatukan? Tuan, bisakah kauresapi air mata dua orang yang saling berjauhan hanya karena mereka takut pada arus cinta yang semakin dijauhi justru semakin deras?

Hatimu sudah jadi milikku, hatiku sudah jadi milikmu. Namun, mengapa aku dan kamu tak kunjung menciptakan ruang untuk kita? Ruang tempat kita saling memahami juga mencintai, tanpa harus memerhatikan gengsi yang mematikan semua urat-urat hati.

untuk yang selalu percaya
saya tak punya cinta
saya tak pernah punya rindu
saya tak punya perasaan
Padahal, diam-diam;
dia sudah jadi segala– dalam kepala.

19 September 2013

Untuk Kamu, yang tak benar-benar pergi.


Untuk yang selalu mengira, saya tak lagi mencintainya.... 

Pertama kali melihatmu di taman yang disinari matahari terik itu, aku tak pernah menyangka bahwa kita bisa berada sampai titik ini. Perkenalan mahasiswa baru, september, dua ribu dua belas, aku percaya tentang dunia yang berkonspirasi hanya untuk mempertemukan dua orang yang saling tak tahu dan tiba-tiba bisa punya perasaan rindu. Aku menyadari itu, namun aku tak pernah tahu apakah hatimu sama membiru.

Kamu ucapkan namamu dengan logat Betawi yang terdengar unik di telingaku. Sambil merapikan rambut gondrongmu, kamu menatap teman-teman barumu, termasuk aku, dan mencoba memperkenalkan diri. Sejak saat itu, aku sering diam-diam menatapmu, dari sudut yang tak pernah kautahu. Tuhan kembali merahasikan kehendakNya, ketika entah dengan kekuatan apa, kita sering bertukar berita melalui BBM. Dan, aku sungguh sangat membenci hal itu, mengapa saat itu kugubris semua candaanmu? Mengapa saat itu kubiarkan kamu mengetuk pintu hatiku?

Aku pun juga tak tahu, apa ini cinta atau hanya rasa nyaman yang terlalu berlebihan? Apa ini mabuk kepayang atau hanya ketertarikan sesaat? Tapi, kalau kauingin tahu, akan aku bisikkan sesuatu. Setiap malam ketika kita membicarakan Sudjiwo Tedjo, setiap kausapa aku lebih dulu, dan setiap jengkal detik yang kita gunakan untuk tertawa walau tanpa suara; aku sungguh menghargai saat-saat itu. Sejak kamu masuk dalam daftar orang yang kusebut dalam doa, kamu sudah berada di sana, di hatiku; yang dulu kuyakini tak akan lagi dihuni pria pendiam seperti kamu.

Kuterima diammu dengan cuma-cuma, kubalas sikap dinginmu tanpa banyak suara. Kuhargai semua bisumu yang hanya bisa munculkan tanya. Aku ingin tahu, apa sesungguhnya yang ada dalam hatimu? September setahun lalu, aku masih ingat kita pernah begitu hangat. Tak ada panggilan sayang, tak akan panggilan cinta, dan tak ada ungkapkan perasaan. Tapi, kupikir semua itu tak kita butuhkan, aku dan kamu sudah begitu asik dengan yang kita jaga selama ini. Sebentar, sebentar, kita jaga? Apakah memang benar-benar kita jaga? Ataukah hanya aku yang berjuang menjaga “kita” sendirian? Dan, enggan berhenti sebelum kesakitan?

Aku ingat percakapan kita kala itu, kata-kata di dalamnya tak pernah kulupa. Kalau aku bisa minta pada Tuhan untuk menyimpan semua dengan sangat rapi dan bisa mengulang peristiwa manis itu untuk kesekian kali, aku tak segan-segan berkorban apapun; asal kita bisa seperti dulu lagi. Tidak menjauh seperti ini.
Ingat apa yang kulakukan ketika ulang tahunmu di akhir bulan September? Itulah hal yang kusesali selama ini, aku masih terlalu takut untuk bertemu denganmu, dan mengucapkan doaku di depanmu. Lalu, kulakukan hal sederhana yang bisa kulakukan. Aku tak tidur hingga larut malam, pukul 12 segera kukirimi kaupesan singkat, pesan yang kaubalas seadanya, sekenanya, biasa saja. Aku merasa bersalah, sungguh. Kalau aku cukup berani mengatakan semua, kalau aku tak berada jauh darimu, kalau kita punya status lebih dari teman—sudah tentu kubawa kaudalam pelukan. Kubiarkan kaudengar detak jantungku, helaan napasku, dan desir aneh yang kurasakan ketika aku berada di dekatmu.

Tapi, sekarang bukan lagi seperti dulu. Kamu tiba-tiba menjauh tanpa alasan yang tak kupahami. Aku ingat, sekitar bulan Januari, dua ribu tiga belas, kita tak ada lagi komunikasi. Kabarmu hanya kucuri-curi dari akun Twitter, beritamu hanya kudengar dari hasil bertanya ke sana dan ke sini. Jujur, kalau kaumau tahu, aku tersiksa beberapa bulan ini. Terutama ketika bertemu denganmu, ketika menerima kenyataan bahwa kita telah berbeda. Kita bertemu setiap hari, setiap hari juga kulihat sosokmu yang tak bisa kusentuh, setiap hari juga aku terus bisu—berusaha tak bertanya soal perubahan sikapmu yang membuatku hampir meledak karena tak kunjung mengerti pikiranmu.

Apa yang bisa kulakukan agar aku tetap bertahan? Kularikan rasa rinduku ke dalam tulisan. Di sana aku bisa menangis pilu tanpa membuat tuli telingamu. Aku rindu kamu dan kamu nampaknya tak pernah tahu betapa selama sembilan bulan ini, aku tak bisa berbuat banyak selain menunggu kamu bicara lebih dulu. Aku selalu kuat membisu, meskipun rasanya ini bodoh, entah mengapa aku tak ingin melupakanmu.

Kalau aku punya keberanian lebih, rasanya aku ingin bertanya sesuatu padamu. Seberapa butakah matamu sehingga kautak melihat perhatianku? Seberapa matinya perasaanmu hingga kautak sadar ada seseorang yang berjuang untukmu? Mengapa kaumudah mengakhiri yang kupikir bisa berjalan lebih lama dari ini? 

Kamu ini tega sekali, kamu tahu tidak rasanya jadinya perempuan yang memikul beban karena cintanya bertepuk sebelah tangan? Apa kamu tahu rasanya jadi aku, yang terus bertanya-tanya soal perasaanmu?

Apa kautahu rasanya bertemu dengan orang yang kaucintai, setiap hari, namun kauharus bertingkah seakan tak ada rasa, seakan kausudah lupa, seakan semua tak pernah terjadi? Kualami rasa sakit itu setiap hari, setiap kulihat kaumasuk kelas, setiap kaumenggandeng tangan dia—kekasihmu saat ini.


dari perempuan

yang  kauanggap perhatiannya hanya mainan

yang kaupikir cintanya hanya bualan.

26 August 2013

Jika Aku Tak Berbeda

Di ujung malam seperti ini, perempuan pada umumnya sudah berada di tempat tidur. Menarik selimutnya sampai menutup bahu untuk menghindari dingin malam yang mencekam atau dinginnya air conditioner kamar. Ini salahku jika sampai saat ini aku belum terpejam, aku selalu sulit mencari kantuk. Entah mengapa sulitnya mencari kantuk sama seperti sulitnya memahami keinginanmu. 

Saat menulis ini, aku habis memerhatikan isi kicauanmu bersama seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang tampak mesra denganmu, dalam tutur kata, entah dalam dunia nyata. Aku menebak-nebak dan karena teka-teki itulah aku jadi terluka parah. Seharusnya tak perlu kuikuti rasa keingintahuanku. Tak perlu lagi kucari-cari kabarmu dari sudut dunia maya itu, tempat segala kemesraan bisa terjalin tanpa kutahu; apakah itu nyata atau drama belaka.

Begitu cepat kaudapatkan yang baru, Sayang. Sementara di sini, aku masih menunggu kamu pulang. Aku tak temukan tangis dalam hari-harimu, nampaknya setelah perpisahan kita, kamu terlihat baik-baik saja. Tak ada luka. Tak ada kegalauan. Tak ada duka. Kamu masih bisa tertawa, aku tak tahu pria macam apa yang dulu pernah kucintai dengan sangat hati-hati.

Hampir setiap malam atau bahkan setiap saat, aku masih sering merindukanmu. Mengingat betapa dulu kita pernah baik-baik saja. Aku pernah kaubahagiakan, kauberi senyuman, kaubuat tertawa, juga terluka. Pada pertemuan kita belasan minggu yang lalu, kamu menggenggam jemariku seakan memberitahu bahwa kamu tak ingin melepaskanku. Kamu menatap mataku sangat dalam bahkan tak menggubris tab-mu yang penuh dengan chat dan panggilan. Saat itu, aku merasa begitu spesial, merasa begitu penting bagimu. Dan, inilah salahku, mengharapkanmu yang terlalu tinggi. 

Jujur, mungkin saat ini aku memang tak lagi mencintaimu. Tapi, sisa-sisa rasa sakit itu masih ada. Aku belum bisa menerimamu menjauh tiba-tiba seperti itu. Mengapa aku tak bisa menerima semua secepat kamu menerima perpisahan kita? Karena kamulah yang meninggalkanku lebih dulu, menuduhku punya banyak orang yang bisa kujadikan pelarian, mendakwa aku yang berkhianat. Tuan, sungguh aku tak paham maumu. Apa matamu begitu buta untuk melihat bahwa dulu, waktu masih bersamamu, hanya kaulah satu-satunya yang kuperjuangkan dan kuharapkan?

Ingat, kamu pernah bilang bahwa kamu mencintaiku seutuhnya. Sebagai perempuan yang tentu senang diberi harapan, aku tersenyum sambil memainkan rambutmu yang acak-acakan. Aku bersandar di bahumu, sementara tatapan matamu kembali sibuk dengan tab kesayanganmu. Kamu merangkulku sambil jemari kirimu membalas chat dari teman-temanmu. Aku berbisik di telingamu, memberitahu bahwa sudah waktunya salat ashar. Kamu mengangguk memahami maksudku. Kamu tahu apa yang kurasakan saat itu? Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya pun aku terlalu takut. Namun, aku tak sadar, justru ketika kita bisa begitu mesra, hari itu juga adalah hari terakhir kita bertemu.

Malamnya, semua kebersamaan manis kita, yang kuingkan bisa lebih lama itu, berakhir hanya dengan percakapan beberapa menit. Tiba-tiba, kaubilang aku ini berbeda. Tiba-tiba kaubilang aku terlalu sempurna untukmu. Tiba-tiba kaukatakan bahwa semua tak bisa lagi kita jalani. Kenapa baru sekarang kamu ucapkan bahwa kebersamaan kita tak akan bertahan lama? Selama ini kamu ke mana? Selama kamu begitu rajin bilang cinta dan rindu, apakah saat itu kamu tak menyadari perbedaan kita?

Jika aku tak mengalungkan salib di leherku, jika aku tak berbeda seperti yang kaubilang, apakah kauakan mencintaiku sedalam aku mencintaimu?

12 August 2013

Setelah Satu Setengah Tahun



Seperti satu setengah tahun yang lalu, aku menunggumu di depan Pasar Prawirotaman. Siang itu, Jogja begitu terik, panas matahari cukup menjadi penyebab keringat di pelipis. Aku menunggumu sambil sesekali melihat jam tangan. Ketika suara sepeda motormu terdengar, aku segera menegakan kepala. Kamu sudah ada di depanku masih dengan sepeda motor yang sama. 

Tubuhmu terlihat lebih berisi, rambutmu masih begitu; gondrong sepinggang. Rambutmu yang lebat selalu kausembunyikan di dalam bajumu ketika kamu mengendarai sepeda motor. Bola mata kita bertemu, “Rupanya, kamu sudah jago dandan, Dik.” ucapmu dengan suara yang khas. Disapa dengan kalimat menyebalkan itu, aku hanya membalas dengan senyum dan segera menaiki sepeda motormu.

Kali ini memang berbeda dengan satu setengah tahun yang lalu. Setiap bertemu denganku, kamu selalu membawa setangkai mawar putih dan keromantisan itu kubalas dengan memukul lembut helm-mu menggunakan setangkai bunga mawar itu—ucapan terima kasih dalam bentuk berbeda. Aku mendapati diriku yang juga berbeda, aku tidak berani mengajakmu bicara banyak. Dan, inilah yang membuatku merasa kita sudah berjarak. 

Sesampainya di rumahmu, aku bertemu ibumu. Lantas, terjadi percakapan antara tiga orang, percakapan yang tak selalu terjadi setiap hari. Ibumu bertanya soal alasanku lebih memilih UI daripada UGM, memperbincangkan soal kabar terbaru di Jogja, lalu kita tertawa bersama ketika ibu membuka kedokmu. Kata beliau, akhir-akhir ini kamu suka membuat kue sendirian. Aku tidak kaget, karena menurut hasil pengamatan diam-diam yang kudapati dari akun facebook-mu, memang benar kalau kamu sedang rajin-rajinnya membuat kue. Kita tertawa bersama, tawa yang kurindukan selama satu setengah tahun ini, dan barukali ini aku bisa kembali merasakan tawa itu.

Ibu pamit masuk kamar karena ingin menyetrika. Langkah ibumu santai meninggalkan kita, sayup-sayup langsung kudengar suara penggalan nyanyian dalam film Mohabbatein. Iya, sepertinya film Mohabbatein hari itu tayang ulang. Di saat yang sama, aku dan kamu hanya berdua di ruang tamu. Kita tak banyak bicara, sesekali mengalir pembicaraan tentang agama, lalu diam lagi. Berikutnya, mengalir pembicaraan tentang budaya, lalu membisu lagi. Setiap aku berbicara dan tertawa, seringkali kamu berkata, “Suaramu terdengar jauh lebih riang.” 

Jujur, aku tak tahu cara menjawab ucapanmu itu, aku hanya tertawa, walaupun sebenarnya aku tak paham apakah yang kaubicarakan mengandung makna konotasi atau denotasi. Kita berbicara santai saja, meskipun harus kumaklumi hadirnya suara raungan orang utan yang berasal dari Gembira Loka. Kebun binatang yang ada di dekat rumahmu. Aku mulai mengganti topik baru, membuka percakapan tentang surat-surat yang pernah kaukirim dan masih kusimpan. Ketika sampai pada pembicaraan mengenai 1 September 2010, tanggal jadian kita, aku memang tak bisa berkomentar banyak. Jurang pemisah itu memang ada dan aku tak tahu mengapa perubahan ini terasa begitu asing bagiku. 

Aku tak merasa kita pernah putus, nyatanya kita memang masih berkomunikasi. Aku tak tahu selama ini apa yang kita jalani, status kita begitu abu-abu di mataku. Entah aku ini temanmu, pelarianmu, kekasihmu, atau adikmu. Ketika dijauhkan jarak, aku merasa ada rindu dalam setiap percakapan kita di telepon. Ada cinta yang kautunjukkan dalam setiap goresan pena di kertas suratmu. Aku tak mengerti apakah itu sungguh rindu dan cinta, atau semua hanya omong kosong belaka yang dikemas dengan begitu sempurna.

Matahari sudah mulai bersembunyi dari langit Jogja. Aku dan kamu sepakat untuk mengunjungi tempat kencan pertama kita. Mister Burger di Jalan Sudirman. Sore itu, kita kembali membelah jalanan Jogjakarta dengan sepeda motormu. Setiap berhenti di lampu merah, kamu menyanyikan lagu andalanmu dengan lantang, “Akulah putra SMA De Britto. Gagahlah cita-citaku Murni sejati jiwaku!” nyanyian itu terdengar manis di telingaku. Jemarimu memainkan stang sepeda motor seakan benda itu adalah drum.

Aku menghela napas ketika mendengar kamu menyanyikan lagu itu. Kamu pernah berjanji ingin mengajariku agar bisa menyanyikan lagu itu sampai benar-benar hapal. Namun, sepertinya, kamu sudah lupa janji itu. Seperti yang kutahu, perempuan adalah pengingat sejarah yang baik sementara pria adalah pelupa yang ulung. Aku yang lebih sering diam daripada mengingatmu, memilih untuk diam dan tetap memerhatikan jalan. Terlalu banyak kenangan kali ini, rasanya aku ingin segera pergi dan berlari.

Sebelum mencapai Mister Burger, kamu mengarahkan sepeda motormu melalui fly over di dekat UKDW. Di sini tempat pertama kali kita melihat kembang api. Lalu, kita melewati gereja di depan UKDW. Ingat? Waktu pertama aku beribadah di gereja itu bersamamu, aku menggerutu karena tak menemukan kertas liturgi. Kamu, dengan gaya khasmu hanya berkata, “Sabar, Dik.” Padahal, liturgi ibadah ada di depan layar besar di dekat mimbar pendeta. Mengingat kita pernah melewati peristiwa manis itu, rasanya aku ingin tertawa. 

Saat membawaku keliling-keliling di tempat kenangan kita, kamu tak membuka suara. Diam-diam aku memang memerhatikanmu, mencoba memahami arti diammu. Tapi, aku selalu gagal. Bertahun-tahun aku mengenalmu, tapi aku tak pernah tahu apa yang ada dalam hatimu. 

Sesampainya di Mister Burger, aku memilih duduk di tempat kita biasa duduk. Di lantai dua dekat dengan balkon. Satu setengah tahun yang lalu, kita sering duduk di sini. Sambil mendengar deru kendaraan bermotor di Jalan Sudirman. Kita memakan burger dengan lahap, seperti biasa tanpa suara. Aku merasakan udara yang sama dengan satu setengah tahun yang lalu, kamu menggenggam tanganku dan kurasakan ada kekuatan di sana. Kutatap matamu dalam-dalam dan kurasakan ada dunia baru di sana. Tuan, seandainya aku tahu apa yang ada di dalam isi hatimu, ketika kaugenggam tanganku, ketika kautatap mataku; apakah karena kausungguh merindukanku?

Hingga sore berganti malam, kamu memutuskan untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Saat itu, kamu kembali menggenggam tanganku dan menatap mataku dengan lembut. Dalam kehangatan itu, akhirnya kamu kembali membuka suara. Kamu bercerita tentang kekasih barumu masih dengan genggaman tanganmu yang ada di jemariku. Kamu tersenyum ketika bercerita tentang wanita itu, tapi kamu juga terus menatap mataku seakan tak ingin adanya perpisahan di antara kita.

Aku menghela napas berat. Ketika kaumasih terus bercerita tanpa memerhatikan perubahan raut wajahku. Sudah tiga tahun aku mengenalmu, Sayang. Tapi, entah mengapa, aku tak pernah mengerti isi hati dan jalan pikiranmu selama ini?

Sungguh, aku tak tahu pria macam apa yang ada di depanku, yang masih bisa bercerita tentang wanita lain ketika jemarinya hangat menggenggam jemariku.