Untuk yang selalu mengira, saya tak lagi mencintainya....
Pertama kali melihatmu di taman yang disinari matahari terik
itu, aku tak pernah menyangka bahwa kita bisa berada sampai titik ini. Perkenalan
mahasiswa baru, september, dua ribu dua belas, aku percaya tentang dunia yang
berkonspirasi hanya untuk mempertemukan dua orang yang saling tak tahu dan tiba-tiba
bisa punya perasaan rindu. Aku menyadari itu, namun aku tak pernah tahu apakah
hatimu sama membiru.
Kamu ucapkan namamu dengan logat Betawi yang terdengar unik
di telingaku. Sambil merapikan rambut gondrongmu, kamu menatap teman-teman
barumu, termasuk aku, dan mencoba memperkenalkan diri. Sejak saat itu, aku
sering diam-diam menatapmu, dari sudut yang tak pernah kautahu. Tuhan kembali
merahasikan kehendakNya, ketika entah dengan kekuatan apa, kita sering bertukar
berita melalui BBM. Dan, aku sungguh sangat membenci hal itu, mengapa saat itu
kugubris semua candaanmu? Mengapa saat itu kubiarkan kamu mengetuk pintu
hatiku?
Aku pun juga tak tahu, apa ini cinta atau hanya rasa nyaman
yang terlalu berlebihan? Apa ini mabuk kepayang atau hanya ketertarikan sesaat?
Tapi, kalau kauingin tahu, akan aku bisikkan sesuatu. Setiap malam ketika kita
membicarakan Sudjiwo Tedjo, setiap kausapa aku lebih dulu,
dan setiap jengkal detik yang kita gunakan untuk tertawa walau tanpa suara; aku
sungguh menghargai saat-saat itu. Sejak kamu masuk dalam daftar orang yang
kusebut dalam doa, kamu sudah berada di sana, di hatiku; yang dulu kuyakini tak
akan lagi dihuni pria pendiam seperti kamu.
Kuterima diammu dengan cuma-cuma, kubalas sikap dinginmu
tanpa banyak suara. Kuhargai semua bisumu yang hanya bisa munculkan tanya. Aku
ingin tahu, apa sesungguhnya yang ada dalam hatimu? September setahun lalu, aku
masih ingat kita pernah begitu hangat. Tak ada panggilan sayang, tak akan
panggilan cinta, dan tak ada ungkapkan perasaan. Tapi, kupikir semua itu tak
kita butuhkan, aku dan kamu sudah begitu asik dengan yang kita jaga selama ini.
Sebentar, sebentar, kita jaga? Apakah memang benar-benar kita jaga? Ataukah
hanya aku yang berjuang menjaga “kita” sendirian? Dan, enggan berhenti sebelum
kesakitan?
Aku ingat percakapan kita kala itu, kata-kata di dalamnya tak
pernah kulupa. Kalau aku bisa minta pada Tuhan untuk menyimpan semua dengan
sangat rapi dan bisa mengulang peristiwa manis itu untuk kesekian kali, aku tak
segan-segan berkorban apapun; asal kita bisa seperti dulu lagi. Tidak menjauh seperti ini.
Ingat apa yang kulakukan ketika ulang tahunmu di akhir bulan
September? Itulah hal yang kusesali selama ini, aku masih terlalu takut untuk
bertemu denganmu, dan mengucapkan doaku di depanmu. Lalu, kulakukan hal sederhana
yang bisa kulakukan. Aku tak tidur hingga larut malam, pukul 12 segera kukirimi
kaupesan singkat, pesan yang kaubalas seadanya, sekenanya, biasa saja. Aku merasa
bersalah, sungguh. Kalau aku cukup berani mengatakan semua, kalau aku tak
berada jauh darimu, kalau kita punya status lebih dari teman—sudah tentu kubawa
kaudalam pelukan. Kubiarkan kaudengar detak jantungku, helaan napasku, dan
desir aneh yang kurasakan ketika aku berada di dekatmu.
Tapi, sekarang bukan lagi seperti dulu. Kamu tiba-tiba
menjauh tanpa alasan yang tak kupahami. Aku ingat, sekitar bulan Januari, dua
ribu tiga belas, kita tak ada lagi komunikasi. Kabarmu hanya kucuri-curi dari
akun Twitter, beritamu hanya kudengar dari hasil bertanya ke sana dan ke sini. Jujur,
kalau kaumau tahu, aku tersiksa beberapa bulan ini. Terutama ketika bertemu
denganmu, ketika menerima kenyataan bahwa kita telah berbeda. Kita bertemu
setiap hari, setiap hari juga kulihat sosokmu yang tak bisa kusentuh, setiap
hari juga aku terus bisu—berusaha tak bertanya soal perubahan sikapmu yang
membuatku hampir meledak karena tak kunjung mengerti pikiranmu.
Apa yang bisa kulakukan agar aku tetap bertahan? Kularikan rasa
rinduku ke dalam tulisan. Di sana aku bisa menangis pilu tanpa membuat tuli
telingamu. Aku rindu kamu dan kamu nampaknya tak pernah tahu betapa selama
sembilan bulan ini, aku tak bisa berbuat banyak selain menunggu kamu bicara
lebih dulu. Aku selalu kuat membisu, meskipun rasanya ini bodoh, entah mengapa
aku tak ingin melupakanmu.
Kalau aku punya keberanian lebih, rasanya aku ingin bertanya
sesuatu padamu. Seberapa butakah matamu sehingga kautak melihat perhatianku? Seberapa
matinya perasaanmu hingga kautak sadar ada seseorang yang berjuang untukmu?
Mengapa kaumudah mengakhiri yang kupikir bisa berjalan lebih lama dari ini?
Kamu ini tega sekali, kamu tahu tidak rasanya jadinya
perempuan yang memikul beban karena cintanya bertepuk sebelah tangan? Apa kamu
tahu rasanya jadi aku, yang terus bertanya-tanya soal perasaanmu?
Apa kautahu rasanya bertemu dengan orang yang kaucintai, setiap hari, namun kauharus bertingkah seakan tak ada rasa, seakan kausudah lupa, seakan semua tak pernah terjadi? Kualami rasa sakit itu setiap hari, setiap kulihat kaumasuk kelas, setiap kaumenggandeng tangan dia—kekasihmu saat ini.
dari perempuan
yang kauanggap perhatiannya hanya mainan
yang kaupikir cintanya
hanya bualan.
Fosure I like this story, really!
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletemenyentuh sekali :") terimakasih ka:)
ReplyDeletemenyentuh sekali :") terimakasih ka :)
ReplyDeletesederhana tapi asik
ReplyDeleteMiris kak :'(
ReplyDeletengena bgt di gue-_-
ReplyDelete:')
ReplyDeleteceritanya bagus banget kak, walau tampilan webnya sangat sederhana~
ReplyDeletekalo pengen refrensi bisa ke www.7metamorf.blogspot.com
ane juga web tentang cerpen cerpen namun genrenya berbeda
gue banget tapi versi anak SMA ;")
ReplyDeletengena, aku suka :)
ReplyDeletesediih.... :(
ReplyDeleteterharu.........
ReplyDeleteposting terus cerriatanya....
ini sudah saya bookmarks
tks
ijin bookmarks.....
ReplyDeletetulis terus cerita barunya....salam
selalu mengharukan, terimakasih :') selalu berkarya !
ReplyDeleteka dwita ceritanya ngena banget yaaa. Mengaharukan
ReplyDeleteSedih bacanya , sampai merah mata liat tulisan yang panjang wkwkwk :D
ReplyDeletengena bangeeet ini kak :')
ReplyDeletesedih aku bacanya
ReplyDeleteAsli Keren
ReplyDelete:) nice :)
ReplyDeletekeren, mengharukan dan menyentuh sekali kaaak....
ReplyDeleteSakiteh u.u
ReplyDeletekeren, baca cerita ini kaya ngaca pada diri sendiri kena banget
ReplyDeleteNew cobraa
ReplyDeleteprdana record suroboyo
miris bener kak. T^T
ReplyDeletekarangan kak ?? pngn blajar dong... aku suka karya sastra...
ReplyDeletefolbek nggeh...
Halo Kak Dwitasari :)
ReplyDeletekerinduan itu nyata adanya,......saat kamu simpan semuanya,.....
ReplyDeletewalau tak terbalas namun itu adalah rasa yang tak pernah sirna,.....
mungkin kebisuan ini seperti adalah jawaban dari seribu tanya di balik rindumu,......
sebagai intuisi yang menjadi bagian dari misteri,...............
kak :"))))))
ReplyDeletekak Dwita perhatian banget deh sama hatiku. Ya ampun ... Aku sayang banget sama kak Dwitasari :* . kakak selalu jadi inspirasi ku dalam novel ku.
ReplyDeleteBagus ;( cerita ini juga mirip dengan kisah hidup saya ;(
ReplyDeleteCinta memang tdk Ъĩڪα dipaksakan, ketika si pria menyadari bahwa cintanya utk orang lain, maka ia mengambil keputusan utk menjauhi dan brsikap tdk peduli,dan berharap Ъĩڪα dirinya Ъĩڪα dilupakan olehmu, bukankah itu lbh baik, drapada tetap berdekatan, dan memberi pengharapan palsu?
ReplyDeletekeren kak ;)
ReplyDeleteLvu kak! <3 ceritanya selalu ngena sama saya :")
ReplyDeleteBagus k :')
ReplyDeleteDari perempuan yang perhatiannya kau anggap mainan dan cintanya kau anggap bualan...
ReplyDeletenice Dwita... ngena banget :')
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletekeren bgt kaaaak:') izin repost yah
ReplyDeleteKamu ini tega sekali, kamu tahu
ReplyDeletetidak rasanya jadinya perempuan
yang memikul beban karena cintanya
bertepuk sebelah tangan? Apa kamu
tahu rasanya jadi aku, yang terus
bertanya-tanya soal perasaanmu?
ngena banget! ini gua tapi.... :""
ReplyDelete