27 August 2012

Lagi... Tentang Kita

Ini bukan yang pertama, duduk sendirian dan memerhatikan beberapa tulisan berlalu-lalang. Setiap abjad yang tersusun dalam kata terangkai menjadi kalimat, dan entah mengapa sosokmu selalu berada di sana, berdiam dalam tulisan yang sebenarnya enggan aku baca dan kudefinisikan lagi. Ini bukan yang baru bagiku, duduk berjam-jam tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. Kekosongan dan kehampaan sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap menunduk, mencoba tak memedulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati iseng sendiri.

Tentu saja, kamu tak merasakan apa yang kurasakan, juga tak memiliki rindu yang tersimpan rapat-rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan itu, agar kita tak lagi saling menganggu. Bukankah dengan berjauhan seperti ini, semua terasa jadi lebih berarti? Seakan-akan aku tak pernah peduli, seakan-akan aku tak mau tahu, seakan-akan aku tak miliki rasa perhatian. Bagiku, sudah cukup seperti ini, cukup aku dan kamu, tanpa kita.

Kali ini, aku tak akan menjelaskan tentang kesepian, atau bercerita tentang banyak hal yang mungkin saja sulit kaupahami. Karena aku sudah tahu, kamu sangat sulit diajak basa-basi, apalagi jika berbicara soal cinta mati. Aku yakin, kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume lagu-lagu yang bernyanyi bahkan tanpa lirik yang tak bisa kauterjemahkan sendiri. Aku tidak akan tega membebanimu dengan cerita-cerita absurd yang selalu kaubenci. Seperti dulu, saat aku bicara cinta, kaumalah tertawa. Seperti saat kita masih bersama, aku berkata rindu, namun kautulikan telinga.

Hanya cerita sederhana yang mungkin tak ingin kaudengar sebagai pengantar tidurmu. Kamu tak suka jika kuceritakan tentang air mata bukan? Bagaimana kalau kualihkan air mata menjadi senyum pura-pura? Tentu saja, kautak akan melihatnya, sejauh yang kutahu; kamu tidak peka. Dan, mungkin saja sifat burukmu masih sama, walaupun kita sudah lama berpisah dan sudah lama tak saling bertatap mata.

Entah mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. Aku seperti berbisik dan mendengar suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran, dalam gelapnya malam ternyata ada banyak cerita yang sempat terlewatkan. Ini tentang kita. Ah... sekarang kamu pasti sedang membuang muka, tak ingin membuka luka lama. Aku pun juga begitu, tak ingin menyentuh bayang-bayangmu yang samar, tak ingin mereka-reka senyummu yang tak seindah dulu.

Kalau boleh aku jujur, kata "dulu" begitu akrab di otak, pikiran, dan telingaku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai-sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya waktu dan jarak. Sudah kesekian kali, aku diam-diam menyebut namamu dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja angin; tertiup jauh namun mungkin akan kembali.

Wajah baruku bisa kaulihat sendiri, terlihat lebih baik dan lebih hangat daripada saat awal perpisahan kita. Bicara tentang perpisahan, benarkah kita memang telah berpisah? Benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata "saling", tapi mengapa hatiku masih ingin terus mengikatmu? Dan, mengapa hingga saat ini kamu tak benar-benar menjauh? Kadang, jarak tak menjadi alasan untuk kita saling berbagi. Dalam serba ketidakjelasan, aku dan kamu masih saja menjalani... menjalani sesuatu yang tak tahu harus disebut apa. Tapi, katamu, masih ada rasa nyaman ketika kita kembali berdekatan. Terlalu tololkah jika kusebut belahan jiwa? Keterikatan aku dan kamu tak ada dalam status, tapi jiwa kita, napas kita, kerinduan kita; miliki denyut dan detak yang sama.

Tidak usah dibawa serius, hanya beberapa rangkaian paragraf bodoh untuk menemani rasa sepi yang sudah lama sekali datang menghantui. Sejak kamu tak lagi di sini, sejak aku dan kamu memilih jalan sendiri-sendiri, aku malah sering main dengan sepi, sulit untuk dipungkiri. 

Sebentar lagi tanggal 1 September. Ingat apa yang kita lakukan setahun yang lalu? 

Kamu mengajakku melihat kolam ikan lele putih yang ada di belakang rumah. Suara ayam jantan dan ayam betina ikut meraung ramah, turut menghangatkan suasana. Ibumu mengantar pisang goreng yang masih hangat, kamu mengulurkan tangan dan mengucap terima kasih— lalu ibu pergi. Saat itu, kamu bercerita banyak, bercerita tentang ayahmu yang sudah berbahagia bersama Bapa di Surga, tentang keluargamu, dan bertanya tentang kejelasan status kita. Ini membuatku terkejut, kamu yang pendiam tenyata bisa berlaku serius? Aku tertawa geli; kamu masih memasang wajah serius. 

Tatapanmu terlihat semakin serius, semakin dalam, dan kamu berucap pelan-pelan. Iya, saat itu aku dan kamu menjadi kita. Indah. Tapi, masa lalu, dulu. Sudah kubilang dari awal kan, "dulu" itu memang menyenangkan.

Dan, di antara tugas ospek yang membuat jemariku pegal
di antara kertas-kertas yang berserakan
Aku masih merindukanmu.

22 August 2012

Suatu malam, di kotaku

Kita pernah sepakat, untuk tak satukan rasa, untuk membiarkan semuanya termakan waktu, lalu terlupakan oleh jarak yang terbentang. Aku dan kamu pernah berjanji, agar tak membawa segala rasa dan persepsi ke arah yang lebih serius. Kita bertahan, terus bertahan, namun semua diluar dugaan. Sesuatu yang telah kita tolak kehadirannya memilih untuk menampakan diri. Lalu, aku dan kamu semakin mencoba untuk tak peduli, dan bertahan untuk merawat gengsi.

Tak bisa dipungkiri, ada rindu yang diam-diam tertanam, ketika ragamu tak mampu kurengkuh, ketika sentuhanmu tak selalu kurasakan. Kita menjalin hubungan, tak terikat, tapi timbulkan beberapa akibat; jatuh cinta. Iya, dan aku dan kamu masih berusaha memungkiri yang selama ini terjadi. Tak mau saling mengaku dan masih ingin menyembunyikan. Aku dan kamu masih terlibat trauma, dan tak ingin buru-buru mengucap kata cinta.

Sekarang, ketika pengakuan sudah saling terucapkan, ketika rasa kita mulai temukan penyatuan, ternyata masih ada tantangan; jarak. Yang sulit kita lawan dan sangat sulit kita hadapi sendiri. Masih ada pertengkaran di tengah rasa rindu, dan ada rasa rindu di balik rasa angkuh dan keras kepala kita masing-masing.

Mengutip perkataanmu, saat dekat ribut, saat jauh baru terasa kangen.

Lihatlah, kita saling mencintai, mengasihi tapi kebingungan mencari cara untuk mengungkapkan dan mengucapkan. Kita terlalu berharap pada waktu dan juga keadaan yang diam-diam akan bocorkan yang kita rasakan.

Sampai sekarang, tak ada status yang benar-benar jelas. Kadang, kita menjauh, kadang, saling berdekatan. Kita seperti gedung-gedung tinggi di Jakarta, saling berhadapan tapi enggan bersentuhan.

Kita terlalu sering dijauhkan jarak, terlalu sering memperdebatkan hal sepele, tapi rindu masih memegang kendali. Aku dan kamu belum benar-benar saling melupakan.

Yogyakarta, 22082012
ketika kita tak sempat bertemu
saya berharap kamu sehat-sehat dan baik-baik saja
saya merindukanmu
juga kita yang dulu.

15 August 2012

Aku Benci harus Jujur Mengenai Hal ini (2)

Cerita sebelumnya:  Aku Benci harus Jujur Mengenai Hal ini :)

Aku sengaja berangkat pagi-pagi, sebelum adzan subuh menggema, aku sudah siap dengan peralatan yang harus kubawa. Kutatap cermin dengan mantap, aku terlihat bodoh. Dengan kemeja putih yang kebesaran, rok hitam yang kepanjangan, juga rambut yang dikuncir dua di bawah. Wajahku terlihat sangat polos dan semua terlihat seperti dulu, ketika zaman taman kanak-kanak. Lugu, bodoh, namun tampak menyenangkan. Hari ini kemungkinan besar aku akan bertemu denganmu.

Tas yang berat kupikul di bahu; tidak biasanya aku sudah di stasiun sepagi ini. Aku menguap berkali-kali, tidurku tidak cukup panjang tadi malam. Dengan mata yang terbuka seadanya, aku menunggu kereta berhenti tepat di depanku,  dan segera kupasang langkah pasti mengayun. Suasana dingin commuter line menusuk-nusuk indera perasa, aku merapatkan kedua lengan tangan di depan dada. Aku kedinginan. 

Di stasiun tujuan, ketibaanku diserang gerimis tipis. Aku menyeberangi rel kereta dan kulanjutkan langkah kaki menuju tempat itu. Kulewati jalan raya yang ramai di depan stasiun, masih dengan gerimis tipis, juga langit mendung, sendirian. Lalu, kuseberangi lagi jalan itu, sebelum akhirnya pemandangan berganti menjadi gang kecil dengan kandang rusa di sebelah kanan. Aku berjalan pelan-pelan tak ingin terpeleset juga tak ingin menodai kemeja putihku. Pohon-pohon beringin di sepanjang gang seperti hendak memayungiku.

Semua berjalan biasa saja, namun semua berubah ketika seseorang menjegatku dan memberhentikan langkahku.

"Kenapa jalan sendirian?" ucap suara yang menciutkan keberanianku.
Suara itu menggema di telinga, membuatku tak berani menatap lekat-lekat sosok itu.
"Kalau diajak ngobrol itu jawab! Lihat mata orang yang diajak ngobrol!" bentaknya keras.
Kuberanikan diri untuk menengadahkan kepala. Rambutnya ikal dan sedikit lepek karena terkena gerimis, bentuk hidungnya mancung, ia mengenakan kaos merah dengan jaket kuning. Aku segera tahu. Itu kamu.
"Di lengan saya ada pita hitam, kamu harus memanggil saya dengan sebutan apa?" matamu membesar seperti ingin segera menerkamku.
"Maaf, Jendral."
"Kamu dari jurusan apa?"
"Sastra Indonesia, Jendral."
"Sekarang kamu jalan ke sana, percepat langkahnya!"
"Siap, Jendral."

Kupercepat langkahku dan kubiarkan sosokmu tertinggal di belakang. Inilah yang kutunggu-tunggu sejak kemarin, mendengar suaramu juga menatap matamu untuk beberapa detik. Tahukah kamu ada perasaan bahagia yang diam-diam kurasakan? Ketika sosokmu ada di depanku, juga ketika aku punya kesempatan untuk menatapmu dari dekat... lebih dekat. 

Aku tak bisa berhenti tersenyum, bahkan ketika panasnya ruangan auditorium mencucurkan keringat dari pelipis dan tanganku. Di tribun atas, aku begitu puas. Dalam jarak setinggi ini, aku bisa begitu bebas menatapmu dan menikmati keindahanmu. Fokusku terbagi untukmu juga untuk acara yang sedang berlangsung. Dengan tampang yang cemberut dan tanpa senyum, kau membuat segan manusia-manusia tengil yang sedang kauawasi. Aku masih terus menatapmu, sadarkah?

Dari kejauhan, kulihat kausibuk memarahi seorang lak-laki yang tak menguncir poninya yang panjang. Kulihat kau mengikat secara paksa poni laki-laki itu, aku tertawa diam-diam. Seandainya laki-laki itu adalah aku, betapa beruntungnya aku bisa merasakan sentuhan jemarimu dalam setiap helai rambutku.

Waktu terus berjalan, dan aku benci harus sampai di penghujung acara. Jadi, aku dan kamu harus berpisah lagi? Dan, aku harus menunggu waktu yang akan datang untuk segera tiba, agar bisa kupandangi lagi wajahmu. Harus berapa minggu lagi kutunggu, bagaimana jika perasaan rindu yang ada bertumbuh lebih hebat dari biasanya?

Haruskah terpisah lagi? Dengan keadaan kausama sekali tak tahu tentang diriku juga namaku, begitu juga dengan aku yang tak mengetahui namamu. Tapi, pentingkah arti sebuah nama, jika perasaan yang ada lebih besar dan lebih kuat daripada sebuah arti nama?

Kamu ubah semua yang absurd menjadi membahagiakan. Kamu ubah rasa dinginku menjadi kehangatan yang berlipat ganda. Kaubawa kembali matahariku... menggantikan mendung yang selama ini hadir. Kaukenalkan aku pada rasa yang sulit dijelaskan kata-kata.

Aku benci harus jujur mengenai ini, aku harap kaubisa mengetahui sosokku walaupun aku tak pernah berharap agar kautahu perasaanku. Aku benci harus jujur mengenai ini, bahwa sosokmu selalu jadi sebab perasaan rindu tak pernah tersesat saat menemui jalan pulang.

Aku sibuk menghitung hari, awal September kita akan bertemu lagi.

Tetaplah begini, aku begitu mencintai sisi misterius yang kauciptakan.

13 August 2012

Aku Benci harus Jujur Mengenai Hal ini

Sejak awal, ketika tubuh tegapmu menjegatku, aku sudah mereka-reka banyak jawaban di kepala. Saat sosokmu mulai kuasai pandangan, aku tahu ada sesuatu yang berbeda dalam dirimu. Kamu lebih sering berjalan dan berkeliling sambil melipat tangan di depan dada. Wajahmu dilipat sedemikian rupa hingga terlihat jutek dan cukup tampak menyebalkan. Hidung mancungmu lebih sering jadi pusat pandangan, dan betapa aku benci harus jujur mengenai hal ini— kamu sangat memabukkan.

Tubuhmu mematung di depan mereka yang mengagumi kewibawaanmu. Kamu cukup mengunci mulut, tanpa membentak dan mereka semua mengerti apa yang kaumau. Dari yang kulihat, kamu bukanlah sosok yang pantas diabaikan. Maka, kuputuskan untuk terus menatapmu diam-diam, meskipun kausibuk dengan banyak hal yang tak berhubungan denganku. 

Berkali-kali kau melangkahkan kaki, ke sana-ke mari, dari sudut sana hingga sudut sini, berpindah ke banyak sisi— kaurenggut semua rasa peduli. Sesekali kaubertanya pada mereka, namun suaramu tak kunjung terdengar olehku. Suasana riuh hamburkan segalanya, meskipun terdengar berantakan, tapi nyatanya aku masih tak ingin melepas pandanganku dari gerak-gerik tubuhmu. Kuperhatikan caramu menggerakan bibir, menggerakan tanganmu, juga saat kaugerakan tubuhmu. Kamu tak pernah luput dari rasa penasaranku. Kaurebut kewarasanku hingga menyentuh titik kulminasi. Aku belum ingin meledak, aku masih ingin melihat sosokmu bergerak.

Langkahmu anggun, pelan, tapi pasti. Terarah namun tak tergesa-gesa, kamu berpindah ke barisan belakang untuk menjalankan tugas yang kauemban. Beberapa kali kauajak rekanmu berbicara, dan itulah kali pertama senyummu terlengkung sempurna. Aku terpukau dan semakin membabi buta, sungguh aku sangat ingin memastikan semuanya. Apakah kamu adalah dia, yang telah kuduga-duga? Atau semua hanya khayal yang melebihi batas wajar?

Entah sudah menit yang keberapa, dan pandanganku masih tak ingin melepaskanmu. Kamu seperti magnet dengan daya tarik terkuat, dan aku adalah benda konduktor yang rela ditarik oleh magisnya pesonamu. Awalnya, segalanya terasa asing, tapi denganmu semua nampak jelas. Senyummu tak terlalu sering tampak, karena memang tugasmu adalah memasang tampang menyebalkan. Jika kuminta sekali saja agar kau tersenyum hanya untukku... maukah?

Aku tahu kamu tak akan sadar kalau kuperhatikan, dan mungkin saja kamu memang tak mau tahu tentang seseorang yang diam-diam menyimpan goresan wajahmu dalam ingatan. Iya, mungkin juga kamu tak punya rasa peduli. Dan, aku hanya terjebak pertemuan semu yang berujung siksa, jika yang kuharapkan terlalu tinggi untuk kugapai.

Harapanku tak terlalu tinggi, hanya ingin kau menatapku dengan tatapan ramah dan hangat. Aku juga ingin mendengar suaramu dan merasakan hangatnya jemarimu. Di sudut sana, kamu berdiri dengan tatapan dingin, kepalamu diangkat kasar agar terkesan angkuh. Aku menghela napas dan kubiarkan kaulepas. Sedetik, dua detik, tiga detik... dan kausudah miliki tempat spesial itu; hatiku. 

Selebihnya, aku tak lagi kenal hari. Aku hanya pandai menghitung-hitung wajahmu yang kini sering muncul tiap malam. Rambut gondrongmu yang berkilauan karena keringat dan sinar matahari jadi bayang-bayang yang mengusik konsentrasiku. Waktuku tersita sangat lama, hanya untuk memikirkanmu, juga pertemuan absurd kita yang terjadi tanpa sengaja.

Apa boleh aku sedikit lancang dan sok bijak menanggapi semua ini?  Jika ini yang disebut takdir, maka aku belum sepenuhnya paham akan kehadiranmu dalam hari-hariku. Karena semua terjadi tanpa rencanaku dan juga rencanamu. Mungkinkah ada tangan ajaib yang sengaja mengatur langkah kaki kita agar berada di arah yang sama?

Baru kali ini aku rajin menghitung hari, hingga waktunya datang dan aku kembali bertemu denganmu lagi.

Kaukenakan jaket kuning. Kukenakan batik yang kebesaran, dengan dua kuncir rambut yang mengubah wajahku menjadi polos.

12 August 2012

Selanjutnya Kita...

Malam ini, semua tampak lebih berwarna. Aku sudah melakukan banyak hal sendirian, melatih kemandirian. Mungkin, kamu akan terkejut melihat perubahanku, kamu akan menggeleng lebih lama sambil mengamati gerak-gerikku, aku sudah berbeda sekarang. Atau kalau boleh dibilang, bukan hanya aku, kamu juga berbeda sekarang. Seiring waktu berjalan, semua berubah tanpa persetujuan kita. Tiba-tiba saja aku sudah menjadi seperti ini dan kamu sudah tak lagi di sini.

Akhirnya, ya memang akhirnya, karena tak ada lagi yang akan terulang. Hari-hari yang dulu aku dan kamu lalui seperti gelembung basah yang sangat mudah pecah. Realita berbicara lebih banyak, sementara aku dilarang untuk bermimpi terlalu jauh, apalagi mengharap semua yang telah terjadi bisa terulang kembali. Jika dulu kita begitu manis, entah mengapa sekarang berubah jadi miris. Memang hanya persepsiku saja yang melebih-lebihkan segalanya, mengingat perpisahan kita terjadi tanpa sebab, sulit ditebak, sampai aku muak mencari-cari yang kurasa tak pernah hilang.

Begitu banyak mimpi yang ingin kita wujudkan, kita ceritakan dengan sangat rapi dalam setiap bisikan malam, adakah peristiwa itu tersimpan dalam ingatanmu? Aku berusaha menerima, kita semakin dewasa dan semakin berubah dan segala. Tapi, salahkah jika kuinginkan kamu duduk di sini, mendekapku sebentar dan kembali menceritakan mimpi-mimpi kita yang lebih dulu rapuh sebelum sempat terwujudkan?

Aku sudah berusaha untuk bernapas tanpamu, nampaknya semua berhasil dan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi, di luar dugaanku, setiap malam-malam begini, kamu sering kembali dalam ingatan, berkeliaran. Pikiranku masih ingin menjadikanmu sebagai topik utama, dan hatiku masih mau membiarkanmu berdiam lama-lama di sana. Aneh memang jika aku sering memikirkan kamu yang tak pernah memikirkanku. Menyakitkan memang jika harus terus mendewakan kenangan hanya karena masa lalu terlalu kuat untuk dihancurkan.

Beginilah kita sekarang, Cina. Tak lagi saling bersapa, tak lagi saling bertukar kabar. Semua seperti dulu, ketika kita tak saling mengenal, segalanya terasa asing. Kosong. Apapun yang kita lakukan dulu seperti terhapus begitu saja oleh masa, hari berganti minggu, minggu segera beranjak menuju bulan, sejak saat itu juga jantung kita tak lagi mendenyutkan rasa yang sama. 

Dengarkan aku, Cina. Inilah kita yang sekarang, berusaha melupakan yang disebut kenangan. Berusaha melawan ketakutan yang disebabkan perpisahan. Siapapun yang lebih dulu melupakan tak menjamin semua akan benar-benar hilang. 

Kalau ada waktu, sering-sering cerita tentang Bagaskara, Lintang, Langit dan Laut yang pernah hidup dalam cerita kita dulu. Sudah sebesar apa mereka? Siapa yang merawat mereka?

Aku punya kejutan untukmu, sekarang aku sudah jadi mahasiswa di universitas yang selalu kuceritakan padamu. Adakah kejutan yang akan kautunjukkan padaku, selain cerita tentang pacar barumu?

07 August 2012

Memeluknya dengan Lenganku Sendiri (end)

 Cerita sebelumnya:   Memeluknya dengan Lenganku Sendiri (1)

           Aku membuka pintu kamar tamu dengan pelan-pelan, kemudian segera menutupnya ketika tubuhku sudah berada di kamar tamu. Aku berjalan mendekati ranjang yang ditiduri Gabriel, ia masih pulas dengan tidurnya yang nyeyak, namun napasnya terkesan sesak. Aku masih memerhatikan wajahnya yang terlihat manis saat tidur. Wajah itu begitu lugu, membuat aku yang melihatnya ingin langsung memeluknya, tapi aku tak berani dan masih menahan diri. Selimut yang terjatuh hingga ke lantai langsung saja kupungut dan kuletakkan di atas tubuhnya.  Ia mendengus pelan, napasnya sangat hangat, pipinya memerah. Tanpa pikir panjang, telapak tanganku menyentuh keningnya. Demam.
            Mataku terbelalak, aku segera berhambur keluar dari ruang tamu dan  berlari ke dapur. Jemariku bergetaran ketika mengambil bumbu dan bahan untuk membuat bubur. Aku panik luar biasa, beberapa menit setelahnya aku mulai tenang. Mencoba menghela napas yang terengah-engah, aku mengintip lewat jendela dapur, hari sudah terang. Aku buru-buru menyelesaikan bubur yang kubuat, membuat susu hangat dan meletakkan di meja makan.
            Dengan langkah panik, aku segera masuk ke kamar tamu dan mematikan AC. Gabriel masih tertidur dengan dengusan napas yang berat, tanpa menyentuhnya, aku tahu demamnya pasti mulai naik. Aku ingin memeluknya, menyentuhnya, membangunkannya, atau menghangatkan tubuhnya agar ia tak merasa kedinginan. Tapi, sekali lagi, aku takut. Bodoh.
            Tak sempat, aku terburu-buru. Begitu saja kutinggalkan Gabriel sendirian; berharap bubur dan susu yang kuletakkan di meja makan tak segera dingin. Aku harap Gabriel baik-baik saja, dan semoga saja demamnya segera turun. Kurogoh tasku dengan tergesa-gesa, secara cepat kuncil mobil sudah berada dalam genggamanku.
            Bagasi mobil kubuka dengan kasar, kumasuki mobil dengan langkah kecil namun teratur. Mobil melaju dengan cepat, meninggalkan rumahku juga Gabriel di kamar tamu.
            Selama di perjalanan, hanya bayangan Gabriel yang bekejaran.
            Untuknya, perhatianku tak pernah habis.
***
            “Gabriel...” sapaku di ujung telepon. “Lagi apa?”
            Gabriel mendengus pelan, “Tiduran, kepala gue pusing banget.”
            “Masih di rumah gue? Atau udah di rumah elo?”
            “Di rumah elo, gue belum kuat buat bangun.”
            “Bubur yang di meja makan...”
            “Oh, udah gue makan.”
            “Enak?”
            “Banget, makasih ya, Dira.” ucap Gabriel dengan suara yang terdengar mulai hangat. “Kenapa elo sebaik ini sama gue?”
            Aku terdiam beberapa detik. Karena aku punya perasaan yang dalam terhadapmu, Gabriel. Bisikku dalam hati.
            “Kok elo diem, Ra?”
            “Enggak, enggak apa-apa kok.”
            “Elo lagi di mana?”
            Aku terdiam lagi, kemudian pandanganku tertuju pada mobil hitam yang baru saja keluar dari garasi rumah mewah. Pengawasanku tak lepas dari mobil yang melaju dengan lambat itu.
            “Gue masih di kantor.”
            “Di kantor?”
            “Iya, gue di kantor.” sengaja tak terbata-bata, agar ia tak tahu, aku berbohong.
            “Pulang jam berapa? Ini udah malem lho.” Gabriel merenggut.
            “Enggak lama kok.”
            “Beneran?”
            “Iya.”
            Klik. Sambungan telepon segera kuputus, dan aku segera menyusul mobil hitam itu.
***
            Wanita di depanku berjalan dengan anggun. Gaun sederhananya tak mengurangi kecantikan kulit dan tubuhnya. Ia melenggang melewati parkiran, meliak-liuk di antara puluhan mobil. Ia berjalan dengan langkah teratur ke dalam sebuah cafe. Aku mengikuti dari belakang, diam-diam dan tak menciptakan gerakan yang mencurigakan.
            Ia duduk di meja paling ujung, kedatangannya disambut oleh seorang pria berkemaja biru muda yang tanpa basa-basi langsung menciumi bibir wanita itu. Jalang.
            Jemariku merapatkan jaket yang kukenakan di badan, aku menuruni topiku sedikit saja sampai hampir menutupi seluruh dahiku. Aku sengaja memilih meja di belakangnya. Untuk mengintainya.
            “Kamu udah lama nunggunya ya, Sayang?” suara lembut wanita itu terdengar jelas di telingaku, aku masih berusaha menjaga gerak-gerik tubuhku.
            “Baru duapuluh menit kok, Sayang.” pria itu berdehem pelan sebelum melanjutkan kalimatnya, “Ke sini sama siapa? Gabriel?”
            “Enggak aku sendiri kok, aku dan Gabriel sudah lama putus.”
            “Sejak kapan?”
            “Sebulan yang lalu.”
            Aku menghela napas berat, wanita ini berbohong. Aku tak termakan situasi, masih terus menjaga tindakan sekaligus menjaga emosi.
            “Kalau istrimu gimana, Sayang?”
            “Aku bosen banget sama istriku, dia cerewet, beda sama kamu Rana.”
            Rana, nama kekasih Gabriel, si Jalang bermulut besar. Aku memaki dalam hati.
            “Kalau butuh teman curhat, kamu bisa langsung hubungi aku, kita pasti langsung ketemu.” Rana menggoda dengan lancarnya, seperti biasa, terlalu banyak pria yang ia goda.
            “Kenapa kamu sebaik ini sama aku, Rana?”
            “Karena aku mencintaimu.” jawab Rana dengan cepat, seakan-akan dia tak perlu berpikir lama untuk menjawab pertanyaan itu. Ia terlalu terlatih dan terlalu sering berbicara cinta, hingga kata cinta begitu mudah terjulur dari bibirnya.
            Mereka terdiam, terdengar bangku yang tak sengaja digeser, lalu kemudian suara kecupan yang pelan. Terkesan romantis, pria ini terlihat lebih romantis daripada Gabriel.
            “Lusa, sebelum aku keluar kota, kita bisa ketemu lagi enggak?” ujar pria itu setengah memohon.
            “Bisa, kita ketemu di sini lagi?” tanggap Rana singkat, ia menjaga nada bicaranya agar tetap lembut.
            “Iya, di sini lagi, jam yang sama.”
            “Jam sepuluh? Kenapa malam banget?”
            “Di sini, setiap pukul sepuluh malam, ada live music-nya, kita bisa dansa.”
            Rana tak dapat menahan tawa, “Dansa? Sok romantis!”
            Lalu, mereka tertawa berdua, tawa itu kemudian terdengar semakin lemah ketika lagu When I Fall in Love terdengar sayup dan mesra. Beberapa lampu dimatikan, terang berganti remang-remang. Musik mengalun pelan, tarikan suara penyanyi wanita di depan panggung terdengar hangat dan mengagumkan. Rana dan pria tak kukenal itu meninggalkan meja, jemari mereka saling berpagutan. Pasangan yang lain mengikuti mereka, berdansa di dekat panggung.
            Tatapanku masih mengawasi mereka, aku tersenyum lebar.
***
            Memang aku tak percaya, ketika menatap sosok yang ada di depan cermin. Sosok itu hanya kulihat saat acara-acara pernikahan dan beberapa acara besar yang penting. Begitu berbeda, begitu sempurna. Dengan balutan gaun putih, rambut ikal yang dibiarkan menjuntai rapi, polesan bibir yang tidak terlalu tebal, juga mata yang terlihat bersinar. Aku tak percaya, sosok di cermin itu adalah aku. Dapatkah cermin berbohong?
            Tatapanku melirik tajam ke arah jam, belum terdengar suara klakson mobil Gabriel. Tiba-tiba handphone-ku bergetar, dan nama Gabriel tertera di layarnya.
            “Elo lama amat!” cetusnya dengan suara kesal.
            Belum sempat kusapa, dia sudah menyemburku dengan tiga kata yang terdengar menyebalkan, “Ini gue udah mau keluar.”
            “Ah, lama lo!”
            Sambungan telepon terputus, tak ingin mengecewakan Gabriel, aku segera berlari menuruni tangga dan segera memilih alas kaki yang akan kugunakan. Ketika terdengar suara ketukan pintu, aku bergegas memilih yang harus kupakai, lalu membukakan pintu untuk seseorang di luar.
            Ketika pintu kubuka, tampak Gabriel membelakangiku, hanya punggungnya yang terlihat.
            “Cepatan dong, Dirrrr....” ia menoleh ke arahku, dan tak melanjutkan kalimatnya.
            Aku tersenyum ramah, “Yuk, gue udah siap kok.”
            “Elo....”
            “Gue kenapa?”
            “Cantik banget.”
            Jantungku langsung berdebar tak karuan. Aku tak menjawab pujiannya, masih dengan tindakan yang salah tingkah, aku langsung mengunci pintu rumah dan berjalan menuju mobilnya. Ia mengikutiku dari belakang, tak banyak bicara.
            Mobil membelah malam yang remang dan sunyi. Tak banyak Kopaja yang terlihat berhenti di tengah jalan. Kami tak merancang percakapan, anehnya Gabriel yang kadang cerewet itu juga tak bicara banyak. Diam-diam aku menatap wajahnya, dan seperti ada sesuatu yang aneh dari raut mukanya. Aku berpikir keras untuk mengalihkan perhatian Gabriel.
            Di ujung jalan ada lampu merah, aku mempersiapkan diri, dan semoga usahaku tak gagal. Jelas saja, mobilnya terhenti dan detik yang tertera pada papan lampu merah masih tertulis enampuluhenam detik.
            Tanpa banyak menunggu, aku mendekatkan bibirku ke telinganya, berbisik pelan dengan sedikit berdesah, “Elo suka kalau gue dandan kayak gini?”
            Gabriel tetaplah Gabriel, semanja dan secengeng apapun, dia tetaplah pria. Tatapan nakalnya langsung menyambarku, “Cantik banget, Dira.”
            Kami saling bertatapan, bibirku dan bibirnya tak terlalu berjarak. Ia mendekat, dan ketika perhatiannya teralihkan, jemariku segera merogoh saku celananya. Handphone-nya sudah berada di tanganku dan suara klakson kendaraan lain mengakhiri suasana yang hampir romantis itu. Senyumku terlihat puas.
            Tak lama lagi pukul sepuluh malam, cafe itu hampir dekat. Semakin dekat. Semakin dekat.            Setelah mobil selesai diparkir oleh Gabriel, aku dan dia segera menuruni mobil. Ada detik yang kumanfaatkan untuk kembali menyentuh ponsel milik Gabriel, sebelum dekat dengan pintu masuk, aku berjalan dibelakangnya dan memencet dengan cepat tombol ponselnya.

          Send to: Rana
    Sayang, aku ada di Cafe Daun. Siapa itu pria di dekatmu? Teman barumu?

            Memasuki pintu masuk, aku lancang menggenggam tangan Gabriel. Kukira dia akan menghempaskan jemariku, nyatanya tidak. Ia malah menggenggamnya lebih erat. Gabriel terus kuajak bicara, agar ia tak mengalihkan perhatian pada pengunjung cafe. Ia kuarahkan duduk di meja yang kupilih, tanpa banyak basa-basi kami segera memasan makanan ringan dan minuman bersoda. Kami duduk menunggu, berbicara dengan tatapan yang sangat dalam. Belum pernah aku melewati malam sebahagia ini. Bersama Gabriel. Seseorang yang telah lama kuperjuangkan.
            Pembicaraan kami santai saja, karena bukan pokok pembicaraanlah yang penting. Ada hal yang lebih penting daripada sekadar topik pembicaraan, yaitu cara Gabriel menatap mataku. Ia tak mengalihkan pandangannya, tatapannya benar-benar hanya untukku, dan cara dia menatapku kala ini berbeda. Kurasakan lembutnya detik mengunci peristiwa kala ini, aku sangat ingin waktu terhenti, dan hanya terus begini. Dengan Gabriel. Sampai kapanpun.
            Sementara aku dan Gabriel bahagia, ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik kami. Rana, yang duduk bersama pria yang sama, tak melepaskan aku dan Gabriel sebagai pusat pandangannya. Aku melirik ke arah Rana beberapa detik, wajahnya kusut terlipat, pria yang sekarang bersamanya tak digubris sama sekali. Sekarang, Rana merasakan apa yang dirasakan Gabriel. Rasa sakit.
            Detik itu adalah bahagia yang sesungguhnya, lampu cafe mulai meredup, suara musik mulai mengalun damai. Gabriel masih menatap mataku, dan aku masih menatap matanya, namun pengganggu terus saja ada. Ponsel Gabriel yang masih berada di tanganku tiba-tiba bergetar hebat, aku melirik acuh tak acuh, nama Rana tertoreh jelas di layar handphone. Langsung saja kutekan tombol reject, terputus. Senyum di bibirku tak tergerus.
            Suasana semakin meremang, penyanyi wanita yang sama telah mengucapkan sebaris lirik lagu Selamanya Cinta. Aku menarik lembut lengan Gabriel dan berjalan pelan ke dekat panggung. Ia kebingungan menatapku, tak mengerti yang kumaksud. Aku mendiamkan rasa bingungnya, ia menatapku lalu menatap pasangan lain yang sudah mulai saling berpeluk mesra.
            Matanya berbinar, langkahnya mendekat. Ia melingkarkan lengannya di pinggulku, aku melingkarkan lenganku di bahunya. Aku memeluknya dengan lenganku sendiri.
            Dengusan napas Gabriel terasa hangat menyentuh pipiku, mempercepat detak jantungku. Tubuh kami masih melekat, aku dan dia masih tenggelam dalam suasana.
            “Siapa yang lebih cantik, aku atau Rana?” bisikku lembut, sedikit menyentuh daun telinganya.
            Ia sedikit bergerak, merasa geli, “Kamu lebih cantik, Dira.”
            Aku tersenyum lebar, “Siapa yang lebih kaucintai, aku atau Rana?”
            Gabriel tak langsung menjawab, ia melepaskan peluknya dan langsung menatapku dengan tatapan berbeda. Wajahnya yang hangat tetap terlihat walau dalam keremangan.
            Jemarinya menyentuh daguku, bibirnya mendekat. Dalam beberapa detik, ia menciumi bibirku dengan sedikit gigitan. “Aku lebih mencintai kamu daripada Rana.”
            Sekali lagi, aku terjatuh dalam peluk hangat Gabriel. Dan, Selamanya Cinta masih mengalun pelan.
            Andaikan kudapat mengungkapkan, perasaanku. Hingga membuat kaupercaya.

05 August 2012

Selamat Ulang Tahun Cinta Pertama (2)

Tulisan setahun yang lalu: 5 Agustus 2011 :)

Sudah satu tahun sejak tulisanku yang lalu, mungkin saja kamu yang hari ini berbeda dengan kamu yang setahun yang lalu. Kamu telah bertumbuh menjadi seorang pria dewasa yang memilih luar kota sebagai tempatmu meraih dan menimba ilmu. Sungguh, sepertinya kita semakin jauh. Dan, kita telah lupa untuk saling mengingat, juga merasakan yang pernah terjadi dulu.

Waktu bergerak dengan begitu cepat, pertemuan dan perpisahan berganti-ganti seperti pakaian yang melekat di tubuh kita. Dulu, kamu masih laki-laki dengan rambut keriting yang senang mengerjakan soal matematika. Dulu, aku hanyalah perempuan lugu yang senang dengan pelajaran bahasa Indonesia. Kita berproses dalam waktu, bertambah dewasa dalam takdir yang kita tekuni, semua sudah berbeda dan tak lagi sama.

Apakah kamu masih menjadi laki-laki dengan senyum manis yang seringkali kucuri keindahannya, dengan diam-diam menatapmu? Apakah kamu masih orang yang sama, pria dengan sikap sederhana yang mampu melayangkan setiap bayang-bayang menjadi kebahagiaan yang mengalir pelan? Ceritakan padaku, apa yang kaualami selama setahun kemarin? Kebahagiaan yang berlipat-lipatkah? Aku yakin, kamu selalu bahagia, karena kebahagiaanmu masih sering kurapal dalam doa.

Kita sudah lama tak saling bertatap mata, tapi aku tak pernah lupa sinar matamu ketika menatapku dengan lugu. Aku tak bisa melupakan senyummu yang seringkali membuatku bertanya-tanya, tak ada diksi yang pas untuk mengungkapkan perasaanku dulu. Mungkin, kamu masih ingat, kita dulu masih sangat kecil untuk berbicara dan berbincang tentang cinta. Karena hatimu dan hatiku belum siap memahami yang telah terjadi saat itu, kita menajalani banyak perasaan yang terkesan maya tapi terasa begitu nyata. Setiap pertemuan adalah goresan baru dalam kertas putih, aku berharap tak ada penghapus yang mampu menghilangkan hari-hari menyenangkan yang pernah kita lalui dulu.

Kamu mengajarkanku banyak rasa. Dari rasa canggung, malu, bingung, berbohong pada perasaan sendiri, memendam, dan enggan banyak berkomentar. Sosokmulah yang telah memacu aku bercerita lewat puisi, puisi pertamaku bercerita tentang hal sederhana yang kita lewati. Pemilihan katanya masih begitu berantakan, mungkin jika saat itu kutunjukkan padamu, kamu pasti tertawa mengejekku. Lalu, mengetuk mejaku dengan jemarimu yang kecil dan gendut-gendut. Betapa manisnya kita dulu, sayang semua hanya kenangan yang tak bisa terulang. Semua seperti mimpi yang sulit diputar ulang kembali. Seandainya hidup adalah kaset, aku ingin terus kembali memainkan lagu yang sama, lagu yang terdengar indah dan mesra... saat-saat keluguaan kita membiarkan cinta ada dan bertumbuh.

Diumurmu yang semakin bertambah, delapanbelastahun rupanya, tahun lahir kita sama namun tanggal dan bulannya berbeda. Aku hanya ingin mendoakan cita-cita dan harapanmu yang dulu sempat kauceritakan. Kamu bilang, kamu mau jadi pilot, lalu aku jadi teknik sipil. Ingat? Lucu ya, melihat kenyataan yang ada. Kamu sekarang jurusan Teknik Elektro, dan aku sekarang jurusan Sastra Indonesia. Rindukah kamu dengan percakapan-percakapan kita yang mengundang tawa itu? Dengan riuhnya kelas yang tak terlalu menganggu pembicaraan kita, kamu mengubah posisi dudukmu, memutar bangkumu hingga menyentuh mejaku. Kita memangku dagu, lalu bercerita, berkhayal, bermimpi, seperti anak SD lainnya.

Dulu, aku tak pernah berpikir untuk memperjuangkan kamu. Aku hanya tahu, kalau perasaanku begitu unik dan menyenangkan. Kamulah yang pertama kali membuat hatiku tergoncang. Aku masih ingat betul, saat kita berjalan di lorong-lorong kelas, mencuci tangan di wastafel dekat ruang guru. Mencari-cari tempat yang tak terlalu panas saat senam pagi di hari Jumat. Membeli makanan di sebelah kantin kelas kita dulu. Nampaknya, tempat-tempat yang kita kunjungi bersama sekarang sudah banyak berubah. Begitu juga aku dan kamu yang banyak berubah. Perasaanku memang tak lagi sama, tapi entah mengapa aku tak bisa melupakan kenangan yang sudah lebih dulu terjadi. Di balik ingatan yang ada, menyakitkan memang jika aku selalu mengingat banyak hal yang tak pernah sepenuhnya kamu ingat.

Kita sudah sangat lama tak bertemu, bagaimanakah wajahmu? Masihkah tatapanmu lembut seperti dulu? Apakah suaramu masih hangat dan tawa renyahmu masih begitu menyejukkan? Berbahagialah diumurmu yang baru, semoga kebahagiaan dan sepaket cita-citamu selalu terwujud bersama dengan kuatnya usahamu.

Tadi kamu cerita

Natal adalah salah satu hari yang paling kautunggu
Kelas empat, lima, dan enam membentuk regu
Paduan suara yang dilatih guru

Di aula sekolah kita
hiasan warna-warni bergantungan
Pak Padi, Pak Siregar, Ibu Lasni, dan Ibu Anita
Kita semua gembira

Tapi, aku kaget
waktu kamu bilang
ada lagi hal yang paling kautunggu
Menghias kelas bersamaku
seperti saat kita menghias telur bersama
pada perayaan Paskah

Aku bingung
kenapa harus aku?
memangnya kalau sama ketua kelas kita kenapa?
Kamu diam
Tidak jawab?
Kalau boleh aku menjawab
Aku juga suka Natal
apalagi jika aku duduk si sampingmu
saat ibadah

Tugasku membuka Perjanjian Lama
Tugasmu membuka Perjanjian Baru
Satu Alkitab ada di tangan kita
Kamu menyentuh tanganku

Aku mau waktu berhenti.

Puisi bodoh dengan diksi yang berantakan ini masih kusimpan, terlalu jujur, tak ada rasa malu. Dan, tiba-tiba saja, rasa itu menyembul lagi, ingatan itu muncul lagi.

Aku merindukanmu.

04 August 2012

Memeluknya dengan Lenganku Sendiri (1)


            Hujan menari-nari di luar, suaranya terdengar parau namun bersemangat. Udara dingin sudah sejak tadi menyergap tubuhku, selimut yang menghangatkan tak terlalu berhasil mengusir rasa dingin. Kadang, gemuruh petir bersahutan, aku menggerakan telapak tangan untuk menutupi telinga agar suara guntur tak terlalu mengagetkan.
            Lampu kamar kubiarkan menyala, aku masih sibuk membaca buku untuk mengusir rasa kesepian. Malam-malam begini, ditambah lagi dengan hujan, aku selalu merasa sendirian. Aku curiga pada malam yang selalu mengundang rasa asing bernama kesunyian. Entah mengapa malam masih saja menjadi sebab utama munculnya kegalauan seseorang. Tak banyak suara yang kudengar, hanya detak jarum jam dan derasnya hujan yang terdengar semakin deras. Fokusku terbagi untuk buku yang berada dalam genggaman jemari, buku ini sudah berkali-kali kubaca, aku hampir hapal setiap diksi yang berada di beberapa paragraf. Tidak. Aku tidak bosan membaca buku ini, buku yang diberikan oleh seseorang yang sangat spesial, dihari ulangtahunku yang ke-23 dulu.
            Saat malam semakin mengenjang, dan mataku mulai redup. Aku meletakkan buku di samping tempat tidur, lalu segera berjalan mendekati sekring lampu. Lampu padam. Aku siap terlelap.
            Mencoba untuk terpejam dengan cepat, namun gagal. Langit-langit kamar yang terlihat samar-samar seperti membuat gambar yang begitu mudah kukenali. Aku memikirkan sosok itu lagi, sosok yang begitu spesial dalam mata dan hatiku, sosok yang namanya selalu ada dalam rapalan doaku. Aku mencoba terpejam lagi, hingga satu suara menggoncangkan detak jantungku.
            Suara ketukan yang sangat keras, kukira hanya halusinasi, tapi setelah kudiamkan lebih lama, suara itu malah semakin besar dan terdengar jelas. Aku tak enak hati, kuhempaskan selimut dan segera bangun dari tempat tidurku, langkahku mantap saat ingin membuka pintu kamar. Suara ketukan terdengar lebih keras ketika aku berjalan mendekati ruang tamu.
            Tanganku gemetaran memegang gagang pintu.
            Pintu terbuka.
            Seseorang dengan tubuh basah kuyub menatapku dengan tatapan nanar.
***
            “Air mandinya tadi hangat enggak?” tanyaku dengan nada datar sambil membawakan dia segelas coklat panas.
            Ia segera meraih cangkir yang belum kuletakkan di meja, tak sabar menyeruput minuman hangat yang kubuat beberapa menit yang lalu. “Thanks, Dira. Sorry kalau gue ngerepotin elo.”
            “Enggak apa-apa, santai aja sama gue, Gabriel.”
            Mata sedih yang penuh dengan tanya tak mampu ia sembunyikan, Gabriel segera meminum coklat panas yang ada di cangkirnya. Sweater dan selimut yang kuberikan sehabis ia mandi nampaknya tak terlalu menolongnya dari rasa dingin. Aku tak menatapnya terlalu lama, membiarkan emosinya tenang sebelum aku bertanya dan mengintrogasinya dengan banyak pertanyaan.
            “Habis darimana?” 
            “Dari rumah Rana.”
            Aku menghela napas, mempersiapkan diri untuk mendengar berita selanjutnya, “Lantas, kenapa enggak langsung pulang ke rumah elo?”
            “Tadi, ada masalah sedikit.”
            “Masalah apa?”
            Gabriel terdiam dan memalingkan wajahnya dari tatapanku.
            Ketika menyadari pertanyaanku kembali mengaduk-aduk emosinya, aku memberi jeda waktu beberapa detik, dan menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan permasalahan yang terjadi, “Elo mau cerita sama gue?”
            “Tadi, ketika sampai di rumah Rana, gue lihat ada mobil di terasnya, gue kira mobil temannya. Makanya gue nyantai aja masuk langsung ke rumahnya.” jelas Gabriel dengan napas terengah-engah, ia masih berusaha menceritakan kronologis kejadiannya. “Tapi, sewaktu di ruang tamu, gue lihat Rana lagi ciuman sama cowok lain. Mesra banget.”
            “Terus?”
            “Gue langsung meninggalkan rumahnya, ngebanting pintu rumahnya.”
            “Dia sadar dan minta maaf sama lo?”
            “Enggak, dia bahkan enggak mengejar gue. Telepon gue enggak diangkat sama dia juga.”
            “Daridulu gue bilang juga apa, itu cewek jalang banget.”
            “Dia berubah karena lingkungan, Dira. Gue percaya Rana masih anak yang baik-baik.”
            “Elo masih mau percaya ketika rasa percaya lo dihancurkan berkali-kali?”
            “Iya, gue masih percaya, gue sayang sama dia.”
            “Ini bukan yang pertama kalinya, ini udah lebih dari satu kali, Gabriel!”
            “Gue bakal selalu memaafkan dia, wujud cinta adalah memaafkan bukan?”
            “Tolol!”
            “Elo bisa bilang gitu karena elo enggak ngerasain apa yang gue rasa.”
            “Gue emang enggak ngerasain apa yang elo rasakan, tapi setidaknya gue enggak sebodoh elo yang selalu percaya sama orang yang seharusnya enggak dapet kepercayaan dari elo.”
            “Kok elo jadi keras gini sih, Ra?”
            Aku menatapnya dengan tatapan serius. “Ini semua demi  kebaikan elo.”
            “Tapi, kebahagiaan gue tergantung pada Rana.”
            “Itu pemikiran bodoh namanya,  ada banyak orang di dunia ini, kenapa satu orang saja harus bikin elo sedih dan enggak bahagia terus-terusan?"
            Gabriel terdiam, ia mengganti posisi duduk, membelakangiku. Hanya punggungnya saja yang terlihat, telapak tangannya berada di wajah, berusaha menyembunyikan air mata.
            Aku berhenti menatapnya, agar tidak ikut sedih dan menangis. Aku sungguh ingin menenangkan emosinya, mendekapnya, memeluknya, lalu menghapus air matanya dengan jemariku sendiri. Tapi, aku terlalu dangkal dan terlalu pengecut untuk itu. Aku hanya temannya, tempat ia melabuhkan segala kesepian ketika ia bertengkar dengan kekasihnya. Aku tak berhak meminta lebih. Dia datang hanya saat butuh, hanya saat ia sedang sedih dan butuh teman berbagi, tapi itu lebih baik daripada ia tak datang dan benar-benar melupakanku.
            Harusnya, aku tak sekeras ini padanya, juga tak sekeras ini pada diriku sendiri. Semua jadi begitu rumit ketika aku mulai mencintainya, dan lebih pelik lagi ketika tahu, ia sama sekali tidak merasakan apa yang kurasa. Gabriel memberikan hatinya pada seorang wanita yang tidak benar-benar mencintainya, aku tak bisa berbuat banyak, karena senyum Gabriel sangat tergantung pada wanita itu, wanita itu seperti mesin pengolah emosi yang menjadi tumpuan Gabriel saat menajalani hari-harinya.
            Siapakah aku di mata Gabriel? Aku hanyalah pelarian tempat ia selalu membuang air mata dan kesedihannya. Aku adalah boneka yang dipungut kembali, lalu dihempaskan lagi ketika ada yang baru dan lebih menarik. Aku tak lebih dari wanita yang rela menyediakan waktuku untuk seseorang yang bahkan tak menganggapku ada. Harapanku terlalu besar, bahkan aku yang benar-benar mencintainya sama sekali tak terlihat oleh mata dan hatinya.
            Menyakitkan rasanya jika tak bisa membantu seseorang yang dicintai hanya karena dia bukanlah kekasihmu, dan kamu merasa tak berhak untuk bertindak lebih jauh. Menyakitkan rasanya jika kamu tak berani memeluk seseorang, hanya karena merasa kekasihnya bisa memberikan pelukan yang lebih hangat dari pelukmu.
            Semua rasa sakit semakin bertambah, tapi perhatian dan perasaan sayang padanya juga semakin bertambah, semakin kuat dan semakin dalam. Aku mencintainya sementara Gabriel belum bisa berhenti mencintai kekasihnya. Aku tak bisa memaksanya, karena cinta tak akan hadir jika karena paksaan.
            Air matanya adalah masalah besar bagiku. Dan, aku tak pernah suka melihat seseorang yang kucintai dibuat menangis seperti ini.