24 June 2013

Cinta Butuh Waktu*



 "Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan." - Vierratale

           Senyumnya adalah bagian yang paling kuhapal. Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah satu pasokan energiku. Kali ini pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang sedang menulis sesuatu di kertasnya. Matanya sesekali mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi.
            Aku yang sedang menggambar sketsa wajahnya, memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan. Detail wajahnya tak kulewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu mancung, pipi dan rahang yang tegas, dan bentuk bibirnya yang mencuri perhatian siapapun saat menatap lengkungan senyum itu. Aku penggemarnya, seseorang yang mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan yang nyata.
            Secara terang-terangan, aku tak pernah bilang cinta, namun selalu kutunjukkan rasa. Entah lewat sentuhan, perhatian, dan caraku membangun percakapan. Aku mencintainya. Terlalu mencintainya. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa kedekatan kita semakin tak terkendalikan, meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburu-buru mengetuk pintu hatiku.
            Di sebuah taman, tempat kami biasa bertemu, tempat kami biasa melakukan hal sederhana yang begitu kami cintai. Ia menulis tentangku. Aku menggambar sosoknya. Setelah karya kami sama-sama selesai, kami saling menukar hasil jemari kami.
            Tulisannya yang indah dan gambarku yang sederhana sama-sama menyumbangkan senyum di bibirku dan bibirnya. Betapa kami sangat bahagia cukup dengan seperti. Betapa cara sederhana bisa membuat aku dan dia merasa tak butuh apa-apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan rasa kehilangan.
            “Kamu pernah takut dengan rasa kehilangan?” ucapnya lirih di sela-sela gerakan jemarinya yang masih menulis sesuatu di kertas.
            “Pernah dan aku tak akan mau lagi merasakan perasaan itu.” jawabku secepat mungkin, jemariku masih memperbaiki gambarku yang hampir selesai. Kuperhatikan lagi bentuk wajahnya, rahang dan jambang rambutnya yang begitu kusukai. Seandainya aku punya keberanian untuk menyentuh wajah itu, selancang ketika aku menyentuh batang pensil saatku menggambar.
            “Kalau kausudah berusaha begitu kuat, namun kautetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang akan kaulakukan?”
            Kubiarkan pertanyaannya menggantung di udara sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya-tanya pada rasa penasaran dalam hatinya. Semilir angin dan goresan pensilku di kertas lebih terdengar jelas dalam keheningan kami berdua.
            “Apa yang akan aku lakukan?” aku mengulang pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasarannya yang membesar.
            Kening pria itu mengkerut ketika pertanyaannya kuulang, “Iya, apa yang akan kaulakukan jika rasa kehilangan tiba-tiba menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk menggenggam?”
            Helaan napasku terdengar santai, “Aku akan selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku harus merasakan kehilangan. Setelah aku tahu jawabannya, demi apapun, aku tak akan mengulang kesalahanku lagi. Dan, aku akan semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak boleh disia-siakan.”
            Jawabanku membuat ia semakin tajam menatap wajahku, aku yang menunduk dan masih menggambar, jadi salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan jemarinya ke atas kepalaku dan membelai rambutku. Aku tak tahu maksud dari sentuhan itu, entah mengapa seketika tubuhku tak bisa memberi banyak tanggapan atas sentuhannya. Aku belum bisa merasakan adanya cinta dalam setiap sentuhannya.
            Ia kembali menulis, kuintip sedikit ternyata kertas tempat ia menulis sudah hampir penuh. Dengan matanya yang indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku merindukan dia.”
            “Wanita itu lagi?” tanggapku dengan cepat.
            Ada sesuatu yang bergerak dalam dadaku ketika ia mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat memang, tapi entah mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar tak merasa sakit dengan pernyataan yang seperti itu. Kali ini, aku merasa dianggap tak ada.
            “Aku selalu bilang padamu, setiap hari, berkali-kali, tak perlu lagi kamu merindukan seseorang yang bahkan tak pernah menghargai perasaanmu!”
            Senyumnya terlihat getir ketika aku berbicara dengan nada tinggi.
            “Apakah bagimu, ada kehilangan yang tak menyakitkan?”
            “Semua kehilangan pasti menyakitkan, kita sebagai manusia hanya bisa mengobati setiap luka, sendirian atau bersama seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita tentukan sendiri.”
            Tanpa menatap wajahku, ia kembali mengajakku bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama kehilangan?”
            Aku berhenti menggambar. Kuketuk-ketukkan pensilku di atas kertas dan berpikir dengan serius, “Luka pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada. Keikhlasan dan kepasrahanlah yang membuat bekas luka tak lagi perih.”
            “Lantas, apa lagi?”
            “Membuka hati untuk seseorang yang baru!” seruku dengan nada bersemangat, dengan senyum singkat.
            “Ah, tapi bukankah semua butuh waktu? Termasuk juga soal cinta.”
            “Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan?” aku mengangguk setuju, “Tapi, sampai kapan kaubutuh waktu? Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih pergi, karena tak terlalu kuat diabaikan berkali-kali?”
            Aku tertawa dalam hati; menertawai diri sendiri.
            “Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut tertawa sambil terus melanjutkan tulisannya, “Cinta memang butuh waktu dan waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit diprediksi.”
            “Ah, kamu ini, semua hanya soal kesiapan hati.” bibirku meringis, mencoba menutupi hatiku yang mulai nyeri, “Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang ke dalam hatimu, karena ia tak ingin banyak hal, selain membahagiakanmu.”
            “Aku juga berpikir begitu, tapi aku takut jika luka yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di hati orang yang mencoba masuk ke dalam hatiku.”
            “Bagi orang yang ingin membahagiakanmu, tak akan pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan begitu lambat kaurasakan.”
            “Tak akan pernah ada luka?” tanyanya dengan wajah tak percaya, ia menatapku sekali lagi, dengan tatapan sangat serius, kali ini.
            “Ketika tulus mencintai seseorang, ia melakukan banyak hal karena ia mencintaimu, bukan karena ia memikirkan apa yang akan ia dapatkan ketika ia mencintaimu.”
            “Begitu manisnya cinta....”
            “Lebih manis lagi jika tak hanya satu orang yang berjuang untuk membahagiakan, harus saling membahagiakan.”
            Kalimatku membuat ia tersenyum lebar. Ia membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri karya tulisnya di kertas. Aku menulis namaku dan tanggal pembuatan gambar ketika aku selesai menggoreskan goresan terakhir.
            Setelah karya tulisnya selesai dan karya gambarku selesai. Kebiasaan itu terulang, kami saling menutup mata sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya. Ketika karyanya ada di tanganku dan karyaku ada di tangannya, kami pada akhirnya membuka mata.
            Ia menikmati gambarku dengan senyum memesona, senyum yang paling kucintai dan kukagumi. Gambarku adalah sosoknya yang kujadikan sketsa di kertas A4. Aku tak melewatkan detail wajahnya yang indah. Hidungnya kugambar semirip mungkin, rahangnya yang tegas juga jambangnya yang menggemaskan, juga kugambar dengan goresan yang tegas. Ia mengucap terima kasih. Aku bisa menebak wajahnya yang terharu ketika karya itu kuberi judul Masa Depan.
            Giliran aku yang membaca karya tulisnya. Awalnya, kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku salah. Ia menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang hidup dalam masa lalu dan kenangannya. Hatiku teriris membaca setiap paragraf dalam tulisannya; tak ada aku di sana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok yang dulu ia ceritakan dengan wajah sedih, sosok yang begitu kubenci karena menyia-nyiakan pria yang kucintai saat ini. Karya tulis itu ia beri judul Masa Lalu.
            Aku mengulum bibirku. Usahaku masih terlalu dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan ternyata belum cukup menyentuh hatinya. Ia masih terpaut pada masa lalu ketika aku sudah menganggap sosoknya sebagai masa depan. Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku secara perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.
            Aku belum berhasil seutuhnya.
            Ah, mungkin aku masih harus terus berjalan dan berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai ia juga menganggapku masa depan, seperti aku selalu menganggap dia sebagai bagian masa depanku.
            Cinta butuh waktu. Butuh waktu untuk membuat ia segera melupakan masa lalunya kemudian mencintaiku. Butuh waktu untuk membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk akal untuk ia percayai.
            Cinta memang butuh waktu.

*lagu Vierratale diciptakan oleh Kevin Aprilio

21 June 2013

Selamat Ulang Tahun, Kamu

Aku tahu, kamu tak akan mungkin membaca ini. Dengan segala daya dan upayaku, aku juga tak akan mungkin mampu membuatmu membaca tulisan aneh ini. Jelas saja aneh. Tulisan ini dibuat oleh seorang wanita yang bahkan tak benar-benar mengenalmu. Barisan paragraf ini diutarakan oleh seorang perempuan yang baru sekali saja menatap matamu. Tapi, mungkin, jika keajaiban membuatmu bisa membaca tulisan ini, aku hanya ingin bilang; tolong jangan tertawa membaca setiap kalimatnya. Di sini, aku menjadi diriku yang sebrnarnya tak pernah kaukenal. Dalam tulisanku, aku mengundang kamu masuk, membiarkan kamu abadi dalam setiap abjad dan kalimat. Mari kita mulai perjalanan ini.

Perkenalan kita terjadi tak dengan tatapan mata ataupun jabatan tangan. Aku sering melihatmu di layar kaca. Senyummu membawa sesuatu yang berbeda dalam hari-hariku. Kamu menjelma menjadi sosok yang sangat penting, yang tak ingin kulewati setiap berita dan kabarnya. Aku memang meletakkan perhatianku sepenuhnya untukmu dan kamu memang selalu berhasil merenggut rasa penasaranku. Kutunggu kamu dalam setiap acara televisi. Kunikmati caramu berkomentar di berbagai media. Kucumbu kamu dalam bayang-bayang semu.Di mimpiku, kamu begitu nyata dan bernyawa, bisa kusentuh dan kugenggam jemarinya. Dalam bayangan, kamu bisa kubentuk menjadi sosok yang hangat, yang tak akan pergi dan terus kutahan di sini— hatiku.

Tuan, apakah kauingin tahu? Di hatiku, kamu sudah jadi segalanya. Di otakku, kamu menjadi senyawa yang mengingat dan menjerat. Aku tak tahan lagi hanya sekadar mengamatimu dari depan layar kaca. Kuputuskan mengejarmu dan kucuri waktu untuk bisa menemuimu. Sampai pada suatu ketika, kita memang bertemu. Kamu dengan kemeja putih dan wajah yang bersinar. Kunikmati tubuhmu yang benar-benar tubuhmu, bukan yang sekadar video bergambar di televisi ataupun youtube. Kucuri senyummu yang sejak tadi menggantung di bibirmu. Kudekati kamu saat acara usai, kurasakan sentuhan jemarimu turut menyentuh jemariku. Aku tidak bernapas rasanya. Pada akhirnya, jemari kita saling menggenggam, walaupun aku harus berjibaku dengan ratusan orang yang mencintaimu. Sungguh, aku merasa sangat kecil, terlalu banyak orang yang mencintaimu hingga perhatianku seakan tak terlihat dan tenggelam.

Setiap malam, kureka wajahmu dalam angan. Kamu kembali menjadi sosok magis yang tak mau hilang dari ingatan. Ah, aku menyesali perasaanku sendiri. Aku memang begini, selalu mencintai banyak hal setengah mati dan ketika benci bisa begitu sepenuh hati.

Tuan, semoga kamu tak bosan membaca surat cintaku yang entah keberapa. Surat yang kukirim tidak ke alamat yang jelas, surat yang tak akan pernah sampai di depan pintu rumahmu, surat yang tetap hanya akan tertulis; dibaca tanpa digubris.

Di surat kesekian ini, aku, pengagummu yang pengecut, ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Tetaplah jadi yang istimewa di balik sosokmu yang sederhana. Dan, satu lagi, tolong jangan tertawa ketika membaca ini; aku mencintaimu.

Untuk orang nomor satu di Jakarta,
sosok yang tak pernah berhenti tersenyum,
sosok yang begitu nyata dalam khayalan saya,
Joko Widodo.

13 June 2013

Lima Minggu Setelah Kepergian Kamu

Aku tak pernah sesedih ini. Kukira waktu yang kubutuhkan untuk melupakanmu juga tak sepanjang ini. Aku salah besar, hari-hari yang kulalui, bersama dengan usaha untuk melupakanmu, ternyata tak menemukan titik temu. Kamu masih jadi segalanya, masih berdiam dalam kepala, masih jadi yang paling penting dalam hati. Maaf, jika segala kejujuranku terdengar bodoh. Sebentar lagi, kamu pasti akan berkata bahwa sikapku berlebihan. Seandainya sekarang aku berada di sampingmu, akan kuceritakan sebuah kisah tentang melupakan dan mengikhlaskan, sungguh dua hal itu bukanlah hal yang mudah.

Lima minggu harusnya waktu yang sangat cukup untuk menghilangkan perasaan, namun ternyata aku tak termasuk dalam pernyataan itu. Hari berganti minggu dan sosokmu masih jadi penunggu, menyergap perhatianku, menguji imanku, dan merontokan kepercayaanku. Tubuhku dingin dan menggigil saat menghadapi perpisahan. Aku tak punya banyak pelukan hangat, sehangat rangkulanmu yang melingkar manis di bahuku. Belum kutemukan bisikan lembut, selembut ketika kamu berbisik tentang cinta, mimpi, dan harapan-harapan yang dulu ingin kita wujudkan berdua.

Sekali lagi aku katakan, melupakan tak akan pernah mudah. Merelakan yang pernah ada menjadi tidak ada adalah kerumitan yang belum tentu kautahu rasanya. Aku menulis ini saat aku terlalu lelah dihajar kenangan. Mengapa di otakku; kautak pernah hilang barang sedetik saja? Perkenalan kita terlalu singkat untuk disebut cinta dan terlalu dalam jika disebut ketertarikan sesaat. Aku tak tahu harus diberi nama apa kedekatan kita dulu. Aku tak mengerti mengapa aku yang tak mudah tergoda ini malah begitu saja terjebak dalam perhatian dan tindakanmu yang berbeda. Kamu sangat luar biasa di mataku, dulu dan sekarang; tetap sama.

Dan, aku masih menangisi juga menyesali yang sempat terjadi. Bertanya-tanya dalam hati, mengapa semua harus berakhir sesakit ini? Apa tujuanmu menyakitiku jika dulu kita pernah menjadi belahan jiwa yang enggan saling melepaskan? Aku tak tahu sedang berbuat apa kamu di sana. Aku tak lagi tahu kabarmu. Segala ketidaktahuanku mengantarkan perasaanku pada perasaan asing, rindu yang semakin hari semakin berontak. Rindu yang meminta pertemuan nyata. Rindu yang memaksa dua orang yang sekarang berjauhan untuk kembali berdekatan.

Kalau aku berada di sampingmu sekarang, ingin rasanya aku mengulang segalanya. Kuperbudak waktu, kuhentikan detak jarum jam semauku. Agar yang hadir dalam hari-hariku hanyalah kamu, hanyalah kita, dan hanyalah bahagia tanpa air mata. Seandainya hal itu bisa kulakukan, mungkin sekarang aku tak akan merindukanmu sesering dan sedalam sekarang. 

Terakhir kita bertemu, ketika kita memutuskan untuk mengakhiri segalanya, ketika pelukmu tak lagi kurasakan, dan ketika akhirnya kita memilih berjauhan; semua jadi begitu berbeda. Perbedaan yang berulang kali berusaha kupahami, namun tak kunjung kumengerti. Bisakah kaumembantuku untuk memudahkan segalanya? Agar aku bisa menerima, bisa mengikhlaskan, bisa merelakan dengan sangat gampang!

Benarkah ini semua hanya bualanmu? Betulkah kebersamaan kita hanya kauanggap sebagai permainan? Mengapa aku terlalu bodoh untuk membaca hal itu dari awal? Apa karena kauterlalu berkilau, hingga mataku terlanjur buta dan telingaku seketika tuli, jadi yang kulihat dan kudengar hanya bisikan harapan yang sebenarnya sungguh bukanlah kenyataan.

Berhenti menyiksa aku dengan segala macam rindu dan kenangan, atau mungkin aku yang menyiksa diriku sendiri karena tak mampu melupakanmu? Ah, sudahlah, aku cuma ingin memberitahu, kita sudah lima minggu berpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Jadi, apa kabar kamu sekarang? Apakah kamu masih semanis dan semenyenangkan dulu? Ataukah kamu yang sekarang adalah kamu yang tanpa topeng, kamu yang ternyata jauh berbeda dari yang kukira?

Aku benci harus mengakui ini. Aku sering merindukanmu dan memendam perasaanku. Tersiksa dengan angan sendiri, mengiris hati dengan kemauan sendiri. Aku ingin mengaku (dengan sangat terpaksa) bahwa aku masih mencintaimu dan berharap kamu kembali, walaupun hanya untuk menenangkankudan berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Kamu ingin kembali? Iya? Masa?

Kamu ingin kembali? Tidak? Oke.

12 June 2013

Jangan Pergi



            Aku sedang asik memandangi setiap aksara yang tertulis di depan layar laptop-ku. Kubaca setiap kata-kata magis di sana. Perempuan yang satu ini terlalu kesepian, kurasa. Ia banyak menangis, mengeluh, dan mengasihani dirinya sendiri. Sesekali, aku dibuat tertawa dan meringis karena membaca setiap kalimat yang tertulis di akun Twitter-nya.
            Memerhatikan akun Twitter-nya bukanlah suatu kebiasaan bagiku. Kegalauan dan tulisan sampahnya hanya kujadikan bahan tertawaan yang bagiku sangat lucu. Sebuah penghiburan melihat tulisan-tulisan yang begitu ekspresif dan kekanak-kanakan. Tulisan busuknya hanya kujadikan candaan, mengundang kelucuan tersendiri bagiku.
            Tak heran, jika saat tak ada kerjaan seperti ini, aku kembali membaca setiap kegalauan yang tertulis di akun Twitter-nya. Kutertawakan sekali lagi, tawa yang entah mengapa begitu lepas. Sungguh, aku benci wanita sialan ini. Ia memposisikan dirinya di sudut paling bawah, seakan pria adalah satu-satunya mahluk Tuhan yang paling berhasil menyakitinya. Ditambah lagi, mention-nya yang menjijikan. Ia menyapa setiap pria layaknya kekasih yang kesepian dan haus perhatian. Mengapa Tuhan menciptakan makluk mahalucu seperti wanita ini?
            Demi Tuhan! Aku tak akan jatuh cinta dengan wanita yang meletakkan hatinya pada banyak pria, bermesra-mesraan layaknya cumbuan adalah hal murah yang bisa diobral.
            Suasana kantin kali ini tak begitu ramai. Malam-malam dengan hujan deras seperti ini memang tak mengundang banyak orang datang. Beberapa jam yang lalu, langit sudah memberi pertanda bahwa ia akan menangis, mendung sudah begitu tebal. Melihat cuaca yang buruk, banyak mahasiswa yang mengurungkan niat untuk berbincang lama di kantin.
            “Ngapain lo?” Joni menepuk bahuku dengan kasar, “Serius banget, liatin apa?”
            Aku tertawa geli dan menyodorkan layar laptopku agar juga dilirik olehnya. Joni, yang tak tahu-menahu langsung menyediakan pandangan ke laptop-ku, membaca setiap tulisan yang ada di sana. Beberapa menit, Joni sibuk membaca dan aku menunggu reaksinya, “Lucu, ya? Temen jurusan kita, nih.”
            “Apanya yang lucu?” Dahi Joni berkerut, “Dia memaparkan fakta yang terjadi sekarang, perasaan wanita zaman sekarang, masa lucu?”
            “Lucu, aja. Berlebihan, sih, kalau menurut gue.”
            “Berlebihan gimana? Lo emang dasarnya nggak punya perasaan!” tanggap Joni dengan tawa yang lepas, seakan ia mengenalku dengan sangat dalam.
            “Nggak punya perasaan gimana maksud lo?”
            “Ya, pokoknya, lo nggak punya perasaan. Itu cewek mau ngasih tahu gimana perasaan dia lewat tulisannya dia, masa hal kayak gitu lo ketawain? Masa rasa sakit hatinya lo ketawain? Nggak punya perasaan lo!”
            “Bukan cuma itu yang gue ketawain, ini cewe juga sering mention-an dengan nada-nada mesra pada banyak orang. Menjijikan!”
            “Hidupnya dia, sih. Kalau lo nggak suka, ya, tinggalin aja. Lo nggak dipaksa buat suka sama tindakan dia kan?”
            “Dih, Jon, otak lo sekarang udah kayak otak cewe! Bawaannya galau mulu! Ngeluh mulu!”
            “Bro, harusnya sebelum lo ngomong gitu, lo kudu kenal dulu tuh cewe, apa lo tahu gimana kehidupan dia yang sesungguhnya?”
            Aku menggeleng, tapi dalam hati aku menyetujui kalimat yang ia utarakan.
            “Biarin ajalah dia mau berbuat apa, selama dia nggak bikin hidup lo ribet, ya, nggak perlu diurusin juga!”
            Tiba-tiba, aku tertawa lepas. Menertawakan diriku sendiri.
            Aku memutuskan meninggalkan sikap wanita penggalau itu, kututup layar laptop-ku, lalu aku berbincang dengan Joni. Memperbincangkan banyak hal dari soal tugas kuliah sampai soal politik. Ketika kulihat hujan berubah jadi gerimis dan cukup bersahabat untuk pulang menggunakan sepeda motor, aku pamit diri meninggalkan Joni. Langkahku ringan menuju tempat parkir sepeda motor dan kulajukan sepeda motorku di tengah gerimis yang tiba-tiba menderas dan berubah jadi hujan lebat. Aku mengarahkan sepeda motorku untuk menepi.
            Hanya ada aku dan seseorang di depan toko tua yang sudah lama tutup. Mungkin, karena di sini terlalu gelap, tak banyak sepeda motor yang memilih menepi. Toko yang terasnya terlalu sempit itu menyebabkan aku dan orang di sampingku tak berjarak terlalu jauh. Aku tak menengok sedikit pun ke arah sosok itu. Aku terlalu sibuk mengutuk hujan dan meminta pada Tuhan agar hujan berhenti turun. Ini sudah terlalu malam.
            Entah atas daya apa, sebuah sentuhan kecil terasa di lenganku, aku sontak menoleh. Dan, sosok itu, dengan siluet wajahnya yang begitu tegas di bagian rahang dan dagu, gelap dan temaram, seakan tersenyum ke arahku. Tatapan matanya tipis-tipis terlihat karena masih ada sisa-sisa cahaya yang menampaknya bola matanya.
            “Eh, baru sadar, kita sejurusan di fakultas kan?” bisik wanita itu, yang baru kali ini suaranya kudengar dengan jelas. Ternyata, suaranya menenangkan dan cukup meneduhkan.
            “Iya, sejurusan.” Jawabku singkat, tak ingin terlibat percakapan terlalu jauh.
            “Kamu, kok, berteduh di sini? Kosan kamu juga di daerah sini?”
            Sialan! Wanita itu.... aku berusaha menjauhi segala percakapan dengannya, dia malah mengajakku terus bicara. Tidak tahukah dia bahwa aku begitu jijik mengenal dan berbicara dengan wanita penggalau yang sok laku seperti dia?
            Sebisa mungkin, aku menjawab dengan singkat, agar tak ada celah untuk ia kembali bertanya, “Iya, di dekat sini. Gue nggak ngekos, gue ngontrak rumah, lebih murah daripada kosan.”
            “Oh, lebih murah, ya? Rumah kontrakan di sana masih ada yang kosong nggak?”
            “Kayaknya ada.”
            “Mungkin, aku bisa pindah ke sana. Kebetulan kosan yang aku tinggali saat ini mau naik lagi harganya.”
            Aku membelalakan mata, sepertinya aku salah bicara. Ingin rasanya aku meninggalkan wanita sialan itu sendirian dan segera melajukan sepada motorku dengan cepat. Aku berharap tak akan lagi bertemu dengannya. Ah, tapi aku tertawa dalam hati, aku baru tahu, ternyata wanita yang selalu kutertawai karena sikap galaunya; punya suara yang manis dan menenangkan.
            Aku tak menanggapi pernyataannya yang terakhir. Ketika kulihat hujan tiba-tiba gerimis lagi, dan mereda lagi, aku bersiap-siap kembali melajukan sepeda motor. Tubuhku sudah ada di atas sepada motor dan wanita itu hanya memandangku dengan tatapan entah—aku tak bisa mengartikan tatapan itu. Suatu kekuatan seperti mendorong bibirku, kata-kata yang sebenarnya tak ingin kukatakan malah meluncur dengan mudah, “Mau gue anterin pulang ke kosan lo?”
            Tanpa pikir panjang, dengan suaranya yang teduh dan penuh bumbu manja, ia menjawab cepat. Ia segera menaiki sepeda motorku dan kami membelah jalanan malam dalam keadaan gerimis tipis. Kurasakan dalam keheningan kami berdua, jemarinya menyentuh pinggangku. Dan, kini, seluruh lengannya melingkar di dekat perutku.
            Ada kehangatan yang berdesir. Aku seperti merindukan masa lalu. Setahun yang lalu, saat mantan kekasihku memelukku sehangat ini.
            Wanita ini.... sialan! Dia sangat lancang.
            Namun, mengapa aku tak melawan dan berusaha untuk melepaskan?
***

            Ketukan pintu pada pagi hari selalu mengagetkanku. Dengan senyumnya yang entah mengapa terlihat ajaib, ia membawakan sepotong roti dan segelas coklat panas. Sekarang, senyumnya kusantap bagai sarapan. Minggu-minggu ini, ada sesuatu yang baru, hal sederhana yang menyentil aktivitas sehari-hariku.
            “Akhir-akhir ini kamu terlihat tampak lebih segar.” Nina tersenyum sambil menepuk bahuku.
            Nina? Hey, aku belum mengenalkan nama wanita ini padamu. Nina itu si wanita penggalau yang selalu kutertawai isi tweet-nya, si wanita yang selalu bermesraan dengan banyak pria di media sosial. Wanita yang begitu jijik kusebut namanya, kudekati sosoknya, dan kudengar suaranya.
            Disapa seperti itu, aku hanya membalas dengan senyum dingin, “Hanya perkiraan kamu aja kali.”
            “Kita kelas jam berapa, ya? Siang, ya? Jam dua kan?”
            Aku mengangguk singkat.
 Sikapku sengaja kubikin kaku dan dingin karena aku begitu tahu bagaimana gelagat wanita ini. Selain wanita penggalau, ia tentu saja membagi hatinya untuk banyak pria. Caranya bermesraan dengan banyak pria di dunia maya layaknya ia adalah wanita paling terlatih untuk mencumbu dan menyembulkan rindu. Aku sungguh tahu, wanita seperti dia adalah penggoda yang akan pergi ketika tahu pria yang sempat ia sukai tak sehebat yang ia ketahui.
“Dua minggu di rumah kontrakan ini, rasanya aku mulai akrab pada banyak orang. Termasuk sama kamu.”
Aku terbatuk di sela-sela saat aku meminum coklat panas buatannya.
“Kenapa? Nggak enak? Nggak biasanya kamu batuk.” Ia tertawa sebentar, kemudian dahinya berkerut, ia menepuk bahuku dan membasuh bibirku dengan tissue miliknya.
Ada apa, sih, dengan wanita ini? Mengapa ia begitu baik meskipun sikapku sudah begitu kaku dan dingin padanya? Aku bertanya-tanya dalam hati, bahkan aku tak bisa melawan ketika ia menyentuh tubuhku dengan jemarinya yang hangat dan berbeda. Aku juga salah tingkah, ketika ia tertawa karena ulahku.
Mengapa wanita ini tak sesialan yang kukira?
Aku sudah cerita soal ini? Sekarang, aku juga tak tahu mengapa perbincanganku dengan Nina seringkali menggunakan panggilan ‘aku’ dan ‘kamu’. Panggilan yang harusnya ditunjukan hanya untuk dua orang yang punya kedekatan. Mengetahui kenyataan ini, aku juga jijik. Ditambah lagi panggilan itu kutunjukkan untuk Nina, wanita penggalau yang mudah bermesraan dengan banyak pria di dunia maya.
Setelah tinggal di samping rumah kontrakan yang kutinggali, Nina mengubah  banyak hal. Ia mewarnai waktu sarapanku setiap hari dan mengubah waktu malamku dengan percakapan-percakapan singkat ditemani teh serta angin malam.
Nina mengubah banyak hal. Aku tak tahu, Nina yang satu ini apakah adalah sosok yang sama, sosok yang dulu begitu jijik untuk kudekati dan kuketahui jalan hidupnya.
Nina kini menjelma jadi apapun di kepalaku. Jadi lugu. Jadi malu. Jadi candu. Jadi rindu.
***
Rumah kontrakan kami mati lampu. Sambil membawa lilin, Nina mengetuk pintu kontrakanku dan meminta untuk ditemani. Hujan turun deras sekali dan aku tak tahu sejak kapan Nina bersandar di bahuku dan ia merancau tanpa pernah aku meminta ia bicara banyak.
“Kadang, aku berpikir, mengapa hujan sederas ini, dengan petir semenyeramkan ini, jadi tak menakutkan ketika kita berada di samping seseorang?”
“Yang kamu takutkan bukan hujan dan petir, tapi kesepian yang kamu rasakan ketika terjadi hujan dan petir.”
Nina menatapku dengan matanya yang teduh. Ia tersenyum singkat dan kembali meletakkan kepalanya di bahuku. Cahaya lilin yang bergoyang sesekali menambah kesan menyenangkan di dadaku. Tetiba dadaku jadi begitu hangat dan banyak petasan yang meledak-ledak. Sikapku yang kaku entah mengapa begitu sulit kutunjukkan di depan Nina. Aku bahkan mulai berani menyentuh rambutnya.
“Tapi, sekarang aku udah nggak takut lagi, kok.” Dengan nada manja yang hampir kuhapal, Nina mencoba untuk kembali memberi tanggapan.
“Kenapa nggak takut lagi?” nada penasaran tak mampu lagi disembunyikan dari caraku berucap.
“Sudah ada kamu.”
Aku tertawa geli. Nina yang mendengar suara tawaku malah memukul lenganku. “Apa yang lucu?”
“Terlalu cepat menganggap kehadiranku akan menghapus ketakutan kamu Nina.” Aku terbatuk-batuk dalam tawaku yang menderas, “Lagipula, aku nggak akan sudi dengan wanita penggalau yang mudah bermesraan dengan banyak pria di dunia maya.”
 Mendengar pernyataanku yang bahkan aku tak tahu pernyataan itu bisa melukai perasaannya, Nina terbangun dan tak lagi rebah di bahuku.
“Kamu berpikiran seperti itu?”
Aku mengangguk ragu.
“Kenapa?”
“Aku sudah kenal betul wanita seperti kamu. Yang akan meninggalkan orang yang mencintainya dengan begitu mudah, lalu kemudian mendapatkan pengganti dengan begitu cepat. Aku tahu orang sepertimu, Nina! Semua tingkahmu tercermin dalam setiap tulisanmu di dunia maya.”
Nina terdiam dan pipinya menjatuhkan bulir-bulir halus. Air matanya mengalir. Menderas bagai hujan di luar.
“Nggak semua yang kamu lihat di dunia maya sama seperti di dunia nyata. Aku bukan sibuk bermesraan dengan banyak pria, aku hanya mencari sosok yang bagiku cocok untukku.”
“Oh, ya? Tapi, harusnya kautak perlu memanggil banyak pria dengan panggilan ‘sayang’ kan?”
Tangis Nina tiba-tiba diwarnai tawa yang meledak, ia mendekatkan wajahnya, “Jadi, selama ini kamu memerhatikanku?”
Aku menggeleng dengan keras. Berusaha agar aku tak tertangkap basah.
“Aku cuma kesepian dan mencari pelarian. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku juga ingin punya seseorang. Aku lelah meloncat dari satu hubungan ke hubungan lain.”
“Kalau begitu, mulai sekarang, berhentilah meloncat dari satu hubungan ke hubungan lain.”
“Lantas, aku harus berbuat apa?”
Sebelum menjawab pertanyaannya, aku mengundang dia kembali rebah di bahuku, “Meloncatlah sekali lagi, tapi berjanjilah, loncatan kali ini adalah perpindahanmu yang terakhir.”
“Lalu, harus kuarahkan ke mana loncatanku yang terakhir ini?”
“Kamu itu bego beneran atau pura-pura bego?”
Nina mengedipkan matanya, bingung dengan pertanyaanku yang terdengar sarkastik.
“Arahmu sekarang cukup mengarah padaku. Habis ini, kautak perlu membuat dirimu lelah dengan berjalan ke arah yang lain. Bisa?”
Tanpa banyak jawaban. Nina hanya mengecup keningku. Itu sudah cukup jadi jawaban bagiku. Dan, akhirnya, kupatahkan janji yang telah kuucapkan pada Tuhan. Dulu, aku bersumpah tidak akan pernah mencintai Nina. Tapi ternyata....
“Aku mencintaimu. Aku sudah terbiasa sama kamu. Jadi, jangan pergi.”