08 July 2012

Apakah Semua Pria seperti Ayahku?


            Aku tidak heran jika terbangun dengan pemandangan seperti kemarin-kemarin. Melihat Ayah setengah telanjang bersama seorang wanita yang tidak kukenal. Entah wanita bayaran atau wanita jalang yang diselamatkan Ayah di pub semalam.
            Tadi malam, Ayah mabuk dan wanita itu mengantarkannya sampai pintu rumah. Pak Beno, supirku, seperti biasa, tak banyak bicara dan berkomentar. Dia tahu betul sikap Ayah yang menjijikan, apakah dia harus mencibir orang yang selama ini menggajinya? Tidak, begitu juga aku, tak banyak berkomentar.
            Perusahannnya berkembang sangat pesat. Ayahku membiayai segalanya. Ia pria yang mapan dan kaya, semua wanita meliriknya. Semua wanita itu berbeda rupa dan sifatnya, kadang mau saja diajak seranjang padahal baru berkenalan. Ada juga yang bersikap sok manis tapi di belakang ternyata sinis. Aku jadi mengenal banyak karakter orang dari wanita-wanita berbeda yang berkunjung ke rumahku, juga bermalam di ranjang Ayahku.
            Aku tak bisa berkomentar banyak, juga tak ingin mengkritik sinis Ayahku. Aku anak yang penurut, dimanja dengan luar biasa. Aku anak satu-satunya, Ibuku sudah lama meninggal. Bunuh diri, mentalnya terlalu lelah untuk menerima perlakuan Ayahku. Pepatah bilang, di balik pria yang kuat, terdapat wanita yang hebat. Tapi, bagi Ibuku, di balik pria kuat, ada wanita yang menangis diam-diam dan berjuang mati-matian untuk sebuah keadilan. Dan Ibuku tidak menjadi pemenang. Ia memilih mengakhiri hidupnya, namun Ayahku tetap sama, beliau tak berubah, sedikit pun.
            “Mau sarapan apa, Non Raya?” ucap Bi Ratna lembut, beliau menyapaku ramah di sudut meja makan.
            “Ayah mana, Bi?” aku bertanya balik, mencoba mengabaikan pertanyaan Bi Ratna sebelumnya.
            “Masih tidur kayaknya, Non.”
            “Kemarin pulang sama siapa? Pak Beno?”
            “Iya, mabuk berat, Non. Mulutnya bau alkohol.”
            “Sama cewek juga?”
            Bi Ratna terdiam, mungkin ia tak mau menyayat hatiku. Aku menangkap maksud itu dari perubahan air wajahnya. Ia tak banyak bicara, langsung pergi meninggalkanku. Beberapa menit setelahnya ada suara panci yang berbunyi nyaring, Bi Ratna memasak sarapan.
            Aku masih di meja makan, terdiam dan sesekali menguap. Tatapanku menatap ke arah pintu kamar Ayah. Sudah pukul delapan pagi, Ayah dan wanita jalangnya belum keluar. Pikiranku mulai aneh, aku meninggalkan meja makan dan tidak menunggu sarapan segera tersedia di meja makan.
            Langkahku gontai menuju kamar. Perasaanku campur aduk. Aku membuka pintu kamarku.
            Brak!
            Dan kubanting dengan keras. Semauku.
***
            Aku dimanjakan tapi sungguh aku bukanlah wanita manja. Dunialah yang memaksaku untuk tak banyak bergaul. Di rumahku, seluruh fasilitas ada, aku tak perlu keluar. Aku punya supir dan banyak pembantu, mereka melayaniku secara intensif, setiap detik. Aku tinggal memanggil dan keinginanku langsung terkabul, muncul di depan mataku. Tapi, ada satu hal yang tak bisa mereka bawa ke depan mataku, cinta.
            Banyak pria bilang, wanita seksi adalah wanita yang gemar membaca, tapi bagiku itulah persepsi pria tolol. Senang membaca tapi tak mampu berpikir jernih? Sama saja bodoh, apa gunanya membaca jika tak membagikan pengetahuannya? Aku lebih senang melukis, bermain biola di kamar, dan berdiam diri. Sendirian. Di kamar. Berjam-jam. Iya, kalian benar, aku tak punya teman.
            Kesepian.
            Jangan mengasihani aku, lihatlah, aku bahagia! Aku bisa miliki apapun yang kuinginkan. Aku tidak terkendala masalah uang. Ayahku kaya raya, dia bisa belikan apapun yang kusuka. Aku tinggal membuka suara, dan barang itu sudah ada di hadapanku. Iya, hanya barang, yang tidak menjamin kebahagiaan. Berbeda dengan rasa; bisa membuatku bahagia dan sedikit percaya.
            Aku dibesarkan dengan elegan, aku sopan dan bertutur kata dengan baik. Ayahku mendidikku tapi tidak selalu ada untukku. Dia membayarkan semua kebutuhanku, tapi dia tak pernah mengerti arti kebahagiaan bagiku. Kembali ke konteks awal, sebagai anak maka aku tak bisa berkomentar banyak.
            Pintu diketuk. Mungkin Bi Ratna. Aku berteriak tak terlalu lantang, mengisyaratkan beliau agar memasuki kamarku. Dalam sekejap, wanita yang sudah beruban itu berdiri di samping meja gambarku.
            “Minggu ini, Non Raya ulangtahun kan?”
            Aku menoleh. “Kenapa, Bi?”
            “Ayah Non Raya sudah menyiapkan rencana?”
            “Kayaknya belom, Bi. Dia kan sibuk.”
            “Kok suaranya sedih?”
            “Ulangtahunku paling-paling sama kayak tahun lalu. Cuma ada aku, Bi Ratna, Pak Beno dan pembantu lainnya.”
            “Emangnya Non Raya enggak merayakan bersama pacar?”
            Logikaku terpeleset. “Pacar?”
            “Iya, pacar.”
            Singkat, dan aku tak terlalu paham pada pernyataan Bi Ratna. Merayakan bersama pacar? Ide tolol, aku tak punya pacar, juga tak punya teman.
            Bagaimana mungkin aku punya pacar, aku tidak bisa memercayai pria sepenuhnya. Lihatlah Ayahku. Dia brutal. Bitchy. Tolol. Tapi, tajir.
            Aku yakin, semua pria seperti Ayahku. Dan aku tak akan pernah percaya pada mahluk yang selalu mudah tergoda memakan apel dari hawa-hawa jalang di sekitar mereka.
            Aku tak percaya pria.
            Juga cinta.
***

           Aku berbaring di tempat tidur, menatap setiap sudut kamar. Ramai oleh pernak-pernik dan aksesoris yang lucu dan unik. Senyumku sedikit mengembang, dalam suasana sepi seperti ini, aku tak punya alasan harus tersenyum lebar. Aku selalu kesepian, meskipun Ayah selalu menganggapku baik-baik saja. Aku mencari-cari diriku yang sempat hilang, pahitnya tak juga kutemukan. Aku terus mencari, terus berlari, lalu hanya sepi, selebihnya sendiri.
            Tatapanku nanar ke arah bingkai di atas meja gambarku, foto Ibu. Aku menghela napas panjang, bagaimana mungkin wanita sebaik beliau harus mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis? Apakah karena cinta?
            Cinta?
            Tolol!
            Semua orang di sekitarku mengaku sangat mencintaiku, tapi apa yang mereka lakukan? Mereka malah membuatku iseng sendiri, mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Aku tak boleh berharap lebih pada cinta. Jika banyak orang percaya bahwa cinta adalah penyelamatan, maka cinta bagiku adalah kutukan. Terlalu banyak orang yang mengagungkan cinta, tapi aku menganggap cinta hanyalah dongeng seribu satu malam yang tak akan menyentuh bibir kenyataan.
            Cinta itu pembodohan. Jangan paksa aku percaya pada cinta, karena aku belum percaya, dan mungkin tidak akan percaya.
***
            “Bi, kolam renang kotor tuh.” aku menuruni tangga dan mengajak Bi Ratna bicara. “Aku mau renang.”
            “Sabar ya, Non. Mas Agung lagi sakit, masuk angin, kasihan kalau disuruh bersihin kolam renang.”
            Aku tak langsung menanggapi pernyataan Bi Ratna, aku duduk di sofa sebentar dan menikmati nyamannya tubuh sofa. “Emang enggak ada yang bisa bersihkan kolam renang selain Mas Agung?”
            Bi Ratna memberhentikan tugas menyapunya, menatapku sebentar lalu menggeleng mantap.
            “Aku bete di rumah, Bi. Pengen renang.” renggutku pelan, aku memangku dagu.
            “Renang di dekat kompleks rumah aja? Nanti Pak Beno yang antar.”
            “Aku enggak mau, enggak bebas.”
            “Nah, kalau gitu Non Raya aja yang bersihkan kolam renangnya?”
            Tatapanku iseng ke arah Bi Ratna. “Nanti kulitku berubah warna jadi gelap dong!”
            “Renang juga bikin kulit gelap kan, Non?”
            “Gelapnya tapi beda dong, Bi.”
            Kami tertawa, namun tak benar-benar tertawa. Aku tersenyum, namun tak benar-benar bahagia. Aku bahkan sampai lupa cara tersenyum yang tulus, karena terlalu sering menyembunyikan perasaan yang kurasa.
            Aku tak banyak bicara hanya sesekali menatap Bi Ratna yang sibuk bekerja. Aku melempar pandang ke seluruh bagian ruang tamu. Terlalu besar tapi sepi. Terlalu banyak barang tapi tetap merasa sendiri. Hari ini, aku memang agak malas, tak ingin banyak melakukan kegiatan. Seharian di kamar. Menggambar. Sesekali menggesek biola. Tapi tetap saja kosong, aku melakukan segala hobiku, namun aku masih merasa kesepian.
            Aku menatap jam, sudah larut malam. Waktu berjalan begitu cepat, dan begitu membosankan. Hari-hariku tak berbeda, bahkan hampir sama. Seperti yang kubilang tadi, aku tak punya teman. Temanku hanya pensil, buku gambar, dan biola. Kalau teman bicara ada Bi Ratna, Pak Beno, Mas Agung, tapi mereka seringkali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan aku tetap saja sendiri.
            Aku berusaha memejamkan mata, berbaring di ranjangku yang empuk. Tapi, mataku segera terbelalak, ketika suara ketukan pintu terdengar, aku menyahut lantang. Pintu terbuka. Ayah.
            “Ini kado ulangtahunmu.”
            Aku menoleh. Dan melirik pelan ke tangan ayah. Kunci mobil.
            “Kenapa wajahnya tidak senang?”
            Tak peduli. Aku berbalik badan dan menarik gulingku. Mendekapnya erat di dada.
            “Enggak butuh.”
            “Harganya miliyaran lho, Raya.”
            “Bodo amat.”
            “Raya...”
            “Aku ngantuk.”
            “Ayah tidak bisa hadir dalam ulangtahunmu.”
            “Tak perlu hadir, memang tidak dibuat acaranya kan.”
            “Ayah sibuk.”
            “Iya, sibuk sama wanita-wanita jalang itu.”
            Ayah terdiam. Aku terdiam. Kita berbicara dengan sunyi, kita berkata-kata dalam hati.
            “Kamu salah besar, Ayah ada meeting. Proyek besar, untungnya triliyunan.”
            “Iya, aku ngerti. Ayah lebih sayang sama orang yang kasih untung triliyunan ke Ayah.”
            “Bukan gitu, Raya.”
            “Terus yang seperti apa?”
            Ayah masih berdiri, aku menangkap rasa bersalah dari nada bicaranya. Aku masih tak ingin menatap mata itu, mata redup yang merenggut semua kebahagiaanku, merebut masa kecilku, juga menghilangkan Ibu dari hidupku.
            “Aku enggak butuh mobilnya.”
            “Kamu mau apa? Rumah? Tanah? Perhiasan? Tas Gucci? Parfum?”
            “Aku mau Ayah. Di sini. Enggak pergi-pergi.”
            Aku tak banyak berkomentar, Ayah juga tidak. Kami punya ikatan darah, tapi perasaan kami selalu terjarah. Terpisah. Seakan-akan tak pernah saling mengenal.
            “Aku ngantuk. Mau tidur.”
            “Raya...”
            “Mobilnya jual aja, hasilnya kasih ke orang-orang yang kemarin rumahnya Ayah gusur. Mereka lebih butuh, kalau  aku enggak butuh.”
            Ayah sadar, aku sedang marah, beliau meninggalkanku sendirian di kamar. Selalu saja sendirian.
            Aku memeluk guling lebih erat, berusaha mencari sandaran di sana. Namun aku tak berhasil. Ada sesuatu yang basah, mengalir dari mataku. Ini selalu terjadi, sepanjang hari, sepanjang minggu, tak bosan-bosannya menghantuiku.
            Air mata.
***

           Sejak tadi aku menatap tanggal, ulangtahunku hampir dekat. Entah mengapa aku merasa gelisah, di hari ulangtahunku nanti, haruskah aku menengok Ibu terlebih dahulu? Aku mau bercerita banyak hal pada beliau, semua telah berubah sejak kepergiaan beliau.
            Aku mengalihkan pandanganku pada foto Ibu, senyumnya manis sekali, seakan-akan ia masih begitu hangat di sampingku. Foto Ibu yang terpasang di ruang tamu ini butuh perjuangan besar agar bisa terpampang di dinding. Aku beradu mulut dengan Ayah hanya karena foto ini. Agar foto Ibu bisa terus kupandang, agar beliau bisa terus hidup di dalam hatiku. Karena kematian tidak akan mengakhiri apa-apa selama ingatan masih ada.
            “Lihat apa, Non Raya?” Bi Ratna mengaburkan lamunanku.
            “Aku kangen Ibu, Bi.”
            “Ya dateng ke makamnya dong.”
            “Kalau Ayah tahu, nanti dia marah. Aku enggak boleh keluar-keluar lagi. Aku takut, Bi.”
            “Ya bilang sama Pak Beno supaya enggak usah bilang ke Bapak.”
            “Enggak usah deh, Bi. Aku enggak mau cari masalah. Mata-mata Ayah banyak.”
            Bi Ratna menangkap kesan berbeda di wajahku, mungkin ia merasakan kesedihan yang kurasa. “Non Ratna harusnya bisa lebih bahagia lho, sekarang kok malah sering cemberut?”
            “Udah mau UAS kali, biasa deh mahasiswi, setiap mau ujian bawaannya stres.” aku mengelak.
            “Terus Non Raya enggak belajar?”
            “Udah dari tadi kok, Bi. Bosen sama ekonomi makro dan mikro, enggak ada habis-habisnya.”
            Tertawa, tak begitu keras tapi cukup menyenangkan. Bi Ratna berjalan mendekatiku, ia duduk di lantai sambil mengenggam lap yang selalu melekat di jemarinya.
            “Mau makan siang apa, Non Raya?”
            “Rawon aja, Bi.”
            “Rawon?”
            “Iya, tiba-tiba mau makan rawon. Masakan yang paling sering Ibu masak.”
            Bi Ratna terdiam.
            “Ajak Pak Beno sama yang lainnya ya, Bi. Kita makan bareng-bareng. Masak yang banyak!”
            Bi Ratna tersenyum memandangiku, ada kedamaian di wajahnya.
***
            Aku memegangi perutku yang sudah berisi rawon dan nasi. Kenyang. Mengantuk. Inilah kebiasaanku yang tidak sehat, aku asal saja membaringkan tubuhku di tempat tidur. Menatap langit-langit. Memandangi warna putih yang tak pernah berubah. Lalu wajah Ibu membesar, semakin besar.
            Mataku berusaha terpejam, sejak pagi aku belajar terus–menerus dan inilah saat yang tepat untuk beristirahat. Tidak ada bunyi air conditioner yang nyaring, aku sengaja tidak menyalakannya. Jendela di kamarku terbuka lebar, ada angin sepoi-sepoi yang mengalir melalui celahnya yang besar. Aku tergoda dan siap memejamkan mata.
            Sreg. Bunyi yang tak kukenal mengusik mataku yang hampir terpejam. Aku terbelalak dan membuka mata lebar-lebar.
            Sreg. Sreg. Sreg. Semakin sering dan bunyi itu begitu menganggu jam tidur siangku. Sangat merusak jam istirahatku.
            Sreg! Sreeeeg! Sreeeeg! Sreeeg!
            Kudiamkan malah semakin membabi buta. Aku mengepal tanganku, meninju ranjang yang kutiduri. Aku berjalan mendekati jendela kamar dan berusaha mencari tahu sumber bunyi.
            Sesampainya di dekat jendela, aku langsung menatap keluar lantas menyoroti taman dan kolam renang di bawah.
            Lama aku menatap ke bawah.
            Terdiam.
            Seorang pria bertelanjang dada, menggunakan celana jeans, berambut ikal dan hitam sedang membersihkan kolam renang. Iya, aku masih terdiam, tak bergerak sama sekali.
            Terjadi getaran aneh di dadaku, jantungku berdebar dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Tubuhku tak bergerak, aku tak bisa banyak berkomentar, bibirku seakan-akan terkunci rapat. Aku sekarat!
            Otakku seakan-akan tak berpikir dan beku. Aku berhamburan mencari kanvas dan meja yang bisa didirkan. Pelan-pelan aku menggerakan kuas dan menggambar sosok yang baru saja kulihat beberapa detik tadi.
            Aku menggambar kolam renang, juga pepohanan yang mengitarinya, juga sosok itu. Aku hanya menggambar rambutnya, dadanya, tubuhnya, celana jeans-nya, dan galah yang dia pegang untuk membersihkan kolam renang. Sempurna. Dan aku tersenyum di bibir dan hati.
            Sekujur tubuhku masih kalang kabut, aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku berusaha untuk menatap dan merasakan sinar mata sosok itu. Aku menjulurkan kepalaku semakin ke luar jendela, namun tetap berpegangan pada kayu jendela yang lainnya. Sosok itu tak kunjung menunjukkan wajahnya.
            Bola mataku bergerak mengikuti gerakan sosok itu. Ia masih sibuk membersihkan  kolam renang. Sungguh, aku tak mampu menahan diri. Aku kehabisan cara untuk mengetahui hal-hal aneh yang terjadi padaku saat ini.
            Aku mencari biolaku dan langsung kembali lagi ke bibir jendela. Membuka jendela lebih lebar dan membentang. Biola yang kugenggam langsung kuletakkan di dekat bahu, aku menggesek biola dengan sangat lembut, sambil menatap sosok di dekat kolam renang itu.
            Aku memainkan nada dengan sangat indah, seakan-akan partitur telah jelas tertulis pada gerakan sosok itu. Aku terus bermain, semakin dalam, semakin dalam. Aku menutup mata, menikmati alunan musik biola yang kumainkan sendiri.
            Senar biola masih terus kumainkan, alunannya semakin indah. Entah ada energi apa yang memengaruhi jemariku hingga nada-nada yang kuhasilkan dari biolaku terdengar begitu manis. Aku masih terus bermain untuk beberapa menit dan kemudian terhenti.
            Pandanganku langsung menuju sosok itu, dia terkesima dan menengadahkan kepala ke jendela atas. Dengan dada yang bertelanjang dan masih memegang galah. Menatapku.
            Dia terdiam.
            Aku terdiam.
            Dia tersenyum.
            Aku kagum.
***

           Pak Beno belum menjemputku. Sudah 30 menit berlalu, kakiku pegal menunggu mobilnya melintas di hadapanku. Aku menatap jam dan hampir sore. Rasa khawatir tak bisa kusembunyikan dari wajahku. Gigiku gemeretak, ada rasa ketakutan yang menghujamku dalam-dalam. Mahasiswa dan mahasiswi yang lain sudah pulang dengan kendaraan pribadi mereka. Aku masih menunggu di depan Fakultas Ekonomi, masih dengan rasa khawatirku yang menggebu-gebu.
            Berkali-kali titik pandangku hanya tertuju pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku sendirian, hanya beberapa mobil dan sepeda motor yang berlalu-lalang di depanku. Tapi, tak ada mobil yang kukenal, Pak Beno belum juga menampakan batang hidungnya.
            Bus kuning berkali-kali lewat, aku memutuskan untuk pulang sendiri. Tapi... aku takut, bisa saja Pak Beno terjebak kemacetan, kasihan kalau aku pulang duluan dan beliau ternyata sedang dalam perjalanan menjemputku. Memang, menunggu itu menyebalkan, apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti. Aku menghela napas. Berat.
            Ada perpustakan kecil yang melekat di dadaku. Aku memeluk buku ekonomi terapan dan beberapa buku ekonomi makro yang berbahasa Inggris. Sudah sore dan semakin sepi. Sebuah bus kuning melintas di halte, aku sigap memerhatikan. Ada seseorang yang turun dari bus itu. Berjalan lurus lalu mendekatiku.
            Seorang pria. Tatapannya tajam. Aku terdiam.
            “Kamu Raya ya?”
            Aku mengangguk, tak langsung bicara.
            “Pak Beno enggak bisa jemput, kita pulang sekarang ya.”
            Deg. Aku seperti mengenali pria ini, dari rambutnya yang ikal dan dadanya yang bidang. Setiap melihat bentuk dadanya, aku ingin membenamkan tubuhku dalam peluknya.
            “Kamu siapa?”
            “Pengurus taman di rumahmu, aku baru bekerja di sana, hanya untuk menggantikan pengurus kebunmu yang tidak bisa bekerja.”
            “Oh, kita pulang bareng? Naik apa? Kamu bawa mobil?”
            “Kita jalan sebentar, terus naik kereta.”
            “Jalan kaki? Naik kereta?!”
            “Iya, kok kaget?”
            “Aku enggak terlalu tahu daerah sini.”
            “Kamu kuliah di sini berapa tahun?”
            “Tiga tahun.”
            “Dan enggak terlalu paham daerah sini?” dia tertawa geli, sinar matanya begitu dalam namun hangat. Ia menatapku dengan tatapan yang segar bersemangat. Aku tak mampu menahan rasa senang yang bergulir di hatiku.
            “Aku biasanya dianterin lalu dijemput. Begitu terus, tiga tahun terakhir ini.”
            Aku sesekali menyembunyikan senyumku yang tak bisa berhenti melengkung di bibir. Aku berjalan di sampingnya, rapat. Beberapa detik siku kami bersentuhan, dan itu seperti aku bersentuhan dengan malaikat. Indah sekali, langkahku dan langkahnya seirama. Dia banyak bercerita, dan aku mendengarkan.
            Tak terasa, aku dan dia sudah sampai di Stasiun UI Depok. Seusai membeli tiket, ia menuntunku berjalan menuju tempat duduk penumpang. Aku sigap mengambil tissue dan membersihkan tempat duduk tersebut sebelum kududuki. Lalu, aku meroggoh tasku mencari hand sanitizer, membersihkan tanganku. Setelahnya, aku menggunakan masker. Ketika usai melewati keribetan tersebut, aku baru bisa duduk manis.
            Pria itu duduk di sampingku. Aku tak mampu mengendalikan detak jantungku yang memburu ketika ia berada dalam semestaku. Dia menatapku dengan heran, memerhatikan siluet tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia tertawa geli, sekali lagi.
            “Kalau pake masker, cantikmu pasti hilang.”
            Jemarinya menyentuh telingaku, membuka masker yang kukenakan. Lancang, tapi aku tak ingin melawan. Sentuhan-sentuhan kecilnya membuat pembuluh arteri di tubuhku seakan-akan memberontak. Dia mampu membuatku merasakan banyak hal yang sebelumnya tak pernah kurasakan.
            “Sudah dilepas maskernya, begini saja. Kamu tak perlu menyembunyikan wajahmu, dunia perlu tahu siapa dirimu.” lanjutnya dengan nada lembut. Aku masih tak banyak bicara, karena aku sibuk merapikan debaran jantungku.
            “Kamu jarang ngomong sama orang yang kauanggap asing ya?”
            Aku masih tak menjawab, membiarkan pertanyaannya menjadi partikel kecil di udara.
            “Aku bukan penjahat.”
            Tatapanku lurus-lurus ke depan. Aku enggan menatapnya, karena saat bertemu mata, aku pasti bergonjang-ganjing, tubuhku pasti kelu, bibirku beku.
            “Raya...”
            Aku memberanikan diri menatapnya, dengan tatapan penuh perhatian. Beberapa detik tatapan kami bersinggungan.
            Sedetik.
            Dua detik.
            Tiga detik.
            Empat detik.
            Lima detik.
            Kereta lewat. Terlepas. Aku dan dia sama-sama salah tingkah. Ia memasang badan, siap untuk memasuki gerbong kereta. Aku berdiri di sampingnya, dengan tatapan cemas. Sebelumnya, aku tak pernah naik kereta.
            Pintu gerbong terbuka. Ia menggenggam tanganku dan menarik tubuhku dengan cepat hingga memasuki kereta. Commuter line agak penuh, aku dan pria itu berdiri karena tak mendapatkan tempat duduk. Dia masih menggenggam tanganku dan aku menatapnya dengan tatapan dalam. Selama dalam kereta, ia terus menggenggam tanganku, melindungiku dari pekat dan sesaknya commuter line.
            Stasiun semakin dekat, kami bersiap-siap turun. Seusai menuruni kereta, ia mengajakku menaiki angkot. Iya, angkot, kendaraan yang juga belum pernah kunaiki. Sesampinya di kompleks rumahku, kami berjalan. Aku terdiam, dia juga.
            Rumahku sudah mulai kelihatan, aku berjalan semakin cepat dan dia mengikuti langkahku.
            Aku memasuki rumah dan dia tak memasuki rumahku. Aku meninggalkannya di depan pintu, tapi sepertinya dia masih memerhatikanku, menatapku yang berjalan menjauhinya. Aku merasakan tatapan itu.
            Sebelum benar-benar memasuki rumah, aku menghentikan langkah. Berbalik arah. Berjalan menuju sosoknya yang masih berdiri di depan pintu.
            “Namamu siapa?”
            “Yudhistira.”
            “Kamu suka dengerin aku main biola?”
            Dia tersenyum malu-malu, mengingat peristiwa satu hari yang lalu.
            “Besok aku ulangtahun, kalau kamu mau, kamu bisa datang ke rumah. Dengerin aku main biola.”
            Yudhistira mengangguk pelan.
            “Dalam kitab Mahabarata, pria bernama Yudhistira itu tangguh lho, sepertinya kamu juga begitu.”
            Dia tertawa namun menutup mulutnya dengan jemarinya, menyembunyikan giginya yang rapi. Kali ini, giliran Yudhistira yang hanya melakukan gerakan bahasa tubuh, ia tak banyak berkomentar. Ia baik, manis, dan berbeda dengan ayahku. Persepsiku salah, tidak semua pria brengsek seperti Ayahku.
            “Terima kasih.” ucapku singkat.
            Aku mencium pipinya.  Ia terperanjat.
            Senyumku tipis, kemudian berjalan meninggalkannya.
            Pipinya bersemu merah, pipiku tak ada bedanya.
            Kali ini aku tahu, sosok yang akan menjadi kado ulangtahunku.


10 comments: