23 January 2013

Sampai Kapan Kita Bisa Bersama?

Akhir-akhir ini aku sulit tidur. Bukan banyak pikiran, hanya ada beberapa hal yang harus aku kerjakan. Salah satu hal yang membuatku rela tidak tidur hingga subuh, ya, karena mendengar suaramu di ujung telepon, hingga suara azan subuh menggema di masing-masing kota kita. Mendengar suara dan saling tertawa; itulah yang biasa kita lakukan, di samping membaca pesan singkat yang kautuliskan dengan rapi, dengan huruf dan tanda baca yang penuh intonasi. Dalam jarak sejauh ini, tak banyak hal yang bisa kita lakukan, selain menulis dan mendengar; bukan bersentuhan. Padahal, tahukah kamu tulisan dan suara yang terdengar di ujung handphone sungguh jauh berbeda dengan pertemuan nyata? Iya, tidak akan kubahas lagi, aku selalu hapal nasihatmu ketika aku mengungkit soal ini, "Sabar." katamu dengan suara parau, "Kita bisa lewati ini."

Kita terus berjuang dan melewati yang memang tak pernah kita minta untuk terjadi. Seperti takdir, dia datang bagai pencuri, tanpa laporan dan ucapan permisi datang menghampiri. Ini bukan salahku, juga bukan salahmu. Aku dan kamu sudah tahu yang harus kita hadapi, lalu pantaskah mengeluh? Tidak. Sejauh ini perjuangan kita memang tidak sia-sia, belum sia-sia (lebih tepatnya). Apa kaumembaca nada ketidakyakinan? Manusiawi jika manusia punya rasa tak yakin, karena seluruh yang terjadi di kolong langit ini memang penuh ketidakpastian.

Tuan, apa yang hendak kita perjuangkan dan kita buktikan di mata banyak orang? Tahanan kotakah kita? Koruptorkah kita? Bukankah kita hanya jatuh cinta? Hanya tidak ingin menyalahi kodrat Tuhan yang membikin manusia punya hati, punya rasa kasih, dan rasa ingin berbagi. Masih tahan kauberjuang bersamaku sampai berdarah-darah begitu? Aku sudah bilang padamu, tidak perlu kaumasuk ke dalam terowongan yang tak punya ujung. Berkali-kali juga kukatakan, tidak perlu kaumasuk ke lingkaran yang tak kaukenali setiap sudut-sudutnya.

Kamu ternyata tidak seperti yang kubayangkan, kamu lebih kuat dan lebih tegar dari yang kukira. Kamu masih berjalan di sampingku, menggenggam erat jemariku. Jadi, sudah berapa detikkah kita lewati bersama? Emh.... tak perlu dihitung. Kebersamaan bukanlah kalkulasi yang penuh dengan jawaban pasti. Kebahagiaan kita juga bukan ilmu hitung yang mutlak dan bisa dipecahkan secara jelas.

Aku merasa kamarku lebih dingin daripada biasanya. Kantung mataku menebal. Entah siapa yang sebabkan kehitaman di bawah mata campuran Jawa Sulawesi ini. Bukan salahmu, sungguh. Kamu selalu bilang, sapamu di ujung ponsel adalah untuk melepas kangen, walaupun alasan itu cukup bodoh bagi kita yang sudah sama-sama dewasa. Dalam cinta, adakah kebodohan? Justru karena kebodohan itulah segalanya jadi nampak manis dalam kegelapan, terlihat memesona dalam ketersesatan.

Setelah semua yang kita lewati bersama, yakinkah ada surga di ujung jalan sana? Sesudah beberapa tikungan kita lalui, akankah kita tak akan bertemu tikungan yang lebih tajam? Tak ada yang pasti, Tuan. Kita hanya tahu melangkah, terus melangkah. Menikmati yang ada di kanan-kiri, mempelajari yang ada di depan kita, dan menerima yang harusnya kita pasrahkan.

Sampai kapan kita bersama? Sampai kamu terbatuk-batuk di ruang tamu, dan aku tergopoh-gopoh membawakan obat batuk untukmu? Sampai kapan kita bisa terus menyatu seperti ini? Sampai kamu tak mampu lagi mengintip matahari di luar jendela dan hanya bisa memelukku erat ketika bangun di pagi hari? Sampai kapan perasaan ini terus bertahan? Sampai kata "aku mencintaimu" terucap saat kaumengecup nisanku atau sebaliknya aku yang mengecup nisanmu?

Tuhan kita saja berbeda, masa kita mau memimpi-mimpikan bahagia? Manusia keras kepala.

13 January 2013

Apakah Kamu masih yang Dulu Kukenal? (END)




                Langit-langit rumahnya masih sama. Putih. Bersih. Kosong. Ia punya pembantu untuk mengantarkan minum untukku, tapi ia selalu berpendapat bahwa aku harus dilayani oleh kekasihku sendiri—dia.
                “Kamu naik motor?” percakapan awal yang tak begitu kuharapkan, pertanyaan seperti ini harusnya tak ditanyakan lagi.
                “Iya, kenapa?”
                “Di luar kan panas, kenapa enggak minta jemput sama supirku aja?”
                “Aku cuma ke rumahmu, bukan ke kawah Gunung Merapi.”
                “Jayus ah!” senyum kecil tergambar di sudut bibirnya, senyum yang akhirnya bisa kunikmati dengan bebas.
                “Akhirnya kita bisa ngobrol sedekat ini.” aku menggeser posisi dudukku lebih dekat dengannya, ia mengerti keinginanku; ia segera bersandar di dadaku.
                “Maaf untuk kejadian kemarin, mungkin aku terlalu lelah dan enggak bisa memahami keinginan kamu.” wanitaku berbicara dengan nada menyesal, aku bisa rasakan penyesalannya.
                “Aku yang salah, harusnya aku sadar dan paham, kamu enggak bisa makan sembarangan.”
                “Bukannya aku gak bisa makan sembarangan, aku lebih memikirkan pola makanmu.”
                “Iya, makasih.” tuturku tegas sambil mengenggam jemarinya, “Aku juga paham, kamu bukan wanita yang seperti dulu. Yang sederhana, yang mudah kuajak ke mana-mana. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu.”
                “Ini mimpi aku, salah kalau aku mengejarnya? Salah kalau aku akhirnya berhasil dan bisa menghasilkan banyak materi?”
                “Bukan itu yang salah, kamu berbeda. Berbeda!”
                Ia menghela napas, meremas-remas tempurung kepalanya, “Aku enggak mau berdebat. Aku sudah cukup lelah dengan pekerjaanku, dengan jadwal syuting di banyak tempat. Kita cuma punya waktu sedikit untuk bersama, jangan rusak segalanya dengan egomu.”
                “Aku membicarakan kenyataan, kamu berubah. Kamu udah enggak mau kuajak makan dipinggir jalan, udah enggak mau aku bayarin. Sekarang, kamu yang mengatur segalanya.”
                Dia kembali menegakkan posisinya, tak lagi bersandar di dadaku. “Aku enggak berubah, kamu yang belum terbiasa dengan aku yang sekarang.”
                “Kalau kamu ingin aku jujur, aku lebih menginginkan kamu yang dulu.”
                “Segalanya udah berbeda, Sayang. Jarum jam tidak mungkin bisa diputar ke kiri.”
                “Apa kita enggak bisa kayak dulu lagi? Jalan-jalan bareng ke tempat yang ramai tapi tetap bisa ngobrol bareng kamu.”
                Kekasihku menggeleng mantap, “Banyak mata mengawasi aku.”
                “Aku belum siap dengan ketenaran kamu.”
                “Aku juga belum siap, tapi kalau aku beranggapan belum siap maka aku tak akan pernah siap.”
                “Apa dalam ketenaranmu, kamu masih membutuhkan aku?”
                “Aku masih sangat butuh sapaan selamat pagi darimu, juga ucapan selamat tidur dari kamu. Aku masih wanitamu yang dulu.”
                Senyumku mengembang, aku menarik dia dalam pelukku. Rapat sekali.
                Mungkin kekasihku benar, aku hanya belum siap pada perubahannya yang sekarang. Soal perasaan, wanita tak pernah salah.
                Semandiri apapun wanita, ia tetap membutuhkan sosok pria tangguh di sampingnya.

12 January 2013

Apakah Kamu masih yang Dulu Kukenal?



                Aku menatap wanita yang kucintai itu dengan tatapan bersalah. Sebenarnya aku juga tidak tahu siapa yang salah, aku yang salah atau dia yang salah. Rasanya memang tak ada yang membuat kesalahan, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah di antara kita. Dia wanita yang sungguh berbeda. Wanita yang tidak lagi kukenal. Aku kehilangan cara untuk menghadapi segala macam tindakannya.
                “Aku enggak mau makan di situ, mahal.”
                “Aku yang bayarin!” ucap kekasihku sambil menarik dompetnya dari tas, “Kita makan di sana aja ya, enak kok, banyak gizinya, supaya kamu gendutan dikit. Kalau kurus kan enggak enak dipeluk.”
                “Kamu yang bayarin?”
                Well, kenapa?”
                “Emangnya kita enggak bisa makan dipinggiran jalan aja? Yang lebih enak, lebih murah juga.”
                “Enggak ah, makan di sana berdebu, banyak asap kendaraan bermotor. Aku mau makan di restoran aja.”
                “Aku enggak mau.”
                “Kenapa? Emangnya salah kalau aku memberikan yang terbaik untuk pacarku sendiri? Kalau makan di pinggir jalan nanti kamu sakit. Kamu kan enggak tahu bahan campuran dari makanan itu bersih atau enggak.”
                “Restoran itu mahal, Sayang. Aku enggak bisa bayarin kamu makan di sana!”
                Wanitaku terdiam sesaat, ia hanya menatapku dengan tatapan bersalah, “Memangnya salah kalau aku bayarin kamu?”
                “Enggak ada yang salah, cuma terlalu sering. Aku kan cowok, kewajibanku adalah membayar kebutuhanmu.”
                “Siapa yang bikin peraturan kayak gitu? Gender banget. Cewek enggak boleh bayarin cowok?”
                “Itu bukan peraturan, Sayang. Itu seperti kodrat, sebuah keharusan.”
                “Kita cuma mau makan, bukan mau ngurusin kewajiban dan hak. Ribet banget sih kamu!”
                “Kamu itu pacar aku, harusnya kamu mau aku atur.”
                “Oh, gitu, mentang-mentang aku cewek, lantas kamu berhak mengatur aku?”
                “Bukan, maksud aku, kapan kamu memberi aku kesempatan menjadi laki-laki seutuhnya? Yang bisa melindungi kamu dan memenuhi kebutuhanmu?”
                “Aku bukan wanita manja yang butuh lelaki sebagai penutup kelemahan. Aku bisa menutupi kelemahanku sendiri.”
                “Itulah, Sayang, yang seringkali aku benci dari sikap kamu. Sombong.”
                “Aku yang bayarin kamu segalanya! Karena apa? Karena aku tahu, kamu enggak mampu melayani yang aku mau. Ini bukan soal hak dan kewajiban, Sayang. Ini soal keinginan untuk berbagi.”
                “Egois!”
                “Terserahlah. Aku capek berdebat berulang-ulang kayak gini.”
                “Mau kamu apa?”
                “Aku mau pulang, aku balik sama supirku aja. Aku males naik motor sama kamu. Panas! Bau! Pusing! Repot kalau banyak wartawan tahu kalau aku naik motor sama kamu!”
                Aku menghela napas, “Pulanglah, aku cuma enggak mau bikin kamu kehujanan dan kepanasan gara-gara naik motor sama aku.”
                Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, raut wajahnya seakan tak memercayai bahwa pernyataan sekejam itu bisa terlontar dari bibirku. Kekasihku melengos pergi, aku tak mampu lagi menahannya untuk tetap tinggal. Ia terlalu mandiri, terlalu kuat, dan terlalu mudah meninggikan dirinya. Aku yang kecil hanya bisa menerima, menetap dia dari jauh, tapi tetap mencintainya.
                Ketika punggungnya terlihat menghilang, aku berpikir dengan gelisah. Apakah wanita mandiri tak lagi membutuhkan sosok pria di sampingnya?

02 January 2013

2 Januari dan Kita

Tentangmu: 2 Januari 2011

Tentangmu: 2 Januari 2012
Halo, Tuan. Kita bertemu lagi di 2 Januari. Tanggal yang cukup penting bagiku, namun belum tentu penting bagimu. Ini sudah menjadi tradisi, sejak tiga tahun yang lalu. Tradisi semacam apa? Ya, seperti ini, aku senang menulis tentangmu berulang-ulang setiap tanggal 2 Januari. Sebagai pengingat bahwa dulu kita pernah berkenalan dan sempat dekat.

Cin... cino! Matamu yang sipit dan wajah orientalmu adalah potret yang tidak pernah aku lupakan. Bukan menjadi sesal, tapi sangat disayangkan jika selama tiga tahun ini, kita tak pernah begitu saling tahu, apalagi bertemu. Beberapa kali aku sempat mampir di kotamu, menikmati udara yang berembus manis di sana, berjalan-jalan ke daerah Malioboro— dekat dengan rumahmu.

Sungguh, kita sangat nyaman dengan ketidakjelasan seperti ini. Dulu, dulu sekali, beberapa tahun yang lalu, kedekatan kita adalah hal yang tak ingin aku sia-siakan. Bisakah manusia kecil seperti aku melawan kehendak Tuhan? Aku tidak sekuat itu. Perpisahan kita, yang terjadi tanpa dugaanku sebelumnya, tiba-tiba saja hadir. Kita, yang dulu adalah kutub selatan juga utara, yang saling tarik-menarik dan berdekatan, tak lagi punya alasan untuk berjalan sama-sama.

Tuan, aku sungguh tak percaya, hubungan kita yang berjalan singkat ternyata masih begitu melekat dalam ingatanku. Aku juga tak paham, mengapa sosokmu yang sempat begitu akrab di otakku telah berubah menjadi sosok yang tak lagi kukenal. Memang tidak ada kata pisah. Tidak juga ada ajakan untuk menyatukan aku dan kamu menjadi kita. Tapi, segalanya yang telah kulakukan bersamamu membawa kejutan dan kenangan tersendiri bagiku, entah bagimu.

Bolehkah aku bercerita tentang awal pertemuan kita? Mungkin, jika kamu menyempatkan diri untuk membaca, kamu akan bosan mendengar ceritaku. Pertemuan kita diawali dari sapaan terpendek di dunia, “Hai.” Cukup tiga huruf, dan itulah awal sederhana yang mengubah hidupku dan hidupmu. Sapa yang kulayangkan dari chat facebook itu berbuah balasan darimu. Sapaan iseng itu mengantarkan kita pada satu titik, titik ternyaman saat kita saling berkenalan. Aku mengetahuimu. Kamu juga mengetahuiku. Meskipun semua hanya maya, meskipun tak nyata, meskipun hanya lewat tulisan; kamu berbeda dan aku suka.

Kamu adalah veteran dari SMP Stella Duce dan juga veteran di SMA Kolese De Britto. Aku tahu kamu tidak nakal, Tuan. Kamu gigih dan selalu berjuang untuk yang ingin kauperjuangkan, tapi entah mengapa kautidak memperjuangkanku? Apa aku tak layak untuk diperjuangkan? Sudahlah, lupakan! Semua sudah lewat dan pertemuan kita harusnya bukan menjadi hal yang harus kusesali. Aku masih mengingat tentangmu. Tentang dedikasimu untuk PSS Sleman, kamu membuat kaos sebagai wujud kepedulianmu terhadap tim kesayanganmu. Kamulah yang berteriak lantang di depan para supporter Macan Demangan ketika DBL dimulai.

Waktu kita berkenalan, kamu masih SMA. Masih bersama kekasihmu yang dulu, yang seringkali kauceritakan padaku. Kamu... pria yang selalu lupa makanan apa saja yang masuk ke dalam mulutnya. Anak IPA berjiwa IPS. Pecinta Arsenal, penyuka PSS Sleman, penggemar Macan Demangan. Pria yang tak pernah mengeluh sakit dan selalu menggunakan infus untuk meredam nyeri. Keeper yang tak pernah sekalipun penampilanmu ditonton oleh wanita yang kaucintai. Kocak. Humoris. Supel. Dan, katanya, kamu seringkali membawa wanita berbeda ketika ada suatu acara di sekolahmu. Ah, Tuan, mengenai ini hanya soal gosip saja, tapi aku percaya kautidak seperti kata orang. Aku memercayaimu. Dan, apakah yang tidak kuketahui mengenai kamu?

Tuan, sudah tiga tahun, 2 Januari 2010 memang sudah terlewat. Aku juga sudah berubah, kamu juga sudah pasti berubah. Kenangan kita, hari-hari kita, segala yang terjadi di antara kita pasti sudah berubah. Kamu mungkin sudah melupakanku, melupakan setiap detail diriku yang pernah kuperlihatkan padamu. Segalanya pasti sudah berubah, Tuan. Tapi, kenangan tetap sama, meskipun orang-orang yang mengingatnya tak lagi sama.

Dulu, kita masih SMA. Sekarang aku dan kamu sudah merasakan bangku kuliah. Dulu, kita begitu dekat. Sekarang, kita bahkan tak saling kenal. Logiskah jika kamu yang tak pernah kutemui secara nyata bisa menyita perhatianku hingga sejauh ini?

Tuan, maafkan aku jika aku masih mengingatmu, masih ingin bercerita tentangmu, dan masih mengingat yang terjadi sewaktu kita masih bersama. Aku tahu ini semua salah, tapi menurutku bercerita tentangmu bukanlah hal yang salah.

Sekali lagi, selamat 2 Januari, Tuan.

Bersemangatlah di jurusan Hukum Universitas Gajah Mada yang sedang kautekuni. 

Tiba-tiba, aku merindukanmu.